top of page
Writer's pictureLSP3I

Fenomena Pengangguran Terdidik dan Problematikanya


Lulusan perguruan tinggi Indonesia sedang mengalami dilema, sebab gelar ijazah pendidikan tinggi yang mereka raih tak lagi jadi jaminan mudah untuk mendapat pekerjaan. Kesulitan mereka terserap dunia kerja semakin bertambah berat, karena mereka juga bersaing dengan tenaga kerja asing dari negara-negara ASEAN sebagai dampak berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).


Sulitnya lulusan universitas lokal memperoleh pekerjaan sudah terlihat dari angka pengangguran terdidik Indonesia yang meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2018, di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi. Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu (S-1) . Dari jumlah itu, penganggur paling tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1 sebanyak 495.143 orang.


Data terakhir yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu pada bulan Agustus 2018, jumlah pengangguran terbuka mencapai 5,50% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia atau sekitar 12 juta penduduk yang diantaranya merupakan pengangguran terdidik dengan presentase sebesar 12,6% untuk tingkat lulusan universitas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dari tahun ke tahun terdapat peningkatan jumlah pengangguran terdidik yang menjadi permasalahan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.


Kecenderungan meningkatnya pengangguran di kalangan berpendidikan tinggi belakangan ini menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan. Fenomena itu terkait dengan pola pikir para sarjana yang umumnya berorientasi menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta, padahal lapangan kerja baik di swasta dan negeri sangat terbatas dibanding angkatan kerja.

Artinya, lulusan pendidikan tinggi di Indonesia justru melahirkan para pencari kerja baru, bukan pencipta lapangan kerja. Padahal menjadi wirausahawan (entrepreneur) merupakan solusi untuk mengatasi masalah pengangguran terdidik tersebut. Namun sayangnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang di Indonesia maka keinginan untuk menjadi wirausahawan semakin rendah.


Indonesia perlu mendesain ulang konsep pendidikan tinggi agar lulusannya mudah diserap industri. Apa masih perlu mendidik anak selama empat tahun di perguruan tinggi atau cukup memberikan pelatihan bersertifikat internasional enam bulan agar mereka bisa langsung bekerja di sejumlah negara??? Banyaknya lulusan perguruan tinggi menganggur karena adanya ketimpangan antara profil lulusan universitas dengan kualifikasi tenaga kerja siap pakai yang dibutuhkan perusahaan.


Upaya Strategis dalam Menangani Pengangguran Terdidik


Dewasa ini, perkembangan jumlah tenaga kerja, arus migrasi seperti urbanisasi yang terus mengalir berbanding terbalik dengan kesempatan kerja di Indonesia, khususnya di kota kota besar di Indoensia. Dampaknya menyebabkan permasalahan tenaga kerja semakin besar dan kompleks. Pengangguran intelektual yang biasa disebut pengangguran terdidik merupakan seseorang yang termasuk dalam kategori tenaga kerja yang telah lulus dalam pendidikan namun belum mendapatkan kesempatan untuk bekerja (Nur, 2016). Pengangguran terdidik juga tidak terlepas dari tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kalah dengan dengan tenaga kerja asing, didukung dengan pertumbuhan lapangan kerja yang lambat menjadikan banyaknya pengangguran terdidik.


Dengan banyaknya jumlah pengangguran terdidik, secara potensial dapat menyebabkan banyaknya dampak negatif, seperti masalah-masalah sosial akibat pengangguran, dan tidak efektifnya anggaran pendidikan yang digelontorkan karena hal tersebut bisa terbilang sia-sia akibat tidak adanya timbal balik antara anggaran pendidikan yang besar-besaran dengan buruknya kualitas lulusan yang terdidik sehingga mereka sulit untuk bersaing mendapatkan pekerjaan.


Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat akan pentingnya pendidikan tinggi juga menjadi masalah serius, mereka berasumsi bahwa tingkat pendidikan yang tinggi pun tidak menjamin mudahnya mendapatkan pekerjaan, sehingga banyak yang tidak menjadi pemerhati pendidikan yang nantinya akan berdampak besar ke lingkup makro seperti turunnya kualitas pendidikan di Indonesia, maupun rendahnya sumber daya manusia yang handal.


Kualitas tenaga kerja nasional di satu sisi meningkat disebabkan pembangunan ekonomi yang berhasil sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat untuk membiayai sekolah formalnya hingga mampu ke perguruan tinggi. Namun di sisi lain, pada saat angkatan kerja terdidik meningkat dengan pesat, lapangan kerja yang tersedia tidak mencukupi sejumlah angkatan kerja terdidik tersebut. Jika ada pertumbuhan lapangan kerja itu hanyalah didominasi sektor-sektor substantif yang tidak membutuhkan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.


Semestinya dunia kerja dan industri tidak sulit mencari tenaga kerja, sebab angka pertumbuhan lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun selalu bertambah. Sementara itu, angka permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja selalu lebih rendah dari pada jumlah lulusannya. Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan pertumbuhan lulusan universitas lebih dari 4 persen dan rata-rata surplus 1.5 persen per tahun. Tapi, perusahaan tetap kesulitan mendapatkan karyawan yang berpotensi tinggi.


Susah terserapnya lulusan perguruan tinggi Indonesia karena tidak memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan dan tidak punya critical skill. Skill adalah langkah utama memasuki dunia kerja, setelah itu harus punya critical skill jika ingin berkembang dan masuk jajaran manajemen perusahaan. Di era digital saat ini lulusan perguruan tinggi harus punya digital skills, yaitu tahu dan menguasai dunia digital. Agile thinking ability - mampu berpikir banyak skenario- serta interpersonal and communication skills - keahlian berkomunikasi sehingga berani adu pendapat.


