top of page
Writer's pictureLSP3I

Disruptive Era di Sektor Pendidikan



Mengutip kata bijak Einstein “Imajinasi itu sesungguhnya lebih penting dibandingkan dengan pengetahuan.” Jika pengetahuan membahas hal-hal yang sudah diketahui, imajinasi itu membaca dan merencanakan yang akan terjadi pada masa mendatang. Oleh karena itu, kalau perguruan tinggi dan atau dosen ingin menjadi leader harus punya daya imajinasi ke depan yang akan dikembangkan.


Menyimak dari kata bijak Einstein tersebut, kita bisa belajar dari fakta, dimana beberapa perusahaan raksasa yang sempat produknya berjaya di era tahun 90-an. kini bangkeur dan lenyap. Itulah kenyataan bila tidak tidak mau beradaptasi, tidak ingin berubah, tidak mengikuti perubahan zaman, tidak ada inovasi, maka akan selesai, akan lose dan lost, hilang dan lenyap.


Perusahaan yang selama ini dikenal sangat ketat mengontrol mutu, bangkrut seketika tanpa dibayangkan dan dipahami oleh pemiliknya seraya berkata “Apa salah kami”. Tanpa disadarinya banyak competitor tersembunyi yang dari sejak awal berusaha mengalahkannya. Teknologi baru justru menyebabkan banyak perusahaan besar gagal mengembangkan usahanya. Pengalaman perusahaan yang kalah dalam inovasi cukup menjadi pelajaran.


Inilah “Era Disruptif” perannya merubah paradigma bepikir dan bertindak masyarakan agar mereka mampu bertahan hidup. Jika tidak, mereka akan punah atau mati. Disruptif (disruption) sering kali dimaknai sesuatu yang mengganggu, dan untuk tetap mampu bertahan hidup, gangguan tersebut harus disikapi secara bijaksana sesuai zamannya, dimana motivasi dan menjaga kualitas saja tidak cukup.


Secara umum, era disruptif diartikan sebagai masa di mana bermunculan banyak sekali inovasi – inovasi yang tidak terlihat, tidak disadari oleh organisasi mapan sehingga mengganggu jalannya aktivitas tatanan sistem lama atau bahkan menghancurkan sistem lama tersebut. Dalam dunia medis, kita bisa menyaksikan teknik baru dalam pengobatan, untuk menguji gula darah, kolestrol, asam urat dan banyak penyakit lainnya tidak perlu mengeluarkan setetes darah, cukup jempol anda ditekan di layar handpone, maka layar handpone anda akan menginformasikan kondisi kesehatan anda secara akurat. Suatu hari nanti, seorang berprofesi dokter, melainkan para ahli Information Technology (IT).


Fenomena lain, di dunia usaha sekarang ini tidak mempersyaratkan ijasah ketika menerima (rekrutmen) pegawainya. Perusahaan tersebut hanya membutuhkan kompetensi sehingga uji kompetensi merupakan tahapan penting. Dampaknya, banyak perguruan tinggi yang dikenal prestesius (ternama) di dunia saat ini mulai goyang dan tidak sedikit tutup, dikutip dari Kavin Carey (2015) dalam bukunya “The End of College”. Yang berkembang pesat saat ini justru lembaga-lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga kursus yang secara nyata memberikan kompetensi kepada peserta didiknya.


Neil Postman (2005) dalam bukunya “The End of Education” telah lama mengingatkan bahwa matinya pendidikan karena pengelolaan pendidikan kehilangan arah, yang terlihat hanya orang sibuk mengurus pendidikan yang tidak terarah itu. Belakang ini tersiar khabar, banyak lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun sarjana pendidikan vokasi menganggur di negeri ini padahal lapangan pekerjaan telah disiapkan untuk mereka karena tidak memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan. Untuk mampu bertahan hidup di era disruptif ini, setiap orang dan institusi harus merubah paradigma berpikir dan cara berkehidupan.


Asumsi Charles Darwin, yang menyatakan bahwa keberlangsungan hidup manusia sangat ditentukan dari kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi sebagai dampaik dari proses pembelajaran yang dialaminya. Asumsi tersebut barangkali masih dapat digunakan di era disruptif ini.


Rhenald Kasali (2017) dalam bukunya “Disruption” mengingatkan, “tidak ada yang tidak bisa diubah sebelum dihadapi, motivasi (harapan dan keinginan) saja tidak cukup”. Di bagian lain, kembali ia mengingatkan, “setiap orang harus tahu posisi dirinya dan tahu harus kemana ia melangkah (where we are, and where we are going to).


Disruptive di Sektor Pendidikan


Para praktisi dan akademisi mungkin juga orang awam sudah paham bahwa dunia pendidikan kita sedang dilanda fenomena disrupsi dimana banyak bermunculan inovasi yang tidak terlihat sehingga mengganggu jalannya tatanan sistem lama yang ada didalamnya dan berpotensi menghancurkan sistem lama tersebut. Perubahan tatanan sistem lama yang masih manual digantikan sistem baru yang serba digital menjadikan adanya pergeseran tatanan kehidupan pada berbagai bidang, termasuk bidang jasa pendidikan ikut berubah seiring perubahan konsumen menuju arah era disrupsi yang lebih canggih dan maju.


Perguruan tinggi sebagai penyelenggara bidang jasa pendidikan juga mau tidak mau harus ikut berubah di era disrupsi yang serba digital ini. Perguruan tinggi harus mampu menyelenggarakan pendidikan dengan menyesuaikan fasilitas sesuai kebutuhan para mahasiswa maupun lingkungan yang lebih luas. Era disrupsi yang hadir pada zona waktu generasi milenial, membuat keadaan menjadi tidak sama.


