top of page

MEREFLEKSI PERAN DOSEN: Bagaimana Mengajar yang Baik untuk Generasi Milenial?

Gambar penulis: Yusrin Ahmad TosepuYusrin Ahmad Tosepu


Sedikit berbagi pandangan tentang dunia pendidikan, khususnya peran dosen dalam proses belajar mahasiswa. Berdasarkan pasal 1 dan 5 UU guru dan dosen, maka tugas utama dosen bukan hanya berkutat seputar pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bukan menyiratkan bahwa profesi dosen yang memiliki tugas dan tanggungjawab mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Serta berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.


Memang nggak bisa dimungkiri, peran dosen seperti halnya guru sangatlah besar dalam kehidupan sosial bermasyarakat, terutama untuk membangun peradaban dan generasi masa mendatang yang lebih baik. Nah, justru karena peran besarnya itulah saya ingin mencoba mengajak kita semua (khususnya para dosen) untuk merefleksi bersama, terutama tentang sejauh mana peran seorang dosen dalam membangun semangat belajar kepada para peserta didiknya.


Dalam melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran, seorang dosen bukan hanya sekedar mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, tapi juga memberi contoh, inspirasi, dan yang paling penting adalah membuat peserta didiknya senang belajar serta menikmati proses belajar itu sendiri. Dalam perspektif ini, saya berpendapat bahwa tolak ukur keberhasilan seorang dosen itu ditentukan oleh peserta didiknya. Keberhasilan dosen utamanya tercermin pada perubahan positif yang dialami oleh peserta didiknya.


Perubahan positif itu bisa jadi macam-macam indikatornya, dari mulai pemahaman peserta didik akan materi pelajaran, rasa antusias peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran, dan yang paling penting adalah sejauh mana peserta didik menikmati proses belajar yang dijalaninya tersebut. Walau tak dipungkiri tidak semua dosen sepakat dengan pandangan saya di atas. Maksudnya, masih banyak dosen yang tidak menjadikan “antusiasme peserta didik dalam belajar” sebagai tolak ukur utama dalam proses mengajar ; tapi justru menciptakan semacam sistem yang membuat peserta didik belajar dengan penuh keterpaksaan, seperti strategi dan metode mengajar yang kurang tepat sasaran, pemberian tugas dengan porsi yang tidak wajar, dan sebagainya.


Dalam prakteknya, saya yakin setiap dosen memiliki niat dan tujuan yang baik dalam mendidik dan mengajar peserta didiknya. Saya juga mengerti bahwa setiap dosen memiliki style dan caranya masing-masing dalam menjalankan perannya sebagai pendidik dan pengajar. Namun terlepas dari itu, menurut saya ada beberapa ‘style‘ cara mengajar yang saya kira perlu kita evaluasi lagi bersama, khususnya menghadapi mahasiswa zaman now yang notabenenya generasi millennial (gen z) yang memiliki karakteter dan ciri tersendiri dibandingkan generasi sebelumnya.


Di kalangan dosen – dosen, perubahan pola perilaku mahasiswa memang hangat dibahas. Karena mungkin sudah terbiasa dengan satu generasi tertentu, ketika melihat perubahan generasi kekinian, yang dikenal dengan generasi milennials, kadang bisa membuat geleng – geleng kepala menghadapinya. Mulai dari pola pikir kritisnya, etikanya, perilakunya, kadang kita sebagai dosen berpikir, “kok mahasiswa sekarang begini yaa?”


Sebagai dosen, saya dihadapkan pada mahasiswa yang berbeda jauh dengan saya. Kalau dibilang, angkatan saya lahir itu generasi Y. Masih generasi transisi antara generasi internet dengan generasi yang masih serba analog. Makanya kalau dulu masih sempat tuh main yang namanya petak umpet, kelereng alias gundu, atau main ular tangga, dsb. Kalau anak sekarang, kayanya sih ga kenal dengan mainan seperti itu.


Mahasiswa sekarang umumnya adalah Generasi milennials yang masuk kelompok Generasi Z adalah generasi yang pada intinya adalah generasi yang lahir di zaman teknologi dan informasi. Umumnya lahir di atas tahun 1999. Generasi ini adalah generasi yang berlimpah secara informasi, dan harusnya lebih berwawasan dan kaya akan data karena mencarinya mudah.


