top of page

Apakah Disrupsi Digital Bakal Matikan Televisi?

  • Gambar penulis: Yusrin Ahmad Tosepu
    Yusrin Ahmad Tosepu
  • 14 Okt 2020
  • 8 menit membaca


Disrupsi digital sebuah kenyataan yang harus hadapi. Perlahan tapi pasti layanan digital streaming dan berbagai media digital seperti Youtube yang menyediakan layanan hiburan praktis layaknya TV dan memiliki daya pikat melebihi TV kian menggeser fungsi TV sebagai media informasi dan hiburan. 


Pola konsumsi media yang hari ini bergeser ke digital sedang berlangsung di Indonesia. Implikasinya, para pemain di industri tayangan konvensional mulai kelabakan. Televisi mulai kehilangan penonton, bahkan beberapa stasiun  televisi terpukul akan tren digital. TV masa kini yang ditujukan untuk mereka yang berusia muda itu kehilangan penontonnya.


Pada awalnya layanan streaming tidak begitu populer, hanya beberapa negara saja yang sudah memilki infrastruktur internet yang baik. Sehingga negara kita Indonesia pun belum banyak masyarakat yang banyak menggunakan layanan streeming video/film. Tetapi, sejalan perkembangan teknologi informasi yang tumbuh pesat semuanya berubah.  


Teknologi informasi dan komunikasi merubah segalanya, kini hidup di era jaring raksasa yang disebut Internet dimana semuanya sudah terkoneksi dan

semuanya akan mudah untuk saling mengetahui informasi dari berbagai penjuru dunia.


Angka pengguna internet di dunia dan di Indonesia khususnya semakin meningkat, saat ini saja sudah mencapai 120 juta.pengguna internet di Indonesia yang menempati urutan keenam terbanyak di dunia. Selain itu, hal pendukung lainnya yaitu trend Smartphone mulai mewabah dikalangan masyarakat kita.


Era Smartphone berlayar sentuh dimulai pada tahun 2006 saat munculnya HTC, Nexus, I Phone dan brand lainnya yang juga memanfatkan teknologi data, di tahun 2008-2012 kita mengenal Blackberry dengan ciri khas tombol QWERTY nya, trend Blackberry/BB saat itu begitu di gandrungi dan menjadi prestise bagi setiap individu yang memilkinya.

Smartphone-smartphone tersebut yang membawa teknologi luar biasa menjadikan masyarakat lebih prefer menghabiskan waktunya didalam jaringan internet dari pada sekedar menonton televisi yang pada awalnya merupakan aktivitas rutin.


Setiap negara berlomba-lomba membangun infrastruktur internet yang mumpuni, juga para vendor ponsel yang juga berlomba-loma menjual berbagai smartphone canggih dengan harga murah, dan tak lupa para penyedia layanan internet yang berlomba-loma menjual tarif murah data seluler. Sehingga hasilnya angka pengguna internet pun membludak, bukan hanya di Indonesia bahkan hampir diseluruh penjuru dunia.


Munculnya Smartphone canggih ikut mendorong penggunaan platform media sosial Youtube yang merupakan platform post konten video gratis yang menawarkan hiburan murah dan lebih dari tv. Sejak diluncurkan kepada publik ditahun 2005 yang didirikan Chad H, Steve Chen, dan Jawed Karim, Youtube terus dikembangkan sehingga semakin banyak digunakan dan menjadi media hiburan yang awalnya alternatif setelah televisi menjadi media hiburan utama.


Akibatnya seperti yang dapat kita lihat saat ini, tayangan film di televisi semakin kurang terkenal jika dibandingkan dengan era sebelumnya. Hal ini pun berdampak omzet dari pengiklan pun mengalami penurunan di industri Televisi karena perusahaan-perusahaan mulai memasarkan produk mereka di internet dengan membuat iklan di youtube, facebook, blog-blog dan web.


Sebuah studi baru dari lembaga survei Nielson Co menegas kan apa yang sekarangtengah terjadi Smartphone menang dan televisi tradisional kehilangan pamornya. Terutama, untuk pemirsa berusia 18-34 tahun.  Studi ini adalah yang pertama dilakukan Nielsen secara komprehensif untuk melihat perilaku menonton video melalui TV tradisional, internet, ponsel, dan perangkat lainnya.


