Secara sederhana, Framing adalah membingkai sebuah peristiwa, atau dengan kata lain framing digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan atau media massa ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Atau dengan kata lain framing digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan atau media massa ketika menyeleksi isu dan menulis berita.
Framing merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan pada aspek tertentu.
Penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu berkaitan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis. Hal ini sangta berkaitan dengan pamakaian diksi atau kata, kalimat, gambar atau foto, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi, yang berarti realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap penting, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak.
Framing media akan peristiwa atau fakta tertentu akan memperlihatkan secara jelas arah kebijakan politis media tersebut. Framing Media memperlihatkan secara jelas teks berita yang dihasilkan media tersebut.
Framing digambarkan sebagai sebuah fakta : seseorang yang sedang dikejar-kejar oleh orang lain yang membawa pisau. Namun karena kamera menangkap dengan angle tertentu, gambar yang sampai ke pemirsa, menjadi sebaliknya.
Si terancam, menjadi pengancam. Korban menjadi pelaku. Inilah yang sedang terjadi pada media kita, terutama media-media mainstream milik para taipan media.
Mereka membingkai sebuah peristiwa, sesuai dengan cara pandang atau kepentingan politik tertentu. Bisa saja hal itu merupakan sikap politik wartawan secara pribadi, sikap pemilik media, atau titipan pihak tertentu.
Titipan itu bisa langsung dari pemilik ke para pemimpin redaksi, editor. Atau jalurnya langsung ke wartawan di lapangan.
Framing bukanlah kebohongan. Namun mereka mencoba membelokkan fakta secara halus. Caranya dengan memilih angle (sudut pandang) yang berbeda.
Framing dilakukan dengan cara menyeleksi berita mana yang mereka pilih, mana yang tidak. Menonjolkan unsur tertentu, menambahkan kata, bunyi, atau gambar tertentu. Tujuannya meniadakan, atau setidaknya mengaburkan informasi sebenarnya.
Sampai-sampai ada sebuah stasiun televisi yang banyak dimusuhi, karena kebijakan redaksi. Mereka sering disebut memelintir berita.
Bergabungnya sejumlah pemilik media ke salah satu kubu capres pada pilpres lalu, semakin menunjukkan adanya kecenderungan kuat media membuat agenda setting dan framing berita sampai sekarang ini makin masif dan makin terstruktur .
Bagaimana Cara Media Memanipulasi Informasi ?
Noam Chomsky menulis tentang strategi manipulasi yang digunakan oleh media. Sebagai bahan pelajaran bagi kita semua termasuk saya, berikut ini adalah beberapa cara yang digunakan media untuk memanipulasi opini masyarakat.
Menciptakan pengalihan
Menciptakan pengalihan adalah strategi favorit yang digunakan oleh media untuk memanipulasi opini masyarakat. Informasi penting yang sebenarnya perlu atensi dari masyarakat seringkali ditutupi oleh pemberitaan secara masif perihal berita yang tak penting.
Pengalihan isu, begitu masyarakat sering menyebutnya. Orang tak akan bisa menemukan yang mana permata di antara tumpukan kerikil. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan bagi masyarakat dalam memilah informasi atau berita mana yang penting untuk diikuti.
Membesar-besarkan suatu masalah
Terkadang berita yang dibesar-besarkan atau dilebih-lebhikan menyebabkan reaksi yang sangat serius terhadap masyarakat.
Strategi "Bertahap"
Untuk membentuk opini tertentu, biasanya media menyebarkan suatu informasi secara bertahap. Strategi ini biasanya digunakan untuk membentuk gambaran tentang seseorang (tokoh, public figure), produk, atau acara.
Misalnya, di beberapa negara, hanya merek makanan tertentu yang diiklan secara bertahap. Lambat laun, masyarakat akan mengenal produk makan tersebut.
Sebuah produk akan melekat dan terngiang dalam otak masyarakat ketika pemberitaannya dilakukan secara berulang-ulang (bertahap).
Contoh yang paling sering ditemukan adalah bagaimana media mengubah opini masyarakat dan mempopulerkan kebiasaan merokok di pertengahan abad ke-20.
Bersikap Sangat Baik
Beberapa iklan menggunakan bahasa, argumen, simbol, dan intonasi tertentu untuk menarik simpati. Contohnya, sebuah produk biasanya akan diperkenalkan dengan mengaitkan produk tersebut kepada kebaikan tertentu atau simbol tertentu.
Contoh, banyak ditemukan di Televisi iklan rokok yang mengaitkan rokok tersebut dengan orang yang memiliki kreativitas tinggi atau seni yang tinggi, atau jika ingin jadi laki, minumlah minuman tertentu.
Begitupun ketika media memperkenalkan tokoh-tokoh. Komunikasi semacam itu membuat orang kurang kritis namun dapat membawa kepopuleran secara instan.
Semakin banyak emosi terlibat, semakin anda kurang berpikir
Berita dan emosi selalu berjalan bersama, dan tidak ada yang baik mengenai hal itu. Emosi tidak membiarkan seseorang melihat fakta secara kritis dan obyektif. Emosi memblokir bagian rasional dari pikiran seseorang. hal ini sering mengarahkan seseorang pada distorsi realitas.
Semakin banyak sisi emosional dalam sebuah berita atau informasi maka akan semakin mudah menggiring opini masyarakat.
Mendorong orang-orang untuk menyukai produk-produk yang tidak berkualitas
Media sering meyakinkan masyarakat bahwa keren menjadi bodoh, vulgar, dan kasar melalui beragam informasi dan tayangan yang tidak berkualitas. Inilah alasan mengapa kita memiliki begitu banyak acara TV, komedi, tabloid yang isinya seringkali tak bermanfaat.
Media menggunakan cara ini bukan hanya untuk tujuan rekreasi tetapi juga untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah yang benar-benar serius.
Membuat orang-orang merasa bersalah
Inti dari strategi ini adalah untuk membuat orang-orang menyalahkan diri mereka sendiri terkait masalah lokal dan global. Orang-orang sering menyalahkan diri mereka sendiri atas perang yang dimulai oleh pemerintah, bukan mereka.
Sebagai contoh, pada tahun 2014, foto seorang anak lelaki yang terbaring di kuburan orang tuanya menjadi viral. Foto itu disajikan sebagai foto dari zona perang.
Padahal foto itu adalah bagian dari proyek yang didedikasikan untuk mencintai kerabat. Bahkan, Fotografer gambar itu sendiri terkejut oleh bagaimana media menggunakan gambarnya.
Berlagak mengetahui lebih banyak tentang diri orang-orang daripada yang mereka ketahui tentang diri mereka sendiri
Media sering mencoba mengetahui segalanya tentang semua orang, tetapi mereka sering melewati batas. Sebagai contoh, pada tahun 2005, tabloid Inggris News of the World tertangkap sedang menyadap selebritis, politisi, dan bahkan anggota keluarga kerajaan.
Informasi yang diterima dengan cara menjijikkan itu digunakan untuk menulis artikel eksklusif yang mendapatkan banyak pembaca. Seringkali media berlagak lebih mengetahui kehidupan seseorang daripada orang tersebut. Media seringkali membuat masyarakat dengan gampang menghakimi kehidupan orang lain.
Inilah cara yang dilakukan media kita, terutama media-media mainstream. Oleh karena itu jadilah pembaca yang cermat dan teliti dalam menelaah informasi atau berita yang kita terima.
Tugas utama kita membangun dan mengembangkan keterampilan literasi media agar terhindar dari jebakan agenda setting dan framing media pasca pilpres makin masif dan terstruktur.
Comments