Contek bin Plagiat : Teror Pendidikan
- LSP3I
- Jan 15, 2019
- 19 min read

P E N D A H U L U A N
A. Budaya Contek bin Plagiat, Salah Siapa ?
Banyak yang bilang, kalau nyontek ltu haram, nyontek itu hanya orang malas, nyontek itu bikin orang jadi bodoh. Tapi juga tidak sedikit yang bilang bahwa nyontek itu sudah menjadi hal biasa, apa lagi waktu mengerjakan ujian, maka hukumnya harus dan apabila tidak nyontek maka tidak dijamin lulus, bahkan ada yang bilang bahwa nyontek itu adalah suatu budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan.
Sebelum kita menetapkan hukum sebuah “percontekan” tersebut. Kita harus mengetahui dahulu apa sih nyontek itu? Apa penyebabnya dan mengapa nyontek menjadi suatu budaya yang kuat di dunia pendidikan kita dan siapa saja pelakunya? Dan bagaimana cara menanggulanginya?
Nyontek bin plagiat sering kali dipahami dan merupakan sikap pecundang yang menginginkan hasil optimal tanpa harus bersusah payah. Biasanya, nyontek dan plagiat dilakukan oleh para pelajar, mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas maupun soal ujian, dan yang bersangkutan tidak mempersiapkan penguasaan bahan atau materi pelajaran yang memadai dengan berbagai alasan.
Mereka menyontek yang dianggap lebih pintar atau mengerjakan tugas atau soal dengan jawaban yang dilihatnya dari catatan yang sudah dipersiapakan. Catatan ini bisa berupa apa saja, buku-buku, atau catatan kecil lainnya. Makanya, ada juga istilah yang cukup beken ‘kelihaian menentukan prestasi’. Penyebabnya kebanyakan adalah ingin berhasil tanpa usaha yang melelahkan, malu tidak disebut berprestasi, bahan yang diujikan tidak menarik, dan lain sebainya.
Budaya menyontek adalah sebuah budaya yang jauh dari semangat pencerahan. Budaya ini kian hari kian menggurita saja dan nampaknya sangat sedikit pihak yang peduli dengan kebobrokan ini. Bahkan ada indikasi sesat pikir bahwa budaya mencontek lahir karena kesalahan peserta didik saja. Padahal yang salah bukan hanya peserta didik saja tapi dunia pendidikan juga tersangkut paut dalam masalah ini. Karena tugas dunia pendidikan salah satunya adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian sangat jelas terungkap bahwa dunia pendidikan saat ini masih jauh dari harapan dan tujuan. Mengapa demikian? Dunia pendidikan kita memang dilanda masalah yang sangat akut. Ini tidak terlepas dari dunia pendidikan yang selama berpuluh-puluh tahun hanya dijadikan sarana melanggengkan kekuasaan. Pada Masa orde baru telah menjadikan dunia pendidikan sebagai sarana untuk mendoktrin anak bangsa agar selalu patuh dan taat terhadap penguasa, tanpa kritik dan protes. Imbas dari pendidikan tersebut adalah banyaknya peserta didik yang terjebak dalam budaya bisu. Takut untuk mengutarakan pendapatnya, tidak mampu berpikir kritis, serta cenderung tidak memiliki idealisme yang kuat karena selalu berada di bawah tekanan dan paksaan.
Tidak adanya idealisme yang kuat inilah yang kemudian menjadikan peserta didik tidak punya prinsip kuat tentang mana baik dan mana buruk. Akhirnya mencontek menjadi sebuah kebiasaan yang terus melembaga di kalangan peserta didik. Kini setelah berganti dengan era reformasi, dunia pendidikan belum juga berubah secara signifikan. Metode pembelajaran masih saja bercorak orde baru, hanya sedikit berbeda secara isi atau materi belajar namun tetap sama dalam cara dan gaya mendidik. Peserta didik masih diibaratkan sebagai bejana kosong yang tidak tahu apa-apa dan tugas guru/dosenlah yang harus mengisi otak peserta didik.
Seorang tokoh pendidikan kritis yaitu Paulo Freire. Menurutnya pendidikan adalah sarana untuk memanusiakan manusia bukan menjadikan manusia lain sebagai objek. Konsep subjek-objek ini tertuang dalam metode pembelajaran yang ia sebut dengan pendidikan gaya bank yaitu "Guru mengajar, murid diajar", "Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa", "Guru berpikir, murid dipikirkan", "Guru bercerita, murid mendengarkan", "Guru menentukan peraturan, murid diatur", "Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui", "Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya", "Guru memilih bahan dan inti pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu", " Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid", "Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka".
Memposisikan peserta didik sebagai objek adalah arogansi karena memposisikan peserta didik sebagai seorang yang tidak tahu apa-apa dan tidak pantas untuk mengutarakan pendapat. Dengan konsep demikian, pendidik, guru atau dosen acapkali tak pernah menghargai pendapat peserta didiknya dan yang lebih parah, pendidik tak pernah memberi kesempatan peserta didik untuk berbicara.
Mengikuti pendapat Freire, dunia pendidikan seharusnya memposisikan peserta didik sebagai subjek. Artinya, bukan konsep subjek-objek yang terjadi namun subjek-subjek. Dengan posisi seperti ini, peserta didik akan merasa lebih leluasa untuk mengembangkan diri, karena ia selalu diberi kebebasan dalam berpikir, berpendapat dan bertindak. Selain itu peserta didik juga akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena selalu di beri kepercayaan dan penghargaan oleh pendidik maupun kawan-kawan di sekelilingnya. Kepercayaan diri yang kuat inilah yang akan menghindarkan peserta didik dari perilaku tidak jujur seperti mencontek.
