top of page
  • Gambar penulisYusrin Ahmad Tosepu

𝐊𝐞𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫𝐚𝐧 Semu

Fenomena kebenaran semu adalah salah satu tantangan yang dihadapi masyarakat di era post truth. Kebenaran semua adalah kebenaran yang tidak lagi berlandaskan fakta, tetapi hanya sebatas persepsi yang terbentuk lewat framing.


Kebenaran semu adalah kebenaran yang tidak lagi diukur berdasarkan fakta dan objektivitas. Kebenaran semu juga bisa diartikan sebagai kebenaran yang dianggap benar oleh orang-orang. 


Fenomena kebenaran semu dapat terjadi karena efek kebenaran semu (illusory truth effect). Efek ini terjadi ketika seseorang semakin sering mendengar sebuah informasi, maka ia akan semakin mempercayai informasi tersebut. 


Kebenaran semu juga dapat terjadi karena media sosial yang memainkan emosi dan perasaan. Orang-orang yang berkepentingan dengan kebenaran semu akan membuat narasi dan cerita untuk mempengaruhi masyarakat. Narasi yang dibuat tidak pada konteksnya, sehingga sering kali menghasilkan berita-berita hoaks. 


Era post-truth adalah era di mana kebenaran dikesampingkan dan emosi menjadi motif tindakan.

Kalau kebenaran lama bertumpu pada fakta. Kebenaran semu bertumpu pada persepsi. Persepsi bukan dibentuk oleh fakta. Tapi dibentuk oleh “frame”. Atau “framing”.


 Dilihat dari sejumlah fakta yang berkembang belakangan ini, penggunaan media sosial (Medsos) menciptakan kebenaran semu. Dan kebenaran ini berbeda dengan kebenaran yang kita fahami selama ini. Kebenaran tidak mencerminkan fakta, tapi persepsi.  


Di era post truth ini, fakta tidak lagi dianggap penting. Yang dianggap penting adalah framing. Kita bisa menghubungkannya dengan apa yang terjadi di dunia nyata saat ini. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga dalam skup yang lebih luas di dunia internasional. Tidak hanya menyangkut dunia politik, tapi juga ekonomi dan sosial budaya.

 

Sekarang ini banyak bermunculan informasi-informasi yang disajikan melalui medsos namun ternyata merupakan informasi bias atau kebohongan yg sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu dengan menggunakan buzzer. Dan korbannya adalah orang-orang yang tidak suka menyimak dan membaca serta mau membuktikan kebenarannya terlebih dahulu.

 

Pertanyaan kita: Benarkah seperti itu?

 

Tentu saja, kalau kita perhatikan lebih cermat, kita akan dapat menemukan benang merahnya. Lihat saja apa yang terjadi di era rezim Jokowi sekarang ini. Ketika para buzzer disempurnakan namanya menjadi buzzerRp. Artinya buzzer yang dibayar. Bisa oleh orang atau kelompok tertentu bahkan media massa. Bisa juga oleh pemerintah. Sehingga menjadi fenomena tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

 

Ringkasnya, dengan menggunakan buzzer yang dibayar, baik oleh penguasa maupun kelompok kepentingan tertentu, orang bisa membentuk persepsi. Yang salah bisa dipersepsikan benar. Sebaliknya yang benar bisa dipersepsikan salah. Jadi terbolak-balik.

 

Sebagian orang membenarkan, sesuatu yang salah akan dianggap benar bila dinyatakan benar secara terus menerus. Sedangkan yang nyata-nyata benar, sesuai fakta dan ketentuan yang berlaku, akan dipersepsikan sebaliknya bila terus menerus dinyatakan salah.


Dan itu bisa jadi kenyataan, dengan menggunakan buzzer. Jumlahnya tidak hanya satu dua orang. Atau satu dua kelompok. Tapi banyak orang dan banyak kelompok. Yang berperan karena dibayar, untuk mencapai tujuan orang yang memberikan bayaran.

 

Sejauh ini, kita tahu, bagaimana para buzzer memainkan peran yang sangat signifikan. Misalnya, mereka membela setiap kepentingan rejim. Seberapa pun besarnya kesalahan penguasa, dalam jangka waktu tertentu akan tenggelam oleh pembelaan mereka.


Mereka membentengi setiap kebijakan dan langkah rejim dari segala bentuk serangan yang disampaikan oleh para pengeritik rejim. Dengan melontarkan pandangan-pandangan yang menolak atau membantah kesalahan rejim.

 

Dan mereka terdiri dari banyak orang. Banyak kelompok. Kalau satu kelompok saja terdiri atas 10 orang dan masing-masing menyebarkan 10 bantahan, mereka sudah menang menghadapi satu buah kebenaran yang disampaikan pihak lawan. Sepuluh kali sepuluh = seratus. Artinya: 100:1.

 

Begitulah buzzer bekerja. Sehingga mereka mampu menciptakan persepsi. Dari persepsi yang terbentuk, terciptalah opini yang besar. Bahwa junjungannya “can do no wrong”, tidak bisa salah.

 

Jika menyimak berbagai peristiwa pasca pesta demokrasi pemilu yang menghasilkan produk Pemilihan Presiden di Indonesia, didesign bukan berazaskan Kebenaran Faktual lagi, tapi berazakan Kebenaran Persepsi yang dihasilkan melalui “𝗙𝗿𝗮𝗺𝗶𝗻𝗴”.


Produk 𝗙𝗿𝗮𝗺𝗶𝗻𝗴 mulai dari Lembaga Survey, Quick Count, Buzzer dan media-media partisan berbayar/Non Independent itu berujung pada hasil akhir berupa PERSEPSI yg di stampel KPU sebagai hasil Pemilihan Presiden. Di negara-negara barat, Eropa atau bahkan di negara-negara Amerika Selatan, Kebenaran Persepsi seperti itu seketika akan memicu pergolakan rakyat secara masif.


Merebaknya fenomena kebenaran semu tak lepas dari peran pemerintah dan media memanipulasi fakta. Opini dibentuk bertolak belakang dengan fakta yang sesungguhnya. Dan kebenaran semu yang potensial terus berubah. Sesuai “framing” yang dijalankan.

21 tampilan
bottom of page