top of page
  • Yusrin Ahmad Tosepu

Peran Mahasiswa dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia di Daerah



PENDAHULUAN

Mahasiswa adalah sekelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai kelompok tertentu yang dapat dikenali dengan melihat beberapa ciri, baik fisik maupun konsep ideal yang dimilikinya. Sementara, dalam konsep ideal mahasiswa, ia adalah golongan masyarakat yang biasanya dikenal sebagao golongan masyarakat yang memiliki cita-cita ke depan, menjadi penyeimbang antara pemerintah dan masyarakat, dan biasanya selalu berpihak kepada masyarakat, tidak pada kekuasaan.


Persoalan pembangunan daerah sangatlah penting guna memberikan sumbangsih terhadap kemajuan di tingkat nasional. Pembangunan daerah yang dimaksud adalah sektor pemberdayaan masyarakat. Baik pembangunan dalam bidang ekonomi, dan pendidikan. Keduanya menjadi Tolak ukur kemajuan suatu daerah. Salah satu langkah pemerintah dalam mengatasi pembangunan daerah adalah menetapkan kebijakan otonomi daerah. Bahkan sampai kepada level desa. Dengan tujuan agar daerahlah yang menjadi pendorong kemajuan bangsa. Agar daerah itu sendiri yang merancang dan menentukan nasibnya sendiri.


Otonomi daerah sebagai salah satu produk strategi pemerintah perlu disiapkan secara cermat dan profesional. Strategi pemecah kebuntuan oleh pemerintah pusat dalam hal mengentaskan kemiskinan dan pemerataan pembangunan. Mahasiswa sebagai bagian daripada msyarakat, memiliki fungsi dan peran yang sangat strategis dalam hal pemberdayaan masyarakat lokal dan pemerataan pembangunan. Yaitu tanggungjawabnya sebagai duta masyarakat untuk mentransformasikan pola pikirnya kepada daerah. Terkhusus mahasiswa yang tergabung dalam organisasi mahasiswa kedaerahan yang secara tujuannya mengfasilitasi peran mereka. Melihat kondisi mahasiswa yang memiliki jargon agent sosial of change (agen sosial perubahan) sampai hari ini masih menjadi pertanyaan bagi masyarakat luas. Suatu keharusan bagi mahasiswa untuk membantu menyelaraskan antara pemerintah dan masyarakat. Bersatu padu kearah pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing yang tinggi.


Tantangan sekaligus peluang di atas, maka diperlukan adanya penghidupan kembali peran dan fungsi organisasi mahasiswa kedaerahan guna membentuk mahasiswa daerah yang peduli terhadap pembangunan daerahnya secara cerdas, kreatif dan inovatif. Dengan hal tersebut, akan memunculkan kemandirian lokal yang mampu mengeluarkan dari keterpurukan ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat.


Hakikatnya fungsi mahasiswa sebagai bagian dari anggota masyarakat, secara langsung maupun tidak langsung memiliki beban amanah dan tanggungjawab moril kepada daerahnya. Selain memiliki tanggungjawab keluarga yang diutus untuk menuntut ilmu dalam rangka meningkatkan taraf hidup keluarganya dikemudian hari, menambah wawasn dan meningkatkan pola pikir. Namun mahasiswa memiliki tanggungjawab pasca kuliahnya dalam rentang waktu cepat atau lambat untuk kembali ke daerahnya dalam rangka membangun daerah baik dari segi sosial, budaya, ekonomi bahkan dalam rangka mentransformasikan nilai-nilai yang mampu mengembangkan pola pikir masyarakat. Bukan kembali ke daerahnya dalam rangka menjadi “sampah” yang tidak berguna bagi masyarakat. Mahasiswa yang telah meninggalkan kampung halamannya untuk menimba ilmu di perguruan tinggi sudah seharusnya sadar akan pemerataan pembangunan daerah dan penguatan budaya-budaya lokal tidak hanya menjadi tugas pemerintah dan rakyat saja. Melainkan mahasiswa-mahasiswa daerah juga memiliki tanggungjawab dalam hal menfasilitasi proses transformasi budaya dan teknologi di daerah. Namun, kesadaran mahasiswa daerah akan hal tersebut masihlah kurang dan belum sepenuhnya diketahui oleh mahasiswa daerah itu sendiri.


Ketika Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pemerintahan negeri ini, yang dikenal dengan Era Reformasi. Peristiwa besar yang menandai pergeseran kekuasaan otokrasi menjadi demokrasi ini, merupakan peristiwa yang dimotori oleh mahasiswa. Peristiwa Mei 1998, tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai era baru Indonenesia menuju Indonesia yang berdemokrasi, mahasiswa berada di garis depan, mendobrak tirani, walau dengan konsekwensi gugurnya beberapa mahasiswa saat peristiwa tersebut. Walau masih banyak yang harus kita lakukan pasca peristiwa itu, namun paling tidak, langkah maju telah dilakukan di negeri ini, dan itu dilakukan oleh mahasiswa. Peran sentral mahasiswa, yang akan dikaitkan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia, khususnya di daerahnya masing-masing, akan dibahas dalam paparan selanjutnya.