Dalam hasil surveinya, Nielsen juga mengatakan bahwa menonton TV tradisional semua kelompok umur mencapai puncaknya pada kurun 2009-2010. Kini, angkanya terus merosot. Data yang mendasari laporan ini menunjukkan bahwa di antara responden usia 18 sampai 34 tahun, penggunaan smartphone, tablet, dan perangkat yang terhubung dengan TV seperti streaming atau game konsol meningkat lebih dari 25 persen, sekitar 8,5 juta orang per menit. Dalam kategori yang sama, menonton TV turun 10 persen menjadi 8,4 juta orang per menit. Jelas dari studi itu, pemirsa kini menghabiskan lebih banyak waktu pada smartphone, tablet, dan perangkat terhubung TV jika ingin menonton acara TV.


Nielsen menyebut hal yang berubah terkait kebiasaan menonton televisi. Banyak orang yang kini menggantikan kebiasaan menonton televisi atau mendengarkan radio melalui perangkat konvensional dan berganti dengan penggunaan layanan streaming seperti Netflix, perangkat mobile, dan layanan web seperti YouTube. Mereka mengaku kesulitan memetakan jumlah penonton video online yang sesungguhnya, karena banyak yang menyaksikan tayangan yang sama melalui media yang berbeda, seperti Youtube dan Facebook. Termasuk di dalamnya, adalah durasi waktu menonton.


Harus diakui, proliferasi smartphone dan tablet dengan cepat mengubah kebiasaan menonton TV, khususnya di kalangan generasi muda. Sebelumnya, Ofcom dalam laporan triwulan mereka menyebut kaum muda usia 18-24 tahun menonton televisi on-demand pada komputer dan smartphone, bukannya TV konvensional.


Angka-angka dalam penelitian menunjukkan bahwa 57 persen kelompok usia ini menonton acara on-demand pada laptop atau PC, sedangkan 45 persen lebih memilih untuk melihat pada smartphone. Hanya 40 persen menggunakan perangkat televisi konvensional, benda yang diprediksi bakal kian ditinggalkan di tahun-tahun mendatang.


Waktu yang dihabiskan di depan televisi di banyak negara memang berkurang, sementara waktu yang dihabiskan di depan smartphone dan tablet meningkat. Maka tak mengherankan jika iklan digital akan melampaui iklan televisi pada 2019, seperti ramalan PriceWaterhouseCoopers.


Bagi pengelola stasiun televisi dan perusahaan media dan pengiklan, temuan ini merupakan peringatan. Bagaimanapun, pengguna muda kini tak bisa dikesampingkan. Perlu digarisbawahi Perilaku dan perhatian generasi muda telah bergeser dan terus bergeser jauh dari bentuk-bentuk tradisional ke platform baru seperti Twitch (dimana orang bermain video game secara online),  serta snapchat dan lain-lain.


Perilaku generasi muda merupakan prediksi masa depan. Facebook, YouTube, Twitch, Tumblr, snapchat, Reddit, WhatsApp, Instagram, Vine, dan YouNow semua dikatalisasi oleh remaja sebagai pengguna pertama, dan kemudian menyebar ke kelompok usia yang lebih tua.


Pengalaman Netflix bisa menjadi contoh untuk menjelaskan bagaimana revolusi menonton televisi terjadi. Netflix merupakan jaringan yang menyediakan layanan menonton tayangan televisi atau film secara online. Awal didirikan tahun 1997, Netflix hanya perusahaan penyewaan DVD.


Tahun 2007, perusahaan ini memulai layanan menonton secara streaming. Tayangan televisi atau film milik klien mereka bisa diakses langsung dari komputer personal. Inovasi ini mendapat respon positif dari para penonton. Angka pelanggannya mero ket dari 300 ribu pelanggan pada tahun 2000 menjadi 31 juta pelanggan pada tahun 2007.


Mengekor di belakangnya, NBC dan Fox membuat Hulu, laman yang memungkinkan penonton menyaksikan tayangan televisi yang sedang dan sudah berlangsung. Mungkin yang melegakan, meskipun menonton TV online telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir di banyak negara, TV tradisional masih akan bertahan setidaknya beberapa dasawarsa mendatang. Sebut di salah satu negara maju, Inggris, penurunan pengguna televisi konvensional berjalan lamban, dari 93 persen pada 2013 menjadi 92 persen pada 2015.


Data tersebut terkait dari mulai berkurangnya jumlah viewer pemirsa televisi tetapi meningkatnya pemirsa di internet, bukan hanya Youtube, media sosial besar lainnya mengalami peningkatan user seperti Facebook, Instagram, LinkedIn, Telegram, Line, Whatsapp, dan sebagainya.


Maka tak heran, kini kita dapat dengan mudah menemukan channel-channel TV yang biasanya ada di TV tapi ada di Youtube. Mengapa mereka para perusahaan stasiun TV membuat channel Youtube? yaa itu tadi, para konsumennya kini banyak yang nongkrong di Youtube dari pada menonton TV di TV nya secara langsung.


