Istilah ‘informasi A1’ taka sing lagi di telinga kita. Secara umum, informasi A1 dimaknai sebagai informasi yang valid dan bisa dipercaya kebenarannya. Penggunaan istilah ini lazim di masyarakat, ketika seseorang sedang mengabarkan sesuatu yang dia yakini benar terjadi.
Ada bebarapa kisah cerita terkait info A1. Pada sebuah obrolan dengan seorang mantan birokrat daerah, si mantan birokrat cerita pengalamannya melakukan audit di sebuah instansi. "Wah audit di kantor anu amplopnya tipis betul, tapi lumayanlah masih ada untuk 'cuci muka' padahal dia-maksudnya yang diperiksa-bisa 'mandi sauna' " ....... Lho begitu ya, ini info A1 banget untuk orang yang tak berkecimpung di bidang birokrasi.
Saat ngopi-ngopi dengan kawan lama yang pernah menjadi panitia ujian masuk PNS di sebuah instansi pemerintah 15-an tahun lalu, seorang peserta dititipi daftar untuk diberikan kepada panitia ujian, peserta tersebut adalah tenaga honorer yang sudah bekerja paling sedikit setahun. Maksud memberikan daftar peserta tersebut supaya para pegawai honorer -dalam daftar tersebut- diprioritaskan kelulusannya. Info A1 juga ini, zaman sekarang tak ada lagi ya..... mungkin.
Ngomong-ngomong, ciutan yang disampaikan oleh Said Didu tentang bobroknya manajemen BUMN di zaman Jokowi, itu info A1 bukan ya? Hanya waktu yang akan membuktikan apakah statemen yang ditembakkan Said Didu ke Pemerintahan Jokowi khususnya ke Kementerian BUMN, merupakan kebenaran yang mulai nampak? Masa iya sih Pemerintah tidak professional mengelolah BUMN? Mendingan kembali ke pernyataan Said Didu di yang dilansir berbagai media massa, pernyataan yang saya yakini kebenarannya karena dimuat di banyak media. A1 kan?
Namun, dari mana sebenarnya istilah " info A1' berasal?
Asal mula penggunaan istilah ini bisa ditemukan di jurnal ilmiah berjudul The Admiralty Code: A Cognitive Tool for Self-Directed Learning tulisan James M. Hanson dari University of New South Wales, Sydney, Australia. Jurnal ini telah dipublikasikan di International Journal of Learning, Teaching and Educational Research, pada November 2015 lalu, dan menjelaskan asal mula istilah "info A1".
Istilah tersebut berasal dari Admiralty Code atau Kode Angkatan Laut yang digunakan oleh Angkatan laut Amerika Serikat selama Perang Dunia I yang menggantikan Kode Rahasia 1887, SIGCODE dan sistem lain yang dirancang untuk komunikasi radio. Sistem kriptografi ini dikembangkan oleh Lt. W. W. Smith di Kantor Operasi angkatan Laut, yang digunakan untuk menilai keabsahan bukti-bukti intelijen. Metodenya yaitu secara acak menghubungkan kata-kata kunci dengan 5 pola huruf. Namun, kode itu saat ini digunakan secara luas, meliputi kepolisian, badan intelijen, dan organisasi pertahanan, termasuk militer Amerika Serikat.
Dengan adanya Admiralty Code, setiap informasi yang diterima harus dinilai terlebih dulu kebenarannya. Penilaian itu didasarkan pada bukti-bukti pendukung, juga rekam jejak pemberi informasi. Kode mengharuskan penerima informasi untuk menilai setiap bukti menurut:
1. Keandalan sumber informasi yang akurat (dinilai dari A sampai F) Sumber bisa berasal dari seseorang (misal, Kapten), sebuah publikasi (misal, Nature, Wikipedia), metode pengumpulan informasi (misal, interogasi tawanan perang, tes DNA), atau sumber informasi lainnya.
Reputasi sumber biasanya didasarkan pada rekam jejak di masa lalu, dan menjadi salah satu aspek penting untuk penilaian keandalan sumber. Aspek penting lainnya adalah motivasi. Mengapa sumber informasi menyediakan informasi ini? Faktor utama lain untuk menilai saksi manusia adalah kompetensi mereka (kedekatan dengan peristiwa yang dilaporkan, potensi bias yang tidak disengaja, dan keahlian dalam hal menafsirkan apa yang mereka klaim telah dilihat atau didengar).
2. Kemungkinan validitas klaim (dinilai dari 1 sampai 6) Bagaimana klaimnya dibandingkan dengan bukti lain yang terbukti valid? Apakah sesuai dengan teori/penjelasan yang ada? misalnya, dengan hukum fisika. Apakah sesuai dengan standar angkatan? misalnya, angkatan laut Australia berpedoman pada prosedur 1941.
Penerapan Kode Kode tersebut menempatkan huruf (A-F) dan angka (1-6) pada setiap bukti/ informasi intelijen untuk menunjukkan kredibilitasnya. A1 berarti informasi yang berasal dari sumber dengan reputasi terpercaya, kemungkinan tanpa motif tertentu, dan telah diverifikasi kebenarannya.
Sementara itu, E5 berarti informasi yang berasal dari sumber yang diragukan, dan kurang sesuai dengan sejumlah fakta yang telah diketahui sebelumnya. Huruf F, menunjukkan sumber informasi yang tidak diketahui reputasinya, sedangkan angka 6 menunjukkan bahwa klaim yang diajukan belum bisa dinilai kebenarannya.
Sehingga, kode F6, mengindikasikan bahwa informasi belum bisa diterima. Umumnya, A1 dan B2 akan diterima sebagai informasi kredibel. Sebaliknya, D4 dan E5 akan ditolak karena dinilai tidak kredibel, sedangkan C3 merupakan batas tengah antara meragukan dan meyakinkan. Kesulitan muncul pada kode-kode tertentu, seperti E2, yang berarti klaim tersebut kemungkinan benar, namun berasal dari sumber yang memiliki reputasi kurang meyakinkan di masa lalu.
Dengan demikian, ada baiknya untuk menggali lebih jauh lagi motif dari sumber informasi. Di sisi lain, B5, menunjukkan klaim dari sumber yang biasanya bisa dipercaya. Namun, informasi tersebut perlu diterima dengan hati-hati, dan dilakukan penilaian ulang setelah ada informasi pendukung lainnya.
Comments