Menghilangkan kebiasaan mencontek di kalangan peserta didik memang tidak semudah yang dibayangkan karena ini bukan hanya tanggungjawab seorang guru atau dosen. Kebiasaan mencontek adalah masalah mentalitas, sehingga butuh solusi yang mendasar bukan parsial. Yang harus dilakukan sekarang adalah terus menerus mengkaji sistem pendidikan dan praktek pembelajaran yang saat ini dijalankan. Apakah ia sudah benar-benar memanusiakan peserta didik atau sebaliknya.
B. Kehadiran teknologi Internet Tingkatkan Kebiasaan Contek bin Plagiat
Dewasa ini, kelihatannya para pelajar, mahasiswa bahkan guru/dosen sekalipun, tidak terlalu mempedulikan kejujuran akademik lagi. Banyak diantara mereka bahkan tidak bisa membedakan apa yang termasuk aksi plagiat dan mana yang bukan. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan disitat dari College Cures. Hasil penelitiannya memperlihatkan, 71 persen siswa di Amerika Serikat (AS) tidak percaya bahwa mengkopi material dari internet adalah "aksi mencontek yang cukup serius".
Hasil survei ini menunjukkan, satu dari tiga pelajar mengaku, menggunakan internet untuk memplagiat tugas. Kemudian, hanya 29 persen orang berpikir bahwa menyalin dari website adalah "mencontek yang sangat serius". Angka ini turun cukup jauh dari sepuluh tahun yang lalu, yakni 34 persen. Perilaku pelajar tentang mencontek juga cukup memprihatinkan. Ini terlihat dari 57 persen pelajar tidak berpikir bahwa menyalin beberapa kalimat tanpa pencantuman sumber yang memadai, berbagi jawaban ujian, atau mendapatkan jawaban dari teman yang sudah mengerjakan ujian adalah tindakan mencontek.
Selain itu, 53 persen siswa berpikir, mencontek bukanlah hal besar yang perlu diributkan, serta 34 persen pelajar mengaku, orangtuanya tidak pernah berbicara kepada mereka tentang mencontek. Parahnya lagi, 98 persen siswa mempersilakan teman menyalin tugas mereka.
Generasi yang melek teknologi ini bisa dikatakan sebagai generasi pencontek. Buktinya, 75 persen siswa yang disurvei mengaku pernah mencontek pada ujian, tugas, dan pekerjaan rumah yang mereka kerjakan. Bahkan, 34 persen di antaranya pernah mencontek lebih dari dua kali.
Kebiasaan mencontek di sekolah juga mempengaruhi kebiasaan mencontek di kampus.
Hasil survei yang menyertakan alumni perguruan tinggi ini memperlihatkan, 82 persen alumni mengaku pernah terlibat dalam berbagai kegiatan mencontek ketika kuliah. Dan sedihnya, generasi berikutnya cenderung lebih banyak berbohong dan mencontek daripada generasi berikutnya. Selepas kuliah pun, para individu pencontek ini terus membawa kebiasaan buruk mereka dalam hidup.
Pebisnis misalnya, punya tendensi tiga kali lebih banyak berbohong kepada pelanggannya. Kemungkinan mereka berbohong kepada atasannya juga dua kali lebih besar, serta kecenderungan berbohong pada pasangan satu setengah kali lebih kuat. Jika mengurut kepada hulu masalah ini, para siswa mencontek biasanya dipengaruhi tekanan kelompok teman sebaya mereka. Tetapi, jika dilihat sebaliknya, tekanan peer group ini juga dapat melibatkan siswa dalam budaya jujur secara akademis dan memotong rantai kecurangan.
C. Dosen pun Doyan Plagiat
Kebiasaan mencontek ternyata tak hanya dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa, dosen juga doyan plagiat. Kasus plagiat yang dilakukan dosen terjadi di hampir seluruh perguruan tinggi di negeri ini. Berapa kasus yang sempat dilansir media massa mengungkapkan, kasus ini terjadi hampir di seluruh kampus di Indonesia. Kasus yang terjadi di kampus Bandung, guru besar ketahuan plagiat langsung dipecat. Di UGM pernah ada doktor yang melakukan plagiat. Dia pun dihukum tidak diberi izin untuk melakukan kegiatan dan S2 nya tidak berlaku. Meskipun sudah diberi sanksi, tetapi hal itu tidak mengubah dan memberi efek jera bagi dosen lain untuk melakukan plagiat.
Selama kurun waktu 7 tahun terakhir ini, tepatnya sepanjang 2012 hingga pertengahan 2018, lebih dari 160 dosen setingkat lektor, lektor kepala, dan guru besar, di Indonesia tertangkap melakukan plagiarisme (penjiplakan). Akibatnya, dua dosen dipecat dan empat lainnya diturunkan pangkat jabatannya. Di kurun waktu yang sama, sekitar 400 perguran tinggi swasta (PTS) diketahui telah melakukan pemalsuan data serta dokumen.