Berikut adalah peran dosen dalam kegiatan pengajaran yang menurut saya perlu kita refleksi bersama dalam membelajarkan mahasiswa millenials (Generasi Z).


1. Pemberian Tugas


Jam mengajar dosen di kampus terkadang terasa kurang untuk memastikan para peserta didik untuk betul-betul memahami materi yang dibahas. Oleh karena itulah, dosen memberikan tugas dengan harapan membantu para peserta didik memahami materi di luar perkuliahan. Secara umum, tujuan dosen memberikan tugas kurang-lebih seperti ini:


• Mengevaluasi materi yang sudah dipelajari di kelas.

• Mendorong peserta didik untuk lebih memahami bahkan menguasai materi kuliah .

• Mendorong murid untuk mendalami pemahamannya untuk topik tertentu.


Di satu sisi, maksud dan tujuan dosen itu baik dalam memberikan tugas, tapi ada saatnya tugas yang diberikan tidak memberi dampak positif bagi para peserta didik. Tidak sedikit peserta didik yang justru menganggap bahwa tugas itu adalah beban yang menghalangi mereka untuk belajar dikarenakan jumlah dan frekuensinya yang menjadi masalah dan membebani peserta didik.


Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Oviedo Spanyol, tugas akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi pemahaman peserta didik jika tugas tersebut dirancang agar peserta didik diberi porsi waktu yang memadai dalam proses penyelesaiannya. Tugas itu bisa jadi hal yang positif, dengan catatan porsinya wajar.


Jika ingin memberikan tugas yang cukup banyak, sebaiknya dosen memperpanjang tenggat waktu penyelesaian tugas tersebut mengingat kemungkinan peserta didik mendapat tugas dari dosen matakuliah lain. Akan jauh lebih baik lagi, jika dosen bisa memberikan tugas yang justru bisa menjadi pemicu peserta didik untuk menikmati proses belajar itu sendiri, memberi tantangan yang menarik bagi peserta didik untuk mencari tau lebih jauh materi yang mereka pelajari, bukan justru menekan peserta didik untuk harus belajar.


Tugas seorang mahasiswa ya memang harus belajar. Tapi perlu kita sadari juga, bahwa definisi “belajar” bagi peserta didik tidak hanya sebatas pada ruang kelas, atau tugas saja. Saya percaya, ada banyak hal di luar sana yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi peserta didik, di luar konteks akademis, seperti bersosialisasi, membaca, menonton film yang bermanfaat, berinteraksi lingkungan sosial, dan sebagainya. Intinya, jangan sampai frekuensi tugas yang diberikan oleh dosen bukan memberikan dampak positif, tapi membuat peserta didik merasa jenuh, tertekan, dan malah tidak menikmati proses belajar itu sendiri.


2. Pendekatan Metode dan Cara Mengajar


Kita harus mengakui bahwa para peserta didik seringkali punya pandangan yang terpolarisasi terhadap cara mengajar dosennya. Sederhananya, ada dosen yang dipandang oleh para peserta didik sebagai dosen yang cara ngajarnya asik, seru, mudah dipahami. Dosen seperti ini seringkali menjadi idola peserta didiknya bahkan jam pelajarannya ditunggu-tunggu oleh para peserta didik.

Sementara itu, di sisi lain ada juga dosen yang dipandang peserta didik sebagai dosen yang cara mengajarnya membosankan, bikin ngantuk, materinya tidak menarik, dll. Dua bentuk polarisasi dari cara pandang peserta didik terhadap dosenya ini memang seringkali ada, bahkan bersifat kolektif. Kalau ada beberapa peserta didik yang menganggap dosenya membosankan, satu kelas akan kompak menganggap dosen tsb membosankan.


Menjadi seorang dosen, memang bukan perkara yang mudah. Walaupun dosen memiliki niat baik untuk mengajar, mendidik, dan membagikan ilmunya, ada saja peserta didik yang ngobrol sendiri, ada yang ngelamun, ada yang main hape, ada yang malah gambar-gambar, dan sebagainya. Hal ini tentu membuat dosen merasa jengkel, tidak jarang dosen memutuskan untuk mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya proses belajar mengajar.


Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap dosen ingin merasa dihargai. Namun di sisi lain, saya kira kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi peserta didik. Karena sedikit banyak, hal itu justru akan menambah parah polarisasi cara pandang peserta didik terhadap dosenya. Udah dosennya membosankan, galak lagi. Lengkaplah sudah.


