top of page

Literasi Media Massa: Membangun Kesadaran Kritis Khalayak Terhadap Pemberitaan Media Massa

Gambar penulis: Yusrin Ahmad TosepuYusrin Ahmad Tosepu

Diperbarui: 2 Jul 2020


Literasi Media Massa


Di era informasi dan pengetahuan sekarang ini, media sangat masif memengaruhi khalayak, begitupun sebaliknya. Media memengaruhi pikiran khalayak tentang produksi media. Sementara khalayak juga mengkonstruksikan isi media. Media memengaruhi khalayak dalam level sosial dan individual.


Meski demikian, khalayak memiliki kemampuan untuk menghandle media. Kemampuan tersebut berkaitan dengan bagaimana memilih media yang tepat, mengatur penggunaan media, kemampuan untuk memobilisasi media, serta bagaimana menginterpretasikan isi media. Literasi media bergerak dalam keempat hubungan di atas.


Literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk media. Literasi media merupakan seperangkat perspektif yang digunakan secara aktif saat mengakses media masa untuk menginterpretasikan pesan yang di hadapi.


Literasi media berhubungan dengan bagaimana khalayak dapat mengambil kontrol atas media. Literasi media merupakan skill untuk menilai makna dalam setiap jenis pesan, mengorganisasikan makna itu sehingga berguna, dan kemudian membangun pesan untuk disampaikan kepada orang lain.


Intinya adalah literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis bagi khalayak ketika berhadapan dengan media. Kesadaran kritis menjadi kata kunci bagi gerakan literasi media. Literasi media sendiri bertujuan untuk, terutama, memberikan kesadaran kritis terhadap khalayak sehingga lebih berdaya di hadapan media.


Art Silverblatt menekankan pengertian literasi media pada beberapa elemen, di antaranya:


  1. Kesadaran akan pengaruh media terhadap individu dan sosial;

  2. Pemahaman akan proses komunikasi massa;

  3. Pengembangan strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media;

  4. Kesadaran bahwa isi media adalah teks yang menggambarkan kebudayaan dan diri kita sendiri pada saat ini; dan

  5. Mengembangkan kesenangan, pemahaman, dan penghargaan terhadap isi media.


Kelima elemen Silverblatt ini kemudian dilengkapi oleh Baran dengan pemahaman akan etika dan kewajiban moral dari praktisi media; serta pengembangan kemampuan produksi yang tepat dan efektif.


Tujuan Literasi Media


Silverblatt juga menyebutkan ada empat tujuan literasi media, yaitu:


Pertama, kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis, dan aksi sosial. Namun kesadaran kritis yang paling utama memberikan manfaat bagi khalayak untuk mendapat informasi secara benar terkait coverage media dengan membandingkan antara media yang satu dengan yang lain secara kritis;


Kedua, lebih sadar akan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari; menginterpretasikan pesan media;


Ketiga, membangun sensitivitas terhadap program-program sebagai cara mempelajari kebudayaan;


Keempat, mengetahui pola hubungan antara pemilik media dan pemerintah yang memengaruhi isi media; serta mempertimbangkan media dalam keputusan-keputusan individu.


Kesadaran kritis khalayak atas realitas media inilah yang menjadi tujuan utama literasi media. Ini karena media bukanlah entitas yang netral. Ia selalu membawa nilai, baik ekonomi, politik, maupun budaya. Keseluruhannya memberikan dampak bagi individu bagaimana ia menjalani kehidupan sehari-hari.


Literasi media hadir sebagai benteng bagi khalayak agar kritis terhadap isi media, sekaligus menentukan informasi yang dibutuhkan dari media.


Literasi media diperlukan di tengah kejenuhan informasi, tingginya terpaan media, dan berbagai permasalahan dalam informasi tersebut yang mengepung kehidupan kita sehari-hari. Untuk itu, khalayak harus bisa mengontrol informasi atau pesan yang diterima.