Plagiarisme oleh para pengajar perguruan tinggi baik negeri maupun swasta ini dilakukan dalam pembuatan makalah, buku, dan jurnal ilmiah, sebagai bagian dari syarat kenaikan jabatan fungsional. Mereka diberi sanksi beragam sesuai dengan tingkatan pelanggaran, mulai dari penundaan kenaikan pangkat-jabatan hingga pemecatan. Pemberian sanksi tegas sesuai dengan Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiasi di perguruan tinggi.
Karakter sumber daya manusia (SDM) pendidikan kita terbukti masih banyak yang tidak jujur. Adanya perilaku beberapa dosen yang ingin mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat atau budaya jalan pintas menyebabkan hal ini. Kalau mereka menemui kesulitan untuk membuat karya tulis dan sebagainya, mereka pun melakukan plagiat atau meng-copy karya orang lain dengan mencontek persis.
Padahal sebetulnya cara mengutip tulisan orang ada caranya sendiri yang sudah disepakati secara internasional yakni menyebutkan sumbernya diambil dari mana, halaman berapa, judulnya, dan seterusnya. Dosen harusnya tahu caranya bagaimana mengutip tulisan orang lain sehingga tidak dikutip semuanya. Berbeda halnya kalau mahasiswa yang melakukan plagiat mungkin belum tahu caranya mengutip tulisan orang lain.
P E M B A H A S A N
A. Contek bin Plagiat, Kebiasaan kecil Berdampak Besar
Tak dipungkiri, sedari sekolah dasar sampai menengah perilaku yang mendapatkan jawaban dengan cara ‘haram’ ini telah membudaya. Mata rantainya telah kokoh dan semakin sulit untuk diputuskan. Lihatlah suasana ujian di sekolah, berapa banyak guru yang ambil peduli dengan menyontek ini? Dahsyatnya ini dilakukan secara berjamaah dan diamini pemimpin sekolah. Entah atas dasar apa semua ini terjadi. Pastinya hanya demi sebuah nilai. Hanya demi sebuah reputasi.
Di perguruan tinggi juga bak setali tiga uang, bahkan lebih. Selain kebiasaan menyontek saat ujian masih berlaku. Mencontek hasil karya atau plagiat juga ada. Buktinya perhatikan saja isi dari mayoritas skripsi atau laporan tugas akhir mahasiswanya. Selain itu kita juga dengan mudah mendapatkan selebaran atau situs yang menawarkan jasa pembuatan tugas akhir mahasiswa. Artinya, selain mencontek, jiplak karya tulis, urusan bohong membohongi data juga menjadi bagian yang sudah mendarah daging.
Apakah pendidik di perguruan tinggi tidak tahu tentang hal ini? Bahkan jika diantaranya ada yang mau jujur, pasti kita tersentak menyaksikan pengakuannya. Bukan hanya sekedar tahu, tapi ianya juga sebagai master dalam hal ‘olah-mengolah’ data plus menjadi penawar jasa hasil olahan datanya itu.
Inilah realitasnya. Perilaku tersebut dilakukan atas dasar kesadaran, walau mungkin ada juga karena sebuah ‘tekanan’. Namun apapun alasannya sebuah kesalahan kecil yang dibuat berulang juga akan menjadi dosa besar. Jika belum mau untuk jujur, sebuah kebohongan akan selalu menelorkan kebohongan baru. Apa yang diharapkan dari profile masyarakat seperti ini?
Dari anak kecil sampai orang tua, ternyata prilakunya sama persis. Hanya wilayah kerjanya saja yang berbeda. Maka jangan heran kalau kasus tilap-menilap uang alias korupsi masih sulit diberantas di negeri ini. Semuanya karena ternyata kita sama saja. Hanya bentuknya yang berbeda. Termasuklah korupsi yang sering diperbincangkan itu.
Dalam kondisi berpenyakit yang akut dan kompleks seperti ini, mencari siapa yang salah sama artinya siap untuk disalahkan. Pelapor harus siap untuk dipenjarakan. Kalau diam juga belum tentu aman. Karena sama-sama pernah salah jadinya serba salah. Pantas kemudian kalau muncul sebuah ketidakpercayaan. Akhirnya cari jalan aman untuk diri sendiri.
"Inilah kebiasan kecil tapi berdampak besar. Ini kebiasaan yang coba ditularkan dari atas ke bawah. Pelajara, mahasiswa, guru, dosen bertindak sesuai lingkungan. Mencontek ini bisa karena mereka mengikuti logika di lingkungan masing-masing yang mana terjadi juga banyak penyimpangan.
Menyontek bin plagiat hanya fenomena kecil dari fanomena besar di Indonesia. Kasus contek mungkin banyak terjadi, tapi hanya beberapa yang terpublikasi. Kejadian seperti ini lalu meminggirkan etika dan kejujuran. Nilai akademis mungkin di satu sisi meningkat, tapi di sisi lain menjadi minus kejujuran. Pendidikan sekarang ini lebih dimaknai sebagai peningkatan kognitif yang dilegalisasi dengan gelar dan ijazah kelulusan. Padahal menurut saya seharusnya pendidikan memberikan tak hanya pengetahuan tetapi juga moral dan etika. Kalau ini jamak terjadi maka membuka bobroknya kualitas mutu pendidikan yang sebenarnya.
Perilaku menyimpang pada hari-hari ini dianggap biasa sehingga nantinya akan menjadi hal biasa. Kalau yang menyimpang seperti mencontek massal ini dibiarkan maka akan menjadi bom waktu dan terror bagi dunia pendidikan kita akan dituai di masa depan. Peserta didik kita akan tumbuh menjadi orang dewasa yang gemar melakukan manipulasi, korupsi dan menjadi penjahat. Tindakan yang tidak jujur sekarang ini akan menimbulkan dampak kelak, dan ini beriringan.