Banyak cara yang bisa digunakan oleh dosen untuk bisa “menguasai kelas”, membawa suasana belajar yang menarik, seru, dan menciptakan atmosfir belajar yang sehat bagi para peserta didik. Cara untuk menguasai audience memang tidak mudah. Terus terang, sampai saat ini pun saya masih perlu banyak belajar untuk bisa membuat nuansa belajar yang positif di kelas.


Karena ‘fundamental’ perubahan yang dihasilkan oleh generasi ini, peneliti dari Dalton State College, Christy Price, EdD mencoba untuk memetakan seperti apa karakteristik pembelajar dari generasi milennials. Penelitian ini diperkuat oleh Price, yang mencoba melakukan analisis kualitatif dari ratusan pembelajar generasi milennials untuk menemukan karakeristik umumnya.


Berdasarkan hasil penelitiannya, ditemukanlah ada 5 teknik untuk membuat pengajar atau dosen lebih berhasil dalam memberikan pelajaran kepada generasi milennials. Berikut adalah caranya:


Pertama. Research – Based Methods: Satu hal yang pasti, teknik lecture konvensional sudah sulit menarik minat mahasiswa milennials. Sebagai generasi multimedia, mereka lebih suka diberikan multimedia, kesempatan kolaborasi, dan kemampuan mencari serta merangkum informasi sendiri. Di sinilah kemudian tugas dosen lebih ke arah menjadi fasilitator untuk ‘meluruskan’ jika ada sesuatu yang salah dipahami mahasiswa untuk mencegah terjadinya sesat pikir.


Di mata kuliah Multi media Komunikasi (semester 6), saya pernah mencoba untuk memberikan ‘tantangan’ kepada mahasiswa untuk merancang model iklan produk di sebuah perusahaan dengan membuat model produk iklan yang kompleks. Caranya saya biarkan mereka melakukan eksplorasi, namun jika mereka stuck, mereka bisa bertanya kepada saya. Hasilnya, ternyata hasil tugas mereka sangat bagus dan bahkan diterima untuk dipresentasikan di sebuah perusahaan.


Hanya saja tantangannya, memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk tugas riset bukan berarti melepas. Di sinilah letak peran dosen, yaitu sebagai pemberi klarifikasi dan mencegah mahasiswa untuk tidak sesat pikir atau salah logika dalam mengambil sebuah kesimpulan dari proses belajar.


Kedua. Relevance: Generasi Milennials adalah generasi yang menghargai sebuah informasi karena ‘relevan’ dengan kehidupan mereka. Maka di sini peran dosen adalah ‘menyortir’ materi – materi yang ada di buku, mana yang relevan dan akan banyak digunakan dalam kehidupan mahasiswa dan mana yang tidak. Sudah bukan zamannya lagi seorang dosen ‘menyuapi’ seluruh materi yang ada di buku, tanpa mahasiswa tahu apa manfaatnya untuk mereka.


Hal – hal praktis yang saya lakukan untuk dapat terus membuat materi relevan adalah menghubungkan konsep materi dengan kasus – kasus terkini yang relevan dengan dunia nyata. Misalnya ketika saya mengajar pengantar Teknologi Informasi dan Komunikasi, saya memicu mereka dengan pertanyaan, “apa sih hakikat dari “teknologi informasi diciptakan?” Pertanyaan itu adalah pembuka kesadaran mengapa mereka perlu belajar dan memahami arti pentingnya TIK sekarang ini. Mereka pun menjadi mudah ingat konsepnya karena “TIK” itu hampir selalu melekat pada kehidupan mereka karena setiap mahasiswa memiliki barang yang namanya smartphone. Termasuk kita juga, dosen – dosennya.


Ketiga. Rationale: Tidak seperti generasi sebelumnya yang dididik dengan pola otoriter, para generasi milenial ini banyak yang dibesarkan dengan pola – pola demokratis oleh orang tua atau lingkungan mereka. Sehingga, generasi milenial ini akan cenderung respek kalau tugas atau kebijakan yang diterapkan rasional. Saya mendapati hal ini ada benarnya, ketika banyak mahasiswa saya yang mengeluhkan ada dosen yang memberikan tugas yang kurang make sense. Misalnya adalah tugas menghapalkan konsep dan teori. Hal yang mereka tanyakan adalah : apa esensinya? Beberapa dari mereka masih bisa menerima jika merangkum, tapi kalau menghapalkan itu tidak rasional.


