Mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan.
Bila mutu adalah segalanya, maka prosesnya pun segalanya. Bila prosesnya seadanya, maka mutunya pun seadanya. Bila kita apatis terhadap mutu yang seadanya, maka kemunduran pendidikan tinggi kita tinggal menunggu waktu saja. Di gerbang globalisasi, Pendidikan tinggi Indonesia akan semakin tertinggal khususnya di negara Asia
Dalam dunia pendidikan, dua pertanyaan pokok yang penting dikemukakan adalah apa yang dihasilkan dan siapa pemakai pendidikan. Hal tersebut merujuk kepada nilai tambah yang diberikan oleh pendidikan dan pihak-pihak yang memproses serta menikmati hasil-hasil pendidikan. Artinya adalah kemampuan sistem pendidikan, baik dari segi pengelolaan maupun dari segi proses pendidikan itu sendiri, di arahkan secara efektif untuk meningkatkan nilai tambah.
Masalah mendasar yang yang banyak ditemui dalam pendidikan tinggi di Indonesia adalah mutu. Beberapa kekurangan pendidikan kita seperti dosen yang kurang bermutu, materi ajar yang tidak bermutu, sarana dan fasilitas yang tidak bermutu, pembelajaran yang kurang bermutu dan tata kelolah dan manajemen perguruan tinggi yang kurang bermutu. Mutu adalah ujung dari sebuah penilaian pendidikan yang akan memunculkan sebuah citra. Bila citra itu dinilai secara formal oleh badan atau lembaga resmi yang terkait, maka itu bernama nilai akreditasi, namun bila citra itu dinilai secara informal oleh masyarakat, maka itu bernama persepsi.
Mutu atau kualitas memiliki peran sangat penting dalam pendidikan. Bila kita analogikan perguruan tinggi sebagai sebuah pabrik, maka mutu akan dilihat dari produknya. Produk itu bernama output yang bagi pendidikan memiliki nama yang beragama. Mereka bisa disebut mahasiswa, peserta didik, students, learnersdan lainnya. Output inilah yang akan menjadi ukuran seberapa bagus perguruan tinggi yang disebut pabrik tadi. Semakin prosesnya produksinya baik, maka semakin baik pula produknya.
Mahasiswa sebagai produk merupakan proses akhir dari sebuah produksi. Proses ini memiliki sistem yang satu sama lainnya saling mengait. Ia bagaikan mesin yang satu sama lainnya harus berfungsi dengan baik. Bila satu bagian saja tidak berfungsi, maka produk dari sebuah mesin akan cacat. Memang mahasiswa bukanlah barang (yang mati) yang bisa sedemikian rupa didesain seperti produk di pabrik, namun sepertinya perguruan tinggi sebagai pabrik harus memiliki proses yang baik, sebaik pabrik. Pendeknya, manusia yang diproduk oleh perguruan tinggi yang baik akan memiliki kecenderungan lebih baik.
Jadi, untuk menjamin mutu pendidikan kita, seyogyanya kita harus memperbaiki lembaganya terlebih dahulu, seperti layaknya untuk memperbaiki produk, pabriknya dulu yang harus baik. Karena perguruan tinggi itu beragam, baik dari sisi pengelolanya, filsofisnya, tujuan pendiriannya, pendirinya, segmen mahasiswanya, biayanya dan lain sebagainya, maka perlu sekali ditentukan standar pendidikan oleh yang berwenang. Secara politik, yang paling berwenang dalam hal ini adalah pemerintah. Ia mewakilkan keberwenagannya kepada Direktorat penjaminan mutu dan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BANPT).
Secara teoritik dan praktik, kode kunci Penjaminan Mutu perguruan tinggi adalah 4K atau 4 Kunci. 4K ini dapat menjamin mutu perguruan tinggi dengan tujuan utama adalah meningkatkan kualitas berkelanjutan. 4K itu adalah kependekan dari; Plan (merencanakan), do (malaksanakan), check (mengecek, mengendalikan), action (bertindak, memperbaiki atau meningkatkan). 4 kunci utama tersebut, dikembangkan ke dalam 5 pilar (5P) yang terdiri dari P-P-E-P-P.sebagai berikut.
1. “P” Pertama yaitu Penetapan.
