top of page

Pentingnya Ilmu Filsafat dalam Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi

  • Writer: LSP3I
    LSP3I
  • Jan 23, 2019
  • 18 min read

“Filsafat adalah hal yang penting dalam kehidupan, mampu menjawab segala pertanyaan dengan metode berpikir yang logis dan tidak terikat norma dan dogma.”

Pendahuluan


Filsafat Ilmu sangat penting peranannya terhadap penalaran manusia untuk membangun ilmu. Sebab, Filsafat Ilmu akan menyelidiki, menggali, dan menelusuri sedalam, sejauh, dan seluas mungkin semua tentang hakikat Ilmu. Dalam hal ini, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan akar dari semua ilmu dan pengetahuan. Beberapa pandangan mengenai Filsafat Ilmu diantaranya Filsafat Ilmu merupakan suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah. Filsafat ilmu adalah pembandingan atau pengembangan pendapat-pendapat masa lampau terhadap pendapat-pendapat masa sekarang yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah. Filsafat ilmu merupakan paparan dugaan dan kecenderungan yang tidak terlepas dari pemikiran para ilmuwan yang menelitinya.


Filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai suatu disiplin, konsep, dan teori tentang ilmu yang sudah dianalisis serta diklasifikasikan. Filsafat ilmu adalah perumusan pandangan tentang ilmu berdasarkan penelitian secara ilmiah. Ketika filsafat dikatakan sebuah sebuah disiplin ilmu, disebut sebagai akar dari sebuah ilmu pengetahuan itu sendiri, disini diambil pertanyaan balik pada filsafat itu sendiri, sejauh mana kontribusi yang diberikan oleh filsafat ilmu kepada ilmu Pengetahuan.


Definisi Nominal: Filein (mencintai) dan Sophia (kebijaksanaan). Filsafat adalah ilmu yang mencintai dan mencari kebijaksanaan. Definisi real: Filsafat adalah pengetahuan mengenai semua hal melalui sebab-sebab terakhir yang didapat melalui penalaran atau akal budi. Ia mencari dan menjelaskan hakekat dari segala sesuatu. Obyek material: segala sesuatu obyek material: mencari hakekat. Berfilsafat berarti mempertanyakan dasar dan asal-usul dari segala-galanya; untuk mencari orientasi dasar bagi kehidupan manusia. Orang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang , ia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan alam, Karakteristiknya berfikit filsafat yang pertama adalah menyeluruh, yang kedua mendasar.


Tidak dapat kita pungkiri bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakan dasar-dasar paradigmatik bagi tradisi keilmuan dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala barat, yang sebenarnya filsafat itu sendiri datang dari timur. Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan.


Berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology, dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.


Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini sehingga filsafat ilmu dikatakan sebagai akar dari sebuah ilmu.


Pembahasan


I. PERGURUAN TINGGI dan FILSAFAT ILMU


1. Hakikat dan Fungsi Perguruan Tinggi


Perguruan tinggi adalah tempat pesemaian bibit-bibit pemikir, intelektual, dan profesional dengan berbagai macam jenis dan arus pemikiran keilmuan yang terus berubah dan berkembang. Fungsi utama Perguruan Tinggi adalah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan berbagai bentuk guna membentuk kompetensi para peserta didik sebagai calon pemikir, ilmuwan, dan profesional yang mampu menampilkan pemikirannya secara akademis (filosofis–logis). Dosen, mahasiswa, dengan sarana berpikir filosofis-logis, akan dibimbing agar mampu menggarap dan mengembangkan alam pemikirannya sedemikian rupa, sesuai bidang akademisnya, menjadi pengetahuan, dan melalui pengetahuan akan terbentuk ilmu–ilmu, yang kemudian akan terus berkembang.


Pikiran-pikiran keilmuan yang dikembangkan di perguruan tinggi itulah yang kemudian menghasilkan pikiran-pikiran teknologi yang akan melahirkan teknologi sebagai sebuah kekuatan yang menentukan dalam kehidupan manusia modern. Pikiran-pikiran teknologis itu kemudian berkembang menjadi pikiran-pikiran industrial yang mampu manciptakan berbagai pemikiran sistemik (input, output, dan outcome) yang sinergis dalam membangun sebuah kehidupan masyarakat modern itu sendiri. Akhirnya, pikiran itu sendirilah yang telah mendorong lahirnya berbagai pemikiran kritis dalam rangka tugas menyiasati, baik ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri yang cendrung mengorbankan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.


Berpikir secara filosofis-logis, artinya, berpikir secara kritis, rasional, obyektif, dan normatif karena harus menaati prinsip-prinsip berpikir yang sehat dan lurus, bukan berdasarkan kemauan atau dorongan emosi belakah. Studi Filsafat ilmu, di Perguruan Tinggi, bermaksud mengorientasikan sebuah pola pemikiran yang bersifat kritis, radikal, sistimatis, logis, holistik, komprehensif-integratif, dan eksistensialistik. Ciri berpikir tersebut merupakan fondasi filosofis yang kokoh dalam menyanggah serta memekarkan setiap setiap arus pemikiran yang menjadi lahan pengembangan diri para intelektual muda. Hal mana, begitu penting dan strategis bagi para mahasiswa dalam membangun kompetensi dirinya selaku pemikir, ilmuwan, calon profesional yang mampu memahami dan mengerjakan pikirannya secara tepat, sehat, dan benar dalam bidang keilmuan yang ditekuninya.