Nah, sebenarnya hal – hal seperti ini dapat dihindari apabila kita sebagai dosen memberitahukan apa esensi atau rasionalitas dalam memberikan tugas atau menerapkan kebijakan kelas. Sebaiknya jika dosen memberikan tugas kepada mahasiswa, selalu saya berikan pemahaman terkait manfaatnya untuk mereka dan akhirnya banyak dari mereka yang respek karena tugas dan hal yang dilakukan di kelas itu rasional.


Keempat. Relaxed: Berdasarkan hasil penelitian, milenial lebih senang berinteraksi dalam kondisi belajar yang kurang formal atau lebih santai. Makanya dalam beberapa kasus, dosen biasa saja dipanggil ‘Kak’ atau ‘Mas’. Untuk beberapa dosen lain, mungkin itu menjadi sebuah masalah. Tapi buat saya, selama membuat mereka rileks dan bisa terbuka, maka proses belajar akan jadi lebih baik. Namun sebaiknya dosen menerapkan batas – batas tertentu, apalagi dalam etika orang timur. Jika sudah melewati batas, maka mahasiswa akan mendapat teguran tegas.


Kelima. Rapport: Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa milenial ini bersifat relasional. Milenial mungkin bukan orang yang banyak teman dekat, tetapi sekalinya dekat mereka bisa sangat loyal. Misalnya dengan mengingat nama, menanyakan kabar, atau mendengarkan mahasiswa curhat. Dengan perlakuan tersebut, mereka cenderung untuk respek, terbuka, dan berminat belajar tinggi jika memiliki kedekatan personal dengan dosennya. Tindakan sederhana ini dapat menjadi bahan untuk membangun kualitas relasi antara dosen dengan mahasiswa bahkan kualitas pembelajaran pun jauh lebih meningkat. Karakteristik generasinya cukup berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Lima teknik di atas adalah cara yang dianjurkan untuk membantu peserta didik mencapai target belajar mereka.


3. Bangun interaksi dengan Para Peserta Didik


Seorang dosen, baiknya tidak membatasi interaksinya kepada peserta didik dalam lingkup akademis saja; tetapi saya mencoba memasuki kehidupan mereka. Dari hanya sekadar mendengarkan keluhan dan curhatan mereka, atau bahkan menyempatkan diri bergaul dengan mereka di waktu luang. Semua itu saya rasa sangat membantu seorang dosen untuk membangun nuansa belajar yang positif di kelas.Dengan membangun hubungan emosional dengan para peserta didik, seorang dosen jadi jauh lebih mudah untuk menguasai kelas, berinteraksi langsung dengan peserta didik yang dianggap belum paham, membaca keinginan mereka, memahami cara mengajar seperti apa yang diharapkan oleh mereka, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka pun jadi jauh lebih menghargai dosenya ketika mengajar, mereka jadi merasa enggan untuk main hape, asik ngobrol sendiri, atau melakukan tindakan apapun yang menunjukan sikap tidak menghargai usaha dosenya di kelas. Saya percaya, di kampus seorang peserta didik (mahasiswa) memang perlu memahami pelajaran, sementara seorang dosen perlu memahami peserta didiknya.


4. Fokus pada Bagaimana Cara Membuat Peserta Didik Menikmati Proses Belajar


Tugas seorang dosen bukan hanya mengajar, tapi yang lebih penting adalah membuat peserta didiknya suka belajar. Hal ini mungkin terkesan sepele, tapi menurut saya cara pandang seperti ini krusial sekali dengan bagaimana cara dosen membawa materi di kelas. Seorang dosen yang hanya berfokus pada konteks “mengajar”, mentransfer ilmu pada peserta didiknya, membawa misi agar peserta didiknya mampu menguasai materi kuliah dan mengerjakan soal seringkali justru kurang berhasil membawa suasana kelas yang positif dan bersemangat untuk belajar. Di sisi lain, seorang dosen yang fokus untuk membangun nuansa belajar yang positif dulu di awal, bercerita dulu tentang berbagai contoh nyata yang menggambarkan kenapa materi tersebut penting untuk dikuasai, kenapa materi itu menarik dan seru untuk dibahas, dsb. Dosen semacam ini lebih bisa membangun nuansa kelas yang siap menerima pengajaran, sehingga proses belajar-mengajar jadi lebih menyenangkan, seru, menarik, tidak membosankan, dan para peserta didik jadi lebih termotivasi belajar.