Kurikulum dan praktek pembelajaran saat ini sangat kering nilai-nilai humanistik yang mengajarkan humanitas, kejujuran, etika. Praktek pembelajaran lebih banyak diisi dengan pendikan yang dimaui pasar. Diajarkan sains modern, ilmu hitung, ilmu alam, tapi tidak diimbangi pluralisme maupun kesalehan.
Pada beberapa riset terakhir yang dipublikasikan di media massa, gejala radikalisasi kaum muda agak naik karena toleransi tidak diajarkan ke bangku sekolah. Ini akan berdampak pada kenakalan remaja, tawuran yang tinggi, mudahnya terradikalisasi. Lalu ketika dewasa jadi korupsi dan terlibat kejahatan kerah putih. Di tingkat SD saja sudah diajarkan untuk curang, lalu bagaimana ketika mereka remaja dan dewasa.
Ini karena pendikan dikapitalisasi melalui gelar, ijazah. Makanya mereka melakukan segala cara, termasuk cara yang manipulatif untuk meraih gelar. Kalau penekanan hanya pada aspek kuantitatif, maka tidak heran ada formalitas pendidikan. Asalkan lulus, kemunafikan atau apa pun akan dilakukan. Korupsi dan plagiat lantas menjadi efek bola salju dari kasus ini.
Kebiasaan menyontek ini sistemik, tidak bisa hanya melimpahkan kesalahan pada institusi pendidikan. Ini terstruktur dan fenomena ini sudah jadi kebiasaan di dunia pendidikan kita. Kurikulum dan Praktek pembelajaran kita sudah mengikuti logika pasar. Pasar lantas mendikte negara dan negara yang terdikte menerapkan standar. Pendidik dan semua kalangan pun mengikuti logika itu, melihat aspek kuantitatif. Yang penting angka kelulusan naik, rata-ratanya tinggi, semua lulus dan itu dianggap prestasi. Akibatnya pendidik maupun orangtua pun melakukan semua cara agar standar kuantitatif terpenuhi.
Fenomena ini mengakar dan kemudian masuk ke dalam struktur besar yang melibatkan banyak pihak. Fenomena ini jangan hanya dilihat dari satu faktor. Yang seharusnya dilakukan adalah melakukan revisi seluruh sistem pendidikan dan praktek pembelajaran. Ada beberapa hal yang harus dilakukan, misalnya tak hanya memperbaiki kompetensi tetapi juga orientasi sosial dan respon terhadap masalah.
Selama ini menjadi orientasi sasaran negara hanya kompetensi atas pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan perbaikan moral malah tidak ada. Sekarang ini anggaran pendidikan terus ditingkatkan, angka sertifikasi guru/dosen semakin banyak, kelulusan sekolah, kampus makin tinggi, bantuan operasional pendidikan, pendirian sekolah di mana-mana, tapi ini aspek fisik. Padahal mutu dan kualitas juga harus diperbaiki agar tidak ada manipulasi. Jadi membangun karakter juga harus dikedepankan.
B. Pemerintah dan Institusi Pendidikan harus Membenahi Dunia Pendidikan kita
Bicara pendidikan adalah bicara tentang segala elemen yang masuk dalam sistem bukan semata-mata bicara tujuan ataupun visi dan misi. Bangku Sekolah, kuliah bukan hanya bertujuan mencetak lulusan yang hanya cerdas semata. Institusi pendidikan (Sekolah, kampus) merupakan wahana bagi peserta didik untuk berinteraksi dan aktualisasi diri. Selain kecerdasan, diharapkan kampus mampu mencetak generasi muda yang handal, bermoral dan berkarakter.
Kebiasaan menyontek bin plagiat, berbohong di ranah pendidikan ini bisa menjadi cerminan buruknya pendidikan di Indonesia soal kejujuran. Perilaku menyontek menyebabkan peserta didik menjadi malas belajar, malas merenung untuk berpikir, dan malas membaca. Sikap ketidakjujuran akan terus tertanam hingga kelak dewasa. Tentunya bisa saja berakibat pada pewajaran terhadap tindak korupsi dan suap di masa depan. Padahal, peserta didik sebagai generasi pelanjut adalah cerminan masa depan bangsa yang harus terus diasah sikap dan intelektualnya sehingga mampu membawa bangsa lebih berkualitas.
Pemerintah melalui pendidikan harus giat menanamkan pentingnya nilai kejujuran dalam belajar melebihi nilai itu sendiri. Peserta didik juga harus ditanamkan pemahaman bahwa sikap lebih utama dari sekadar guratan nilai di atas kertas. Institusi pendidikan harus terus meningkatkan pengawasan serta penindakan yang represif sehingga tertanam dalam hati peserta didik untuk terus berada dalam kejujuran. Korupsi di negeri ini tidak akan berhenti begitu saja tatkala sedini mungkin tidak menanamkan sikap jujuran di setiap aspek kehidupan.
Oleh karenanya, nilai kejujuran wajib ditanamkan melebihi segalanya, khususnya di pendidikan.