Prinsipnya, perguruan tinggi harus mampu membangun pikiran-pikiran keilmuannya secara filosofis untuk makin menemukan eksistensi “ilmuan pemikir”, bukan sekedar ilmuan “foto kopi”. Perguruan Tinggi harus mempu membangun budaya keilmuan, baik secara internal keilmuan maupun lintas keilmuan. Mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik untuk dapat melakukan eksplorasi pemikiran, menggagasnya, dan mengkomunikasikan atau mendebatkan pikiran-pikirannya secara terbuka. Mereka belajar untuk saling mengkritik dan saling mempertajam ide-ide dengan berbagai ruang pemaknaan.


Mereka secara bebas dan terbuka melakukan transaksi dan negosiasi pemikiran untuk memecahkan topik pembelajaran atau permasalahan aktual yang terjadi dalam lingkungan alam maupun dalam lingkungan sosialnya. Melalui itu, mereka mampu menyuguhkan kebenaran-kebenaran serta validitas dan keabsahan pemikiran yang diterima secara luas dan berlaku universal. Pendeknya, tidak ada sebuah kejeniusan pemikiran keilmuan apa pun yang bersifat ilmu atau keilmiahan tanpa sebuah norma pembimbingan maupun pertanggungjawaban filosofis-logis yang memadai.


Pengalaman menunjukkan bahwa, umumnya mahasiswa dan output perguruan tinggi yang belum dapat mengerjakan pikirannya secara tepat dan benar, karena belum terlatih secara matang dalam membangun dan menguji pikiran-pikirannya secara kritis, terbuka, dan terstruktur. Karenanya, mereka cenderung menghafal, memfotokopi, dan mengikuti secara buta berbagai warisan pemikiran serta berbagai rumusan formal dari norma apa pun tanpa sebuah pertimbangan kritis. Bahkan, banyak yang hanya mengikuti kuliah secara formalistik untuk mengejar target pencapaian sistem kredit semester (SKS) yang harus ditempuh, tanpa berusaha membangun sebuah kompetensi pemikiran yang memadai dengan melakukan transfer of knowledge secara efektif dan sistimatis.


2. Filsafat Ilmu di Perguruan Tinggi


Filsafat ilmu bertujuan untuk memberikan pemahaman betapa luas dan dalamnya hakikat serta tanggungjawab pikiran dan pengetahuan manusia. Perguruan tinggi, secara filosofis, berfungsi dalam rangka pencerdasan budi atau intelektual dan budaya masyarakat. Karena itu perguruan tinggi, berusaha menumbuhkan kesadaran dalam diri mahasiswa dan masyarakat bahwa pikiran, pengetahuan, dan ilmu adalah salah satu fenomena eksistensi manusia yang tidak dapat dipisahkan dari nilai dan panggilan tugas kemanusiaan yang diembannya.


Dalam filsafat ilmu, nilai dan panggilan tugas kemanusiaan telah begitu lekat (inheren), baik di dalam pikiran atau pengetahuan, termasuk dalamnya, bidang ilmu dan teknologi sedang yang ditekuni oleh para mahasiswa sesuai bidang minat dan profesinya di perguruan tinggi. Usaha tersebut, bertumpuh pada manusia sebagai subyek, sehingga mampu mendongkrak segala keterbatasan kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan diri sebagai makhluk budaya yang bisa mengusai alam yang mendeterminasi dirinya.


Mengingat mata kuliah Filsafat ilmu ini disajikan sebagai salah satu matakuliah di PT, maka diharapkan, baik secara substantif maupun metodis, perkuliahan dimaksud dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan dan ketrampilan berpikir yang baik bagi mahasiswa untuk sejak dini dapat terlatih membangun pendekatan filosofislogis itu di dalam membangun kompetensi keilmuannya. Sasarannya pada upaya memperkenalkan prinsip-prinsip dasar studi filsafat yang membimbing mahasiswa untuk membongkar dan menggali berbagai realitas kekayaan tentang dunia kemanusiaannya yang penuh daya misteri, serta membentuk dasar-dasar pemahaman filosofis yang berhubungan teknik atau seni dalam membangun atau mengerjakan pikiran dalam membangun tugas keilmuan.


Realitas di perguruan tinggi dewasa ini, pengembangan filsafat ilmu khususnya sistematika berfikir peserta didik yang masih kurang. Ini salah satu sebab utama kurangnya para pemikir kita bisa menghasilkan ide, gagasan,pendapat sendiri dan persfektif yg lebih baik kecuali apa yang sudah tertulis dalam materi-materi pelajaran maupun kuliah. Hasilnya adalah manusia-manusia yang tidak punya keberanian untuk keluar dari pedoman-pedoman ilmu yang terdapat dalam materi textbook.. Sementara kalangan ilmuwan, scientolog dan filosof barat hampir selalu menghasilkan karya ilmiah yang ditawarkan ke dunia International lewat jurnal-jurnal Ilmiah dan forum International.