Literasi media memberikan panduan tentang bagaimana mengambil kontrol atas informasi yang disediakan oleh media. Semakin media literate seseorang, maka semakin mampu orang tersebut melihat batas antara dunia nyata dengan dunia yang dikonstruksi oleh media. Orang tersebut juga akan mempunyai peta yang lebih jelas untuk membantu menentukan arah dalam dunia media secara lebih baik.


Pendeknya, semakin media literate seseorang, semakin mampu orang tersebut membangun hidup yang kita inginkan alih-alih membiarkan media membangun hidup kita sebagaimana yang media inginkan.


James Potter menekankan bahwa literasi media dibangun dari personal locus, struktur pengetahuan, dan skill. Personal locus merupakan tujuan dan kendali kita akan informasi. Ketika kita menyadari akan informasi yang kita butuhkan, maka kesadaran kita akan menuntun untuk melakukan proses pemilihan informasi secara lebih cepat, pun sebaliknya.


Struktur pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang terorganisasi dalam pikiran kita. Dalam literasi media, kita membutuhkan struktur informasi yang kuat akan efek media, isi media, industri media, dunia nyata, dan diri kita sendiri. Sementara skill adalah alat yang kita gunakan untuk meningkatkan kemampuan literasi media kita.


Menurut James Potter, ada 7 keterampilan (skill) yang dibutuhkan untuk meraih kesadaran kritis bermedia melalui literasi media. Ketujuh keterampilan atau kecakapan tersebut adalah:


  1. Kemampuan analisis menuntut kita untuk mengurai pesan yang kita terima ke dalam elemen-elemen yang berarti.

  2. Evaluasi adalah membuat penilaian atas makna elemen-elemen tersebut.

  3. Pengelompokan (grouping) adalah menentukan elemen-elemen yang memiliki kemiripan dan elemen-elemen yang berbeda untuk dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda.

  4. Induksi adalah mengambil kesimpulan atas pengelompokan di atas kemudian melakukan generalisasi atas pola-pola elemen tersebut ke dalam pesan yang lebih besar.

  5. Deduksi menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan sesuatu yang spesifik.

  6. Sintesis adalah mengumpulkan elemen-elemen tersebut menjadi satu struktur baru.

  7. Abstracting adalah menciptakan deskripsi yang singkat, jelas, dan akurat untuk menggambarkan esensi pesan secara lebih singkat dari pesan aslinya.


Hegemoni Media Massa


Seperti yang kita ketahui bahwa media massa mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa hampir pada setiap aspek kegiatan manusia, baik secara pribadi maupun umum, selalu berhubungan dengan aktifitas komunikasi massa.


Hasrat interaksi antar individu atau masyarakat yang tinggi tersebut menemukan salurannya yang paling efektif dan terandalkan dalam berbagai bentuk media massa, guna saling berkomunikasi dan bertukar informasi.


Dalam perkembangannya, media massa memang sangat berpengaruh di wilayah kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dari aspek sosial-budaya, media adalah institusi sosial yang membentuk definisi dan citra realitas serta dianggap sebagai ekspresi sosial yang berlaku umum; secara ekonomis.


Media adalah institusi bisnis yang membantu masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari berbagai usaha yang dilakoni; sedang dari aspek politik, media memberi ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi kepentingan berbagai kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat demokratis.


Oleh karena begitu vitalnya peran media massa dalam berbagai aspek kehidupan publik, maka memicu banyak pihak dari golongan politik tertentu yang mencoba memanfaatkan media massa sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan secara hegemonik kerap memaksakannya kepada publik. Diantara mereka bahkan mampu menguasai media secara keseluruhan, yakni menjadi pemilik perusahaan media massa.


Hal seperti ini juga terungkap dalam teori ekonomi-politik media yang dikemukakan oleh Golding dan Murdock. Dengan memakai pendekatan strukturasi Giddens, mereka menguraikan bahwa media massa memang telah menjelma sebagai industri yang menjual produk berupa informasi untuk dikonsumsi masyarakat demi memperoleh profit bagi pemiliknya.


