top of page

Hidup di Dunia Maya

  • Gambar penulis: Yusrin Ahmad Tosepu
    Yusrin Ahmad Tosepu
  • 5 Jul 2019
  • 4 menit membaca

Diperbarui: 1 Jul 2020


Semakin majunya teknologi maka terciptalah dunia baru bernama DUNIA MAYA. Dunia semu tapi  benar-benar ada.


Dunia maya memang mengasyikan, seru, menyenangkan, fantastis, menghebohkan dan sebagai dan sebagainya (saya sampai tidak bisa berkata-kata).


Semua lengkap di sini bahkan yang nggak ada di dunia nyata bisa dibuat di dunia maya.  Bahkan orang senang hidup berlama-lama di dunia maya. Karena di dunia maya, mereka bisa menjadi siapa saja yang mereka inginkan.


Suatu waktu saya dikampus, mendengar ada anak mahasiswa bilang ke temannya “Aduh, smartphone saya rusak, kurang semangat hidup nih, nggak bisa upload status!”.


Terlepas dari tendensi hiperbolik yang ada di kalimat itu, saya jadi berpikir: sebegitukah ketergantungan kita terhadap smartphone? Sebegitukah ketergantungan kita terhadap teknologi dunia maya?


Sewaktu ngopi di café, saya melihat ada dua orang remaja duduk sambil mengeluarkan smartphone lalu mengambil selfie, mungkin untuk update status di fb atau Twitter sambil pasang status “asyiknya berduan, senangnyaa”.


Beberapa bulan lalu ada teman saya bergerutu waktu HP-nya mati, karena tidak bisa check-in di Path. Bahkan ada teman yang di tengah ibadah umroh mengambil foto hanya untuk update real-time di Facebook.


Atau tempo hari saat perjalanan pulang ke rumah melihat orang kecelakaan motor, ada beberapa orang yang sempat singgah, bukanya menolong justru sibuk menyiapkan HP dan memotret, hanya untuk update status.


Itulah sepenggal realitas ketika dunia maya menguasai kita; menggerogoti dunia nyata. Teknologi di dunia maya ibarat morphine, jika dalam dosis yang tepat bisa sangat membantu, tetapi dalam porsi yang berlebihan dapat membunuh.


Banyak sekali manusia yang sudah menganggap ini sebagai candu; tidak bisa hidup jika sehari tanpanya.


Hasil survey Marketingcharts, orang Indonesia berada di peringkat pertama (bersama dengan Arab Saudi) dalam penggunaan media sosial, yaitu 5,1 jam per hari.


Bahkan, sepertiga pemilik akun social network Indonesia menggunakan minimal 6 jam setiap harinya. Berarti seperempat dari waktu harian digunakan untuk membuka social network.


Jika 8 jam digunakan untuk tidur, maka hanya 10 jam waktu produktif, belum dikurangi waktu makan, main, rekreasi, dan santai-santai. Waktu kita yang singkat di kehidupan yang fana, malah semakin habis oleh aktivitas lebih fana di dunia maya.


Mending jika urusannya hanya produktivitas, jika ibadah umroh berkurang khidmatnya atau empati sosial hilang hanya karena keinginan kita update foto di twitter, apa tidak berlebihan?


Dunia maya kini mendefinisikan kita. Selera musik kita bukan dilihat dari apa yang kita dengar, tapi dari apa yang kita ingin orang tahu, dengan kita bagikan di Path atau twitter, fb, instagram, dsb.


Ideologi bukan lagi apa yang kita percaya, tapi apa yang kita ingin orang baca dari apa yang kita bagi di Facebook atau Tumblr.


Keimanan bukan lagi apa yang kita yakini dan lakukan, tapi apa yang kita ingin orang anggap dari yang kita tulis di Twitter atau Instagram.



Kita kehilangan jatidiri hanya karena dunia maya membuka peluang membangun citra yang lebih baik dari kondisi sebenarnya di dunia nyata.


Kita berhenti berusaha mengimprovisasi kualitas diri, hanya karena kita bisa memperbaiki apa yang orang lihat dengan memperbaharui status-status baik di dunia maya.


Pertanyaan selanjutnya : Sudahkah kita menjadi nyata di dunia maya ?


Untuk menjadi siapa saja di dunia maya tentulah bukan hal yang mudah diwujudkan. Kecuali, kalau seseorang sudah menguasai salah satu kuncinya, yakni perspektif masyarakat. Dan pengertian masyarakat disini adalah mereka yang turut terhubung satu sama lain di dunia maya.


Dalam meyakinkan atau membentuk prespektif masyarakat ini lah, kadang seseorang harus dibuat susah payah untuk menutupi sebuah kenyataan yang ada di dalam hidupnya.


Untuk mempermudah dalam menjelaskan hal tersebut, saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya menyangkut tulisan ini.