Dalam menjamin sebuah perguruan tinggi (PT) yang baik, maka langkah pertama yang harus dipastikan adalah penetapan standar yang ingin dicapai oleh PT, baik standar minimal yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Peraturan kemeterian dan atau lembaga yang berwengan, maupun standar tambahan yang dirumuskan oleh institusinya.
Penetapan ini bersifat dinamis dan dinyatakan sebagai blue print perguruan tinggi dalam melakukan proses produksinya. Penetapan ini harus dilakukan oleh semua stake holder perguruan tinggi yang memiliki keterlibatan langsung dan tidak langsung dengan proses produksi perguruan tinggi sebagai sebuah “pabrik”. Penetapan tidak boleh mengandung hal yang sangat ideal namun tidak rasional untuk situasi dan kondisi perguruan tinggi itu.
Bila ada ideology copy-paste dari penetapan perguruan tinggi orang lain, maka bisa dipastikan penetapan ini akan menjadi hal yang bias antara harapan dan realita. Penetapan harus jelas dan terukur, siapa aktornya, apa pekerjaannya, bagaimana hasilnya dan harus didokumentasikan. Agar mudah, maka analisis SWOT bisa menjadi bagian proses dari “P” ini.
2. “P” kedua adalah Pelaksanaan.
Bila penetapan merupakan langkah pertama, maka langkah selanjutnya adalah pelaksanaan. Penetapan tidak lah berarti apabila tidak dilaksanakan. Bila penetapan itu adalah dituliskan dan terdokumentasikan, maka adagium yang cocok untuk ini adalah “tuliskan apa yang akan dikerjakan, lalu kerjakan apa yang telah dituliskan”. Nah, disinilah akan ada internalisasi konseptual terhadap fakta yang akan melaksanakannya. Bisa jadi, di langkah inilah yang akan terjadi “gap” antara yang ideal dan real, antara harapan dan kenyataan, antara tulisan dan perbuatan.
Untuk memastikan “Pelaksanaan” dapat terukur, maka harus ditentukan empat faktor yang menjadi core utama dalam langkah kedua ini. Empat faktor ini disingkat A-B-C-D. yaitu:
‘A” untuk audience yakni siapa yang melaksanakan. Bila bagian produksi itu adalah pembelajaran, maka A itu adalah dosen, bila bagian produksi itu pengelolaan keuangan, maka A itu adalah bendahara, dan seterusnya.
“B” untuk behavior. Artinya sikap apa yang harus dilakukan oleh “A”. tentu saja harus sesuai kewenangan dan tugas pokok dan fungsinya. Sikap ini harus bisa terukur dan terstandar. Untuk urusan standar minimal yang telah diputuskan pemerintah, maka sikap ini bisa melihat peraturan perundang undangan (UU Guru dan Dosen) Peraturan menteri (Permen), Permendikti no 44 tahun 2015 untuk menentukan sikap dosen dan staffnya di perguruan tinggi. Untuk menjamin behavior standar institusi masing-masing, maka bisa mengikuti norma yang dirumuskan oleh institusi melalui yayasan atau yang menaungi perguruan tinggi.
“C” untuk competency. Yaitu, kompetensi apa yang harus dicapai oleh pelaksana dalam menjamin mutunya. Sama halnya dengan behavior, “C” telah dirumuskan dalam Permen, pelaksana tinggal melihat norma-norma yang dituliskan dalam lampiran permen yang disebutkan sebelumnya.
“D” untuk degree. Yaitu, tingkat apa yang ingin diharapakan oleh penjaminan mutu, apakah baik, lebih baik atau unggul. Jika “D” ini telah ditetapkan dalam langkah pertama ‘Penetapan” maka D ini lah yang harus dilaksanakan oleh semua pelaksana dalam perguruan tinggi. D inilah yang akan menjadi gerbang untuk memperbaiki, mempertahankan, meningkatkan atau merubah sebuah peringkat mutu yang diharapkan. Dalam mutu akan berlaku adagium “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Adagium ini bersifat never ending process dan bila ini terjadi maka akan membahagiakan, bila sebaliknya maka akan mencelakakan.
3. “E” ketiga adalah Evaluasi.