Kebiasaan menyontek akan semakin marak jika tidak adanya pengawasan dan penegakan aturan yang tegas untuk tindakan ini. Bahkan, beberapa institusi pendidikan menganggap perilaku menyontek sebagai tindakan yang wajar di wajah pendidikan. Peserta didik hanya ditekankan untuk memperoleh nilai yang tinggi, bukan sikap yang baik. Hal inilah yang menyebabkan peserta didik menghalalkan segala cara untuk meraih nilai, namun meninggalkan esensi dari kejujuran dalam setiap pembelajaran itu sendiri.
Perilaku mencontek dan plagiat merupakan perilaku yang tidak bermoral, sehingga tidak sesuai dengan karakter sivitas akademika. Tindakan ini tidak bermartabat yang harus dicegah dan ditanggulangi. Kita berharap seluruh sivitas akademika mengedepankan kejujuran, kecerdasan, ketangguhan dan kepedulian. Budaya akademik perguruan tinggi harus dimaknai, dihayati dan diamalkan.
Dilain sisi, pemerintah punya visi mengajarkan pendidikan karakter di semua lembaga pendidikan. Ini baik, tapi tidak hanya ditekankan pada tanggung jawab lembaga pendidikan namun juga melibatkan keluarga. Pendidikan karakter harus juga melibatkan peran serta keluarga. Keluarga dan masyarakat juga harus terlibat. Jangan sampai keluarga dan masyarakat juga melegalisasi kebiasaan contek. Kalau masyarakat melegalisasi mencontek, kecurangan, ini jadi fenomena yang mengkhawatirkan. Ada praktik melawan manipulasi malah dimusuhi.
Jangan sampai terjadi ada yang melawan ketidakadilan justru mendapat perlawanan publik. Kebiasaan nyontek bin plagiat harus dicegah akan berimbas pada permasalahan bangsa yang lebih besar. Pemerintah dan institusi pendidikan harus melakukan langkah preventif melalui pendidikan.
Peran orang tua di rumah, sedari dini mengajari anak membiasakan untuk jujur. Orang tua jangan sampai membiarkan setiap kesalahan yang dilakukan oleh anaknya meski terlihat sepele. Andai dibiarkan, anak akan merasa kesalahan yang dibuatnya sebagai sebuah kebenaran. Kemudian terjadilah sebuah kebiasaan yang salah. Tentu pendekatan humanis dan kekeluargaan harus diutamakan dalam menyelesaikannya.
C. Permasalahan yang harus dibenahi di dunia pendidikan kita
Ketersediaan sumber daya alam dari suatu negara juga tidak menjamin negara itu menjadi kaya atau miskin. Perbedaan antara negara berkembang (miskin) dan negara maju (kaya) tidak tergantung pada sumber daya alam negara itu. Contohnya negara Singapura, Jepang, Korea; negara yang umurnya kurang minim sumberdaya alam, saat ini merupakan bagian dari negara maju di dunia.
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecerdasan. Ras atau warna kulit juga bukan faktor penting. Para imigran yang dinyatakan pemalas di negara asalnya ternyata menjadi sumber daya yang sangat produktif di negara-negara maju/kaya. Lalu, apa perbedaannya?
Perbedaannya adalah pada sikap/perilaku masyarakatnya, yang telah dibentuk bertahun-tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.
Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara maju, ternyata bahwa mayoritas penduduknya sehari-harinya mengikuti/mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut:
· Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari
· Kejujuran dan integritas
· Bertanggung jawab
· Hormat pada aturan dan hukum masyarakat
· Hormat pada hak orang/warga lain
· Cinta pada pekerjaan
· Berusaha keras untuk menabung dan berinvestasi
· Mau bekerja keras
· Tepat waktu
Di negara terbelakang/miskin/berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut. Kita bukan miskin (terbelakang) karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita. Kita terbelakang/lemah/miskin karena perilaku kita yang kurang/tidak baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan prinsip dasar kehidupan yang akan memungkinkan kita mampu membangun masyarakat, ekonomi, dan negara.
Begitu pulalah dengan apa yang terjadi atas dunia pendidikan kita, menjadi terbelakang, terpuruk, terpinggirkan. Kita tidak tahu persis apa yang menjadi ujung pangkal dari permasalahan tersebut. Ada beberapa hal yang sekiranya menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi di dunia pendidikan kita, yaitu:
Terlalu fokus pada sistem hafalan.
Lupa atau kurang sekali ketrampilan tangan
Tidak ada pelajaran sistematika berfikir
Pelajar tidak dididik meneliti alam.
Kurang penempaan fisikalist
Sistem pendidikan penuh test tertulis
Kurang sekolah kejuruan tekhnik
1. Terlalu Fokus Pada Sistem Hafalan
Saya yakin inilah salah satu yang menjadikan sumberdaya manusia yang dihasilkan dari dunia pendidikan kita menjadi mandeg dan tidak berkembang yaitu peserta didik hanya didorong untuk mengingat, menyimpan dalam memori dan menghafal berbagai kata dan kalimat standart dgn tujuan mendapat hasil baik ketika tugas dan ujian. Padahal apa yang tertulis dalam segala materi pelajaran belum tentu tepat dan mungkin perlu redesign atau peninjauan ulang melalui pembahasan materi lebih teliti, juga sebagian besar adalah merupakan klasifikasi, materi dan bahan-bahan menurut paradigma berfikir barat yang Sekuler.