PERAN MAHASISWA: KILAS BALIK

Mahasiswa, merupakan bagian dari generasi muda, yang dapat dikategorikan “elit” generasi muda. Mahasiswa menjadi elit generasi muda, karena dalam sejarahnya, ia memegang peran penting dalam setiap perubahan yang diusung generasi muda, baik yang terjadi di penjuru dunia, maupun yang terjadi di Indonesia. Tidak terlalu berlebihan bila mahasiswa mendapatkan gelar sebagai agent of change, director of change, creative minority (elit minoritas), dan calon pemimpin masa depan.

Peran nyata ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa dunia, mahsiswa menjadi ujunng tombak dari perubahan negeri itu, baik secara evolusi, maupun dalam konteks radikal atau revolusioner. Peristiwa yang mengubah wakah Bangsa China berawal dari desakan mahasiswa yang berujung pada peristiwa di Lapangan Tianan Men, menggugurkan ratusan mahasiswa. Hasilnya yang kita lihat saat ini, adalah kemajuan China yang sangat signifikant, dan saat ini menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia, setelah melakukan berbagai perbaikan, baik dalam birokrasi maupun dalam bidang ekonomi.

Di Indonesia, sejarah Nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran mahasiswa. Mahasiswa, di Indonesia, telah menjadi pelopor kebangkitan Indonesia, atau “Nasionalisme Indonesia”. Tercatat paling tidak terjadi tiga gelombang Nasionalisme yang digerakkan oleh mahasiswa, atau dalam konteks lebih luas, dilakukan oleh pemuda. Nasionalisme Pertama, Kebangkitan Nasional 1908. Kebangkitan nasionalisme Indonesia diawali oleh Boedi Oetomo pada tahun 1908, dengan dimotori oleh mahasiswa kedokteran Stovia.

Nasionalisme Gelombang ke-2: Sumpah Pemuda 1928. Nasionalisme Gelombang ke-2 ini dimulai setelah selesainya Perang Dunia I, ketika tfilsafat nasionalisme mulai merambat ke Negara-negara jajahan melalui para mahasiswa Negara jajahan yang belajar ke negeri penjajah. Filsafat nasionalisme banyak mempengaruhi kaum terpelajar Indonesia, antaranya Soepomo. Ketika ia merumuskan konsep Negara integralistik, Soepomo banyak menyerap pikiran Hegel. Soepomo bahkan secara terang-terangan mengutip beberapa pemikiran Hegel tentang prinsip persatuan antara pimpinan dengan rakyat dan persatuan dalam Negara secara keseluruhan. Pengaruh filsafat nasionalisme ini juga dapat terlihat dari banyaknya lagu-lagu yang diciptakan dengan semangat nasionalisme, antaranya lagu Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Marauke dan Padamu Negeri.

Selain Soepomo, Hatta dan Sutan Syahrir juga sudah mulai aktif bediskusi tentang masa depan negerinya, ketika mereka masih berada di Eropa, atas beasiswa politic-etic--politik balas budi--penjajah Belanda. Merekalah nantinya yang banyak berkiprah di masa pra dan pasca kemerdekaan, dan banyak menentukan arah dan nasib bangsa Indonesia. Di dalam negeri, Soekarno yang sejak masa remaja, kuliah hingga selesai kuliah, terus aktif menyuarakan tuntutan kemerdekaan bagi negeri ini, lewat organisasi-organisasi yang tumbuh di awal Abad XX.

Perlu waktu dua puluh tahun setelah Kebangkitan Nasional, kesadaran untuk menyatukan Negara, bangsa dan bahasa ke dalam satu Negara berdaulat, Negara, Bangsa dan Bahasa Indonesia. Suasana ini telah disadari oleh para pemuda dan mahasiswa yang kala itu sudah mulai terkotak-kotak dalam organisasi kedaerahan seperti Iong Java, Jong Ambon, Jong Selebes, dan sebagainya. Kesadaran ini kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Sumpah Pemoeda di tahun 1928.

Nasionalisme Gelombang ke-3: Kemerdekaan 1945. Nasionalisme Gelombang ke-3 berlangsung dalam jarak yang lebih cepat, tujuh belas tahun, dari Nasionalisme Gelombang ke-2 tahun 1928. Peristiwa Nasionalisme Gelombang ke-3 ini, terlihat peran nyata mahasiswa yang menyandera Bung Karni dan Bung Hatta ke Rengas Dengklok, sebagai bentuk pemaksaan kepada kedua tokoh penting ini agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini kurang dari dua puluh tahun sejak Soempah Pemoeda dikumandangkan pada 1928.

Sejarah selanjutnya mencari alurnya sendiri ketika tokoh-tokoh pemimpin kala itu tidak sepakat dalam menentukan arah dari Republik ini. Kekuasaan Soekarno akhirnya runtuh ketika kekuasaan militer bersatu dengan mahasiswa dan masyarakat sipil, menyebabkan kejatuhan Soekarno. Kondisi ini semakin diperburuk dengan mundurnya Hatta sebagai Wakil Presiden dan kekuatan pendukung Soekarno semakin melemah dengan berbagai kebijakan yang tidak popular. Keputusannya untuk mengakomodir keberadaan Partai Komunis Indonesia, akhirnya menjatuhkan Soekarno dari tampuk kekuasaan.

