Kemajuan negara dapat diukur dari berapa banyak lulusan perguruan tinggi setiap tahun. Jumlah mahasiswa S1-S3 yang terserap di pasar kerja menentukan perkembangan ekonomi bangsa itu pula. Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pengembangan (OECD) menyatakan Indonesia bakal menjadi negara dengan jumlah sarjana muda terbanyak kelima di masa depan. Situasi ini bakal terwujud paling lambat pada 2020 mendatang.
Pada 2020, OECD memperkirakan jumlah itu bakal bertambah menjadi 6 persen. Sehingga, Indonesia sekaligus mengalahkan Inggris, Jerman, dan Spanyol, sebagai negara penyumbang sarjana muda terbanyak. Bahkan pada masa-masa itu kemungkinan besar jumlah sarjana terdidik negara ini tiga kali lebih banyak dibanding Prancis.
Meski demikian, penyerapan sarjana Indonesia ke dunia kerja masih terhitung lambat, di beberapa bidang populer seperti IT tidak sampai 10 persen per tahun. Namun OECD menganggap kuantitas lulusan perguruan tinggi tetap menguntungkan sebuah negara. Karena sarjana adalah tenaga terdidik yang bisa menciptakan lapangan kerja.
Daya Serap Lulusan Perguruan Tinggi Indonesia Masih Lambat
Berdasarkan data Organization for Economic Co-operation Development (OECD), Indonesia akan menjadi negara dengan jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020 mendatang. Data tersebut merupakan proyeksi dari upaya Indonesia untuk meningkatkan jumlah lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia selama Februari 2017 hingga Februari 2018. Berdasarkan data yang disampaikan BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas naik sebesar 1,13 persen dibandingkan Februari 2017. Dari 5,18 persen menjadi 6,31 persen. BPS menyebutkan pengangguran dari lulusan diploma I/II/III juga naik sebesar 1,04 persen dari 6,88 persen menjadi 7,92 persen.
Jumlah pengangguran sarjana sampai pada Agustus 2018 sekitar 630 ribu orang, atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang. Jumlah angkatan kerja pada Agustus 2018 sebanyak 131,01 juta orang, naik 2,95 juta orang dibanding Agustus 2017. Sejalan dengan itu, Tingkat Partsipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat 0,59 persen poin.
Data tersebut menunjukkan penyerapan lulusan sarjana di Indonesia tergolong lambat. Lambatnya penyerapan lulusan sarjana di dunia kerja salah satunya disebabkan kualitas lulusan sarjana yang belum sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Berarti lulusan sarjana harus memiliki etos kerja, motivasi yang tinggi, kreatif dan inovatif, serta mampu menyesuaikan keterampilan dan keahliannya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat dengan datangnya Revolusi Industri 4.0. Selain bersaingan dengan mesin berbasis teknologi canggih, sekitar 630.000 sarjana pengangguran tersebut juga harus beradu kompetensi dan keahlian tertentu dengan pekerja asing yang datang dari terbukanya pasar bebas. Perguruan tinggi sebagai lembaga pencetak sumber daya manusia yang unggul diharapkan dapat memberi kontribusi besar terhadap upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Pemerintah terus berupaya membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya yang tentunya harus didukung dengan kompetensi lulusan kampus yang berdaya saing global. Keahlian para sarjana harus sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Perguruan tinggi berperan strategis dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan berpendidikan tinggi serta berwawasan global.
Alasan Masih Banyaknya Jumlah Sarjana yang Menganggur, penyebabnya ternyata tak lain tak bukan adalah faktor preferensi, di mana masih banyak lulusan perguruan tinggi baru yang terlalu memilih-milih pekerjaan. Masih banyak lulusan sarjana yang tidak mau melakukan sembarang pekerjaan karena dianggap tidak setara dengan kompetensi yang dimiliki. Alhasil, para lulusan ini malah menganggur dan tidak bekerja sama sekali.
