top of page
Writer's pictureLSP3I

Sinergisasi Pendidikan Tinggi dan Dunia Kerja



Akhir-akhir ini begitu banyak kecaman akan kegagalan pendidikan tinggi di Indonesia. Kenapa demikian, tentu saja karena SDM Indonesia mengalami penurunan secara kualitas seperti pengangguran terdidik yang jumlahnya terus mengalami peningkatan. Masalah tersebut seakan semakin menjadi pembuktian akan kebenaran mutu pendidikan tinggi di Indonesia.


Kondisi ini memunculkan pengerdilan terhadap Pendidikan Tinggi, terjadi pembenturan antara pilihan berkomitmen pada pendidikan tinggi dan komitmen berwirausaha tanpa pendidikan tinggi menjadi polemik klasik yang saat ini terjadi. Hal itu seakan menjadi olok-olok bagi mereka yang berkomitmen untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Hal klise yang sering dilontarkan masyarakat adalah mengenai sarjana yang menganggur, sarjana yang bekerja pada seorang lulusan sekolah dasar atau bahkan tidak sekolah, dan juga sarjana yang berpenghasilan rendah.


Fenomena pengerdilan terhadap pendidikan tinggi memang berkaitan dengan pekerjaan, baik kaitan dengan jenis pekerjaan maupun gaji yang diterima seorang yang sarjana. Sebenarnya jika ditilik dari tujuan utama pendidikan, persepsi tersebut sangatlah keliru. Inti utama atau tujuan utama pendidikan adalah pengubahan sikap atau budi para peserta didik.  Atau dilihat dari makna harfiah pendidikan itu sendiri dalam KBBI, pendidikan memiliki arti sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.


Hal ini tentu tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Akan tetapi, pada saat ini memang pendidikan hampir selalu dikaitkan dengan pemersiapan sumber daya manusia untuk terjun ke dunia kerja. Oleh karena itu, akan menjadi olok-olok bagi seorang yang lulusan berpendidikan tinggi (baca:sarjanan) tetapi tidak mendapat pekerjaan atau pengangguran.


Sebenarnya fenomena itu hanyalah fenomena generalisasi saja. Jika menilik data yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) ternyata jumlah pengangguran yang paling banyak adalah berpendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang notabene disiapkan untuk menjadi tenaga kerja.


Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa jumlah pengangguran paling besar bukan dari perguruan tinggi. Hal itu dapat diartikan bahwa sebagian besar orang berpendidikan tinggi sudah mendapat pekerjaan, sedangkan mungkin sebagian kecil tidak mendapat pekerjaan atau pengangguran. Akan tetapi, tentu hal tersebut belum selesai. Kita harus mencari alasan mengapa orang berpendidikan tinggi tersebut tidak mendapat pekerjaan sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan tinggi tidaklah penting dalam kaitan pemerolehan pekerjaan.


Pengerdilan terhadap pendidikan tinggi melalui pembenturan dengan pekerjaan tidak dapat dibuktikan, beberapa pihak yang melakukan pengerdilan terhadap pendidikan tinggi tersebut membenturkan dengan hal lain. Beberapa di antaranya melakukan pengerdilan dari segi sikap dan budi. Contoh terbaru yakni melalui peredaran gambar di media sosial. Gambar itu menampilkan gambar para korupsi (koruptor). Pada gambar diberi tulisan Para koruptor rata-rata berpendidikan tinggi.



Sebenarnya, jika itu benar pun, lagi-lagi generalisasi dilakukan oleh pihak tersebut. Dalam proses pendidikan tentu ada yang berhasil dan ada yang tidak. Indikatornya pun kadang ada yang keliru. Beberapa pihak mengira indikator keberhasilan pendidikan adalah pemerolehan nilai yang baik. Dalam hal ini, memang sebenarnya pola pikir mengenai keberhasilan pendidikan tersebut harus diubah.