Sebabnya kenapa? Praktek pendidikan kita tidak mengajarkan berbagai sistem berfikir yang ada yaitu logika, rasionalisme, empirisme, pragmatisme, realisme, idealisme, kausalitas sebab akibat, sintesisme, postrealisme, epistemologi, etimologi dan seterusnya. Padahal segala sistem berfikir adalah tonggak bagi segala bangunan keilmuwan dunia, baik itu fisika, kimia, biologi, sosiologi, matematika, geografi, Antropologi termasuk juga Pancasila dan Agama. Segala sistematika berfikir yang terdapat dalam Filsafat ilmu adalah metode untuk menghasilkan pengetahuan, adalah metode untuk meneliti, adalah metode untuk berfikir, adalah metode untuk menghasilkan pemikiran ilmiah, adalah metode untuk mendesain ulang kembali peradaban sekarang yang cenderung kearah materialisme hedonisme Liberal dan adalah metode untuk mencipta, mengkreasikan dan menemukan keilmuan baru.


Apakah cukup dengan segala materi ilmu pengetahuan yang dipahami lalu semua peserta didik bisa berfikir sendiri? Apakah cukup hanya dengan duduk, datang, dengarkan ceramah dosen bisa dicetak generasi pemikir dan pencipta? Apakah bisa dengan segala bacaan, perpustakaan, materi tulisan lalu muncul generasi ilmiah kreatif? Jawaban tentu TIDAK. Tidak akan bisa dan tidak akan pernah bisa. Sebab sendi dasar berfikir dan mencipta tidak dikuasai oleh generasi kita yaitu FILSAFAT BERPIKIR.


Sebelum peserta didik kita tidak diajarkan sistematika berfikir dengan segala metodenya, maka bangsa ini tidak akan mampu bersaing dalam hal Ekonomi, Politik, militer dan Budaya dan penelitian ilmiah dibanding bangsa bangsa lainnya terutama barat dan Asia Timur. Wajib bagi pelajar kita untuk belajar logika sistematika berfikir atau bangsa ini makin tidak bisa menghasilkan pemikir-pemikir dan penemu handal! Dilain sisi, kekeliruan terbesar dunia pendidikan kita adalah alam semesta telah teredusir dan terpangkas jadi pelajaran-pelajaran buku teks ilmu alam, bukan pelajaran tentang bagaimana mengamati, mengklasifikasi, meneliti dan mengobservasi alam secara langsung dengan 5 panca indranya.


Membenamkan teks dan kalimat bukan meneliti apalagi mengobservasi, tidak lebih hanyalah sebuah permainan kata-kata yang tidak bermakna dan penuh dengan kegiatan pembenaman kalimat-kalimat kedalam benak peserta didik. Maka yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang sekedar meringkas, mencontek, mengeja, mengekor dan menjiplak hasil karya ilmiah yg dihasilkan oleh peneliti dan pengeksplorasi asing tanpa kita bisa menghasilkan individu-individu andal dibidang ilmu alam.


Filsafat adalah hal yang penting dalam kehidupan, mampu menjawab segala pertanyaan dengan metode berpikir yang logis dan tidak terikat norma dan dogma. Beberapa alasan mendasar kenapa perguruan tinggi harus mengajarkan, mengembangkan filsafat ilmu sebagai pengetahuan dasar yang harus dimiliki peserta didik. Sebagai berikut.


a) Menjadi seorang yang kritis

Dengan belajar filsafat, peserta didik bisa memiliki pemikiran yang kritis. Filsafat akan membentuk pemikiran diplomatis, yang bisa menjadikan kamu peka terhadap lingkungan sekitar, dan juga bertindak anti-apatis.


b) Mampu berpikir secara rasional dan logis

Disamping itu, filsafat juga bisa membentuk peserta didik menjadi seorang pemikir yang logis dan rasional. Dengan metode berpikir seperti ini, kamu bisa mengatasi masalah-masalah dalam kehidupan dengan baik.


c) Berpikir independen

Pemikiran independen adalah hasil berpikir secara pragmatis dan terbuka. peserta didik juga berusaha mengambil jalan tengah agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Memang, berpikir secara konvensional akan membuat hidup menjadi sistematis, tapi berpikir secara independen membuat peserta didik bisa melangkah lebih jauh. Selain itu, berpikir independen berarti tidak 'hidup' berdasar pemikiran orang lain.


d) Berpikir secara fleksibel

Filsafat itu sifatnya dinamis, tidak terbelenggu dalam satu aturan-aturan dan kaidah. Ini akan membuat peserta didik memiliki fleksibilitas berpikir, memiliki kemauan untuk mencoba hal baru. Tidak harus 'terikat' dengan ide-ide lama, karena kamu bisa menggantinya dengan ide-ide baru yang lebih efektif.


e) Memperluas wawasan

Memiliki wawasan yang luas akan membuat peserta didik lebih terampil di berbagai bidang. Ingat, peradaban dunia dibangun berdasar dari berbagai macam pemikiran. Di samping itu, peserta didik akan memahami berbagai macam teori-teori dalam kehidupan, sehingga menjadi menjadi sadar, betapa berharganya kehidupan.


f) Mampu menganilis setiap permasalahan

Filsafat mengajarkan kita untuk bisa mempertahankan pendapat, serta bisa mengembangkannya secara sehat, menggunakan nalar yang tepat, tidak menggunakan otot dan tidak menggunakan ototritas intervensi.