Nasionalisme Gelombang ke-empat: Lahirnya Orde Baru 1966. Peristiwa huru hara yang disebabkan antara lain oleh Land Reform yang diprakarsai Partai Komunis Indonesia, membawa ketidaksenangan rakyat. Partai Komunis Indonesia berlandaskan ideologinya, berupaya melakukan kebijakan baru mengenai pertanahan di Indonesia yang dianggap dimiliki secara orang-perorang saja. Perlu ada regulasi untuk mengatur itu, dan mereka kemudian melakukan Land Reform. Gerakan mereka yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S PKI, sekaligus telah menyebabkan dua hal besar yang nantinya akan mengubah wajah Indonesia ke depan. Pertama, jatuhnya kekuasaan Soekarno dan digantikan oleh Soeharto. Kedua, PKI menjadi hal terlarang di Indonesia, baik partai, ideologi maupun untuk membicarakan Marxixme di sekolah-sekolah.


Nasionalisme Gelombang ke-lima: Lahirnya Orde Reformasi 1998. Butuh waktu lebih dari dua puluh tahun atau satu setengah kali siklus dua puluh tahunan bagi pemuda dan mahasiswa untuk melakukan perubahan atas kekuasaan fasisme Soeharto untuk bangkit untuk menentukan arah bangsanya. Ketatnya penjagaan kekuasaan Soeharto di bawah laras senjata, mengakibatkan denyut perubahan hampir terhenti. Kekuatan yang memasuki seluruh sendi kehidupan ini, dalam sejarahnya, hanya mampu didobrak oleh mahasiswa. Di bawah laras senapan, gelombang mahasiswa berdemonstrasi, menuntuk Soeharto mundur dari jabatannya. Gelombang kekuatan mahasiswa akhirnya mampu merobah wajah negeri ini. Soeharto, dengan repsesi berbagai kalangan yang muncul akibat desakan mahasiswa, akhirnya mundur dan meletakkan jabatan, setelah berkuasa sejak 1966!

Babak baru Indonesia akhirnya datang juga, walau saat ini kita perlu mempertanyakan kembali, karena “semangat Reformasi” dipandang tidak sesuai dengan kondisi yang tercipta saat ini. Hal yang dipandang tidak sejalan dengan “semangat Reformasi” antara lain adalah tingkat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang semakin tinggi di negeri ini. Karena, jika dahulu KKN hanya dilakukan di tingkat pusat oleh Soeharto dan kroni-kroninya, maka saat ini, KKN dilakukan secara hampir merata, dari pusat hingga daerah. Otonomi Daerah sebagai bagian dari semangat reformasi, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tingkat korupsi juga semakin menjadi-jadi. Hampir seluruh elemen birokrasi di negeri ini juga mengambil kesempatan, atas nama kemandirian dan Otonomi Daerah.

Namun, walau dengan berbagai “kekecewaan” dari perjuangan mahasiswa pada tahun 1998, satu hal yang pasti, bangsa ini sudah berproses. Untuk menjadi dewasa, menjadi lebih baik, perlu ada proses dan tumbuh dewasa. Ketika bangsa ini telah mampu menilai pemimpin dan menilai mana yang baik dan mana yang buruk, ada harapan untuk bangsa ini ke depan lebih dewasa, mature dan kedewasaan menjadikan bangsa ini mampu memilah mana yang baik dan yang tidak, apa yang sebaiknya dilakukan untuk bangsa ini.

Nasionalisme Gelombang ke-enam: kapan? Melihat sejarah dua puluh tahunan, diperlukan sepuluh tahun lagi menunggu moment bagi mahasiswa mengadakan perubahan. Begitu banyak keluhan bangsa ini terhadap pemimpinnya. Mulai dari bagaimana mengatasi krisis pangan, mengatasi bencana alam, kemiskinan, kesehatan, hingga regulasi pemerintah tentang kebijakan Luar Negeri. Saat ini, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum dapat menyelesaikan persoalan bangsa ini secara memadai. Melihat kondisi ini, akankah Naionalisme Gelombang ke-enam akan lebih cepat? Jawabannya ada pada Rakyat Indonesia, terutama di tangan mahasiswa sebagai the fron off, kelompok masyarakat yang selalu berada di depan bagi pelopor perbaikan negeri ini.

SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA

Sumber daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan (www.wikipedia.com). Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk sumber daya yang dapat berubah. Perubahan Sumber Daya Manusia dikategorikan sumber daya yang dapat berubah, karena Sumber Daya Manusia merupakan sumber daya yang sangat dinamis. Kemampuan seseorang dapat berubah, meningkat, atau juga mungkin stagnan dan menurun, tergantung bagaimana manusia tersebut mengelolanya. Apakah mau mengembangkan, stagnan, atau juga dapat menurun, dalam arti tidak ada perkembangan menurut ukuran perkembangan kemampuan dan kapabilitas seseorang.

