Mahasiswa yang berorientasi kerja setelah lulus atau menjadi sarjana harus lebih fokus pada keahlian atau keterampilan (Hard skills dan soft skills) ketimbang Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). Pasalnya, kini dunia kerja khususnya perusahaan dan industri tidak lagi melihat besaran IPK, melainkan kompetensi atau keahlian.
Saat ini ketika seseorang lulus atau menjadi sarjana, maka selain ijazah dan transkrip nilai ia juga harus punya surat keterangan pendamping ijazah atau SKPI yang setara dengan sertifikat pengalaman apa yang dimiliki. Baik di masyarakat sosial, organisasi, komunitas, atau perusahaan, sertifikat ini akan jadi nilai jual.
Jadi melamar pekerjaan dilihat itu, keterampilan si pelamar kerja itu seperti apa, surat keterangan pendamping ijazah itu seperti apa. Bahkan sebagai ketua atau pengurus kemahasiswaan dan orgaisasi sosial kemasyarakatan pun juga dilihat.
Berdasarakan temuan platform persiapan karier Rencanamu, setidaknya ada tujuh sektor industri yang sedang berkembang saat ini, yakni Digital Komputer Informatika, Keuangan Perbankan, Media Periklanan, Transportasi Distribusi Logistik, Seni Desain, Arsitektur Konstruksi dan Perhotelan Pariwisata Event.
Data ini didapat berdasarkan Riset Kuantitatif, data sekunder serta survei terhadap praktisi industri. Dari 1,6 juta siswa dan mahasiswa yang di data ditemukan juga lulusan baru dirasa tidak mempunyai skills dan kompetensi sesuai seperti yang dibutuhkan saat ini. Meski demikian, IPK tetap penting sehingga jangan sampai di bawa 3.0.
Laman Qerja.com mencatat, di dunia korporat, masih banyak yang menuntut calon pegawainya memiliki IPK minimal di atas 3.00, bahkan di atas 3.50. Bagi mereka yang kompeten, namun karena alasan tertentu tidak memiliki IPK tinggi, hal ini mungkin terasa agak elitis dan kurang adil.
Nilai IPK adalah salah satu penilaian awal terhadap kompetensi teknis yang dimiliki calon pelamar kerja sebelum di maju seleksi penerimaan kerja. Nilai IPK yang tinggi diasumsikan menandakan seorang lulusan perguruan tinggi sukses memahami teori dan aplikasi jurusan bidang keilmuannya dengan baik. Untuk sejumlah posisi pekerjaan yang mengutamakan keahlian secara spesifik, hal ini bisa dibilang cukup penting.
Lowongan pekerjaan khsusnya perusahaan terkemuka di bidang konsultasi, keuangan, dan teknologi paling sering ditemukan mencantumkan IPK di atas rata-rata sebagai salah satu persyaratan utama. Kesemuanya merupakan perusahaan dan industri yang cukup kompetitif dan selalu menarik minat kaum profesional. Mereka selalu dibanjiri lamaran kerja sehingga nilai IPK tinggi ini pun dijadikan saringan awal agar hanya kandidat yang benar-benar berkualitas bisa maju ke tahap wawancara.
Namun, IPK Tinggi Pun Bisa Kalah Saing bahkan bisa kalah saing dengan kandidat lainnya yang punya IPK rata-rata. Penyebabnya karena ada beberapa kesalahan yang dilakukan fresh graduate sehingga sulit mendapatkan pekerjaan.
Tak hanya modal IPK tinggi, di tengah ketatnya persaingan kerja, ada penilaian lain yang membuat Fresh Graduate pintar yg memiliki IPK Tinggi bisa tersaingi oleh kandidat lain sangat mungkin terjadi.
Alasannya bukan karena kompetensi, melainkan akibat sejumlah kesalahan.
Melansir Rencanamu.id, berikut sejumlah kesalahan yang bisa membuat Fresh Graduate sulit mendapatkan pekerjaan.
1. Pasang standar gaji terlalu tinggi
Umumnya, hampir semua perusahaan menetapkan gaji yang sama untuk fresh graduate, tanpa pandang IPK atau prestasi di kampus. Kalau pelamar memasang standar gaji yang lebih tinggi dan memilih tidak mau bernegosiasi hanya karena nilai IPK tinggi, kemungkinan akan lebih sulit diterima bekerja. Menetapkan gaji di atas rata-rata bisa membuat kamu kalah saing dengan kandidat dengan IPK yang tak jauh beda namun bersedia negosiasi.
2. Pengalaman magang kurang berkesan
Selama mengikuti magang mungkin Fresh Graduate akan diminta scan dokumen, atau diminta mendokumentasikan kegiatan perusahaan. Walau terkesan "sepele", namun pengalaman magang adalah pintu gerbang untuk mendapat pekerjaan. Bisa jadi, pekerjaan "sepele" tersebut adalah cara perusahaan menilai komitmen anda terhadap suatu pekerjaan yang diberikan, apapun jenisnya.
Kalau saat magang anda sudah menolak pekerjaan yang kamu anggap terlalu “sepele” dan memberi kesan buruk, bisa jadi perusahaan tak akan memberi rekomendasi baik. Sebaliknya, jika kamu cekatan saat magang, perusahaan tak akan segan menawarkan posisi lowong saat anda lulus nanti.
3. Tidak mampu bekerja sama
Mungkin saja anda tipe yang sangat hebat dalam mengerjakan tugas kampus, tetapi bila menyangkut pekerjaan kantor, anda tak bisa "one man show" alias bekerja sendirian. Biasanya kemampuan bekerja sama ini akan dinilai melalui sesi interview dan psikotes. Orang yang tak bisa diajak bekerja sama umumnya rentan timbulkan konflik, sehingga berpotensi ditolak oleh perusahaan.
4. Komunikasi buruk
Kemampuan berkomunikasi salah satu poin merupajuga bisa dinilai pada saat wawancara kerja atau psikotes. Walaupun pintar dengan sederet sertifikat, tapi kemampuan komunikasinya buruk, seperti kata-kata yang tidak "disaring" saat menanggai, suka memaksakan pendapat, dan lebih senang berdebat bahkan bertengkar ketimbang menerima pendapat yang tak sejalan bisa membuat performa dinilai minus.
5. Jejak Rekam Digital (Perilaku di media sosial)
Tak kalah penting, di era digital pihak HRD perusahaan kerap mengecek media sosial milik calon karyawan. Media sosial sebagai salah satu rujukan untuk menilai karakter calon karyawan, perusahaan melihat bagaimana sikap asli kamu dalam bersosialisasi.
Banyak perusahaan yang enggan menerima karyawan yang kerap mengujar kebencian, SARA, maupun berkata kasar di media sosial. Sebab, perilaku ini bisa saja terjadi di dunia nyata dan menyebabkan konflik di tempat kerja.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat!
Comments