Apakah nasib televisi akan sama seperti nasib media cetak yang kian tergerus dengan gempuran media online? 


Michael Wolff, kolumnis dan penulis buku Television Is the New Television: The Unexpected Triumph of Old Media In the Digital Age. Tidak semudah itu, kata Michael Wolff  "Dalam arti yang lebih besar, digital belum akan mengalahkan televisi di pasar iklan. Bahwa sedikit mengganggu mungkin iya," katanya.


Ia mencontohkan Facebook, salah satu yang disebut-sebut memiliki andil membuat TV kian tak laku. Salah satu kelemahan Facebook, katanya, adalah mereka hanya memiliki sarana untuk menonton, tapi tidak menciptakan konten untuk ditonton. Hal yang sama terjadi pada Youtube. "Bisakah Anda sukses dalam bisnis video tanpa mem buat media yang sebenarnya?" katanya. Ia justru melihat, peluang TV lebih besar untuk memenangkan pertarungan, tak seperti media cetak di era digital. "Sekarang eranya TV menjajah Internet, tolong dicatat!" tegasnya.


Bicara mengenai kondisi media saat ini memang penuh dinamika, lantaran cara mengonsumsi informasi audience, terutama generasi millennial yang mengalami pergeseran mengikuti perkembangan zaman. Namun, perubahan itu tak menjamin televisi ditinggalkan para penggemarnya.


Hal itu sejalan dengan laporan We Are Social yang dikeluarkan pada Januari 2020, mengatakan bahwa televisi tidak benar-benar ditinggalkan, tapi televisi berubah bentuk di era sekarang. Masyarakat global rata-rata menghabiskan waktu untuk menonton televisi selama 3 jam 18 menit. Waktu tersebut sudah termasuk konten TV streaming serta penggunaan perangkat lainnya.


We Are Social memberikan catatan kaki bahwa angka tersebut juga mencakup konten TV streaming dan video on demand serta penggunaan perangkat selain televisi. Era sekarang, konsumen itu tak hanya nonton televisi saja. Mereka menggunakan perangkat lain untuk dual screen, sehingga bisa menonton televisi sekaligus berselancar di internet, karena acara yang ditonton sedang break atau kurang menarik. 


Kalau begitu bagaimana dengan nasib stasiun televisi di Indonesia? 


Disadari atau tidak, disrupsi digital berdampak besar terhadap industri pertelevisian di Indonesia, bukan hanya segi jumlah penonton yang berkurang bahkan berimbas pada penggurangan karyawan dan jumlah acara tayangan.


Berdasarkan data dan informasi yang dilansir dari berbagai sumber, bahwa industri televisi mengalami penurunan/kelesuan. Mulai dari pendapatan yang turun 30 persen dan konsumen yang berkurang. hal tersebut karena kini masyarakat kita lebih sering menggunakan internet di jam-jam kerja untuk browsing dan streaming di Smartphone nya, dan sisanya mereka menonton TV di waktu santai setelah pulang kerja/kantor.


Maka perbandingannya kini lebih banyak yang menonton tayangan secara online dari pada tayangan Televisi. Ya kalau terus seperti ini dan tidak adanya inovasi mungkin akan terjadi gulung tikar bagi perusahaan yang tidak kuat, Namun sebaliknya, bagi perusahaan stasiun televisi yang survive karena mereka mengikuti perubahan dengan membuka channel di berbagai platform internet seperti Youtube atau membuka layanan streeming gratis di internet, maka industri pertelevisian akan tetap jaya karena mengikuti perkembangan zaman.


Disadari atau tidak, Industri TV di Indonesia terlambat mengantisapi dampak disrupsi digital. Di saat negara-negara lain di dataran Eropa dan Amerika sudah mematikan sinyal analognya sebelum 2010, Indonesia baru merencanakan akan benar-benar menghentikan analog pada Juni 2020. Dari sisi teknologi saja, Indonesia belum mampu mengalihkan siaran televisi dari analog ke digital.  Belum lagi dari sisi konten. Tayangan televisi tak lagi menarik bagi generasi muda. consumer behaviour sekarang sudah sangat segmented. Sudah tdk bisa di-blast satu konten untuk semua se-Indonesia.


Namun, beralihnya masyarakat ke digital bukan berarti orang menghilangkan kebiasaan menontonnya. Mereka hanya beralih medium. Orang pada satu titik suka nonton tapi trennya sekarang semua orang bisa bikin konten. Salah satu hal yang bisa dicoba industri televisi yakni dengan membuat tayangan-tayangan singkat serupa di Youtube.