Secara menyeluruh, kualitas sumber daya manusia Indonesia semakin baik. Setidaknya itu tecermin pada laporan World Economic Forum (WEF) yang dirilis Rabu (13/9). Dalam laporan berjudul Global Human Capital Report 2017, yang mengkaji kualitas SDM di 130 negara berdasarkan sejumlah indikator yang dipakai, Indonesia berada di urutan ke-65, naik tujuh peringkat jika dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, secara rata-rata kualitas SDM kita masih berada di bawah negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (11), Malaysia (33), Thailand (40), dan Filipina (50). Laporan itu memotret seberapa berkualitas SDM di tiap-tiap golongan umur lewat empat elemen indikator human capital, yakni capacity (kemampuan pekerja berdasarkan melek huruf dan edukasi), deployment (tingkat partisipasi pekerja dan tingkat pengangguran), development (tingkat dan partisipasi pendidikan), dan know-how (tingkat pengetahuan dan kemampuan pekerja serta ketersedia­an sumber daya) di tiap negara.


Berdasarkan indikator capacity, Indonesia berada di peringkat ke-64 dengan nilai 69,7. Nilai itu didasarkan pada tingkat buta huruf dan kemampuan berhitung yang telah mencapai nilai 99,7 di golongan umur 15-24 tahun. Hal yang juga menggembirakan dalam hal development. Menurut lapor­an itu, inilah indikator yang paling baik untuk Indonesia. Berdasarkan kategori itu, kondisi pendidikan di Indonesia mendapatkan skor 67,2 dan menempati peringkat ke-53 dunia. WEF menilai Indonesia mampu membuat partisipasi pendidikan dasar mencapai nilai 92,9. Namun, berdasarkan indikator deployment yang didasari nilai-nilai penyerapan sumber daya manusia dan tingkat pengangguran di berbagai jenjang umur, potret Indonesia sedikit buram. Berdasarkan kategori itu, posisi Indonesia berada di peringkat ke-82 dunia dengan skor 61,6. Angka itu menunjukkan jumlah tenaga kerja masih banyak yang belum terserap. Bahkan, di golongan umur paling produktif, 25-54 tahun, Indonesia masih berada di peringkat ke-99 dunia dengan angka partisipasi sebesar 77,9.


Saat ini sumber daya manusia (SDM) menjadi semakin penting, berkat perubahan paradigma faktor utama produksi yang tidak lagi di dominasi oleh produk fisik dan berubah menjadi produk-produk kreatifitas manusia. Pendidikan menjadi semakin krusial dan lapangan kerja semakin kompetitif. World Economic Forum (WEF) melansir laporan Global Human Capital Report 2017 yang mengkaji kualitas sumber daya manusia di 130 negara. Dalam laporan tersebut tercantum seberapa berkualitas tiap-tiap golongan umur lewat empat elemen indikator human capital, yakni capacity (kapasitas kemampuan pekerja berdasarkan melek huruf dan edukasi), deployment (tingkat partisipasi pekerja dan tingkat pengangguran), development (tingkat pendidikan dan partisipasi pendidikan), dan know-how (tingkat pengetahuan dan kemampuan pekerja serta ketersediaan sumber daya).


Berdasarkan empat indikator tersebut WEF kemudian melakukan pemeringkatan untuk mencari negara-negara mana yang telah berhasil membangun sumber daya manusianya dengan baik. Indonesia dalam daftar tersebut menempati peringkat 65 dari 130 negara. Ini artinya Indonesia berada di tengah-tengah peringkat dunia. Namun meski berada tepat di tengah, penilaian Indonesia dianggap masih berada di atas rata-rata dunia. Peringkat tersebut diraih Indonesia berdasarkan capacity yang berada di peringkat 64 dengan nilai 69,7. Nilai ini didasarkan pada tingkat buta huruf dan kemampuan berhitung yang telah mencapai nilai 99,7 di golongan umur 15-24 tahun. Hal ini kurang lebih sesuai dengan klaim pemerintah yang beberapa waktu lalu melansir bahwa Indonesia hampir 100% bebas buta huruf.


Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa buta aksara di Tanah Air tersisa 3,4 juta orang. Angka ini tampaknya juga terlihat dalam kajian WEF yang menjelaskan bahwa kesadaran literasi dan kemampuan berhitung di kisaran umur 55-65+ masih kurang dari 90%. Indikator selanjutnya yang menentukan adalah deployment. WEF menilai Indonesia berada pada peringkat 82 dunia dengan skor 61,6. Nilai ini didasarkan pada nilai-nilai penyerapan sumber daya manusia dan tingkat pengangguran di berbagai jenjang umur cukup tinggi. Bahkan di golongan umur paling produktif, 25-54 tahun, Indonesia masih berada di peringkat 99 dunia dengan angka partisipasi mendapat nilai sebesar 77,9. Di peringkat ini negara Burundi menempati peringkat pertama.


