top of page

Bekerja Penuh Jiwa, Bekerja Penuh Cinta

  • Gambar penulis: Yusrin Ahmad Tosepu
    Yusrin Ahmad Tosepu
  • 5 Sep 2018
  • 3 menit membaca

Banyak orang bekerja hanya sekedar bekerja, dengan kata lain bekerja tergantung imbalannya. Mereka tidak sungguh-sungguh memikirkan bagaimana pekerjaan yang mereka geluti menghasilkan sesuatu yang lebih berharga selain mengharapkan imbalan dari pekerjaannya tersebut.


Kata loyalitas oleh beberapa pihak dianggap sudah kuno, hitung-hitungan pekerjaan tentu sudah lebih ketinggalan zaman lagi. Bila kontribusi yang bersedia kita berikan selalu kita hitung dengan imbalan yang diberikan, bukankah kita sendiri yang rugi karena tidak bisa secara utuh menghasilkan karya terbaik kita?


Apakah kita bisa happy bila bekerja dengan separuh hati saja? Bayangkan juga apa jadinya bila para dosen tidak sepenuh hati mendidik anak bangsa karena hitung-hitungan dengan imbalan yang diterimanya.


Seorang rekan yang menduduki jabatan struktural di sebuah kampus swasta menyadari bahwa banyak gagasan usulan perbaikannya tidak mendapat respon dari pihak yayasan pengelolah kampus. Ia pun jadi kehilangan semangat dalam pekerjaannya dan mulai mempertanyakan makna bekerjanya.


Di satu sisi, ia tahu bahwa ia sudah memiliki posisi baik dan gaji yang lumayan sehingga tidak mudah hengkang begitu saja ke tempat lain. Gairahnya untuk memahami manajemen dan menyamakan derap sudah hilang. ā€œSaya kerja semata untuk hidupā€, begitu komentarnya. 


Kasus yang di alami rekan kerja tersebut salah satu contoh dari hilangnya gairah dan semangat bekerja. Gairah dan semangat bisa terjadi pada siapa saja dan di level mana pun, mulai dari bawahan sampai pimpinan.


Bisakah kita mengandalkan bawahan ataupun pimpinan yang hanya datang bekerja dengan mental dan sikap kerja tanpa gairah dan semangat seperti ini? Atau kita secara pribadi masih ingin bekerja tanpa gairah dan semangat seperti ini?


Tony Gaskins seorang motivational speaker, pernah mengatakan bahwa bekerja hanya benar-benar disebut kerja bila kita bisa berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tujuan obyektifnya.


Seorang dosen yang memahami dengan baik akan tugas dan tanggungjawab pekerjaannya akan melakukan berbagai upaya untuk mencapai targetnya sebagai seorang pendidik dan pengajar, mulai dari mengajar, meneliti dan menulis sampai kegiatan abdimas. Ia sama sekali tidak tergantung pada imbalan ataupun target target tertentu karena ia sudah menjadikan pekerjaannya sebagai obsesi pribadinya.


Dengan sikap seperti itu, ia merasa bahwa pekerjaannya itu adalah kehidupannya. Pekerjaan akan dirasakan sebagai karyanya, bukan sekadar tugas dan tanggungjawab semata.


Bila kita meletakkan kerja lebih tinggi dari tujuan obyektifnya, kita bisa memiliki spirit, energi, dan merasakan hal-hal misterius dan magis dari pekerjaan tersebut. Walau terkadang kita tidak bisa secara kasatmata membedakan seorang frontliner yang bekerja dengan passion sampai tingkat ā€œartistikā€ dengan mereka yang sekadar melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh.


Namun, kita dapat melihat dampak dari hasil kerjanya yang tentunya berbeda hasil akhirnya. Kita secara pribadi pun akan merasakan gairah yang berbeda karena penemuan misteri, solusi, dan tantangan selalu ada dalam pekerjaan. Ini membuat pekerjaan menjadi hidup dan eksperimental.


Bagaimana dengan dosen swasta yang terkenal cenderung digaji lebih kecil dari dosen negeri? Ada beberapa rekan dosen swasta yang begitu menikmati pekerjaannya, seolah tidak peduli pada imbalan yang ia terima. Rekan dosen seperti ini sudah mengintegrasikan emosi dan passion dengan tugasnya. Sasaran kerjanya sangat personal dan bergereget.


Ia menentukan prioritasnya sendiri dan sasaran-sasaran kerjanya yang sejalan dengan tugas dan tanggungjawabnya. Institusi kampus dengan mudahnya berkembang bila memiliki kualitas dosen yang memilih cara untuk mencapai kepuasan kerjanya dengan rasa berkarya seperti ini. Hal ini pula yang akan memberikan memberikan alasan yang kuat mengapa mereka memutuskan untuk menjadi dosen.


Dosen mesti mengenal dan menyukai pekerjaannya! Sehingga apa pun upaya yang dilakukannya tetap kreatif dan berusaha untuk berkarya terus. Melaksanakan pekerjaan tidak lagi kaku, berkesan formal, dan kaku namun lebih semangat, optimis, dan merdeka dalam bekerja.


Dengan menjiwai dan mencintai pekerjaan, antara bekerja dan berkarya sudah tidak terpisahkan lagi. Keinginan dan semangat yang besar untuk selalu melahirkan karya yang unggul, dan tentunya bermanfaat untuk kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.


Sebagai penutup, apa pun pekerjaan dan jabatan kita, kita bisa menyusun standar kerja yang bahkan lebih tinggi dari tuntutan pekerjaan dan jabatan. Inilah yang bisa membuat kita merasakan magis dan bekerja dengan tingkatan yang lebih tinggi.  


Demikian catatan ini, semoga bermanfaat!  

 
 
 

Postingan Terakhir

Lihat Semua
Bahaya Kesombongan Intelektual

Intelektual yang ideal adalah yang semakin alim, maka kian takut kepada Allah. Sikap sombong (al-kibr) adalah sebuah penyakit hati....

 
 
 
Kebahagiaan Sejati

Pandangan umum yang menganggap kebahagiaan dapat ditemukan dengan memiliki lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak status...

 
 
 

Comments


Ā© 2018 by Yusrin Ahmad Tosepu. Makassar, Sulawesi Selatan. Indonesia 

bottom of page