2. Minim sekali Penempaan Ketrampilan dan Keahlian Kedua Tangan.
Dunia Pendidikan adalah tidak menghargai pekerjaan dan ketrampilan tangan, termasuk pelatihan kerja. Peserta didik hanya diberi materi buku dan tulisan yang didikte maupun materi-materi tertulis, termasuk juga diagram, grafik dan drawing menggambar yang hanya berdasarkan kertas, pena dan tulisan berikut coretan-coretan gambar, tetapi jika diminta untuk menerapkan segala pengetahuan itu dikehidupan sehari-hari malahan tidak mampu.. sebabnya kenapa? Karena peserta didik tidak didorong untuk berkarya nyata dengan kedua tangan sepuluh jarinya untuk menghasilkan apa saja yang sesuai dengan bahan ajar dan materi yang ditawarkan, artinya kurang sekali ketrampilan hidup yang bisa diimplementasikan selama dia sekolah maupun selepas dia bersekolah.
Materi lifeskill amat kurang dibanding materi hafalan dan tulisan sehingga yang dihasilkan hanyalah lulusan pelajaran teks dan nilai-nilai tertulis bukan nilai-nilai terimplementasikan dalam sebuah aktivitas. Kurikulum harus diarahkan menjadi kurikulum menghasilkan karya nyata dengan kedua tangan atau agar peserta didik kita makin produktif dan makin berkeahlian!.
3. Kurangnya Pelajaran Sistematika Berfikir.
Ini salah satu sebab utama kurangnya para pemikir kita bisa menghasilkan ide, gagasan,pendapat sendiri dan persfektif yg lebih baik kecuali apa yang sudah tertulis dalam materi-materi pelajaran maupun kuliah. Hasilnya adalah manusia-manusia yang tidak punya keberanian untuk keluar dari pedoman-pedoman ilmu yang terdapat dalam materi textbook.
Sementara kalangan ilmuwan, scientolog dan filosof barat hampir selalu menghasilkan karya ilmiah yang ditawarkan ke dunia International lewat jurnal-jurnal Ilmiah dan forum International.
Sebabnya kenapa? Praktek pendidikan kita tidak mengajarkan berbagai sistem berfikir yang ada yaitu logika, rasionalisme, empirisme, pragmatisme, realisme, idealisme, kausalitas sebab akibat, sintesisme, postrealisme, epistemologi, etimologi dst.
Padahal segala sistem berfikir adalah tonggak bagi segala bangunan keilmuwan dunia, baik itu fisika, kimia, biologi, sosiologi, matematika, geografi, Antropologi termasuk juga Pancasila dan Agama. Segala sistematika berfikir yang terdapat dalam Filsafat dunia adalah metode untuk menghasilkan pengetahuan, adalah metode untuk meneliti, adalah metode untuk berfikir, adalah metode untuk menghasilkan pemikiran ilmiah, adalah metode untuk mendesain ulang kembali peradaban sekarang yang cenderung kearah materialisme hedonisme Liberal dan adalah metode untuk mencipta, mengkreasikan dan menemukan keilmuan baru. Kenapa filsafat atau katakanlah metode sistematika berfikir tidak diajarkan khusus selaku kurikulum?
Kurikulum pendidikan kita harus memasukan pelajaran logika dan sistem berfikir objektif dan rasional. Apakah cukup dengan pelajaran Matematika dengan Logika benar salah matematis lalu akan bisa berfikir sistematis, rumit dan tepat? Apakah cukup dengan pelajaran Pancasila dan sistem filsafatnya kita bisa paham sistematika berfikir?
Apakah cukup dengan segala materi ilmu pengetahuan yang dipahami lalu semua pelajar bisa berfikir sendiri? Apakah cukup hanya dengan duduk, datang, dengarkan ceramah guru ataupun dosen bisa dicetak generasi pemikir dan pencipta?
Apakah bisa dengan segala bacaan, perpustakaan, materi tulisan lalu muncul generasi ilmiah kreatif? Jawaban saya adalah: TIDAK. Tidak akan bisa dan tidak akan pernah bisa. Sebab sendi dasar berfikir dan mencipta tidak dikuasai oleh generasi kita yaitu FILSAFAT BERPIKIR.
Sebelum pelajar kita tidak diajarkan sistematika berfikir dengan segala metodenya, maka bangsa ini tidak akan mampu bersaing dalam hal Ekonomi, Politik, militer dan Budaya dan penelitian ilmiah dibanding bangsa bangsa lainnya terutama barat dan Asia Timur. Wajib bagi pelajar kita untuk belajar logika sistematika berfikir atau bangsa ini makin tidak bisa menghasilkan pemikir-pemikir dan penemu handal!
4. Peserta didik Tidak Terlatih Mengamati Alam
Salah satu kekeliruan terbesar dunia pendidikan kita adalah alam semesta telah teredusir dan terpangkas jadi pelajaran-pelajaran buku teks ilmu alam, bukan pelajaran tentang bagaimana mengamati, mengklasifikasi, meneliti dan mengobservasi alam secara langsung dengan 5 panca indranya.. Membenamkan teks dan kalimat bukan meneliti apalagi mengobservasi, tidak lebih hanyalah sebuah permainan kata-kata yang tidak bermakna dan penuh dengan kegiatan pembenaman kalimat-kalimat kedalam benak peserta didik. Maka yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang SEMACAM INI hanyalah sekedar meringkas, mencontek, mengeja, mengekor dan menjiplak hasil karya ilmiah yg dihasilkan oleh peneliti dan pengeksplorasi asing tanpa kita bisa menghasilkan individu-individu andal dibidang ilmu alam.