Pola ini telah menggurita secara global dalam suatu sistem kapitalisme media, dimana media massa berperan penting sebagai agen ideologis yang membentuk pola fikir dan memandu perilaku konsumennya. Nilai umum yang biasanya ditanamkan adalah perihal memacu hasrat konsumsi, pandangan hidup liberal, melegitimasi wacana investasi dan pasar bebas, hingga memassifkan budaya trend-popular dan sebagainya.


Namun, pendekatan strukturasi ini juga melirik bahwa determinasi kapitalisme global menjadi satu-satunya penentu nilai-nilai apa yang akan disebar melalui media massa tidaklah patut diterima begitu saja. Sebab, dalam rantai strukturnya, terdapat agen-agen lokal yang memiliki peranan aktif dan kreatif dalam proses pengendalian pengaruh media massa terhadap pembentukan opini publik sesuai dengan kepentingan politis yang hendak dicapai kelompok dan golongannya.


Sebagai contoh yang paling kasat mata, anda bisa menyaksikan tayangan dan pemberitaan media massa Indonesia kekinian yang yang lebih mengedepankan kepentingan pemilik, dan atau kelompok dan golongan tertentu dalam segala aspek kepentingan mereka.


Para pemilik media massa ini bukanlah pengusaha biasa, namun juga praktisi politik. Maka, disadari ataupun tidak, ini berdampak pada kecenderungan media tersebut mengarahkan gagasan politik dan pencitraan tokoh masing-masing ke dalam setiap pemberitaannya.


Privatisasi atau kepemilikan pribadi maupun kelompok atas perusahaan media massa sebenarnya bukanlah masalah, sepanjang pemberitaan yang disebarkan kepada masyarakat luas senantiasa tunduk pada azas serta prinsip ideal pemberitaan media massa yang harus sesuai dengan azas dan prinsip jurnalistik yang berlaku secara universal, yakni menjunjung tinggi azas objektifitas, akurat, adil, berimbang, dan menegaskan posisi netralitasnya. Selain itu, wajib hukumnya


Sekarang ini, fenomena pemanfaatan media massa sebagai alat kepentingan pemilik media bahkan untuk kepentingan golongan dan atau kelompok tertentu telah menjadi gejala umum yang terus menjalar tidak hanya di ranah nasional tetapi juga di daerah.


Berbagai ajang pencitraan yang berlebihan, tendensi sikap yang diskriminatif terhadap golongan atau tokoh tertentu, serta berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan pun kerap dengan mudah kita jumpai.


Media massa tidak hanya memunculkan realitas yang telah dikonstruksi, atau media massa bukan hanya pandai membuat bingkai (frame) dari sebuah berita. Namun media juga telah sanggup berperan sebagai sebuah alat propaganda dan instrumen politik luar negeri yang jitu dan menjembatani sebuah perang. Dengan peranannya sebagai media propaganda, media massa dapat menggalang dukungan publik yang sangat luas.


Jika menyimak tayangan dan pemberitaan media massa kekinian yang secara sengaja atau tidak sengaja telah menimbulkan krisis-krisis, di antaranya krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap masyarakat lainnya, atau pada golongan, kelompok atau elite tertentu. Selanjutnya krisis hukum, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Tidak dapat dihindarkan dari adanya pengaruh tayangan dan pemeberiataan media massa saat ini.


Kondisi seperti ini merupakan paradoks dilematis yang telah menciderai kehidupan masyarakat demokratis, dimana setiap orang memiliki hak untuk memperoleh informasi publik yang objektif. Sementara media massa sebagai sarana pemenuhan informasi paling mainstream justru mulai ditunggangi oleh kelompk, golongan dan elit tertentu yang berkepentingan mempengaruhi opini khalayak untuk kepentingan mereka.


Masyarakat tidak boleh terus menerus pasrah melihat keadaan ini, nalar kritis haruslah dijadikan pedoman setiap menerima informasi publik dari media manapun. Jangan pula kondisi ini membuat kita menjadi apatis dan cenderung tak pro aktif mengikuti perkembangan informasi publik, karena justru hanya akan merugikan kita. Upaya konfirmasi dan komparasi dengan media massa lain tentang suatu tema pemberitaan yang sama haruslah dijadikan pertimbangan sebelum kita menentukan kesimpulan sendiri.