g) Menjadi seorang yang skeptis

Bukan berarti peserta didik harus menjadi agnostik atau atheist, namun ini lebih ke arah bagaimana mereka mengamati lingkungan dan situasi sekitar. Menjadi seorang yang skeptis berarti tidak langsung percaya pada suatu peristiwa atau berita, tapi kamu harus bisa menemukan bukti yang kredibel serta valid, agar tidak termakan berita hoax.


h) Memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasar sebab-akibat

Prinsip ini disebut juga kausalitas, bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebab yang mengawalinya. Ketika mereka ditanya tentang bagaimana sesuatu bisa terjadi, mereka tidak lagi menjawab "Tidak tahu", karena mereka sudah memiliki jawabannya.


i) Menjawab segala pertanyaan tentang kehidupan

Pada dasarnya, Filsafat adalah jawaban dari setiap pertanyaan. Mungkin di benak kita sering terlintas pertanyaan seperti, "Siapa kita?", "Untuk apa kita hidup?", "Apa itu kehidupan?". Kita bisa menemukan metode dan cara yang tepat, untuk bisa memahami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.


Tegasnya, filsafat ilmu hendak menunjukkan bahwa filsafat adalah ilmu berpikir atau seni mengolah pikir untuk menghasilkan karya-karya keilmuan dan karya budaya yang berguna. Melalui itu, mahasiswa dibimbing untuk memahami bagimana pikiran sebagai daya intelektual manusia telah menjadi kekuatan peradaban dan budaya yang telah menghasilkan kemajuan-kemajuan besar dalam hidup dan menjadikannya sebagai master budaya.


Melalui Filsafat ilmu, dosen dan mahasiswa dapat membangun kemampuan filosofisnya dalam mengolah pikir guna mengkritisi berbagai pemikiran keilmuan yang digeluti serta makin terbimbing untuk menghasilkan karya-karya keilmuan dan karya budaya yang berguna, sesuai bidang keahliannya. Inti pembangunan ilmu bertumpuh pada tiga dimensi keilmuan, yaitu:


Pertama; dimensi kritis, dengan tujuan untuk membangun otonomi diri serta kemampuan nalar dalam menilai dan mempertanyakan berbagai kemungkinan (klaim-klaim kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius) dalam rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan hidup);


Kedua; dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah budi (kecerdasan), mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual;


Ketiga; dimensi kontemplatif untuk menajamkan kepekaan, mampu mengenal kekuatan dan kelemahan, serta menasihati dan membimbing diri (menangani diri) sehingga memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat yang beradab dan bermartabat.


II. PIKIRAN dan ILMU


1. Pikiran sebagai kekuatan membangun logika dalam keilmuan.


Secara umum, dapat dikatakan bahwa sebetulnya, masing-masing ilmu memiliki “logika”-nya sendiri, dan itulah yang disebut prinsip dasar dan metode berpikirnya. Metode itu ditemukan dan dikembangkan bersama dengan mengadakan refleksi atas obyeknya untuk mencapai pemikiran-pemikiran baru yang lebih jelas. Bahwa, lajunya perkembangan pikiran atau ilmu dan pengetahuan manusia dewasa ini, terutama yang berhubungan dengan informasi ilmiah, telah begitu maju pesat.


Kegandrungan yang begitu luas–mendalam terhadap ilmu telah membawa berbagai macam perubahan tata nilai dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian, kegandrungan terhadap ilmu telah membawa pula berbagai konsekuensi logisnya yang semulanya, tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan oleh ilmu itu sendiri, dimana kejahatan pun makin diilmukan dengan logika-logika keilmuan yang bersifat irasional. Pengilmiahan atau “pengilmuan kejahatan” dimaksud untuk mendapatkan justifikasi logis, yang hampir tak terbantahkan secara keilmuan, atas berbagai kecenderungan bias (penjahat berdasi) yang makin mendeterminasi alam pemikiran dan kehidupan secara luas.


“Pengilmuan kejahatan” dibangun dengan logika-logikanya yang di-”rasionalisasi”-kan” sedemikian rupa (bukan berdasarkan kebenaran rasional tetapi pembenaran secara irasional) untuk menjadi alat pembohongan atau alat merekayasa kepalsuan dan kebohongan menjadi kebenaran dan kesalehan untuk mencapai tingkat keabsahan, baik pada tataran formal (misalnya, pada lembaga-lembaga yang berkompeten baik secara politis maupun yuridis), maupun secara sosial dalam kehidupan aktual masyarakat. Bahkan, para ”tukang” maupun “majikan” logika logika irasional dimaksud, seakan, telah mampu memutarbalikkan kejahatan menjadi kesalehan dalam sebuah kekuasaan yang irasional (The Logic of Power).


Kini The Logic of Power, telah berkembang luas, dalam kehidupan masyarakat aktual kita. Bahkan, ia seakan, telah menjadi semacam kekuatan intelektual baru (the new intelectual forces) sehingga mampu meyakinkan pikiran dan pandangan banyak umat manusia dengan berbagai implikasi yang sungguh memprihatinkan dan mencemaskan. Hukum dasar logika irasional dimaksud adalah melakukan affirmasi atau pembenaran-pembenaran logis atas nafsu kekuasaan dan kejahatan, dengan cara menegasi atau menyingkirkan prinsi-prinsip kebenaran logis (The Power of Logic) dalam usaha membangun dan mempertahankan kebenaran-kebenaran logis atas dasar pemikiran yang sehat dan rasional.