Pola konsumsi sekarang makin personal alih-alih umum untuk dinikmati bersama-sama seperti dulu. Dari sisi durasi, tayangan berdurasi lama pun makin tergerus dengan tayangan dengan durasi singkat. Sekarang perilaku penontonton sukanya makin beda-beda. Paling kalau nonton bola, final badminton, atau tinju saja.  


Agar mampu bertahan, industri televisi perlu mengubah format tayangannya. Misalnya, dengan memperbanyak citizen journalism atau jurnalisme warga. Selain memperkaya konten dan mengikuti selera penonton, mengandalkan jurnalisme warga dinilai akan lebih hemat dari sisi produksi.  Hal yang sama juga berlaku bagi tayangan yang sifatnya hiburan.


Selain televisi gratis, televisi berbayar atau televisi kabel juga terdampak disrupsi digital. Yang pertama tumbang: Nexmedia milik grup EMTEK. Nexmedia berhenti tayang pada 31 Agustus 2019 lalu, setelah delapan tahun siaran. Tak diketahui persis apakah penutupan disebabkan turunnya jumlah pelanggan.


Namun Presiden Direktur PT Mediatama Anugrah Citra (Nexmedia) Junus Koswara membenarkan tren digital yang menguat menggerus bisnis tayangan konvensional. Untuk itu, grup EMTEK akan mengalihkan tayangan premiumnya ke layanan berbayar berlangganan melalui platform OTT Vidio Premier (streaming vidio.com.)


OTT merupakan platform yang lebih tepat untuk memberikan berbagai layanan kepada pengguna dengan makin mudah akses layanan internet di seluruh Indonesia. OTT yang dimaksud yakni over the top media service. Media streaming berbasis internet. Contohnya Netflix, iFlix, Hulu, Amazon Prime Video, Sling TV, HBO Go atau HBO Now, hingga Youtube TV yang berbayar. Vidio.com boleh jadi contoh bagus persiapan industri media seperti EMTEK menunggangi era digital. Layanan itu menyediakan berita-berita dari SCTV, sinetron dari Indosiar, serta puluhan film yang butuh akses berlangganan.


Menurunnya penonton televisi baik gratis maupun berbayar belum tentu akan jadi akhir bagi industri televisi. Di Korea Selatan dan Amerika Serikat, sistem penyiaran televisi digital Advanced Television Systems Committee (ATSC) tengah dikembangkan menjadi 3.0 atau Next Gen TV. Dilansir dari atsc.com, Next Gen TV tak cuma membawa gambar yang lebih bagus dengan saluran yang lebih banyak tapi juga akan bekerja seperti OTT yang bisa dikustomisasi sesuai keinginan penggunanya. Misalnya saat balapan NASCAR, penonton bisa memilih ingin mendengar radio dari pengemudi yang dijagokannya, dan juga menyesuaikan audio untuk mengurangi gangguan suara. Singkatnya, penonton bisa mengontrol konten suara dan mix.


Siaran televisi gratis yang menggunakan teknologi ATSC 3.0 ini bakal bisa dinikmati di ponsel, tanpa sambungan internet. Sejumlah pemain industri media telah mengembangkannya. Diperkirakan teknologi ini baru bisa dinikmati khalayak dua hingga tiga tahun lagi. Sampai tiba saatnya, industri televisi harus mengubah format bisnisnya agar bisa bertahan di era disrupsi digital.


Televisi sendiri sebagai benda atau alat menurut penulis tidak akan punah untuk saat ini, karena sudah ada inovasi Smart TV yang dimana fasilitas internet dapat digunakan di TV. Selain itu, kini layanan streaming lebih diminati, alasannya karena murah, lebih variatif dan setiap orang kini bisa terkenal dan berkreasi sebagai pemilik channel yang menyediakan tayangan layaknya televisi atau konten-konten video menarik, contohnya Vlog yang kini lagi ngetrend di kalangan Gen Y dan Z, alasan lainnya mungkin kalau di Indonesia karena stasiun TV kita kebanyakan sinetron-sinetron alay kali yaaa.


Nah itulah informasi mengenai nasib industri TV di tengah disprupsi digital dan internet, menurut anda gimana? apakah masih suka menonton TV atau mungkin sering nya nonton streaming di internet?

 
 
 

Postingan Terakhir

Lihat Semua
Bahaya Kesombongan Intelektual

Intelektual yang ideal adalah yang semakin alim, maka kian takut kepada Allah. Sikap sombong (al-kibr) adalah sebuah penyakit hati....

 
 
 
Kebahagiaan Sejati

Pandangan umum yang menganggap kebahagiaan dapat ditemukan dengan memiliki lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak status...

 
 
 

Comments


© 2018 by Yusrin Ahmad Tosepu. Makassar, Sulawesi Selatan. Indonesia 

bottom of page