Noam Chomsky dalam Dalam bukunya “ Manufacturing Concent” menjelaskan, bahwa masyarakat bisa di arahkan melalui media. Masyarakat bisa di rekayasa untuk menerima semua berita atau opini yang disajikan oleh media sesuai kepentingan-kepentingannya.


Dalam buku ini menjelaskan secara detail tentang hegemoni media massa; Bagaimana masyarakar, negara menjadi korban penindasan kelompok kapitalis dengan menghegemoni kebijakan-kebijakan pada suatu negara melalui media masa.


Menurut pandangan Gramsci (1971), media massa tidak hanya menunjukkan dominasi dalam kontrol ekonomi dan politik saja, namun juga menunjukkan keampuan dari suatu kelas sosial yang dominan untuk memproyeksikan cara mereka dalam memandang dunia.


Budaya yang tersebar merata di dalam masyarakat pada waktu tertentu dapat diinterpretasikan sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari penerimaan “konsesual”, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok dominan tersebut. Kelompok dominan bukan hanya semata-mata mempertahankan dominasi karena kekuasaan, bisa jadi karena masyarakat sendiri yang mengijinkan.


Dalam hal ini media massa merupakan instrumen untuk menyebarkan dan memperkuat hegemoni dominan. Peranan media adalah membangun dukungan masyarakat dengan cara mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka dengan menciptakan sebuah pembentukan dominasi melalui penciptaan sebuah ideologi yang dominan. Menurut paradigma hegemonian, media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan.


Singkatnya, hegemoni dapat dikatakan sebagai reproduksi ketaatan, kesamaan pandangan, dengan cara yang lunak. Lewat media massa lah hegemoni dilakukan. Media secara perlahan-lahan memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu kepada khalayak. Tidak hanya dalam urusan politik dan ekonomi, dapat juga menyangkut masalah budaya, bahkan ke hal yang ringan seperti gaya hidup.


Media massa telah menjadi sarana paling penting dari kapitalisme di era ini, sebagaimana juga melangenggkan kelompok kapitalis untuk dominan dan terus menerus berusaha mempertahankan, melembagakan, melestarikan kepenguasaan demi menggerogoti, melemahkan, dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasai.


Tak dapat dipungkiri, Indonesia sekarang di kuasai oleh media massa. Dan media massa itu sendiri di kendali oleh dua kepentingan kelompok besar yaitu kelompok kepentingan penguasa dan kelompok kepentingan ekonomi big bisnis .Mungkin kita sering merasa mengambil keputusan secara sendiri. Padahal tanpa kita sadari, keputusan itu sudah di pengaruhi oleh media massa yang kita baca.


Melihat kondisi diatas, begitu besarnya pengaruh media terhadap pembentukan opini masyarakat. Masyarakat harus bisa menyaring berita atau opini yang disampaikan oleh media massa. Masyarakat juga harus mengkritisi media massa itu sendiri.


Masyarakat juga dapat dewasa dalam mencerna berbagai pemberitaan yang cenderung sepihak, provokatif, berita bohong, hoax. Banyaknya arus informasi yang diterima dengan dengan pemberitaan yang berbeda-beda disampaikan oleh media tradisional dan madia modern dalam permasalahan yang sama, namun pemberitaannya berbeda.


Pembingkaian media menjadi pembelajan untuk masyarakat, sesungguhnya bahasa media dan berita yang dikabarkan adalah hasil konstruksi, maka adanya dampak negatif dari tayangan dan pemberitaan media selayaknya dapat ditanggulangi.


Masyarakat semestinya dapat memilih, menyeleksi mana berita yang wajib dipercaya dan tidak. Aatau masyarakat dapat memilih mana berita yang semestinya tidak dipandang serius dan tidak layak ditanggapi dengan sikap dan tindakan yang cenderung anarkis dan emosional.