Ciri utama The Logic of Power adalah logika penindasan, pembodohan, dan penguasaan, bukan logika pembebasan dan pendewasaan hidup. Manusia, akhirnya, makin terbelenggu menjadi “tidak akil balik” (tidak matang atau dewasa) di dalam banyak “sangkar emas” yang dibuatnya sendiri. The Logic of Power, karenanya, harus makin diatasi dengan The Power of Logic untuk memulihkan alam pemikiran dan pengetahuan manusia, serta menunjukkan adanya harapan-harapan baru dalam membangun alam pemikiran dan keilmuan sebagai kekuatan peradaban yang khas manusiawi.


Perkembangan kesadaran itulah yang makin menantang orang, terutama para ilmuawan untuk selalu melakukan percermatan ulang serta pengkajian-pengkajian kritis, dan analisis sedalam-dalamnya atas berbagai pemikiran keilmuan serta berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih brilian dengan norma berpikir yang benar. Posisi dosen dan mahasiswa sebagai kaum pemikir, karenanya, menjadi sangat relevan dalam membangun dan memperluas arus kesadaran dimaksud. Melalui itu, berbagai kekeliruan, konflik, dan kesesatan hidup akibat derasnya The Logic of Power dalam masyarakat, makin teratasi dengan sebuah kekuatan pencerahan baru.


2. Pikiran Sebagai Tenaga Keilmuan


Pikiran (bah. Inggris mind), menunjuk pada isi dan ruang kesadaran atau keinsyafan manusia. Pikiran sebagai sebuah substansi rohani yang berupa daya rasional, membuat manusia mampu memiliki kesadaran, kemampuan kritis, bernalar, berprakarsa, berkehendak, serta bertanggung jawab. Pikiran, sebagai salah satu fenomena eksistensial manusia, menjiwai kehidupan dan perbuatan manusia, sertamempersatukan manusia dengan dunia dan sesamanya dalam sebuah tatanan social yang beradab.


Pikiran, bukan hanya merupakan sebuah hasil berpikir yang bersifat statis, tetapi juga merupakan sebuah proses yang penuh dinamika perubahan dan perkembangan secara terus-menerus. Orang, karena itu, sering membedakan pikiran berdasarkan dua sisinya, yaitu; sisi materi dan sisi rohani (dinamika kesadaran). Bagi mereka yang memandang pikiran dari sisi materi, pikiran adalah sebuah bentuk energi material yang sedang bergerak, sementara bagi mereka yang memandang pikiran dari sisi rohani melihat pikiran sebagai aktivitas non material yang terus mendorong aktivitas-aktivitas mental dalam rangka mengkritisi, memprediksi, dan mengambil keputusan-keputusan intelektual.


Sejauh ini, ada berbagai teori yang bersifat monistik, dualistik (dikhotomis), atau dialektis tentang pikiran itu sendiri. ganut aliran "Monisme" akan cenderung mengidentikkan pikiran dengan proses-proses otak tertentu, misalnya; pencerapan, persepsi (kesan atau pemahaman), dan kesadaran. Penganut aliran "Dualisme" (Dikhotomis), di sisi lain, akan cenderung memisahkan pikiran dari keutuhan tubuh manusia, dengan menunjukkan berbagai ciri yang sungguh membedakan atau mengkonfrontasikan pikiran (rohani) dari tubuh (materi) dimaksud.


Pikiran makin mendorong dan mengembangkan niat, rasa, atau semangat keingintahuan manusia menjadi sebuah "tanaga ilmu". Melalui pikiran, manusia makin mengembangkan semangat "ingin tahu"-nya kearah penemuan konsepkonsep, ide, gagasan, dan pembuktian-pembuktian hipotesisi atasnya untuk menjadi teori atau pikiran keilmuan yang jelas. Manusia, melalui itu, mampu menyingkap keberadaannya, bukan sekedar sebagai fakta, tetapi masalah dengan dinamika personanya, yang harus dipecahkan, baik secara psikologis, biologis, teologis, antropologis, sosiologis, ekonomis, paedagogis, ekologis, dan sebagainya. Bahkan, manusia mampu menciptakan aneka hukum bagi pengembangan kehidupannya, seperti; hukum ekonomi (the Law of having), hukum tindakan (the Law of doing), dan hukum budaya (The Law of Being).


Pikiran, dalam kedudukan sebagai "tenaga ilmu", berfungsi memberi dasar-dasar pemikiran keilmuan, menentukan obyek dan prinsip-prinsip metodik keilmuan serta ciri khas masing-masing cabang ilmu. Tenaga keilmuan tersebut, berfungsi pula untuk memperdalam serta memperluas cakrawala pertimbangan-pertimbangan dan putusan-putusan teoretis sehingga mampu mendorong perkembangan ilmu-ilmu khusus, maupun aplikasi atau penerapan keilmuan dengan pertimbanganpertimbangan nilai agar ilmu pengetahuan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.