Peserta didik harus di ajak keluar kelas dan langsung mengamati dan mempelajari lingkungan alam sekitar sesuai dgn subjek pelajaran atau bangsa ini akan makin tidak bisa meneliti dan mencipta!
5. Kurang Penempaan Fisikalist
Ini juga termasuk salah satu yang harus dibenahi dari dunia pendidikan kita dimana peserta didik tidak diberi program pelatihan, penempaan dan pembinaan fisik. Dan malahan sistem yg ditegakkan adalah sistem duduk selama 4-5 jam sehari dengan mata peserta didik diarahkan kepapan tulis. Dan kegiatan tulis, menulis serta hitungan-hitungan digiatkan dengan harapan akan muncul manusia-manusia bergiat dan pekerja keras.
Mana bisa diciptakan generasi pekerja keras dan gesit jika hanya didudukkan dan dilem pantatnya dikursi, mana bisa diharapkan akan lahir pekerja-pekerja trampil jika hanya dilatih duduk dibelakang meja selama 4-5 jam dalam ruangan kelas. Mana bisa dihasilkan pelajar-pelajar rajin bersemangat jika diminta hanya duduk, dengar ceramah guru, dosen, catat, hafal, hitung angka dan pulang. Mana bisa dihasilkan pekerja-pekerja tangguh siap eksport ketrampilan tinggi jika yg dihasilkan adalah generasi bermental meja, Berjiwa kursi dan berpola duduk.
Mana bisa mencetak worldsports champions, jika fisiknya, tulang belulangnya, ototnya dan jiwanya hanya dilatih duduk, duduk dan duduk dibelakang meja selama 4-5 jam sehari sambil mendengarkan ceramah guru, dosennya yang membosankan. Makanya lulusan kita bermental kantoran dan birokrat dan bersedia membayar mahal atau sogok hanya untuk mendapatkan sebuah kursi kerja kantoran dengan harapan mendapat gaji bulanan dan uang pensiun. kenapa? Karena hanya disuruh duduk, duduk dan duduk sambil mencatat, menulis dan menghafal. hasilnya adalah pengangguran ketika mereka tidak memperoleh meja kerja kantoran. Segera robah pelajaran hafalan dan duduk jadi pelajaran aktivitas dengan fisik yang bergerak atau bangsa ini akan makin penuh kemalasan
6. Sistem pendidikan penuh test tertulis.
Praktek pembelajaran dari sistem pendidikan di Indonesia adalah ujian pelajaran ditetapkan dengan test tertulis bukan test lapangan apalagi test fisikalist. Pelajar disibukkan dengan ulangan tertulis, otaknya penuh dengan kata, kalimat, angka dan peristiwa juga fakta-fakta yang mesti dibenamkan separuh mati siang dan malam menghafal kalimat-kalimat mati ke dalam benaknya yang milyaran neuron-neuron. Padahal dia mesti menghadapi peristiwa dan kondisi yang berbeda dalam hidupnya.
Maka pelajar kita hanya disiapkan untuk menjadi manusia ensiklopedia bukan manusia yang siap hidup dan berkarya nyata. Apakah teks-teks yang terdapat dalam buku pelajaran bisa menghidupi dirinya? TIDAK. Dia hidup dengan kedua tangannya dan kedua kakinya, bukan fakta-fakta dalam otaknya.
Sayang sekali kalau milyaran neuron otak dimanfaatkan hanya untuk menyimpan huruf-huruf mati. Kenapa mesti lulus dgn nilai-nilai hasil ujian tertulis bukan ujian praktek maupun ujian pengamatan observasi ataupun ujian keolahragaan fisik.
Segera robah standart kelulusan peserta didik kita atau yang dihasilkan hanya lulusan pelajar bertungkai kaki lemah, berbahu loyo, bermata sayu, bergerak lamban, bermental mejakursi dan mersemangat korupsi sibuk hitung uang dibalik meja.
7. Sekolah kejuruan atau perguruan tinggi keteknikan amat sangat kurang.
Terlalu banyaknya sekolah umum dan atau perguruan tinggi umum yang mata pelajaran tulis baca, hitung, hafal dan test tertulis dan kurang amat sangat sekolah atau perguruan tinggi ketrampilan, keahlian khusus, kerajinan dan keterlatihan aktivitas fisik mentality. Padahal ini negara amat sangat kurang manusia-manusia berketrampilan tekhnik dan specifict, malahan yang lebih dibudidayakan adalah manusia-manusia kalimat yg sibuk merangkai rangkai huruf.
Salah satu sebab keadaan negara saat ini yg limbung adalah manusianya yg tidak bisa menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri, tidak tahu apa yg akan dilakukan dgn ijazah tulis bacanya. Alhasil negara perlu uluran tangan tekhnisi asing, perlu intervensi LSM asing dan bergantung pada kemurahhatian inversor asing dalam membenahi ekonomi sosial Negara.
Gimana bisa menerapkan ekonomi kerakyatan berbasis bangsa sendiri kalau sistem pendidikan hanya mencetak lulusan tulisbaca?. Gimana bisa membangun ekonomi politik mandiri jika sekolah, kampus kita menghasilkan lulusan gerilyawan pemburu mejakursi kantoran bukannya lulusan pencipta kerja?. Bagaimana bisa bangsa ini maju kalau generasi pelanjutnya hanya ditempa duduk, dengar, tulis, hafal dan test tulisan?. Padahal ini negara lebih butuh action dan acting yg penuh aktivitas kreatif inovatif dalam gerak dan aktivitas berkarya menghasilkan produk-produk bersaing dan penemuan-penemuan ilmiah demi bisa eksisnya bangsa ini dari tantangan kapitalisme neoliberal yang siap mencengkram ekonomi politik negara.