Dampak negatif pemberitaan tentunya hanya dapat ditanggulangi atau setidaknya dikurangi oleh adanya peran media yang sadar akan pentingnya memperhatikan kepentingan bersama dan terpeliharanya ketahanan social, baik lokal, menyeluruh (nasional).


Dalam kontek kebijakan publik, media dapat mendorong publik untuk berpartisipasi dalam segala aspek bidang kehidupan, mendukung pentingnya integrasi bangsa, bukan hanya mengejar konflik bagi produksi berita, meskipun dapat meningkatkan pendapatan dan memperluas pasar.


Tapi, bagaimana media di Indonesia benar-benar memiliki empati yang mendalam terhadap persoalan bangsa sehingga dalam setiap pembuatan berita (proses produksi berita) selalu mempertimbangkan moralitas, etika, baik, buruk dan dampak yang akan ditimbulkan bagi kepentingan bangsa dan negara.


Karena Informasi yang di sampaikan oleh media massa tersebut adalah informasi Publik. Masyarakat harus menggunakan nalar sehatnya. Selain itu, Masyarakat juga harus mencari sumber-sumber lain atau second opinion dari pada mengikuti apa yang menjadi trend di media massa.


Sehingganya media massa benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, dan mampu memunculkan pemerintahan yang cerdas dan mencerdaskan khalayak. Karena logikanya, melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.


Membangun Budaya Literasi Media Massa di Indonesia


Di era informasi dan pengetahuan sekarang ini, industri media tengah berada di dalam perubahan yang cepat. Kerajaan-kerajaan media mulai membangun diri dengan skala yang besar. Semakin lama bisnis media semakin besar dan melibatkan hampir seluruh outlet media yang ada dengan kepemilikan yang makin terkonsentrasi.


Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang dipenuhi oleh media. Apakah masyarakat terlayani dengan informasi yang aktual, beragam dan sesuai dengan kepentingan mereka oleh industri ini, atau perkembangan yang luar biasa ini hanya untuk meningkatkan keuntungan bagi “segelintir” orang yang terlibat dalam industri ini.


Dalam upaya menyikapi pengaruh media massa seperti itu, saat ini pentingnya membangun kesadaran masyarakat tentang literasi. Hal ini merupakan gerakan penting di kalangan masyarakat di negeri ini untuk mengendalikan kepentingan dan pengaruh media massa dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat serta membantu kita merancang tindakan dalam menangani pengaruh media massa. Dalam kata lain, membantu individu dan atau masyarakat menjadi melek media.


Secara sederhana, media literasi pada dasarnya merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa. Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya berkenaan dengan keberadaan media massa, di samping memberikan manfaat untuk kehidupan manusia ternyata juga memberikan dampak lain yang kurang baik.


Beberapa dampak tersebut antara lain (1) Mengurangi tingkat privasi individu, (2) Meningkatkan potensi kriminal, dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau ide yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu.


Tujuan dasar literasi media massa ialah mengajar khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu.


Seseorang pengguna media yang mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Dengan masyarakat melek media, maka mereka memiliki pengetahuan, informasi tentang media dan budaya, serta memiliki peralatan untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang dismpaikan dan dijual oleh isimedia massa.


Bila dilihat dari sudut pandang lainnya, dengan menggunakan model ruang publik, media merupakan sumber informasi yang utama dimana informasi harus beredar dengan bebas, tanpa intervensi dari siapapin dan dari manapun yang menghalangi aliran ide. Sudut pandang ini melihat orang lebih sebagai anggota masyarakat dari pada konsumen, maka dari itu media seharusnya “melayani” masyarakat tersebut.


Belum ada hasil penelitian yang menyebutkan tingkat literasi (melek media) di Indonesia. Tingkat literasi biasanya berhubungan dengan tingkat pendidikan dan daya kritis masyarakat. Makin tinggi pendidikan dan daya kritis seseorang makin tinggi tingkat literasinya. Memang hipotesis seperti itu masih perlu diuji di banyak tempat dan di berbagai kelompok masyarakat.