Selain faktor tersebut, masih ada lagi faktor yang berperan dalam masalah pengangguran, yaitu tidak sesuainya kompetensi ilmu dengan kebutuhan di dunia kerja dan kualifikasi yang dimiliki. Kualifikasi yang dimaksud merupakan kemampuan yang tidak sesuai, seperti seorang sarjana dengan kompetensi rendah, sehingga mendapatkan pekerjaan dengan level yang tidak sesuai.
Tantangan baru Pendidikan Tinggi Kekinian
Perguruan tinggi dan para mahasiswa harus bisa beradaptasi dengan disrupsi teknologi jika ingin bertahan dalam persaingan. Jumlah sarjana yang lulus setiap tahun tak sebanding dengan serapan tenaga kerja. Lapangan kerja yang terbatas membuat persaingan semakin ketat. Untuk itu, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi kita harus terus berupaya meningkatkan produktivitas dalam membuat kebijakan pengembangan program pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan dunia kerja di era industri 4.0. ten. Kita telah memasuki era revolusi industri 4.0, yaitu era disrupsi teknologi, era berbasis cyber physical system. Ini merupakan tantangan baru yang dihadapi oleh negara-negara di ASEAN untuk mempersiapkan SDM-nya.
Kesulitannya sarjana menembus dunia kerja karena relevansi antara mutu perguruan tinggi dan kebutuhan dunia industri masih rendah. Berdasarkan data BPS, jumlah tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya sebesar 17,5%. Persentase tersebut jauh lebih kecil ketimbang tenaga kerja lulusan SMK/SMA yang mencapai 82%, sedangkan lulusan SD mencapai 60%.
Pemetaan serapan tenaga kerja tersebut hampir tak akan berubah setidaknya dalam kurun 5 tahun ke depan. Saat ini lulusan perguruan tinggi turut menyumbang pengangguran yang menjadi beban negara. Relevansi lulusan perguruan tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja menjadi faktor penting dalam upaya mencegah sarjana menganggur.
Peningkatan sarana
Peningkatan sarana teknologi menjadi fondasi dalam meningkatkan daya saing perguruan tinggi. Pasalnya, lapangan perkerjaan dan dunia usaha ke depan akan sangat mengandalkan inovasi yang bergerak sangat cepat dan dinamis. Hal yang tak kalah pentingnya, perguruan tinggi pun seharusnya memiliki peran yang dominan sebagai mesin pencetak human capital.
Human capital Indonesia dapat dipenuhi apabila perguruan tinggi mampu mewujudkan pendidikan karakter yang telah tertuang dalam fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional. Human capital merupakan modal dasar dalam membentuk positif yang akan berkontribusi bagi kemajuan lingkungan maupun produktivitas organisasi. Mengutip dari Petterson dan Spiker, Human capital adalah aset individu yang berisikan pengetahuan, pengalaman, keterampilan, sikap, nilai, dan kapasitas yang memiliki nilai tambah bagi organisasi atau lingkungannya.
Perguruan tinggi Indonesia untuk mulai berubah dalam rangka memajukan kualitas pendidikanya. Diantara langkahnya, mentrasformasi kurikulum, membuka fakultas atau program studi baru kekinian, menyediakan saran dan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang memadai, dan peningkatan mutu sumberdaya dosen. PT harus melakukan perubahan, mulai dari majemen tatakelolah sampai budaya dan lingkungan pendidikan kita secara makro. Agar inovasi itu muncul, agar ekosistem baru itu muncul, agar respon terhadap perubahan itu muncul. Karena paling cepat memang harus dari perguruan tinggi perubahan ini direspon tidak dari yang lain-lain.
Perguruan Tinggi kita harus merespon fakta, hanya ada 3 perguruan tinggi di Indonesia yang masuk 500 besar dunia. Apakah proses manajemen di dalamnya? Atau proses yang lain?. Era Sekarang ini, yang besar belum tentu mengalahkan yang kecil, negara besar belum tentu mengalahkan negara yang kecil. Yang kaya belum tentu mengalahkan yang miskin. Tetapi yang jelas, dalam waktu ke depan ini yang cepat akan mengalahkan yang lambat.