Padahal negara butuh devisa yang dihasilkan dari eksport produk-produk unggulan tangan-tangan kreatif bangsa demi bisa membayar hutang yang kian hari kian menumpuk. Padahal negara perlu keluar dari jeratan spekulan dan monopolist asing demi meningkatkan nilai tukar rupiah yang terpuruk akibat tidak adanya kecukupan devisa hasil eksport. Padahal sumberdaya alam andalan makin tipis, minyak makin terkuras, hutang makin rata, binatang punah, emas timah tembaga menipis. Dan negara butuh lampu aladin plus kemurah-hatian investor asing untuk bersedia bawa devisa dan menanam modal dinegeri 1001 problema ini.
Jadi segala kekeliruan sistem pendidikan kita itulah salah satu penyebab dari keterpurukan bangsa ini. Kita tidak menyiapkan lulusan untuk menciptakan ruang kerja malahan menduplikatkan jutaan tukang-tukang hafal kalimat mati tanpa imajinasi dan kaliamat-kalimat yang dibenamkan kedalam neuron hipokampus hipotalamus telah berubah jadi mantera rapalan-rapalan penting supaya bisa sakti ketika masuk ruang ujian kelas, semester maupun ujian nasional. Kelulusan dinilai dari seberapa mampunya kita mengeluarkan isi otak bukannya seberapa mampunya kita beraktivitas menghasilkan prakarya kerajinan dan kemahiran ketrampilan.
Jadi kalau masih bersandarkan pada sistem tulisbaca dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di negeri ini tidak juga sadar akan kekeliruan kebijakan, artinya pendidikan kita telah berhasil mencetak manusia duduk dan rapal mantera-mantera kalimat pelajaran, dimana kita telah dilatih duduk 4-5 jam sehari dalam ruang kelas dan ditempa berkonsentrasi pada layar papan tulis yang lalu berevolusi jadi terduduk didepan TV secara berjamaah sepulang sekolah dan terduduk dipersimpangan dipinggir jalan, terduduk d isegala pusat gerombolan dan terduduk menerima kekalahan dan kekalahan, termasuk terduduk lesu dalam menghadapi krisis berlanjut. Sementara sistem rapal mantera kalimat-kalimat sakti pelajaran digiatkan dengan test tertulis dan standart nilai minimum dengan istilah canggih yaitu: Competency Based Curriculum.
Kekeliruan sistem pendidikan kita telah mengakibatkan kematian kreatifitas, kelumpuhan inovasi,Kelambanan, kemalasan, ketidakmampuan berfikir, penjiplakan plagiat, pembajakan hak cipta dan keterdudukan dari malapetaka. Segera benahi haluan sistem pendidikan kita atau bangsa ini akan makin meratapi nasibnya.
P E N U T U P
Budaya menyontek itu merupakan ekspresi dari sebuah pelanggaran. Budaya menyontek sudah menjadi budaya meraih prestasi secara instan tanpa memperhatikan moralitas. Perilaku menyontek dan plagiat merupakan bentuk tindakan tidak bermantabat yang harus dicegah dan ditanggulangi. Oleh karena itu, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk meniadakan bentuk-bentuk tindakan menyontek dan plagiat dilingkungan sekolah, perguruan tinggi demi martabat sivitas akademika.
Bangku sekolah, kuliah bukan hanya bertujuan mencetak lulusan yang hanya cerdas semata. sekolah, kampus merupakan wahana bagi mahasiswa untuk berinteraksi dan aktualisasi diri. Selain kecerdasan, diharapkan institusi pendidikan (sekolah, kampus) harus mampu mencetak generasi muda yang handal, bermoral dan berkarakter. Perilaku mencontek dan plagiat merupakan perilaku yang tidak bermoral, sehingga tidak sesuai dengan karakter sivitas akademika.
Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di negeri ini harus bulat tekad untuk memberantas budaya menyontek dan plagiat, sekalgius membenahi praktek pendidikan dan pembelajaran yang keliru agar dunia pendidikan kita dapat terbebas dari teror pendidikan yang dapat melululantakan pendidikan kita di masa kini dan masa mendatang. Pendidikan di negeri ini harus dapat menghasilkan generasi muda bangsa berprestasi yang menjunjung nilai moralitas. Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan ide, nilai, moral dan norma yang mendasari pola fikir, sikap dan perilaku sehingga mewujud dalam karakter bangsa Indonesia.
Karakter bangsa ditopang oleh seperangkat nilai yang bersumber dari olah hati, olah pikir, olah raga/kinestetik, olah rasa dan karsa dalam bentuk nilai-nilai utama karakter, jujur, cerdas, tangguh dan peduli. Menjadikan Budaya akademik sebagai totalitas nilai dan perilaku dalam kehidupan akademik harus dimaknai, dihayati dan diamalkan oleh sivitas akademika yang bertumpu pada nilai-nilai utama karakter: jujur, cerdas, tangguh dan peduli. Dalam mewujudkan budaya akademik, sivitas akademika mempunyai tugas utama : mentransformasikan, mengembangkan, menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan.
Commenti