Derasnya laju perubahan di era sekarang ini menuntut setiap individu untuk beradaptasi dalam aktivitas rutin, baik dalam cara hidup sehari-hari maupun cara bekerja, emosional, pikiran dan perilaku. Kemampuan untuk beradaptasi akan menjadi keharusan.
Penggabungan beberapa teknologi canggih akan mengubah cara kita hidup dan bagaimana kita bekerja. Derasnya laju perubahan akan membutuhkan kemampuan hyper-learning. Kita semua harus menjadi pembelajar yang sangat adaptif, menjadi "hyper-learner" yang terus menerus meningkatkan kemampuan untuk belajar dan beradaptasi. Yaitu, kemampuan untuk belajar sesuatu yang baru (learning), menanggalkan sesuatu yang selama ini kita dapat dalam proses pembelajaran terdahulu karena ada yang salah di dalamnya atau telah usang, (unlearning) dan mempelajari kembali suatu hal dengan pendekatan/ilmu yang baru (relearning).
Tugas tersebut antara lain adalah menjelajahi sesuatu yang tidak diketahui, mencari hal baru, kreatif, imajinatif, dan inovatif; terlibat dalam tingkat yang pemikiran yang sangat kritis; membuat keputusan dalam keadaan dengan banyak ketidakpastian dan sedikit data; dan berhubungan secara emosional dengan cara yang positif dengan manusia lain. Semua pelaksanaan tugas tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan manusia dalam caranya memandang dan terlibat dalam proses pembelajaran.
Ilmu pembelajaran orang dewasa dengan jelas menunjukkan bahwa kita tidak pandai dalam pembelajaran adaptif karena otak dan pikiran kita diarahkan untuk menjadi prosesor cepat yang efisien. Sederhananya, otak kita tidak merasakan realitas, tetapi membangunnya dari pengalaman masa lalu. Inilah sebabnya mengapa para ilmuwan mengatakan bahwa kita sebenarnya "melihat apa yang kita percayai" daripada sebaliknya, "mempercayai apa yang kita lihat."
Kita secara alami berusaha untuk mengesahkan apa yang kita yakini dan apa yang kita inginkan untuk dilihat dan dirasakan; untuk melindungi ego kita; untuk mengupayakan kesatupaduan mental model kita (proses pemikiran seseorang tentang bagaimana sesuatu bekerja di dunia nyata); dan kita bertindak secara "autopilot" dalam sebagian besar waktu.
Apalagi dengan sering adanya kesalahan dalam berpikir/menilai (bias kognitif) yang menjadi penghambat besar dalam proses belajar, yaitu: ego kita dan rasa takut kita. Itulah sebabnya mengapa hyper-learning akan menjadi tantangan bagi kita.
Kenyataannya bahwa kita semua adalah pembelajar yang kurang baik, kurang optimal.
Ilmu pengetahuan secara jelas menunjukkan bahwa tidak ada yang bisa mencapai keunggulan belajar secara sendirian. Kita tidak dapat mengatasi kebiasaan yang sudah tertanam atau cara berpikir (buruk) kita oleh diri kita sendiri. Kita butuh orang lain untuk membantu kita berpikir dan belajar mencapai tingkat yang tertinggi.
Supaya kita unggul dalam melakukan tugas yang lebih kompleks yang mana teknologi canggih tidak akan mampu melakukannya dengan baik, kita harus merangkul pendekatan baru untuk belajar, baik secara individual maupun organisasional. Kita akan dipaksa untuk merangkul suatu cara baru berperilaku dan cara baru untuk bekerja yang memungkinkan manusia untuk beradaptasi secara terus menerus dengan hyper-learning.
Hyper-learning
Hyper-learning adalah sesuatu yang kognitif (penalaran logika), perilaku, dan emosional. Ya, hyper-learning adalah perilaku. Ia adalah bagaimana kita berpikir, bagaimana kita mendengarkan, bagaimana kita berhubungan dan berurusan dengan orang secara emosional, dan bagaimana Anda berkolaborasi. Dan itu adalah bagaimana kita mengelola apa yang sedang terjadi dalam pikiran kita, tubuh kita dan emosional kita. Hyper-learning dimulai dengan pola pikir (mindset).
Pola pikir hyper-learning
Di era perubahan sekarang ini menuntut kita perlu melatih pikiran kita untuk memprioritaskan:
Mencari sesuatu yang baru, eksplorasi, dan penemuan --bukan konfirmasi, penegasan, dan kedekatan pada sesuatu;
Aktif mencari informasi yang mengkritisi apa yang kita percaya selama ini;
Mengajukan pertanyaan yang menuntun pada eksplorasi dan penemuan (misalnya, Mengapa? Bagaimana jika? Mengapa tidak?);
Tidak langsung menilai/menyimpulkan (mengatakan, "Ya dan..." Bukan "Ya, tapi...") dalam rangka untuk mengeksplorasi dan menemukan sesuatu;
Merangkul perbedaan dan mencoba untuk mencari makna dari perbedaan itu;
Merangkul ambiguitas (sesuatu yang bisa bermakna dua) dengan tidak bergegas untuk sekedar membuat keputusan yang menyenangkan dan kilat;
Berani bilang "saya tidak tahu hal itu" dan mencoba mencari tahu akan hal itu; dan "Sense-making" (proses memaknai atau memberi makna terhadap sesuatu) dan "emergent thinking" (proses belajar yang memampukan kita "menguasai" pikiran kita sebagai lawan dari "diperbudak" atau terkuasi oleh pemikiran yang usang).
Jenis pola pikir apa yang akan membantu kita melakukan itu?