Jika pendidikan tinggi kita masih nyaman-nyaman seperti ini terus tidak merespon dinamika yang ada, jika tidak sigap menghadapi perubahan, jika tidak segera membenahi diri untuk melakukan efisiensi, bisa dipastikan kalah menghadapi kompetisi. Negara dan pendidikan Indonesia akan ditinggal.
Agenda penelitian perguruan tinggi khususnya fakultas dan program studi juga harus berubah, harus lebih tanggap terhadap tantangan dan peluang-peluang yang ada. Beberapa universitas besar dunia, sudah sangat tanggap terhadap tantangan dan peluang yang baru ini untuk memberikan nilai lebih bagi masyarakat. Contoh misalnya di MIT ada Departement of Brain and Cognitif Science. Di Kent State University ada Hospitality and Tourism Management, dan di University of Southern California ada juga college of games studies.
Peningkatan Mutu Dosen
Pendidikan tinggi Indonesia masih mengalami sejumlah tantangan. Diantaranya terkait daya saing, kualifikasi dan kompetensi dosen, peningkatan infrastruktur pendidikan hingga technology readiness. Masalah sumber daya manusia, menjadi hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan tinggi, karena berkaitan langsung dengan kompetensi lulusan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi.
Pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan tinggi harus konsentrasi pada peningkatan mutu dosen, melalui berbagai skema seperti beasiswa, mendorong riset dengan kolaborasi bersama profesor berkelas dunia. Hal ini sangat penting karena mutu dosen akan menentukan reputasi pendidikan tinggi kita di kancah dunia.
Selain itu, bagi dosen yang belum profesor, harus terus didorong untuk menjadi profesor karena saat ini proporsi dosen Indonesia masih didominasi lulusan S-2, yakni sebanyak 189.627 orang. Pemberian beasiswa bagi dosen S-2 untuk melajutkan ke S-3. Di sisi lain, perguruan tinggi Indonesia masih memiliki sekira 30 ribu lebih dosen yang masih lulusan S-1.
Ini tantangan pemerintah bersama dan perguruan tinggi, termasuk memetakan SDM, meningkatkan integritas, dan menyelesaikan masalah infrastruktur seperti sarana dan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang belum memadai di berbagai PTN dan PTS.
Postur anggaran pemerintah khususnya dalam pengembangan pendidikan tinggi untuk tahun 2018 sendiri adalah Rp 41,28 Triliun. Khusus Rp 40,39 triliun diantaranya untuk sektor pendidikan dan sisanya digunakan untuk riset teknologi. Anggaran tersebut digunakan terutama dalam alokasi beasiswa bidikmisi dan di sektor riset.
Perlu pula kita sadari bersama bahwa anggaran bukan satu-satunya penentu untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Seluruh komunitas pendidikan tinggi harus bekerja sama untuk membangun strategi serta tata kelola yang baik. Komunitas pendidikan tinggi harus memiliki strategi sehingga dalam investasi melalui pendidikan ini berhasil.
Anggaran untuk pendidikan mencapai Rp 444 Triliun, dan dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Dengan jumlah tersebut dapat dikelola dan diinvestasikan dengan baik. Terlebih, Indonesia akan memiliki bonus demografi yang ditandai dengan pertumbuhan populasi usia produktif yang tinggi. Tentu menghadapi kondisi ini, kualitas SDM perlu diidentifikasi.
Bagaimana pun pendidikan tinggi adalah pabrik untuk menghasilkan SDM yang memiliki karakter, budi pekerti, dan intelektual, maka perguruan tinggi harus fokus untuk menjalankan tugasnya dan terus meningkatkan inovasi. Pemerintah, perguruan tinggi, dan seluruh pemangku kepentingan harus bekerjasama dan saling terbuka jika ingin Indonesia maju.
Comments