Akhirnya, pikiran, baik sebagai "tenaga budaya" maupun "tenaga ilmu", merupakan kekuatan strategis untuk menyingkapkan keluhuran atau keagungan manusia yang tiada bandingnya, sehingga rasa "ingin tahu" manusia menemukan artinya yang strategis dan mendalam. Manusia, dengan pikirannya, telah mendorong rasa keingintahuannya itu sehingga telah mampu mengantarkannya memasuki dan menyelami segala seluk beluk alam pemikiran, baik yang bersifat spekulatif - teoretis dalam rangka menghasilkan pikiran-pikiran keilmuan, maupun pikiran-pikiran yang bersifat praktis operasional dalam rangka membangun kecakapan, menciptakan alat-alat untuk membantu manusia dalam mempertahankan diri serta sekaligus mengembangkan hidupnya sebagai makhluk beradab.


Bahkan, manusia dengan pikiran telah balik menantang dan mendorong pengembangan pikirannya itu, sedemikian rupa, sehingga mampu mendongkrak segala keterbatasan kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan diri sebagai makhluk budaya yang bisa mengusai alam yang mendeterminasi dirinya. Cara pengobatan pikiran atas "rasa ingin tahu" manusia itu, antara lain dengan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengolah tanah yang gersang menjadi lahan subur dan produktif guna menunjang kehidupannya. Bahkan, dengannya, manusia mampu mengubah tanah yang berbukit atau hutan rimba menjadi istana, menciptakan bangunan bertingkat, kapal, pesawat, dan sebaginya untuk mengatasi keterbatasan kikinya yang tidak mampu berjalan mengantarkannya secara cepat, mengelilingi pulau dan benua dalam waktu yang singkat.


Pikiran merupakan sebuah dharma kehidupan yang meluhurkan dan memampukan manusia menyingkap realitas, supaya memungkinkan manusia berkomunikasi satu dengan yang lainnya serta meningkatkan harkat kemanusiaan manusia. Manusia dengan pikirannya, mampu menciptakan bahasa, baik untuk kepentingan komunikasi maupun untuk kepentingan penegasan eksistensi atau jati diri. Meskipun demikian, pikiran manusia bukanlah sebuah lingkup pengada manusia yang lengkap dan sempurna. Pikiran, sesungguhnya, merupakan sarana pengada yang memungkinkan mengadanya berbagai macam tindakan dan hasil tindakan manusia yang mengisi alam kebudayaannya.


Pikiran mendorong manusia untuk mengetahui dan menghasilkan berbagai turunan pengetahuan atau ilmu yang, seakan, tidak berkesudahan, berintikan pada penilaian mengenai manusia dan kemampuan mengadanya di tengah alam kehidupannya secara nyata. Pikiran lah yang membuat manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab dan karenanya, dapat dimintakan pertanggungan jawabnya atas segala hal yang dilakukan. Manusia dibimbing secara jelas dengan pikirannya untuk memahami, menilai, dan menyiasati secara jelas dan tertanggung jawab kondisi konkretnya agar ia bertindak sesuai martabatnya. Konkritnya, dengan pikirannya, manusia mampu melakukan transendensi terhadap realitas seperti apa adanya, dan makin menuju kepada kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui pengamatan terhadap realitas yang dialaminya.


3. Berpikir dalam Kerangka Tugas Keilmuan.


Berpikir, secara filosofis, adalah sebuah tugas kemanusian dan tugas budaya yang makin memperluas kesadaran (reasoning) manusia. Manusia, dengan berpikir, mampu mendongkrak keterbatasan-keterbatasan kodrati manusia untuk melakukan penemuan-penemuan (invention) serta karya-karya budaya dalam rangka memanusiakan diri dan lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang manusiawi serta berbudaya.


Berpikir bukan merupakan proses kelana dalam berbagai hantu khayalan atau untuk mencari kepuasan yang sifatnya temporer. Justru, berpikir merupakan proses yang mesti membuahkan pengetahuan, ilmu, “Spesialisme”, teknologi, serta “Industrialisme”. Bahkan, pada sisi tertentu, kemajuan pikiran telah memacu berkembangnya pengetahuan dengan segala akan pinaknya, sebagaimana ditunjukkan di atas. Kenyatan itulah yang membuat ilmu, “Spesialisme”, teknologi, dan “Industrialisme” dimaksud, telah menggejala luas dan makin menguasai hidup manusia. Ilmu, pengetahuan dan teknologi seakan telah memberikan atribut yang khas bagi manusia sebagai “manusia modern” yang hidupnya, seolah-olah, diabdikan sepenuhnya untuk mengejar “kemajuan” dan “pertumbuhan” (progres).


Dosen, mahasiswa bukan hanya menghadapi pikirannya, tetapi mengolah, mengkritisi, dan menatanya sedemikian rupa dengan pola penalaran yang logis maupun metode pemikiran yang khas untuk membangun dunia keilmuannya yang khas. Dosen, mahasiswa, dalam proses mengajar dan membelajar (pembelajarannya) di perguruan tinggi terarah sepernuhnya untuk mengerjakan pikiran-pikiran keilmuannya, baik untuk kepentingan pengembangan ilmu secara luas maupun untuk penerapan dalam memecahkan permasalahan kehidupan di dalam lingkungannya.