5. Memberi hukuman yang Menyelesaikan Masalah.


Dari pengalaman saya menjadi dosen, memang selalu ada-ada saja ulah peserta didik yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, bikin ribut di kelas, menyontek, tidak mengerjakan tugas, dan sebagainya. Dalam hal ini, saya mengerti jika dosen menggunakan metode hukuman untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan perilaku peserta didik, sekaligus memberikan efek jera dan bentuk peringatan bagi peserta didik yang lain. Di satu sisi, hukuman memang cara yang paling praktis untuk membuat peserta didik berhenti melakukan pelanggaran. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang diberikan betul-betul dapat menyelesaikan masalah?


Seorang psikolog klinis dari Columbia University, Laura Markham, mengatakan bahwa hukuman tidak selalu mampu mengubah peserta didik menjadi lebih baik, terutama untuk jangka panjang. Sebaliknya, menurut pendapat Laura, hukuman malah bisa membuat pihak terhukum merasa rendah diri, hilang kepercayaan, kerenggangan hubungan emosional, perasaan untuk terus memberontak, bahkan memicu kebohongan-kebohongan untuk menutupi kesalahan lainnya. Saya pikir, hal ini juga bisa jadi relevan dalam konteks hubungan dosen dengan peserta didik.


Bentuk hukuman yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi membuat peserta didik untuk bersikap antipati terhadap dosen, bahkan membenci mata kuliah yang diajarkan. Dalam konteks ini, dosen perlu mengevaluasi penerapan “hukuman” sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada peserta didik yang sedang dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang relevan dan bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah. Dalam hal ini, bukan berarti saya berpendapat bahwa tindakan menghukum itu sama sekali tidak perlu. Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi peserta didik bahwa tindakan dia itu keliru.


Berilah hukuman jika itu membuat peserta didik memahami konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya. Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari dosen tersebut berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk mengontrol, memberi efek jera, memberi contoh pada peserta didik lain, apalagi hanya untuk sekadar melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap peserta didik tersebut.


Saya pribadi dalam prakteknya lebih menyukai pendekatan personal bagi setiap peserta didik yang bermasalah. Jika saya menemukan ada peserta didik yang (katakanlah misalnya) sering terlambat, biasanya saya panggil untuk mengetahui akar permasalahannya. Jika ternyata akar masalahnya itu karena peserta didik tersebut memiliki kesulitan mengatur pola tidur, maka saya akan mencoba untuk membantu memberikan arahan, saran, atau mungkin perintah yang intinya berfokus untuk memberikan solusi terhadap peserta didik tersebut.


6. Sikap Terbuka pada Kritik dan Evaluasi


Menjadi seorang dosen terkadang membuat diri kita selalu berada dalam posisi yang ‘dominan’ di depan kelas. Sehingga tidak jarang hal ini menumbuhkan sikap antikritik, tertutup pada evaluasi, bahkan merasa diri paling mengerti “caranya mengajar” karena pengalaman mengajar yang lama. Pada kesempatan ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita semua adalah manusia biasa, yang tentu tidak luput pada kekeliruan. Oleh karena itu, saya kira peran seorang dosen (yang notabene sangatlah penting) juga perlu diiringi rasa keterbukaan untuk dapat terus mengevaluasi diri dan terbuka pada kritik.


Memang setiap dosen memiliki cara yang unik dalam mengajar. Ada yang pembawaannya cenderung serius, ada yang sambil bercanda, ada yang cuma duduk di kursi sepanjang jam pelajaran berlangsung, ada yang kalo ngajar nggak bisa diem, ada yang lebih suka menjelaskan secara satu arah, ada yang cenderung mengajak 2–3 orang peserta didik berinteraksi, ada yang suka mengajak seluruh kelas berdiskusi, dan sebagainya. Sebetulnya bagi saya, tidak masalah cara mengajar dosen itu seperti apa, selama tujuan proses mengajar itu tercapai, yaitu peserta didik dapat memahami materinya dan juga menikmati proses belajar itu sendiri.


Agar tujuan dan proses mengajar itu tercapai, ada baiknya semua dosenrasanya perlu berani untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa, tidak semua style mengajar dosen itu sukses dalam membuat peserta didik paham dan menikmati proses belajar. Sayangnya, beberapa kasus yang saya perhatikan, ada saja oknum dosen yang memiliki sikap antikritik, terutama jika mereka merasa sudah memiliki pengalaman mengajar yang jauh lebih lama daripada rekan-rekan dosen yang lain.