Para lulusan juga harus punya global skills. Skil tersebut meliputi kemampuan bahasa asing, bisa padu dan menyatu dengan orang asing yang berbeda budaya, dan punya sensitivitas terhadap nilai budaya. Harus bersinergi. Kualitas lulusan perguruan tinggi yang tak sesuai kebutuhan dunia industri adalah akibat kesalahan sistem pendidikan kita yang selama ini mahasiswa hanya disuruh belajar untuk lulus jadi sarjana. Mereka hanya mengejar status bukan proses untuk menjadi sarjana. Akhirnya mereka jadi tak punya pemahaman apa-apa terhadap proses pendidikan yang sudah dilalui.


Pendidikan tinggi kita harus pula mengajak dosen untuk mengajarkan kepada generasi muda agar tidak takut terhadap perubahan, termasuk perubahan pada kurikulum pendidikan yang ada sekarang ini. Jangan takut kurikulum pendidikan berubah, sebab perubahan itu juga untuk menyesuaikan dengan kebutuhan industri dan dunia yang dinamis. Pemerintah dan perguruan tinggi bisa mengajak pihak swasta untuk menyusun kurikulum yang tepat bagi perguruan tinggi. Kurikulum harus dibentuk dari kebutuhan dunia kerja dan industri kekinian.


Dilain sisi, lulusan perguruan tinggi harus bersedia untuk menekuni dunia wirausaha yang sangat diperlukan untuk menggerakkan perekonomian negara ini. Negara yang maju adalah negara yang memiliki banyak wirausahawannya. Jika masalah ketersediaan modal dianggap jadi halangan kaum terdidik untuk menjadi wirausahawan, justru saat ini sebetulnya modal bukan masalah lagi karena banyak lembaga perbankan yang menawarkan kredit tanpa agunan. Modal utama menjadi wiraswasta yang sukses itu membutuhkan ketekunan, kerja keras dan sikap pantang menyerah. Namun mereka luaran perguruan tinggi saat ini ini umumnya tidak mau 'kotor-kotor' dan biasanya lebih pilih-pilih pekerjaan.


Jumlah wirausaha di Indonesia masih sedikitnya jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia seperti Korea, Jepang dan Filipina. Rasio jumlah pengusaha dibanding populasi penduduk yang ideal adalah 1:20 namun di Indonesia, rasionya baru 1:83 atau jumlah perbandingan pengusaha dengan populasi masih sedikit, apalagi jika dibanding dengan Korea yang mencapai perbandingan 1:20, Jepang (1:23) dan Filipina (1:63).


Data mengenai tidak terserapnya tenaga kerja dengan maksimal di tengah kualitas pertumbuhan ekonomi yang dinilai stabil ternyata cukup mengejutkan. Data tersebut menunjukkan bahwa presentase pekerja dengan pendidikan tinggi hanya sebesar 12,24%. Data di atas menunjukkan fakta menarik bahwa 50% masih bekerja di sektor informal. Ironisnya, sektor tersebut juga mulai dimasuki oleh tenaga kerja asing asal Tiongkok yang ilegal. Ditambah lagi invasi tenaga kerja asing yang mungkin akan terus berdatangan ke Indonesia dan persaingan Sumber Daya Manusia (SDM) di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadi ancaman serius bagi calon tenaga kerja.


Salah satu penyebab banyaknya pengangguran bagi mereka yang berpendidikan tinggi yaitu tidak adanya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang mereka pilih selama kuliah. Banyak jurusan-jurusan yang disediakan oleh universitas di Indonesia, namun dalam kenyataannya, di dunia kerja malah tidak tersedia. Alhasil ilmu yang dipelajari selama kuliah justru tidak bisa dipraktekkan di dunia kerja. Tidak jarang dari mereka justru bekerja di bidang yang berbeda dari apa yang mereka pelajari di bangku kuliah. Hal semacam ini sering dijumpai di industri bank yang kerap membuka lowongan untuk semua jurusan.


Selain itu, idealisme dan sifat pilih-pilih juga masih menjadi karakter yang dominan bagi para lulusan baru di negeri ini. Sifat memilih-milih pekerjaan memang tidak salah, karena memang kenyataannya para pencari kerja selalu disuguhkan pada posisi yang tidak jauh-jauh dari sales dan marketing. Bagi mereka yang lulusan SMP kebawah tidak mempersoalkan posisi tersebut karena mereka cenderung mau menerima pekerjaan apapun, sedangkan situasi berbeda bagi mereka lulusan perguruan tinggi, yang cenderung mencari pekerjaan yang lebih sesuai.


Persoalan lainnya adalah adanya mindset yang telah berlaku secara umum di masyarakat tentang pekerjaan tertentu. Contoh, Mindset tentang pekerjaan sales yang selalu identik dengan pekerjaan door to door. Kemudian mimpi bekerja di perusahaan besar yang bergengsi dengan posisi yang menjanjikan jenjang karir masih menjadi patokan kesuksesan banyak orang. Mindset inilah yang harus diubah agar tidak semakin banyak lagi pengangguran terdidik.


Beberapa persoalan di atas bukan hanya menjadi tugas pemerintah dan dunia pendidikan tinggi kita, melainkan tugas semua warga negara dalam memerangi pengangguran yang semakin lama semakin memprihatinkan. Persoalan minimnya lapangan kerja meenjadi persoalan serius yang harus diselesaikan bersama, oleh karena itu perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak baik dari lembaga penyedia tenaga kerja, perusahaan dan industri, serta pemerintah. Seperti yang tertuang dalam Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.


1,006 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page