Dalam hal development, indikator ini menjadi indikator terbaik menurut WEF untuk Indonesia. Kondisi pendidikan di Indonesia mendapatkan skor 67,2 dan menempati peringkat 53 dunia. WEF menilai bahwa Indonesia telah mampu membuat partisipasi pendidikan dasar mencapai nilai 92,9. Namun penilaian lain dalam hal kualitas pendidikan dasar, Indonesia mendapat nilai cukup rendah, dengan skor 54,8. Dalam peringkat ini Finlandia menempati peringkat pertama sebagai negara terbaik. Indikator terakhir know-how, dalam penilaian pos ini Indonesia mendapat nilai 50,2 dengan peringkat 80. Penilaian ini berdasarkan tingkat penyerapan sumber daya manusia berkemampuan tinggi yang mendapatkan nilai 9,9. Sementara Indonesia mayoritas telah mampu menyerap sumber daya manusia kemampuan menengah. Peringkat pertama di indikator ini adalah negara Swiss.


WEF dalam kesimpulannya, menemukan bahwa dalam indeks ini rata-rata negara-negara di dunia ternyata hanya menggunakan 62% potensi dari sumber daya manusianya. Dengan kata lain sebesar 38% potensi telah terabaikan atau sia-sia. Dengan hanya terdapat 25 negara saja yang telah memanfaatkan potensi sumber daya manusia hingga angka 70%. Sementara tiga Negara terbaik yang telah mampu memaksimalkan potensi human capital pada tahun 2017 ini adalah Norwegia, Finlandia dan Swiss. Negara-negara tersebut dinilai merupakan negara yang memiliki komitmen besar terhadap pendidikan dan intensif mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di berbagai sektor. Sehingga tidak heran jika negara-negara tersebut menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi tinggi.Di Asia Timur dan Pasifik, WEF mencatat bahwa Singapura (peringkat 11) menjadi negara yang terbaik disusul dengan Jepang (peringkat 17) dan Korea Selatan (peringkat 27). Ketiganya merupakan negara di Asia Timur yang memiliki komitmen terhadap peningkatan potensi manusia lewat pendidikan.


Founder dan Executive Chairman WEF, Klaus Schwab menjelaskan bahwa laporan ini merupakan upaya untuk memberikan sebuah alat ukur bagi para pemimpin negara agar bisa memberikan kebijakan yang baik. Tujuannya adalah agar semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya dalam era revolusi industri keempat. Sehingga mampu untuk membuka kesempatan di zaman emas perkembangan dan potensi umat manusia. Kualitas sumber daya manusia dalam pandangan WEF tidak hanya penting bagi produktifitas bagi masyarakat tetapi juga memiliki fungsi dalam institusi politik, sosial dan sipil. Sehingga memahami kualitas sumber daya manusia dan kapasitasnya menjadi sesuatu yang penting bagi pemerintah, pelaku bisnis dan pelaku pendidikan sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) dalam melakukan investasi dan pengembangan.


Dasar kebijakan


Seperti dikutip situs WEF, founder dan executive chairman lembaga itu, Klaus Schwab, menjelaskan laporan tersebut merupakan upaya untuk memberikan sebuah alat ukur bagi para pemimpin negara dalam membuat kebijakan pembangunan. Tujuannya agar semua orang mendapatkan kesempatan sama mengembangkan kemampuan mereka dalam era revolusi industri keempat. Pemerintah telah beberapa kali menekankan pentingnya menyiapkan SDM berkualitas. Di era revolusi industri keempat, penerapan teknologi selalu berkaitan dengan isu penyerapan tenaga kerja dan itu dialami semua negara. Karena itu, Indonesia perlu mendongkrak kualitas SDM serta meningkatkan inovasi melalui riset.

Pembangunan Daerah dan SDM


Otonomi daerah (Otda) sejatinya merupakan sarana percepatan pemerataan mulai dari pembangunan hingga kesejahteraan masyarakat daerah. Yang patut disayangkan Sejak daerah otonomi baru diberlakukan sejak tahun 1999, tak semua daerah pemekaran dapat mandiri, dan memacu kreatifitas dan inovasi daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kehadiran otda itu memberi ruang terhadap keberagaman, sehingga pemerintah daerah bersama masyarakatnya dapat mengambil keputusan terbaik bagi daerahnya. Ada perubahan mendasar yang ditandai pelimpahan wewenang kepada pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota. Inovasi, dari sisi kebijakan desentralisasi itu, dipercayakan kepada daerah. Sehingga kuncinya itu pada pemimpinnya. Hal ini tentunya mengindikasikan perlunya sumber daya manusia (SDM) di daerah yang mumpuni agar harapan percepatan pembangunan daerah itu tercapai. Ketidaksiapan SDM sedikit banyak dapat membahayakan manajemen pemerintahan dan pembangunan. Jadi, meski banyak anggaran yang didrop ke daerah hal itu tak maksimal karena kapabilitas kemampuan SDM di daerah masih kurang.


Masyarakat suatu daerah haruslah mampu memiliki kualitas SDM yang tinggi.Kualitas Sumber Daya Manusia adalah mutu potensi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi dan budaya untuk peroses peningkatan kemajuan suatu daerah. Kinerja pemarintah dan masyarakat mempunyai pengaruh yang besar bagi terselengaranya kehidupan masyarakat yang mempunyai SDM yang tinggi. Sampai saat ini kinerja pemerintah daerah masih memperihatinkan, walaupun sudah bayak hal yang dilakukan untuk meningkatkan SDM di daerah, tetapi banyak mengalami benturan dan tidak membumi.Upaya yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama melalui pendekatan etika dan moral yang melibatkan peran agama dalam masyarakat.Dan juga kita harus bisa mengkontekstualisasikan pembinaan SDM melalui pendekatan budaya setempat atau budaya local yang ada di masing masing daerah.

