top of page
Yusrin Ahmad Tosepu

Pendidikan Vokasi vs Sarjana


Sudah menjadi semacam rahasia umum di masyarakat bahwa ada semacam “kasta” dalam jenjang pendidikan tinggi. Yakni, kita tahu bahwa S1 dipandang lebih tinggi dari D3, bahkan mungkin D4 sekalipun. Sebagai contoh dalam dunia kerja, CPNS yang bergelar ahli madya ditempatkan pada golongan II/C, sedangkan yang bergelar sarjana pada golongan III/A. Di berbagai lowongan kerja, lebih banyak yang mencari lulusan S1 dibandingkan D3 dan D4. Jadi bukankah wajar jika banyak calon mahasiswa yang mendamba-dambakan gelar sarjana muda daripada diploma? Di Indonesia, program sekolah vokasi sama sekali baru. Memang jika di analogikan program sekolah vokasi mirip dengan sekolah kejuruan, dimana orientasi dunia kerja bagi lulusannya. Sementara program sarjana dipersiapkan untuk kebutuhan analitis. Hal ini persis dengan kurikulum pendidikan yang di terapkan negara-negara imperialis seperti Inggris (Havard, Oxford, dsb) di mana ada pemisahan substansi ilmu pengetahuan yang memisahkan teori dan praksis. Di masa depan akan ada lulusan yang khusus di praksis (dari sekolah vokasi) dan khusus di teoritis (dari fakulti), namun secara esensi tetap mereka buruh yang akan diperbudak system kapitalisme. Yang menjadi pertanyaan, cocok kah kurikulum itu di implementasikan di Indonesia ? Apakah memang mahasiswa tak lebih dari kelinci percobaan kurikulum kebarat-baratan tersebut ?


Pendidikan tinggi terdiri dari program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan disiplin ilmu tertentu. Sedangkan pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus, misalnya: dokter umum, dokter spesialis, akuntan, notaris, psikolog, apoteker, dan lain-lainnya.


Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Sudah menjadi semacam rahasia umum di antara kita bahwa ada semacam “kasta” dalam jenjang pendidikan tinggi. Yakni, kita tahu bahwa S1 dipandang lebih tinggi dari D3, bahkan mungkin D4 sekalipun. Sebagai contoh dalam dunia kerja, CPNS yang bergelar ahli madya ditempatkan pada golongan II/C, sedangkan yang bergelar sarjana pada golongan III/A.


Di berbagai lowongan kerja, lebih banyak yang mencari lulusan S1 dibandingkan D3 dan D4. Jadi bukankah wajar jika banyak calon mahasiswa yang mendamba-dambakan gelar sarjana muda daripada diploma? Di Indonesia, program sekolah vokasi sama sekali baru. Memang jika di analogikan program sekolah vokasi mirip dengan sekolah kejuruan, dimana orientasi dunia kerja bagi lulusannya. Sementara program sarjana dipersiapkan untuk kebutuhan analitis.


Hal ini persis dengan kurikulum pendidikan yang di terapkan negara-negara imperialis seperti Inggris (Havard, Oxford, dsb) di mana ada pemisahan substansi ilmu pengetahuan yang memisahkan teori dan praksis. Di masa depan akan ada lulusan yang khusus di praksis (dari sekolah vokasi) dan khusus di teoritis (dari fakulti). Sektor pendidikan sudah mulai mantap dengan penyusaian-penyusaian sesuai kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Kebutuhan pasar seperti; kurikulum vokasi.


Pada akhirnya memang pilihan jenis studi ada di masyarakat; bila ingin konsisten pada jalur keilmuan maka jenjang sarjana, magister, hingga doktoral bisa menjadi jalur yang sesuai. Sementara bagi yang ingin terjun pada keahlian terapan, jalurnya ada di program vokasional, baik dari jenjang Diploma 1, 2, 3, 4, hingga magister dan doktor terapan. Demikian juga jika ingin mendalami profesi tertentu, tinggal ambil jalur profesi yang sesuai.


Pendidikan adalah PILIHAN .., itulah kata kuncinya

17 views0 comments
bottom of page