Sejauh yang dapat diamati, secara nyata, pendidikan tinggi membuat para peserta didiknya berpola pikir maju dan terbuka. Secara umum orang berpendidikan tinggi akan lebih mudah menerima kemungkinan-kemungkinan baru. Mereka juga akan lebih berkompeten dalam hal pencarian solusi. Meskipun tidak semua orang berpendidikan tinggi dapat melakukan hal tersebut, tetapi dapat dikatakan sebagian besar orang berpendidikan tinggi dapat melakukan itu.


Bagaimana dengan orang berpendidikan rendah? Di antara mereka mungkin juga ada yang terbuka dalam hal-hal yang baru serta pandai mencari solusi. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan penulis, kemampuan itu hanya dimiliki oleh sebagian kecil dari orang-orang yang berpendidikan rendah. Hal terpenting adalah kita tidak boleh saling mengerdilkan sebuah pilihan sesorang, yakni untuk berkomitmen pada pendidikan tinggi atau berwirausaha tanpa pendidikan tinggi.


Mensinergikan Pendidikan Tinggi dan Dunia Kerja

Pendidikan, kemampuan, pengetahuan merupakan salah satu modal yang kita miliki untuk hidup di zaman yang serba sulit ini. Mengapa dikatakan demikian? Kita tentu sudah bisa menjawabnya, apa hal pertama yang dilihat bila kita ingin mengajukan surat lamaran perkerjaan? Apa yang kita butuhkan ketika ingin memulai suatu bisnis atau usaha? Tentu saja pendidikan, kemampuan, wawasan dan pengetahuanlah yang kita butuhkan.


Seperti yang kita ketahui bahwa hasil dari penyelenggaraan pendidikan tentunya akan mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan skill dan pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Umumnya, orang berharap setelah menyelesaikan pendidikan adalah memiliki keterampilan, keahlian, dan wawasan pada satu bidang tertentu sesuai yang dipelajarinya. Ini pula yang melatarbelakangi setiap orang melanjutkan pendidikan dibangku perguruan tinggi agar mendapatkan pekerjaan yang layak.


Namun, untuk  mendapatkan pekerjaan sekarang ini tidak bisa lagi hanya mengandalkan ijazah semata, tapi disyaratkan memiliki keahlian tertentu sebagai syarat untuk menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki keahlian dan pengalaman. Jadi, pendidikan dan pekerjaan adalah dua hal yang berhubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kata ini, setidaknya pendidikan mampu mempersiapkan SDM yang mampu menghadapi tantangan masa depan yang penuh persaingan, bukan sekadar melahirkan sarjana. Disinilah inti dari praktek penyelenggaraan pendidikan kekinian adalah bagaimana menyelaraskan dunia Pendidikan dan kebutuhan dunia Kerja modern.


Meskipun pendidikan tidak berorientasi langsung pada pekerjaan, tetapi kebutuhan akan penyelarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja dewasa ini menjadi sangat penting. Fenomena urgennya penyelarasan ini tidak terlepas dari kesenjangan yang jauh antara jumlah lulusan dengan jumlah kebutuhan dunia kerja (di istilahkan dengan dimensi kuantitas), kesenjangan kompetensi lulusan dengan kompetensi yang di butuhkan dunia kerja (dimensi kualitas), dan perubahan kondisi ekonomi baik lokal, nasional, global dan lead time pendidikan (dimensi waktu).


Tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan, materi ajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, lowongan pekerjaan yang terbatas, banyaknya pekerja yang diberhentikan dari pekerjaan (PHK) serta minimnya kemandirian pencari kerja untuk berwirausaha adalah beberapa faktor klasik yang akhirnya melahirkan tingkat penggangguran terdidik yang masih tinggi di Indonesia.


Era sekarang ini, perusahaan dan industri merekrut tenaga kerja berdasarkan kebutuhan skill/keterampilan. Hal ini berdampak meningkatnya suasana kompetitif bagi calon tenaga kerja sehingga perusahaan bisa mendapatkan tenaga kerja terbaik.  Skill/keterampilan menjadi kebutuhan utama dalam dunia kerja kekinian. Oleh karena itu membekali skill peserta didik adalah hal yang harus menjadi kebutuhan, bukan lagi program insidental.