Dengan berpikir dan mengembangkan pikiran keilmuannya dengan baik maka seorang dosen atau mahasiswa akan menjadi ilmuwan yang mendunia. Epistemik atau pertumbuhan pemikiran tersebut, pada awalnya, merupakan serangkaian gerak kegiatan pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan khusus (special knowledge) yang dalam hal ini disebut pengetahuan keilmuan atau pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).


Ilmu atau pengetahuan keilmuan mana, bukanlah pikiran yang statis dan final, karena pikiran keilmuan itu sendiri segara akan memasuki sebuah dunia keilmuan terus berkembang secara multiplikatif. Umumnya, setiap perkembangan ide atau konsep merupakan berpikir itu sendiri. Gerak pemikiran ini, dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari obyek yang sedang dipikirkan. Bahasa adalah salah satu dari lambang tersebut yang berfungsi menyatakan obyek-obyek tersebut dalam bentuk kata-kata. Hal yang sama juga dilakukan dalam matematika. Kemampuan berpikir seorang bayi dimulai dengan belajar berbahasa (bahasa verbal) kemudian dengan mengenal angka-angka (bahasa angka) yang dilanjutkan dengan belajar berhitung.


Proses berpikir itu kemudian dilakukan secara formal dalam bentuk pendidikan, dan sebagainya. Gerak pemikiran tersebut, makin berkembang dengan adanya prestasi-prestai pemikiran yang telah diarahkan serta diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan teknologi yang makin menemui puncak-puncak kejayaannya dalam bentuk teknoindustri, serta ”Industrialisme” yang mampu memproduksi hasil-hasil, serta spesie spsesies pemikiran baru secara berlipat ganda. Meskipun demikian, pikiran dan hal mengerjakan pikiran itu sendiri dengan segala turunannya yang disebutkan di atas, kini, telah menjadi urusan banyak pihak dengan berbagai macam kepentingan, baik yang bersifat luhur (positif), maupun buruk (negatif).


Hal itu pun dilakukan dengan berbagai macam media, baik berupa media teknologi informasi, teknologi genetika, bio-medis, maupun teknologi persenjataan (hasil pemikiran itu sendiri), yang bukan hanya menguasai proses pembelajaran secara formal, tetapi jauh lebih daripada itu, telah menguasai dan menggerogoti otonomi berpikir, moralitas, serta hak-hak privat manusia, dan makin pula menimbulkan berbagai arus kecemasan dalam diri dan kehidupan manusia, tanpa ketenangan.


Perkembangan arus keilmuan pun, makin menunjukkan sebuah perkembangan yang beranekaragam, bercabang-cabang, dan bahkan, menjurus pada spesialisasi yang terpecah-belah. Spesialisasi, yang di samping telah membawa keuntungan bagi pemecahan masalah-masalah kemanusiaan dan dunia, akhirnya telah terjebak menjadi “Spesialisme”, dalam arti sikap spesialisasi yang tertutup untuk kepentingan (egoisme dan keangkuhan) spesialisasi dan kaum spesialis itu sendiri. Pasar spesialisasi telah menjadikan manusia itu sendiri sebagai obyek transaksi, uji-coba, lahan garapan, dan bukan semata-mata untuk menyembuhkan manusia.


Intinya, pengetahuan atau ilmu, sebagai produk pikiran manusia, membantu manusia untuk makin mengenal dan menemukan dirinya serta serta makin menghayati hidupnya dengan sempurna. Berbagai ragam pemikiran telah dan akan terus dikembangkan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia yang terus berkembang. Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Justru itu, ilmu bukan untuk ilmu (ilmu qua ilmu), tetapi untuk manusia dan kemanusiaan itu sendiri.


III. PEMIKIRAN KEILMUAN


1. Ciri pemikiran keilmuan


Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh, suatu cara berpikir yang penuh kedisiplinan. Seorang pemikir ilmuwan tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun semuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir keilmuan, secara filosofis, adalah berpikir sungguh-sungguh, disiplin, metodis, dan terarah kepada pengetahuan.


Berpikir sungguh-sungguh. Artinya, berpikir dalam kerangka keilmuan membutuhkan keseriusan serta curahan pemikiran yang mendalam dengan totalitas penghayatan untuk membedah suatu pemikiran sampai mendapatkan kejelasan, kepastian, ketepatan, dan keajekan-keajekan pemikiran yang sungguh mendasar bagi sebuah bangunan keilmuan. Berpikir sungguh-sungguh dalam arti yang demikian, mengandaikan pula bahwa pemikir ilmuwan, tidak sekedar bermai-main dengan pikirannya untuk mencari popularitas, tetapi sebaliknya menjadi teladan atau prototype kebenaran dari pemikiran keilmuan itu sendiri.


Berpikir disiplin. Artinya, berpikir keilmuan membutuhkan sikap bathin yang kuat (komitmen diri) dalam mengawal pengembangan pemikiran sampai pada pembuktian-pembuktian kebenaran pemikiran keilmuan, tanpa berdusta, memanipulasi, atau menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran pemikiran keilmuan demi kepentingan yang tidak tertanggung jawab. Berpikir disiplin menunjukkan pula sikap ketaatan dan kesetiaan pada garis atau ciri pemikiran yang ditekuni sampai membuahkan hasilnya sebagai ilmu, meskipun hal itu bertentangan dengan kebiasaan diri atau lingkungan untuk menunjukkan kebenaran-kebenaran baru yang perlu dipedomani dalam membedah misteri kehidupan yang dihadapi.