Faktor Penghambat SDM di Daerah

Faktor-faktor penghambat dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia di daerah, antaranya:

Pertama, minimnya perhatian pemerintah daerah. Beberapa hal yang kami anggap penting dan belum mendapatkan perhatian pemerintah daerah secara maksimal, antara lain adalah: (1) Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembinaan dan pengembangan masyarakat, khususnya dalam bidang unggulan sebagai mata pencaharian utama masyarakat dan (2) minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.

Dua hal di atas, menyebabkan laju pertumbuhan pembangunan di di beberapa daerah tidak sesuai harapan yang kita inginkan. Hingga saat ini, pemerintah daerah belum secara aktif mengembangkan potensi pengelolaan SDA untuk memasuki era industry ke-4. Bidang Pertanian, perkebunan dan perikanan sebagai mata pencaharian utama masyarakat, hingga saat ini masih berjalan sendiri, dilakukan secara manual, dan tidak diarahkan oleh pemerintah sebagai sumber yang harus dikelola untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Kedua, sarana transportasi masih menjadi kendala utama, akses menunju dan dari “kota” ke wilayah kepulauan. Minimnya sarana transportasi publik yang mampu menjangkau seluruh pulau di daerah tersebut. Sarana transportasi hanya disediakan oleh masyarakat dalam kapasitas terbatas. Dan, kondisi itu, walau saat ini sudah semakin membaik, namun konsep “laut sebagai penghubung pulau-pulau” hingga saat ini belum memadai dikelola dan diupayakan sebagai salah satu sumber daya. Kondisi ini menjadi salah satu kendala utama dalam upaya meningkatkan Sumber Daya Manusia. Transportasi untuk menghubungkan wilayah daratan dan pulau-pulau hingga saat ini tidak memadai. Kondisi ini, dengan sendirinya mengakibatkan mobilitas barang dan jasa, termasuk mobolitas manusia menjadi terbatas

Ketiga, faktor budaya. Faktor budaya yang menjadi penghambat bagi kemajuan suautu daerah, adalah budaya paternalistik, cepat berpuas diri, dan pendeknya life sicle dalam masyarakat. Budaya paternalistik yang masih kuat dalam masyararakat, menyababkan rendahnya tingkat pendidikan perempuan (walaupun ini terjadi juga dalam skala nasional) yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi wanita dalam pembangunan. Kebanyakan masyarakat di Sulawesi Tengah sangat mengutamakan kepentingan laki-laki dalam rumah tangga, termasuk mengutamakan anak laki-laki untuk dapat melanjutkan studi, dan hak anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, biasanya terabaikan.

Rendahnya akses pendidikan terhadap anak perempuan, menyebabkan kurangnya akses perempuan ke ruang publik. Muaranya adalah, rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan. Yang harus diingat, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki. Ini berarti, jika kita sebagai generasi muda melanggengkan tradisi ini, akan berimplikasi semakin memperlambat lajunya tingkat pembangunan, memperberat beban keluarga karena berada di pundak laki-laki, dan sekaligus melanggar Hak Azasi Manusia karena tidak memberikan hak pendidikan yang sama kepada laki-laki dan perempuan.

Keempat, rendahnya etos kerja. Ethos atau world view atau pandangan dunia, adalah sesuatu yang muncul dari dalam jiwa, bagaimana seseorang atau suatu kelompok memandang dunia. Secara menyeluruh, ethos kerja masyarakat di daerah masih rendah, sehingga dari waktu ke waktu, tidak banyak berubah.

Kehadiran mahasiswa kembali diharapkan, untuk secara personal, dari rumahnya masing-masing, dapat melakukan perubahan. Masyarakat yang dahulunya menjadi petani tradisional atau nelayan tradisional, diharapkan--melalui mahasiswa--mendapat informasi baru, mendapat semangat baru, untuk dapat mengolah sumber daya alam dengan menyelaraskan dengan prisnip-prinsip pertanian dan pasar modern. Masyarakat kebanyakan masih memahami konsep “takdir” sebagai sesuatu yang given, semestinya dirobah. Bahwa takdir bukanlah sesuatu yang given, sesuatu yang tidak dapat berobah, yang ditentukan dari Atas, tanpa ada campur tangan dari manusia. Tapi, takdir dipahami sebagai sesuatu yang dapat berobah, dengan keinginan dan kemauan dari manusia untuk merobahnya. Bahwa innllah laa yughayyiru maa biqaumin hatta yughayyiru maa bianfusihim. Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib siatu kaum, sampai kaum itu merobahnya sendiri.