Selain itu, tuntutan perusahaan dan industri kekinian untuk lebih efisien dan lebih produktif adalah tantangan tersendiri bagi calon tenaga kerja. Perusahaan dan industri hanya akan memilih merekrut tenaga kerja berdasarkan skill terbaik, sehingga kini tak ada batasan dari lembaga pendidikan mana dia berasal.


Sebagai penyumbang terbesar calon tenaga kerja, dunia pendidikan mempunyai andil besar dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun demikian, tujuan pendidikan tentunya tidak sebatas sebagai pemasok tenaga kerja semata. Oleh karena itu melihat kondisi faktual dari dunia pekerjaan global sekarang ini adalah bagaimana dunia pendidikan memandang dunia kerja sebagai salah satu tuntutan yang harus di hadapi dalam era globalisasi ini.


Sebagai wahana manusia untuk memperbaiki taraf hidup, dunia pendidikan erat kaitannya dengan dunia kerja. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan institusi pendidikan untuk mengembangkan sistem pendidikan yang sejalan dengan dunia kerja, tidak lantas menjadikan keduanya seirama. Faktanya, masih terjadi kesenjangan antar keduanya.


Oleh karena itu, praktek penyelenggaraan pendidikan tinggi harus selaras dengan kebutuhan dunia kerja dan industri yang dijabarkan dalam kurikulum sebagai bagian dari sistem pendidikan, dan sejalan dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan pembangunan. Secara implisit pembangunan tidak hanya tentang tujuan dan target pembangunan itu sendiri tetapi secara substansi pembangunan dilakukan untuk memperbaiki taraf hidup manusia.


Lalu bagaimana menyelaraskan keduanya ?

Relevansi antara dunia pendidikan dan dunia kerja harus terus ditingkatkan karena tuntutan zaman yang semakin berkembang. Kondisi dunia kerja kekinian menuntut kebutuhan akan skill yang terbaik, kreativitas dan inovasi, serta efisiensi dan produktivitas tenaga kerja. Kebutuhan tersebut bukan berarti tujuan pendidikan kita harus merujuk pada permintaan pasar. Tetapi sesuai dengan misi pendidikan bahwa profesionalitas dari lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan-lulusan harus mengacu pada standar nasional dan global. Keselarasan tersebut timbul tatkala adanya sinergitas yang terjaga antar keduanya.


Sinergi keduanya muncul tatkala masing-masing berperan sesuai dengan tupoksinya. Tugas utama dunia pendidikan yaitu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kepribadian dan keterampilan yang bermanfaat bagi diri, masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga dengan itu, dunia pendidikan bukanlah mesin cetak yang siap memasok para lulusannya sesuai dengan keinginan lapangan kerja.


Pengembangan sumber daya manusia di era revolusi Industri 4.0, pendidikan tinggi dituntut untuk menyiapkan tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat modern. Hal ini berimplikasi pendidikan tinggi harus merespon dengan cepat terhadap perubahan ataupun tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun perkembangan dunia kerja yang semakin dinamis.


Tantangan pendidikan tinggi dalam hubungannya dengan ketenagakerjaan, sebagai berikut :


1.  Kemampuan Intelektual

Kurikulum pendidikan harus bisa mengantisipasi tuntutan global sehingga sifatnya harus “outward bound” tidak lagi “inward bound”. Dengan demikian kemampuan intelektual manusia Indonesia akan mempunyai daya saing tinggi, tidak hanya menguasai pasar domestik namun juga regional dan global.  Namun demikian kemampuan intelektual harus diimbangi dengan kemampuan moral.


Pada saat ini, terjadi perubahan dunia kerja secara global, sementara kondisi pendidikan di Indonesia masih pada tahap learning to think. Padahal semestinya, dunia pendidikan mampu beradaptasi dengan tuntutan dunia kerja. Hal ini disadari atau tidak menuntut lembaga pendidikan untuk mampu menyelaraskan hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.