Setelah langkah penetapan dan pelaksanaan terjadi dalam perguruan tinggi, maka evaluasi adalah langkah selanjutnya. Mengevaluasi dapat diartikan melihat kesesuaian antara dokumen tertulis dalam langkah “P” pertama dan praktek dalam “P” kedua. Apakah apa yang ditulis sesuai dengan apa yang dikerjakan?. Inilah langkah evaluasi yang harus dilakukan untuk menjamin mutu. Bila penjaminan mutu dilaksanakan secara internal seperti dalam SPMI misalnya, maka tujuan evaluasi adalah untuk menentukan A-B-C-D mana yang menyimpang dan perlu segera diperbaiki. Tahap evaluasi inilah yang akan melaporkan “gap” antara harapan dan kenyataan dalam mutu.
4. “P” keempat adalah Pengendalian.
Pengendalian adalah tindakan keempat untuk segera menganalisis apa yang menjadi ketimpangan antara harapan dan kenyataan yang dilaporkan pada tahap “E”. Pengendalian atau control dilakukan untuk memastikan A-B-C-D berada dalam posisi yang sesuai dengan jalur dan membuat treatment (tindaka) apabila terjadi penyimpangan. Langkah ini dapat dianalogikan untuk meluruskan yang bengkok, untuk menerangi yang gelap, untuk mengurai yang kusut, untuk memperbaiki yang salah. Bila besi itu bengkok, maka dengan “P” ini bisa jadi ada treatment “pukulan-pukulan” yang bisa meluruskan bagi besi tersebut. Maka pengendalian inilah yang dalam konsep Jaminan mutu pertama di sebut “action”
Sebagi contoh, misalnya untuk mengendalikan sistem kredit semester (SKS). SKS itu memiliki sistem yang ketat yaitu 50 menit tatap muka, 50 menit tugas terstruktur dan 60 menit tugas mandiri. Mutu akan terkendali manakala ukuran waktu harus benar-benar diikuti oleh dosen dan mahasiswanya. Dalam treatmentnya, pihak pengelolah perguruan tinggi dapat melakukan pengendalian mutu SKS. Setiap dosen dan mahasiswa memiliki kartu identitas yang secara manual maupun elektronik dapat dicek secara berkala, agar pengelolah perguruan tinggi bisa melihat kapan dosen dan mahasiswa masuk dan kapan mereka keluar. Bila terjadi ketimpangan SKS, maka diberikanlah Surat Peringatan (SP) kepada dosen yang bersangkutan. Ini treatment yang baik dan menurut saya, perlu dilaksanakan oleh semua perguruan tinggi.
5. “P” kelima adalah Peningkatan.
Langkah P-P-E-P yang terdahulu sebenarnya memiliki tujuan yang berkumpul di “P” yang terakhir. Penetapan, pelaksanaan, evaluasi dan pengendalian, sesungguhnya dilakukan untuk melakukan peningkatan mutu. Bila mutu itu sudah tercapai maka perlu sekali untuk ditingkatkan. Siklus ini seperti siklus “Kaizen” dimana siklus ini tidak berhenti pada mutu tertentu. Perguruan tinggi tidak akan puas hanya mendapatkan peringkat “baik” namun mereka akan mengusahakan untuk mencapai yang “sangat baik”. Bila lebih baik dicapai maka akan melakukan kaizen selanjutnya untuk mencapai “Unggul”. Bila “unggul sudah tercapai maka mutu akan ditingkatkan menjadi “internasional”. Dalam dimensi internasional pun, mutu akan ditingkatkan dengan berbagai indikator-indikator berbagai lembaga penjaminan mutu internasional, agar perguruan tinggi-nya menjadi lebih baik dan berskala World Class University.
Ada dua hal sangat berpengaruh dalam menjamin mutu yakni: Aras Organisasi dan Aras Dokumentasi. Untuk hal yang sangat penting dalam aras dokumentasi, PPEPP (5P) memiliki 5 dokumen untuk dikaji setiap standar. Di Indonesia, standar pendidikan memiliki 8 standar. 8 Standar ini harus ditinjau dengan tiga dokumen, yaitu (1) dokumen tentang non Akademik (manajemen), (2) dokumen akademik dan (3) dokumen penjaminan mutu.
Simak video berikut : Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti)
Source: youtube.com
Comments