Sikap seperti inilah justru yang bisa menjadi masalah yang fatal dalam dunia pendidikan kita. Karena bagi seseorang tertutup pada evaluasi, boleh jadi mereka memiliki pengalaman mengajar yang lama, tetapi sebetulnya, mereka hanyalah mengulang pola mengajar yang keliru dan itu terus berulang selama bertahun-tahun lamanya dan tidak pula menyadari bahwa peserta didiknya adalah generasi yang memiliki karakter yang bereda. Untuk melahirkan generasi penerus yang lebih baik, saya kira para tenaga pendidik perlu memiliki sikap terbuka pada kritik dan evaluasi. Apakah cara mengajar kita selama ini sudah tepat? Apakah cara kita mengajar mampu membuat peserta didik paham dengan materi yang dipelajari dan menikmati proses belajar?


Untuk membantu proses evaluasi diri dosen, para peserta didik juga diharapkan berperan di dalamnya. Tolak ukur keberhasilan dosen dalam mengajar adalah peserta didik. Jadi kalau kita ingin mengetahui sudah sejauh mana keberhasilan kita dalam mengajar, tanya pendapat peserta didik kita ; bukan pendapat rekan dosen, bukan pendapat ketua jurusan, bukan siapa-siapa melainkan peserta didik kita sendiri. Bagikan angket anonim yang berisi pertanyaan tentang kesan/cara mengajar kita selama ini. Saya percaya jika setiap pendidik memiliki keterbukaan pada kritik dan saran, maka kualitas dosen di Indonesia akan semakin baik.


Namun intinya, mengapa saya menuliskan ini? Semata – mata kita kembalikan ke tujuan awal. Apa sih tujuan kita sebagai dosen dalam melaksanakan kegiatan pengajaran? Tentu agar peserta didik kita mencapai learning outcome yang diharapkan. Dosen kekinian harus melakukan perubahan. Materi yang diajarkan, tugas yang diberikan, dan cara mengajarnya karena pola pendidikan sudah berbeda. Menyesuaikan dengan kondisi milenial juga bukan berarti selalu dosen yang menyesuaikan, namun mahasiswanya juga. Buat saya, attitude jauh lebih penting daripada ilmu yang Anda miliki. Banyak ilmu tapi tidak memiliki attitude, ya di manapun Anda berada akan sulit diterima. Namun, jauh lebih baik jika Anda sama – sama memiliki ilmu dan attitiude di atas rata – rata.


Itulah pendapat dan pandangan saya tentang permasalahan dan tantangan yang kita hadapi dalam dunia pendidikan tinggi kekinian, khususnya peran dosen dalam mengajar di kampus. Masih ada banyak hal yang perlu evaluasi dan tingkatkan terkait kompetensi dosen dalam mengajar. Tentu apa yang saya tulis ini, tidak terlepas dari pandangan subjektif yang masih sangat mungkin bisa keliru. Oleh karena itu, saya berharap akan adanya masukan, pendapat atau gagasan lain, dan evaluasi dari pembaca sekalian.


Tapi melalui tulisan ini, saya harap bisa mendapatkan kesempatan untuk sekadar berbagi pendapat dan pandangan dalam dunia mengajar bersama rekan-rekan dosen, maupun para peserta didik. Semoga dengan ini akan tercipta sinergi untuk membuat pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Semoga apa yang saya sampai dapat menjadi masukan dan manfaat bagi dunia pendidikan, khususnya para rekan-rekan dosen. Akhir kata, Tetaplah berkarya dan berjuang demi kemajuan pendidikan tinggi Indonesia, ilmu pengetahuan, bangsa, dan negara.


Insert Video : Tantangan Menghadapi Mahasiswa Generasi Millenial & Post Millenial



352 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Bahaya Kesombongan Intelektual

Intelektual yang ideal adalah yang semakin alim, maka kian takut kepada Allah. Sikap sombong (al-kibr) adalah sebuah penyakit hati....

Kebahagiaan Sejati

Pandangan umum yang menganggap kebahagiaan dapat ditemukan dengan memiliki lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak status...

Comentários


© 2018 by Yusrin Ahmad Tosepu. Makassar, Sulawesi Selatan. Indonesia 

bottom of page