Di sini, diharapkan peran kita untuk menanamkan pemahaman baru di kalangan masyarakat, bahwa takdir dapat berobah dengan kemauan dan kerja keras kita. Karena, pada dasarnya, sebuah perubahan besar, biasanya dimulai dari skala yang kecil. Sekali lagi, peran mahasiswa, dibutuhkan untuk sebuah perubahan yang lebih besar. Faktor Pendukung

Beberapa faktor pendukung bagi peningkatan Sumber Daya Manusia, adalah:

Pertama, Otonomi Daerah. Satu hal yang menjadi dampak positif dari Otonomi Daerah adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia pada masing-masing daerah yang diberi otonomi. Hal ini dikarenakan, pemerintah daerah lebih fokus dalam upaya memajukan daerah masing-masing. Pemerintah daerah, berupaya memajukan daerah melalui peningkatan Sumber Daya Manusia, baik melalui pendidikan maupun peningkatan keterampilan, sebagai upaya mengupayakan percepatan pembangunan di daerah masing-masing.

Kedua, transportasi publik yang mulai “lumayan”. Beberapa tahun terakhir, terdapat “kesadaran” pemerintah untuk memperbaiki transportasi publik di daerah-daerah pelosok. Beberapa daerah telah mendapatkan layanan Kapal Pelni yang menyinggahi rute-rute yang selama ini terisolir. Kehadiran transportasi publik sebetulnya sangat urgen, selain mobilitas masyarakat menjadi lancar, arus barang, jasa dan juga pengetahuan dan keterampilan juga akan semakin bertambah. Dari sisi ekonomi, beberapa hasil pertanian dan perikanan masyarakat yang dahulu dianggap tidak bernilai ekonomis karena hasil melimpah dibandingkan dengan pengguna, menyebabkan hasil daerah tersebut tidak bernilai ekonomis. Dengan kehadiran Kapal Pelni ini, dengan sendirinya masyarakat mendapatkan “pangsa pasar baru”, walau masih terbatas. Selain ini, di beberapa daerah, penerbangan sudah mulai lancar, walau transportasi publik di bidang penerbangan, tidak seluruhnya disiapkan pemerintah. Untuk menghubungkan beberapa daerah, sebetulnya pemerintah masih harus menyediakan transportasi publik yang lebih memadai, untuk dapat mempercepat peningkatan pembangunan dan ekonomi di daerah

Ketiga, interaksi dengan dunia luar yang semakin intens. Interaksi masyarakat dengan dunia luar juga saat ini semakin intens disebabkan oleh beberapa factor pendukung, antanya: (1) jaringan listrik yang sudah masuk di beberapa wilayah di daerah pelosok; (2) masuknya jaringan televisi di daerah-daerah; (3) perbaikan transportasi publik; (4) kembalinya mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ke daerah masing-masing.


Empat komponen di atas adalah komponen penting yang menjadikan interaksi masyarakat dengan dunia luar. Jaringan listrik yang masuk ke desa-desa, secara tidak langsung telah membuka akses masyarakat, walau secara tidak langsung, melihat dan berinteraksi dengan dunia di luar mereka. Walau ada beberapa ekses negative yang ditimbulkan oleh kehadiran televisi di ruang privat masyarakat, namun dalam konteks positif, kehadiran televisi telah menjadi salah satu jembatan masyarakat mengenal dunia luar.

Selain itu, perbaikan transportasi publik telah menyebabkan mobilitas barang dan jasa yang semakin lancar. Dahulu, kota Jakarta terdengar sangat asing dan mewah, namun saat ini, dengan transportasi publik yang semakin membaik, jalan-jalan atau menimba ilmu di Ibu Kota bukan sesuatu yang hanya menjadi mimpi. Kehadiran mahasiswa yang kembali ke daerahnya masing-masing, merupakan arus utama lainnya sebagai media percepatan interaksi masyarakat dengan dunia luar. Mahasiswa yang kembali ke daerahnya masing-masing, tidak hanya membawa informasi, ilmu pengetahuan dan juga pemikiran-pemikiran baru untuk dirinya sendiri, tapi dalam skala kecil, kehadiran mahasiswa juga telah membawa paradigma baru dalam mind set keluarganya, dan juga tentunya bagi daerahnya.

Keempat, meningkatnya semangat memperoleh pendidikan di kalangan generasi muda. Hal ini terkait dengan berdirinya sekolah-sekolah di daerah pelosok, baik SMP maupun SMA yang disiapkan pemerintah. Tentunya, kita juga perlu memberikan apresiasi kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang telah menyiapkan fasilitas pendidikan bagi putra-putri daerahnya.

POSISI SENTRAL MAHASISWA DALAM MENINGKATKAN KUALITAS MASYARAKAT

Posisi sentral mahasiswa dalam meningkatkan kulitas sumber daya manusia, dapat dilihat dalam beberapa kategori utama:

Petama, posisi mahasiswa sebagai trend setter. Rata-rata mahasiswa, merupakan trend setter bagi kalangan pemuda di lingkungannya, terutama bila mahasiswa tersebut berasal dari daerah tertentu. Bila mereka berasal dari “kampung” tertentu, mereka adalah “manusia pilihan”: di antara sekian, puluhan atau bahkan ratusan generasi muda yang memiliki kesempatan langka, untuk dapat memosisikan diri dan dapat disebut “mahasiswa”. Dapat berposisi sebagai mahasiswa, sudah nerupakan sesiatu yang mungkin untuk sebagian kalangan pemuda di daerahnya, adalah sebuah “mimpi” yang tidak pernah diraih dalam kehidupan nyata.