Suatu waktu saya ngopi bareng di sebuah warung kopi dengan teman lama yang kebetulan punya waktu luang untuk ketemuan ngobrol nyambi ngopi. Dan kami sempat ngobrol bebas, hingga sampailah pada membicarakan salah satu teman lama kami yang bekerja di sebuah BUMN ternama.


Secara penampilan teman kami yang satu ini memang sangat mewah di dunia maya, dan kebetulan sekali teman ngobrol saya ini memang sangat dekat dengan teman yang satu ini.


Menariknya adalah di tengah pembicaraan kami, teman saya ini kembali bercerita bahwa ia masih rutin kumpul-kumpul bahkan berkungung ke rumah teman lama termasuk teman yang bekerja di BUMN ternama .


Namun berbeda dengan orang-orang pada umumnya yang sering memposting kegiatan kumpul atau sosialitanya di dunia maya, sedangkan teman yang satu ini sama-sekali tak pernah memposting kegiatan kumpul ataupun pertemuan dengan teman-teman lamanya.


Setelah mencerna obrolan yang diceritakan teman saya tersebut, saya sedikit berpikir bahwa mungkin hal tersebut bisa saja ia lakukan karena ada sebuah perspektif yang ia coba pertahankan. Yakni, di mana dia adalah sosok yang mewah di dunia maya, kemudian apabila dia dengan sengaja memposting keadaan yang jauh dari kata mewah yang sebenarnya.


Pun sebenarnya kehidupan seperti ini bukanlah hal yang baru atau aneh lagi, dan semua orang memang punya gaya pemikiran serta hak menjalani hidupnya masing-masing.


Entah ingin menjadi seperti apa ia tentulah itu menjadi urusan masing-masing orang, termasuk dalam dunia maya. Bahkan sekalipun seseorang ingin tampil menjadi sosok yang jauh dari kenyataan sebenarnya.



Hanya saja dalam membentuk dan mempertahankan perspektif masyarakat tentang dirinya, tentulah tidak mudah. Misalnya saya yang mencoba untuk dikenal sebagai sosok yang baik, maka sebisa mungkin harus tampil ramah tamah, dan menjaga bahasa yang baik di dunia maya. Padahal bisa saja sosok nyata jauh dari hal-hal seperti itu.


Pun bagi sosok teman yang satu ini yang terus berusaha menjadi sosok yang hidup dan berasal dari kalangan kelas atas. Hal itu adalah haknya, sekalipun ia perlu bersusah payah untuk membentuk dan mempertahankan perspektif kebanyakan orang di dunia mayanya, dengan menunjukan hal-hal yang sebenarnya sulit untuk ia dapatkan misalnya.


Tentu itu bukanlah masalah selama orang tersebut menyanggupi kehidupan yang memang ia inginkan di dunia maya. Namun satu hal yang pasti adalah menjadi nyata di dunia maya bukanlah sebuah kesalahan, melainkan mencoba menutupi apa yang menjadi kenyataan itulah yang tidak semestinya.


Sebab bukanlah hal yang tak mungkin bahwa perspektif kebanyakan orang tentang seseorang sebagai sosok pria yang bijak, pintar, menyenangkan, dan baik hati, toh karena yang mereka lihat di dunia maya adalah demikian. Namun perspektif tersebut belum tentu benar sepenuhnya, karena dunia maya memang dunia hiperealitas yang serba membingungkan.


Dunia maya menyimpan sisi negatif dan positif. Jadi untung dan ruginya tergantung bagaimana kita memanfaatkannya. Namun kita mesti ingat bahwa hidup yang sesungguhnya adalah di dunia nyata.


Kita harus berpikir realistis dan nggak boleh banyak berkhayal. Apalagi sampai membawa jati diri di dunia maya ke dunia nyata.


Hidup kita di dunia maya, karena kepedulian, jati diri, interaksi manis antar manusia, ibadah, dan karya; yang membuat kita hidup, justru tenggelam seiring berlebihnya kita menggunakan fitur-fitur dunia maya.

Sekarang sudah saatnya kita kembali menyadari bahwa manusia yang harus kita pedulikan, kapasitas diri yang butuh kita tingkatkan, kerja yang perlu kita lakukan, dan hidup yang harus kita perjuangkan, memang ada di dunia nyata.

 
 
 

Postingan Terakhir

Lihat Semua
Bahaya Kesombongan Intelektual

Intelektual yang ideal adalah yang semakin alim, maka kian takut kepada Allah. Sikap sombong (al-kibr) adalah sebuah penyakit hati....

 
 
 
Kebahagiaan Sejati

Pandangan umum yang menganggap kebahagiaan dapat ditemukan dengan memiliki lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak status...

 
 
 

Comments


© 2018 by Yusrin Ahmad Tosepu. Makassar, Sulawesi Selatan. Indonesia 

bottom of page