Menyaksikan perilaku khalayak; khalayak terbelah dua, khalayak pasif dan khalayak aktif. Jumlah khalayak pasif jauh lebih besar ketimbang yang aktif. Mereka itu seperti diam saja menerima informasi dari media massa, bahkan tidak jarang tampak seperti tidak berdaya. Ini ada kaitannya dengan Teori Jarum Suntik. Begitu disuntik oleh pesan komunikasi, isinya segera menjalar ke seluruh pelosok tubuh. Karena keperkasaan media massa, seolah-olah masyarakat tidak berdaya menghadapinya.


Mereka itu mendapatkan pesan komunikasi seperti masuk dari satu telinga segera dikeluarkan lewat telinga yang lain. Mereka yang aktif selain berinteraksi sesamanya juga mengritisi media massa tempat asal informasi. Mereka ini sadar-media atau sering disebut melek-media. Sedikitnya, jika memperhatikan teori di atas, tubuh pasien (khalayak) mengadakan ”perlawanan,” tidak menyerah begitu saja pada obat dan jarum suntiknya.


Di dalam ”melek-media,” khalayak aktif tidak sekedar sebagai pemerhati atau pengamat tapi aktif melakukan sesuatu jika media massa telah melakukan penyimpangan. Penyimpangan ini bisa mengenai informasinya yang salah, kurang tepat, tidak seimbang, dan semacamnya. Jika itu yang terjadi maka khalayak dapat melakukan protes. Protes dilindungi oleh Undang-undang No.40/1999, dua hak yang berhubungan dengan itu adalah Hak Koreksi dan Hak Jawab.


Hak Jawab adalah hak seseorang/sekelomplok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pasal 5 Ayat 2 UU 40/1999) menyebutkan, pers wajib melayani Hak Jawab. Sering pers tidak segera melayani Hak Jawab. Kalau pun melayaninya, kadang-kadang hanya di rubrik Surat Pembaca.


Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Pasal 5 Ayat 3 UU 40/1999 menyebutkan, pers wajib melayani Hak Koreksi. Hak ini sebenarnya sebagaian tumpang tindih dengan Hak Jawab, hampir selalu dilayani pers di Surat Pembaca.


Pelanggaran atas Hak Jawab oleh kalangan pers, selain berupa pelanggaran kode etik, juga pelanggaran atas UU No. 40/1999 yang berimplikasi pada denda. Pelanggaran kode etik tidak berakibat hukum, tanpa sanksi yang berat. Pelanggaran atas UU 40 adalah tindak pidana yang berakitan dengan hukuman. Pasal 18 mengingatkan antara lain: Perusahaan pers yang melanggar antara lain Pasal 5 Ayat 2 ……. dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.


Media massa yang cukup banyak melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi adalah media cetak. Media elektronika, lebih-lebih televisi, kita jarang menyaksikan melayani kedua hak tersebut dengan baik. Boleh jadi, sajiannya sudah bagus, boleh jadi tidak tersedia ruang dan waktu untuk itu. Namun, masyarakat belum banyak yang tahu mempunyai kedua hak tersebut.


Lebih daripada itu, bahkan sebagian besar warga masyarakat tidak tahu, kemerdekaan pers adalah hak azasi warga negara. Sosialisasi tentang ini perlu terus menerus diberikan agar masyarakat bisa lebih mengerti hak dan kewajiban mereka dalam mendapatkan informasi objektif, dan transfaran dari media massa.


Selain mengenai isi dan sikap media massa yang dikritisi, bisa juga fungsi media massa yang dikritisi. Misalnya saja tentang fungsi media yang menyimpang atau kurang dijalankan dengan semestinya. Kontrol sosialnya kurang, atau bahkan berlebihan dan semacamnya. Tidak jarang pers kurang menjalankan fungsi watchdog-nya. Fungsi ini penting karena membuat pihak lain yang dikontrol atau diawasi/dijaga menjadi lebih hati-hati dalam bertindak.