Era disrupsi erat dengan kondisi teknologi digital yang semakin canggih sehingga bagi mahasiswa yang lahir di era serba digital ini memiliki budaya yang sangat berbeda dengan generasi lama. Mahasiswa berada pada dunia dimana akses terhadap informasi menjadi lebih mudah, jaringan yang lebih global, dengan komunikasi yang bersifat dua arah yang tidak bisa dikesampingkan oleh dosen sebagai tenaga pendidik.


Mahasiswa era ini terbiasa berdialog dengan menggunakan platform sosial media dan tidak memandang seseorang lebih senior atau junior. Pada era disruptif ini pula, banyak muncul inovasi-inovasi baru dengan teknologi yang lebih mumpuni karena banyak orang dapat mendapat informasi, mengakses sumber ilmu tanpa harus menghadiri suatu kelas.


Oleh karena itu, tentu saja banyak hal terkait pendidikan di era disruptif ini yang tidak mungkin dapat dihadapi oleh mereka yang tidak paham fenomena ini. Ada tiga hal yang bertkaitan dengan bidang pendidikan, yakni: regulasi, kompetensi dan strategi pendidikan dan pembelajaran.


Regulasi di bidang pendidikan memiliki peran strategis dalam memajukan pendidikan, namun dalam prakteknya regulasi tersebut justru menghambat kemajuan di dunia pendidikan. Belajar kepada beberapa negara yang dikenal sangat maju pendidikannya, memulai pembangunan pendidikan melalui penataan kembali regulasi pendidikan di negara tersebut.


Di era disruptif ini, sangat banyak regulasi pendidikan yang mesti disempurnakan atau memerlukan peninjauan kembali terutama mengkaji kembali naskah akademik yang menjadi dasar penyusunan regulasi pendidikan yang menyesuaikan perkembangan zaman.


Selain regulasi pendidikan, kompetensi dan ketrampilan (subject matter) yang harus dimilik oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi yang diperlukan di era disruptif. Terkait dengan kompetensi dan ketrampilan di era disruptif tersebut, penulis kutip pendapat Jeffrey H. Dyer, Hal B. Gregersen, and Clyton M. Christensen (2013) dalam bukunya “The Innovator’s DNA” yang mengemukakan 5 (lima) “Discovery Skill of True Innovator”, yakni; associating; questioning, observing, experimenting, and networking.


Secara singkat lima keterampilan atau kompetensi tersebut dijelaskan berikut:


  1. Associating adalah kemampuan berpikir asosiasi. Sederhananya, kemampuan menghubungkan bidang ilmu, masalah atau ide, dimana orang lain memandangnya tidak berhubungan. Dalam menyelesaikan setiap masalah selalu ditinjau dari berbagai presfektif atau multi disipliner.

  2. Guestioning adalah kemampuan bertanya yang sangat penting, namun terabaikan selama ini.

  3. Kemampuan mengamati (observing skill). Seorang innovator carefully, intentionally, and consistenly look out for small behavioral details.

  4. Kemampuan melakukan percobaan (experimenting skill). Seorang innovator selalu mencoba pengalaman baru dan mengemudikan ide-ide baru tersebut. Bagi mereka, tidak ada kegagalan, semua ketidakberhasilan melakukan eksprimen merupakan sebuah kesuksesan yang tertunda. Thomas Alva Edison mengatakan, “I haven’t failed, I have found 10.000 ways that do not works.

  5. Kemampuan melakukan jejaringan (networking skill). Para inovator menghabiskan banyak waktu dan enerji untuk menemukan dan menguji ide-ide melalui berbagai jaringan individu dan social yang berbeda latar belakang dan prespektif, mencari secara aktif ide-ide baru dengan berbincang bersama orang yang memberi pandangan tentang sesuatu yang secara radikal berbeda.


Lima ketrampilan tersebut penting dalam pendidikan dan pembelajaran di era disruptif yang selama ini isi pembelajaran kurang memperhatikan lima ketramplan dan kompetensi tersebut. Faktanya, kemampuan bertanya siswa atau mahasiswa sangat rendah, sekalipun ada yang senang dan trampil bertanya, terbatas pada siswa dan mahasiswa tertentu saja. Demikian pula empat ketrampilan innovator lainnya.


Keberhasilan pendidikan dan pembelajaran di era disrupsif, selain memerlukan regulasi yang baik dan benar, isi pembelajaran sesuai kompetensi yang diperluka, hal lain yang sangat diperlukan adalah strategi pendidikan dan pembelajaran. Memperhatikan berbagai karakteristik masyarakat di era disruptif , strategi pendidikan dan pembelajaran yang sesuai adalah strategi konstruktivistik.


Konstruktivistik memandang bahwa pengetahuan adalah nonobjektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan atau membentuk pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktifivitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar peserta didik termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan.


Peserta didik memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan presfektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Dan sukses mengajar ditentukan oleh kesiapan siswa yang belajar (readness of learning) dan kontrol atau disiplin diri dalam pembelajaran dimiliki peserta didik.


Tujuan pembelajaran ditekankan belajar bagaimana belajar, menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata (kontektual) yang mendorong siswa untuk berfikir dan memikir ulang dan mendemonstrasikan.


Tujuan belajar tersebut dapat dicapai, apabila peserta didik memiliki kebebasan (freedom of learning) dalam pembelajaran. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dalam pembelajran dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.


Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan ketrampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata. Evaluasi menggali munculnya berfikir divergen, pemecahan ganda, bukan saja menuntut satu jawaban benar karena sesungguhnya tidak ada jawaban salah, yang ada hanya pertanyaan yang salah.


Evaluasi merupakan bagian utuh (proses) dari belajar dengan cara memberikan tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata.


138 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page