Banyak informasi, pengetahuan dan pengalaman baru, terutama bagi mereka yang keluar menempuh studi di luar daerahnya, yang dapat diinformasikan kepada masyarakat, atau kalangan pemuda lainnya. Bukan hanya informasi baru yang mereka bawa ke daerah masing-masing, tetapi “gaya” baru: rambut baru, model pakaian dan juga yang paling penting, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang meraka timba dari universitas dan kota yang mereka diami untuk beberapa saat, yang ditransformsikan kepada masyarakatnya. Karena menjadi trend setter di daerahnya masing-masing, maka kehadiran mereka akan menjadi pusat perhatian, baik teman sebaya mereka, maupun masyarakat di wilayahnya sendiri.

Kedua, posisi mahasiswa sebagai agent of change. Secara umum, sudah menjadi kesepakatan, bahwa mahasiswa merupakan agent of change atau orang yang menjadi pelopor perubahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam setiap gelombang Nasionalisme di Indonesia, mahasiswa selalu menjadi pelopor utama dari perubahan tersebut. Jika dalam skala nasional mahasiswa sangat berperan dalam perubahan tersebut, maka secara perorangan maupun kelompok, mahasiswa diharapkan menjadi agent of change dalam masyarakatnya sendiri. Secara personal, mahasiswa dapat secara aktif menelaah, memahami kondisi masyarakat, dan memberikan saran-saran perubahan, atau secara bersama dengan kelompok pemuda dan aparat desa, merumuskan masalah masyarakat, dan memberikan jalan keluarnya. Karena, sesungguhnya banyak di antara masyarakat yang tidak tahu meraka bermasalah. Yang mengetahui bahwa mereka bermasalah adalah orang yang paham, bahwa itu masalah. Mahasiswa yang memahami masyarakatnya yang “bermasalah”, dapat merumuskan langkah-langkah untuk memberi penyadaran kepada masyarakat. Posisi ini akan lebih baik, ketika mahasiswa mendapat posisi strategis dalam masyarakat. Bukan hanya sebagai birokrat, tetapi juga ia dapat melakukan perubahan melalui aktivitasnya mungkin sebagai dosen atau guru, sebagai wartawan, sebagai anggota legislative, sebagai aktivis LSM, arau menjadi penggerak pembangunan independent dalam masyarakatnya.

Ketiga, peran mahasiswa sebagai gate keepers bagi kelompoknya. Setiap mahasiswa yang berasal dari daerah (khususnya yang berasal dari pulau-pulau dan daerah terpencil), berpotensi untuk menjadi gate keepers atau penjaga gerbang bagi masyarakatnya. Untuk menjadi gate keepers, biasanya seseorang memiliki lebih banyak informasi dibanding dengan masyarakat di daerah tersebut. Olehnya itu, biasanya mahasiswa menjadi tempat bertanya, baik dari kalangan pemuda sesamanya maupun keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Peran sebagai gate keepers, dapat digunakan mahasiswa yang bersangkutan untuk dapat memasukkan ide-ide baru yang dianggap menguntungkan bila diterapkan dalam masyarakatnya. Ide-ide tersebut berasal dari pengalamannya selama menjelajah negeri yang tidak pernah dilihat oleh masyarakat di daerahnya, ilmu pengetahuan yang ditimbanya selama belajar di Perguruan Tinggi, serta keterampilan yang dimilikinya. Seorang gate keepers pada dasarnya adalah orang yang dianggap memiliki ilmu pengetahuan dan informasi yang “lebih” dibandingkan dengan rata-rata masyarakat lainnya. Peran gate keepers atau pemuka pendapat, pada masyarakat tradisional biasanya adalah kepala suku, dokter, atau guru; orang yang terpandang dalam masyarakat. Saat ini, mahasiswa menempatkan diri juga sebagai gate keepers, karena ilmu yang dimilikinya dan kemampuannya dalam menempatkan diri dalam masyarakatnya.

Diharapkan, baik sebagai individu maupun kelompok, mahasiswa yang menjadi harapan keluarga, harapan daerahnya, dapat memenuhi harapan keluarga dan masyarakatnya, dan dapat menempatkan diri sebagai gate keepers. Seseorang yang mampu menyaring, meneruskan dan mentransformasikan informasi yang dibutuhkan masyarakatnya. PENUTUP Mahasiswa merupakan elemen penting dalam masyarakat. Kehardirannya sebagai agent of change telah teruji dalam perjalanan sejarah. Namun, yang pasti, mahasiswa adalah agent of change, atau gate keepers bagi masyarakat dari mana ia berasal. Untuk disadari, bahwa masa depan bangsa ini, kebanggaan bangsa ini, maju mundurnya bangsa ini, ada di tangan mahasiswa, di tangan anda semua.


Simak video berikut : Sumber Daya Alam vs Sumber Daya Manusia

Pahami keadaan sumber daya di Indonesia dan manfaatkan dengan baik sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih potensial.


Simak video berikut : Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia melalui Human Performance Technology



Simak video berikut :

2,410 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page