Masyarakat punya tanggungjawab moral dan social dalam mengontrol media massa, salah satunya dengan membangun kesadaran “melek media”. Semakin masyarakat sadar akan pentingnya literasi media massa maka makin banyak pihak yang akan penduli, kritis bahkan dengan mengawasi tayangan dan pemberitaan media massa dan juga akan meningkatkan mutu tayangan dan pemberitaan media massa.


Walaupun khalayak aktif yang sangat reaktif terhadap tayangan dan pemberitaan media mass, tapi tanpa konsep literasi, dapat mengarah kepada tindakan yang brutal. Kita kadang mendengar ada ormas pemuda yang menduduki kantor redaksi surat kabar.


Ada pula yang datang beramai-ramai ke kantor redaksi lalu menuntut agar redaksi meminta maaf tiap hari dimuat surat kabar yang bersangkutan. Mereka, boleh jadi bukanlah khalayak aktif dalam arti yang benar. Sangat mungkin, mereka sama sekali tidak mengerti tentang literasi itu.


Khalayak yang memiliki pengetahuan literasi adalah khalayak aktif dan mengkritisinya isi media yang tidak sesuai dan tentunya akan menggunakan prosedur hokum dan peraturan yang sesuai. Mereka ini termasuk khalayak super aktif.


Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Penanggulangan Dampak Negatif Media Massa, yaitu 21 Century Literacy Summit yang diselenggarakan di Jerman, diperoleh gambaran kesepakatan yang disebut 21 Century in A Convergen Media Word. Kesepakatan tersebut, seperti disampaikan Bertelsmann dan AOL Time Warner (2002), menyatakan bahwa media literasi mencakup:


  1. Literasi teknologi; kemampuan memanfaatkan media baru seperti Internet agar bisa memiliki akses dan mengkomunikasikan informasi secara efektif.

  2. Literasi informasi; kemampuan mengumpulkan, mengorganisasikan, menyaring, mengevaluasi dan membentuk opini berdasarkan hal-hal tadi.

  3. Kreatifitas media; kemampuan yang terus meningkat pada individu dimanapun berada untuk membuat dan mendistribusikan konten kepada khalayak berapapun ukuran khalayak.

  4. Tanggung jawab dan kompetensi sosial; kompetensi untuk memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi publikasi secara On-line dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut, khususnya pada anak-anak


Sementara menurut Centre For Media Literacy (2003)upaya untuk memampukan khalayak media untuk mengevaluasi dan berpikir secara kritis terhadap konten media massa, mencakup:


1. Kemampuan mengkritik media.

2. Kemampuan produksi media

3. Kemampuan mengajarkan tentang media

4. Kemampuan mengeksplorasi sistem pembuatan media.

5. Kemampuan mengeksprolasi berbagai posisi

6. Kemampuan berpikir kritis atas konten media


Agar literasi media menjadi dapat berjalan dengan optimal maka diperlukan adanya pendidikan berbasis luas, yang tak hanya berkenaan dengan media massa, tapi juga sistem simbolik citra dan suara.


Pendidikan media bertujuan untuk mengembangkan baik pemahaman kritis maupun partisipasi aktif, sehingga memampukan masyarakat sebagai konsumen media membuat tafsiran dan penilaian berdasarkan informasi yang diperolehnya; selain itu memampukan masyarakat untuk menjadi produser media dengan caranya sendiri sehingga menjadi partisipan yang berdaya di masyarakatnya.


Beberapa konsep penting mengenai literasi media dalam pendidikan media. Konsep tersebut adalah:


1. Memulai dan mendorong program-program pendidikan media secara komprehensif, mulai dari tingkat sekolah sampai universitas, dan pendidikan masyarakat secara umu yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan mendorong perkembangan kesadaran kritis, dan konsekuensinya, melahirkan kompetensi yang lebih besar di kalangan pengguna media massa {online, elektronik dan cetak). Idealnya, program seperti ini mencakup analisa produk media, penggunaan media sebagai sarana ekspresi kreatif, serta memanfaatkan secara efektif dan berpartisipasi dalam saluran media;


2. Mengembangkan pelatihan untuk para guru, dosen, siswa/mahasiswa, komunitas dan masyarakat secara umum untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap literasi media, dan melatih mereka dengan metode pengajaran yang tepat, yang memperhitungkan penguasaan yang sudah dimiliki namun masih bersifat fragmentaris terhadap media massa.;


3. Mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan manfaat pendidikan media dalam bidang-bidang seperti psikologi, sosiologi dan ilmu komunikasi; dan lain sebagainya.