Jawabannya adalah kombinasi dari pembelajaran umum ditambah dua konsep modern; "Growth mindset" yang ditulis oleh Profesor Carol Dweck "New smart mindset" dan Profesor Edward D Hess "Humility is the new smart - Kerendahan hati adalah kecerdasan baru”.
"Growth mindset" atau "pola pikir pertumbuhan" memungkinkan hyper-learning karena kemampuan kita untuk belajar tidak dipengaruhi oleh IQ atau usia kita. "Smart mindset" atau "pola pikir kerendahan hati adalah kecerdasan baru” dirancang untuk membantu kita mengatasi dua penghambar terbesar untuk belajar, yaitu: ego dan rasa takut.
"Growth mindset" atau "pola pikir pertumbuhan" memungkinkan hyper-learning karena kemampuan kita untuk belajar tidak dipengaruhi oleh IQ atau usia kita. "Smart mindset" atau "pola pikir kerendahan hati adalah kecerdasan baru” dirancang untuk membantu kita mengatasi dua penghambar terbesar untuk belajar, yaitu: ego dan rasa takut.
Berikut adalah lima prinsip dari Kecerdasan baru "New smart" :
Saya tidak didefinisikan atau diartikan oleh apa yang saya tahu atau berapa banyak yang saya tahu, tetapi oleh kualitas dari pemikiran saya, kemampuan saya mendengarkan, berhubungan, dan berkolaborasi.
Model mental saya bukanlah realitas --itu hanyalah kesimpulan secara umum tentang bagaimana lingkup dunia saya bekerja.
Saya bukanlah ide-ide saya, dan saya harus memisahkan keyakinan saya (bukan nilai-nilai luhur) dari ego saya.
Saya harus berpikiran terbuka dan memperlakukan keyakinan saya (bukan nilai-nilai luhur) sebagai hipotesis untuk terus-menerus diuji dan dapat dimodifikasi oleh data dan fakta yang lebih baik.
Kesalahan dan kegagalan saya adalah kesempatan untuk belajar.
Perilaku hyper-learning
Di era perubahan sekarang ini, masa lalu tidak lagi menjadi prediktor handal masa depan. Kita harus belajar untuk berpikir secara berbeda dan itu berarti kita harus berperilaku berbeda pula. Dan mendefinisikan pengamatan detil sub-perilaku yang terukur yang membuktikan perilaku yang dikehendaki dan juga membuktikan tidak adanya perilaku yang diinginkan.
Ini semua adalah tentang hal-hal yang kecil, seperti: Bagaimana kita berbicara; kata yang kita gunakan; nada bicara kita; cara kita berhubungan dengan orang; ekspresi wajah kita; kehadiran/keberadaan kita; bagaimana kita mendengarkan; bagaimana kita berkolaborasi; bagaimana kita berpikir; dan bagaimana kita berurusan dengan emosi dan perselisihan.
Tujuan dari mengadopsi dan menjalankan perilaku hyper-learning adalah untuk mengurangi kecenderungan berikut yang menghambat adaptasi kita:
Cara berpikir yang tertutup (close-minded) yang hanya ingin mencari konfirmasi, penegasan, kekompakan, dan sekedar menjaga harmoni;
Ego kita yang terikat dengan apa yang kita pikir kita tahu yang mengarah pada tindakan pembelaan, penyangkalan, dan menyerang balik dalam menghadapi informasi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan keyakinan kita;
Mendengarkan untuk sekadar mengkonfirmasi, bukan untuk mencari tahu dan mengerti;
Berperilaku seolah-olah berkolaborasi (bekerja sama) adalah sebuah kompetisi;
Menjadi pendengar yang buruk karena kita membiarkan pikiran kita mengembara atau kita mulai menyiapkan jawaban kita sementara orang lain masih berbicara atau kita menyela orang sebelum mereka selesai berbagi pandangan mereka;
Terburu-buru dalam mengambil posisi tanpa mengajukan pertanyaan untuk memastikan Anda memahami apa yang dimaksudkan oleh orang lain;
Tidak mencari tahu keseluruhan data, termasuk yang berseberangan kesimpulan dan analisanya; dan
Takut membuat kesalahan, takut terlihat tampil tidak cerdas, dan tidak disukai.
Tantangan institusi Pendidikan
Hyper-learning membutuhkan linkungan yang positif yang memiliki pendekatan kemanusiaan dan keamanan secara emosional. Hyper-learning membutuhkan lingkungan kegiatan dan pekerjaan yang berorientasi pada tim dan sangat kolaboratif, bukan individualistik (survival-of-the-fittest), juga bukan lingkungan yang kompetitif.
Sebuah institusi pendidikan harus mengaktifkan hyper-learning melalui budaya belajar mengajar, pola pendidikan dan pengajaran dengan menjadi praktik-praktik hyper-learning ke dalam cara belajar dan membelajarkan peserta didik sehari-hari. Bagi banyak institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi akan memerlukan cara baru dalam membangun dan mengembangan sistem pendidikan dan pembelajaran yang menyesuaikan perubahan dan perkembangan zaman.
Selama 10 tahun ke depan, teknologi akan mengotomatisasi puluhan juta pekerjaan. Bukan hanya pekerjaan manufaktur tetapi juga dalam hal pelayanan, pekerjaan yang memerlukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan profesional.
Teknologi canggih akan memiliki kemampuan untuk terus memperbarui "mental model"-nya lebih cepat dan lebih baik dari manusia. Yang membedakan adalah kemampuan kita untuk bisa lebih unggul pada cara-cara berpikir di mana teknologi tidak bisa melakukannya dengan baik. Itu membutuhkan individu untuk menjadi lebih disiplin dan ketat dalam mengoptimalkan adaptasi secara terus menerus melalui hyper-learning: pembelajaran yang berkelanjutan: learning, unlearning, dan relearning.
Comentarios