2. Kurikulum

Kurikulum sebagai inti pendidikan, berperan secara signifikan dalam menyelaraskan hubungan dunia pendidikan dan dunia kerja. Kurikulum pendidikan harus mampu ‘membaca zaman’ dengan tepat. Kemitraan institusi pendidikan dengan dunia kerja adalah hal yang sangat penting, bahkan peran serta dunia kerja dan industri bukan hanya pada stakeholders, namun bagian mutlak dalam sistem pengelolaan pendidikan. Dengan demikian, keterlibatan dunia kerja untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan adalah hal yang mutlak.


3.  Pendekatan Pengajaran

Kemitraan institusi pendidikan dan pihak dunia kerja/industri tidak hanya sekedar membina jaringan semata, namun melibatkan mereka dalam proses pengajaran di kelas. Di beberapa negara seperti Inggris, Irlandia dan Spanyol, mereka memainkan peran yang lebih aktif dalam menggandeng komunitas bisnis lokal serta alumni. Mereka melibatkan para pengusaha sukses dan berbicara di depan para mahasiswa tentang pendidikan kewirausahaan. Hal ini bertujuan untuk menggabungkan antara pengalaman di dunia kerja serta pelibatan mereka dalam berbagai proyek.


Prinsip seperti ini disebut “link and match”. Prinsip yang diturunkan dalam berbagai kebijakan ini menuntut adanya keselarasan antara penyiapan tenaga kerja yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Namun demikian yang terjadi saat ini masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Dengan melibatkan pihak dunia kerja dalam proses pengajaran, diharapkan akan terjadi peningkatan keselarasan sehingga terjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.


Jadi, sinergisasi dunia pendidikan dan dunia kerja diharapkan dapat menghasilkan kualitas lulusan yang dapat memenuhi kualifikasi dan persyaratan yang dibutuhkan dunia kerja. Tujuan akhir dari sinergisasi ini adalah tercipta paradigma “The right man on the right place”, memperkaya lapangan pekerjaan dan sekaligus memperkecil angka penggangguran.


Beberapa langkah yang dapat di lakukan untuk membangun sinergisasi dunia pendidikan dan dunia kerja itu adalah sebagai berikut :


1. Penyusunan Proyeksi Kebutuhan

Pekerjaan pertama yang harus di lakukan untuk menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja adalah membangun data proyeksi kebutuhan antara kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja dengan prediksi jumlah lulusan. Dengan sistem proyeksi ini di harapkan terdapat data yang mumpuni untuk memberikan prediksi tentang jurusan apa yang paling dibutuhkan oleh dunia kerja dalam 5 atau 10 tahun ke depan.


2. Kurikulum Berbasis Kompetensi sesuai Kebutuhan Dunia Kerja

Kurikulum merupakan kata kunci dalam penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja. Di sini juga di perlukan adanya penetapan standar kompetensi lulusan yang disesuaikan dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Merevisi kurikulum menjadi berbasis kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia usaha/pasar kerja merupakan kemutlakan yang harus segera dilakukan oleh instusi/lembaga pendidikan.


Tetapi perlu terus di ingatkan bahwa sebagus apapun kurikulum, pada muaranya akan kembali kepada ketersediaan sarana, fasilitas pendidikan dan tentunya di tunjnag tenaga pengajar (dosen) sebagai tokoh sentral untuk menentukan metode yang tepat dalam pembelajarannya. Kurikulum tidak bisa bicara, dosenlah yang berbicara.


3. Membangun Culture of Doing

Pekerjaan lanjutan untuk menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja adalah mengatur keseimbangan antara pembelajaran akademik (teori) dan pembelajaran keterampilan (praktek) untuk mendapatkan kompetensi lulusan. Kompetensi lulusan ini berpengaruh pada link and match dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Berpikir kritis, kreatif, membuat keputusan, menyelesaikan masalah dan belajar dengan cepat adalah kompetensi yang diperlukan dunia kerja kekinian dan harus dimiliki lulusan. Untuk itu pendidikan harus di fokuskan untuk melakukan hal-hal yang berguna.