Penutup


Media Massa di era ini saling berlomba-lomba dalam memberikan layanan informasi kepada konsumennya. Tingginya penetrasi media massa dampaknya semakin sulit terkontrol. Kini masyarakat tidak sekedar mendapatkan informasi, pengetahuan, dan hiburan, tetapi bisa berinteraktif langsung.


Pada saat yang sama media menanamkan nilai ideologi baru berupa gaya hidup, budaya konsumerime dan model peniruan sikap dan perilaku para sosok/figur tertentu yang dipopulerkan media.


Maka dari itu sudah waktunya hegemoni dan penetrasi media massa yang semakin gencar dan bebas harus diimbangi dengan literasi media sebagai budaya tangkal atas dampak negative media. Maka dibutuhkanlah budaya baru dalam mengkonsumsi media massa secara sehat.


Literasi media tentu tidak bisa berjalan dengan baik tanpa peran serta masyarakat. Peran itu dapat berupa individu, komunitas, kelompok, dan budaya lokal setempat. Peran individu lebih di fokuskan pada bimbingan orang tua sebagai kepala keluarga atas konsumsi media di lingkungannya.


Demikian juga pengawasan di komunitas, kelompok masyarakat tertentu yang peduli terhadap perkembangan media massa kekinian, serta pemberdayaan kearifan lokal yang berkembang di komunitas masyarakat.


Salah satu cara untuk meningkatkan awareness literasi media “melek media” adalah melalui pendidikan penyadaran kepada seluru elemen dan lapisan masyarakat untuk “melek” media. Membuka wawasan mereka tentang hak masyarakat terhadap media, bentuk-bentuk literasi, dan fungsi media bagi kehidupan sosial.


Namun, untuk mencapai hal tersebut perlu adanya sosialisasi terus menerus dalam meliterasi tayangan dan pemberitaan media massa karena perlu peningkatan pemahaman tentang hak masyarakat terhadap tayangan dan pemberitaan media massa.


Referensi

  1. Art Silverblatt. 1995. Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages. London: Praeger

  2. De Fleur, Melvin L, Sandra Ball – Rokeach. 1988. Teori Komunikasi Massa. Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.

  3. Djiwandono, J. Soedjati. 1994. “Analisis dan Strategi Kompetisi antar Media Massa” disampaikan pada Forum Diskusi Alternatif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atmajaya Yogyakarta.

  4. James Potter. 2011. Media Literacy, Fifth Edition. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore, Washington DC: Sage Publication

  5. Stanley J. Baran, Dennis K.Davis. 2010. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment and Future. Belmot: CA, Wadswoth

  6. 6) MacBride,S,1983,AnekaSuara,SatuDunia,Jakarta: PNBalai Pustaka-Unesco.

  7. McLuhan, Marshal, 1999,Understanding Media, The Extension OfMan.London: The MIT Press.

  8. Mulyana,Deddy,1999,Nuansa-NuansaKomunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

  9. Tester,Keith, 2003, diterjemahkan Muhammad Syukri, Media, Budaya,Moralitas.Yogyakarta: KerjasamaJuxtaposedan Kreasi Wacana.

Catatan : Seri Kajian Matakuliah Media Massa Dan Masyarakat Jur. Ilmu Komunikasi

1.456 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Bahaya Kesombongan Intelektual

Intelektual yang ideal adalah yang semakin alim, maka kian takut kepada Allah. Sikap sombong (al-kibr) adalah sebuah penyakit hati....

Kebahagiaan Sejati

Pandangan umum yang menganggap kebahagiaan dapat ditemukan dengan memiliki lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak status...

Comments


bottom of page