top of page
Writer's pictureLSP3I

Memperkuat Tradisi dan Kultur Akademik Berbasis Membaca


Pengertian tradisi akademik menurut para ahli, but Accoding to Mochtar Buchori – sebagaimana dikutip Akh Minhaji – yang dimaksud dengan tradisi akademik adalah suatu aktivitas yang diabdikan untuk pengembangan pengetahuan baru dan pencarian kebenaran yang dilakukan secara terus menerus, serta penjagaan khazanah pengetahuan yang telah ada dari berbagai jenis pemalsuan.


Menurut definisi ini ada 3 hal pokok menyangkut pengertian tradisi akademik yaitu:


  • Usaha mengembangkan pengetahuan baru secara terus menerus (the continous search for new knowledge).

  • Usaha mencari kebenaran yang dilakukan secara terus menerus (the continous search for truth).

  • Usaha menjaga khazanah pengetahuan yang telah ada dari berbagai jenis pemalsuan (the continous defense of the body knowledge against falsification).


Membaca, menulis, dan meneliti adalah tradisi akademik yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kemampuan menulis seorang akademisi diawali dari kebiasaan membaca. Banyak akademisi sukses sebagai penulis dan peneliti karena kecintaan mereka membaca buku dan belajar.


Minimnya budaya membaca di kalangan akademisi Indonesia sangat perlu diperhatikan, karena hal tersebut sangat berpengaruh pada budaya menulis dan meneliti. Problema tersebut, tidak boleh di anggap remeh, karena besarnya rasa cinta membaca sama dengan kemajuan. Artinya, minat baca seseorang menentukan tingkat kualitas serta wawasannya. Dalam proses belajar mengajar, mustahil berhasil tanpa adanya "membaca".


Akademisi tidak hanya terjebak pada lintasan teori pemikiran akademik, melainkan mampu sampai pada derajat kesempurnaan baik secara intelektual ataupun spritual. Sebab itu, tradisi akademik tidak boleh berhenti pada membaca (reading), belajar, penelitian dan pengabdian di masyarakat, akan tetapi mampu menginternalisasi jauh pengkajian ke dalam subtansi ilmu pengetahuan guna menggali eksistensi semesta alam.


Lalu, bagaimana kaitanya dengan tradisi dan kultur akademik di perguruan tinggi?


Kaitannya, membaca dengan tradisi akademik adalah perguruan tinggi tidak hanya melahirkan ahli fikir, tetapi pula ahli dzikir sebagai ejawantah mencetak generasi shaleh bangsa di masa depan. Dengan kata lain, mampu melahirkan generasi intelektual yang spritualis atau spritual yang intelektualis, mampu menjembatani tradisi akal menjadi tradisi hati yang diterapkan dalam instrument akademik, karena tradisi akal akan berhenti ketika mendapati kejenuhan berpikir, namun tradisi hati akan penuh terisi terus jika diisi nutrisi dzikir.


Sebab itu, fikir dan dzikir haruslah berjalan selaras dalam menciptakan tradisi akademik di Perguruan Tinggi. Tujuanya untuk membentengi spritualitas warga sivitas akademik Indonesia yang saat ini banyak digrogoti oleh gemerlapnya dunia modern, setidaknya menjadi bekal spritual dalam mengisi lobang-lobang kosong dalam membangun negeri.


Untuk memperkuat tradisi dan kultur akademik berbasis membaca, maka membaca adalah how to read/ bagaimana kita membaca.Sedikit sekali orang yang membaca mampu memahami atau menginternalisasi lebih jauh, kecuali dipermukaan. Sebut saja buku yang sering dibaca, kebanyakan baru bisa dibaca, tapi belum dipahami.


Seharusnya membaca itu mampu memahami setiap bacaan secara mendalam, how to learn atau how to thinks, dengan menggali cantuman makna setiap teks, sehingga mampu melahirkan banyak teori-teori akademik. Pada pembacaan ini, akal seringkali melanglang buana dalam menelusuri jalur tekstual yang membentuk opini pemikiran liberal, radikal, fundamental, sekuler, dan lain sebagainya untuk menggali makna dalam bentuk pemahaman (perbedaan). Dominasi akal menjadi kebanggaan karena melahirkan pengetahuan baru atau merekonstruksi yang sudah ada.


Selanjutnya, membaca sebagai proses pensucian jiwa-raga dari kotoran (bathin) yang mendera kalbu manusia. Dunia akademik seringkali mendewakan akal, menjadikan pengetahuan adalah segalanya. Padahal akal banyak menepikan ketenangan bathin, banyak berfikir akan membuat was-was, dan hati tidak tenang, akhirnya kenikmatan semu dalam angan-angan.


Betapa tidak, rakyat kecil yang penuh spiritual di pedesaan bisa hidup santai, apa adanya, tenang tanpa beban pikiran serta keinginan meraup duniawi lebih karena kekuranganya, berbeda dengan kaum intelektual, pengusaha, pejabat, atau orang kaya yang kosong spritual maka bisa jadi hari-harinya dipusingkan dengan kegiatan, bathin mengganjal, waktu yang sempit dan tidur tidak nyaman.


Sebab itu, intelektualitas, kekuasaan dan kekayaan harus menjadi jalan pensucian jiwa-raga, mendalami makna ayat-ayat penciptaan (kauniyah) sebagai manifestasi ketaqwaan, karena kesucian adalah landasan dasar lahirnya sebuah hikmah. Maka, jangan heran jika manusia yang suci dapat berpetualang pengetahuanya lintas dunia tanpa harus belajar dan membaca (ilmu dunia).


Berikutnya, membaca adalah menyebut nama Tuhan yang menciptakan. Artinya, pembaca pada fase ini akan membuka misteri semesta alam. Membaca semata-mata menggali eksistensi Tuhan dalam konstruks ilmiah, sebab itu meneliti tidak sekedar menggali ilmu pengetahuan akan tetapi wujud interaksi akademik dengan Tuhan, mendalami dan memahami potensi akademik ruhaniyah.


Membaca harus mampu menginternalisasi segala penciptaan di alam semesta menyatu dalam jiwa-raga pembaca, menggali segala eksistensi yang tersembunyi di balik penciptaan, Tuhan adalah realitas tersembunyi.


Pada akhirnya, dengan membaca dapat mencerdaskan intelektual, spiritual, emosional, dan kepercayaan diri yang berpadu dengan kerendahan hati. Membuka peluang untuk menyerap sebanyak mungkin ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan. Menumbuhkan kemampuan untuk berpikir kreatif, kritis, analitis dan imajinatif. Membentuk kemampuan berpikir lewat proses: menangkap gagasan/informasi, memahami, mengimajinasikan, menerapkan dan mengekspresikan.


sudah seharusnya seorang akademisi menempatkan membaca sebagai kebutuhan bukan sekedar kewajiban.

81 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page