Untuk mendapatkan pendidikan yang berfokus pada hal-hal yang berguna, maka kita perlu membangun culture of doing. Culture of doing merangsang peserta didik untuk merubah pola pikir dari budaya “mengetahui” menjadi budaya “melakukan”. Hal ini karena meskipun secara akademik, peserta didik menguasi materi pembelajaran, tetapi mereka sering mengeluh merasa tidak ada hubungan antara apa yang mereka pelajari dengan dunia nyata. Dengan terbentuknya culture of doing, maka pola, metode dan  praktek pendidikan akan menghasilkan peserta didik yang siap menghadapi tantangan dunia nyata sekaligus beradaptasi langsung dengan dunia kerja.


Dalam culture of doing, peserta didik didorong untuk terlibat dengan dunia nyata, menganalisis segala sesuatu yang terjadi dan menghubungkan dengan pembelajaran yang telah mereka terima. Premis utama culture of doing adalah bahwa peserta didik harus terlibat pembelajaran baik melalui penekanan pada upaya kolaboratif, berbasis proyek tugas, dan atau melalui fokus non-akademik.


Langkah-langkah menuju pelaksanaan culture of doing adalah dengan memulai dari kelas mereka sendiri, seperti memperkenalkan “tugas-tugas yang bermakna dalam kehidupan sehari hari” ke dalam kelas. Sebagai contoh culture of doing adalah dalam pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mempelajari konsep jual beli dengan langsung mempraktekannya di pasar dan berusaha mendapatkan laba/keuntungan. Dan di setiap akhir pekan siswa dapat di ajak untuk mengunjungi sentra-sentra bisnis lokal.


4. Membangun Keterampilan Kewirausahaan berbasis Muatan Lokal

Penyelarasan dunia pendidikan dan dunia kerja harus mampu melatih lulusan untuk dapat mandiri menjadi wirausaha yang membuka lapangan kerja bagi dirinya maupun orang lain. Penyelarasan ini bersifat mendesak karena kenyataan di masyarakat menunjukkan makin tinggi pendidikan seseorang, makin rendah kemandirian terutama untuk berwirausaha. Pelatihan kewirausahaan merupakan langkah untuk membangun kemandirian itu.


Kewirausahaan bukan hanya bakat bawaan sejak lahir atau bersifat praktek lapangan. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha, dapat dimatangkan melalui proses pendidikan. dan kewirausahaan dapat menciptakkan kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru dan berbeda. Pelatihan kewirausahaan seyogyanya di arahkan kepada kewirausahaan yang berbasis potensi daerah, untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengenal dan mengembangkan potensi daerahnya masing-masing.


Potensi lokal yang dimiliki oleh setiap daerah tentu berbeda, baik dari kekayaan alam, laut, atau hutan, yang secara keseluruhan memiliki keunggulan. Pelatihan kewirausahaan berbasis muatan/potensi lokal bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan juga dapat menjadi bekal lulusan dalam menghadapi dunia pasar bebas.


5. Membangun Kemitraan

Pola kemitraan antara dunia pendidikan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) dan dunia usaha/kerja harus terus di bangun. Untuk itu perlu dukungan pemerintah dan perusahaan untuk memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk belajar secara langsung di dunia kerja dengan sistem magang/prakerin/praktek kerja lapangan (PKL/KKN) untuk membuat mereka siap memasuki dunia kerja.


Dalam membangun kemitraan ini, perguruan tinggi harus memberikan pemagangan kepada peserta didik yang  berorientasi pada mempersiapkan peserta didik siap kerja. Ini mungkin tidak terlepas dari hal mendasar dalam kemitraan yaitu waktu. Jadi porsi waktu magang harus besar agar peserta didik dapat menyerap ilmu dari luar sekaligus dapat menerapkan pelajaran mereka secara nyata.


Jadi,  saatnya institusi pendidikan negeri ini mengubah paradigma dan orientasi yang mengarah pada upaya persiapan para lulusannya dalam memasuki dunia kerja. Jika kita ingin benar-benar melakukan inovasi untuk keluar dari krisis ini, kita harus meyakinkan diri bahwa peserta didik bisa melakukan sesuatu dengan pendidikan yang mereka terima.

501 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page