Berpikir metodis. Artinya, setiap pemikiran keilmuan mesti diproses dan dihasilkan dengan cara-cara kerja yang tertanggung jawab, baik dari sisi rasio maupun teknis analisis, pengujian, dan pembuktiannya. Dengannya, dapat menjadi acuan bagi public dalam rangka pengujian dan pengembangan ilmu tersebut. Berpikir yang terarah pada pengetahuan. Artinya, berpikir keilmuan harus dirahkan sedemikiran rupa untuk menghasilkan sistem pemikiran yang tersusun secara sistematis dan menjadi kerangka-kerangka pemikiran dasar bagi sebuah bangunan keilmuan. Berpikir keilmuan, secara filosofis, hendak mengatasi kekeliruan dan kesesatan pikir serta mempertahankan pemikiran yang benar terhadap kekuatan fantasi dan omong kosong.


2. Kelebihan dan kekurangan pemikiran keilmuan.


Ilmu dan anak kandungnya yang disebut spesialisasi, mesti dilihat dalam kelebihan dan kekurangan manusia, sehingga ilmu dan spesialisasi tersebut tidak seolah-olah didewa-dewakan (tanpa cacat), juga sebaliknya tidak diabaikan dengan berbagai alasan yang keliru. Kepicikan semacam itu, merupakan cermin keterbatasan memahami hakikat kedalaman, keluasan, dan jangkauan (keterbatasan) pemikiran itu sendiri. Filsafat hendak menunjukkan bahwa mereka yang ingin mendapatkan kepuasan dari berpikir, harus menganggap berpikir sebagai sebuah nilai (value) dan petualangan yang mengasikkan, bukan sebagai suatu beban atau kuk yang memperbudak diri dan kemanusiaan itu sendiri.


Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kekuatan fisik manusia boleh lemah dan hancur tetapi pikiran manusia tetap hidup dan menang karena pikiran, pada dirinya, memiliki nilai-nilai keluhuran. Daya pemikiran manusia akan menemukan jalan keluar dari kekacauan, kejahatan, dan perbudakan penderitaan. Selalu ada saja para pemikir dan peneliti yang mengembangkan warisan pemikiran sebelumnya atau berusaha menemukan pemikiran-pemikiran baru yang lebih memadai baginya.


Seorang filsuf, Gilbert Highet mengatakan: “Perjalanan pikiran manusia yang penting inilah, telah membawa manusia keluar dari kebiadaban ke arah peradaban dan kebijkasanaan, dan akan lebih lanjut membawa kita ke sana”. Artinya, kelebihan pemikiran keilmuan adalah membantu manusia untuk menyingkap berbagai misteri kehidupan secara luas dan mendalam. Pemikiran keilmuan sekaligus membantu manusia untuk menangani dan menyiasati aneka realitas yang mendeterminasi kehidupannya, sehingga menjadi realitas yang menunjang kemanusiaannya, dalam sebuah tugas peradaban. Pemikiran keilmuan membantu menyingkap keluhuran manusia dalam menemukan jalan keluar dari berbagai lingkaran kejagatan kebodohan dan kemiskinan.


Meskipun demikian, orang pun harus kritis dalam membangun pemikiran keilmuan, sehingga tidak mendewa-dewakan pemikiran dan lupa bahwa ilmu adalah buatan manusia, bukan ciptaan malaekat. Ilmu, sebagai buatan manusia, tidak dapat menyelesaikan segala hal karena tidak semua masalah kehidupan dapat dipecahkan dengan ilmu. Ilmu mengandung pengandaian-pengandaian yang juga terbatas, baik dari sisi jangkauan pemikiran ilmuwan maupun dari sisi keterbatasan metodenya atau kelengkapan keilmuannya.


PENUTUP


Dengan menunjukan berbagai gambaran secara garis besar mengenai kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada giliranya melahirkan suatu cabang filsafat ilmu, kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu bukanlah sekedar metode atau sekedar cara. Mengetahu, dan memahami sesuatu hal dalam kehidupan ini. Filsafat ilmu adalah refleksi yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan imiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang tidak akan pernah habis dann tidak akan pernah selesai diterangkan.


Sudah menjadi keharusan bagi perguruan tinggi kekinian untuk mengembangkan dan membudayakan filsafat dalam praktek pendidikan dan pembelajarannya. Begitupula dosen, mahasiswa, harinya sudah terlalu siang untuk tidak mengetahui filsafat ilmu, posisi ilmu dalam cakrawala pengetahuan manusia, peran bagi konsistensi manusia. Memahami filsafat sebagai ilmu tentang pengetahuan menjadikan wawasan kita semakin luas bahwasanya filsafat, dan ilmu pengetahuan merupakan dwi tunggal yang keberaadaan serta perkembanganya akan saling mempengaruhi.Hakikatnya, ilmu itu lahir dari yang namanya sebuah filsafat dan filsafat itu sendiri memberikan sebuah kontribusi yang sangat banyak bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini.


Bahan Bacaan


Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.

Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.

 
 
 

Comentários


  • Facebook - White Circle
  • Pinterest - White Circle
  • Instagram - White Circle

LSP3I REGION V SULAWESI PUSAT MAKASSAR

bottom of page