Pilkada 2018 Sultra merupakan salah satu momentum masyarakat Sulawesi Tenggara, dalam menyuarakan haknya pada pemimpin nomor 1(satu) lingkup provinsi. Namun pada saat ini pilkada merupakan ajang pembodohan dimana pertarungan calon masih menggunakan tradisi lama yakni, adu jumlah massa, dana yang dimiliki paslon, black campaign atau masih melekatnya budaya pencekokan orientasi kepentingan kelompok (pendukung paslon) bukannya adu gagasan dalam menawarkan inovasi kebijakan yang dapat memajukan wilayah tersebut.
Jika dikaitkan dengan era milenial saat ini upaya tersebut dinilai kurang mendidik, seharusnya Pesta demokrasi diisi dengan pertarungan gagasan menarik, dimana hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya pemikiran kritis masyarakat.
Dalam menganalisa pilkada Sultra perlu dianalisa kondisi pemuda saat ini, dikarenakan mayoritas pemilih ialah diusia 17 – 31, dimana usia tersebut termasuk dalam generasi milenial yang dimana pandangan yang dianut lebih mengutamakan kinerja nyata bukan janji kosong kepada rakyat.
Selain itu dalam analisis Linggar, pada awal tahun 2000, orientasi prilaku pemuda mengarah ke hedonisme. Generasi Milenial muncul akibat dari kemajuan teknologi modern serta tidak lepas sistem liberalisme yang membentuk aktifitas produksi dan konsumsi. Di Indonesia pola generasi milenial juga terlihat di era orba, adanya konstruksi budaya konsumtif oleh kalangan kelas menengah.
Maraknya terjadi di awal tahun 2000 an.
Generasi Milenial memiliki ciri ciri diantaranya; daya kreatifitas dan inovasi yang cukup tinggi, skill dan keahlian, Apatis, Nasionalisme Gen Milenial.
1. Inovasi dan Kreatifitas
Era milenial saat ini, inovasi dan kreatifitas tidak memandang ras, dan mampu mereplikasi kreatifitas sebelumnya.
2. Skill dan Keahlian
Menguasai 1 bidang yang dimiliki, dan menciptakan inovasi baru dari sistem lama, sebagai contoh, menolak pola pikir lama dan cenderung menggunakan ide ide baru.
3. Apatis
Muncul akibat tidak adanya inovasi oleh pemimpin yang menjadikan generasi muda enggan untuk mempelajari dan memahami situasi dan kondisi sosial politik yang ada.
4. Nasionalisme gen Milenial
Salah satu kreatifitas pemuda dalam mencintai negara. Di Indonesia, ialah band SID merupakan sebuah seniman music yang mengkritik pemerintah dalam kasus reklamasi di Bali, serta memperjuangkan nilai nilai toleransi dan Navicula, seniman musik yang bergerak dalam perlindungan terhadap orang utan. Pemuda era milenial cenderung lebih aktif mendukung artivis yang memiliki karya nyata dan mengikuti perkembangan zaman daripada aktifis dinilai tidak menghasilkan apa apa.
Siapa Itu Generasi Millennial?
Dewasa ini, generasi millennials menjadi topik yang cukup hangat dikalangan masyarakat, mulai dari segi pendidikan, teknologi maupun moral dan budaya. Tapi sebenarnya, siapakah generasi millenials itu dan apakah masyarakat benar-benar mengerti akan sebutan itu?
Millennials atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980- 2000an. Maka ini berarti millenials adalah generasi muda yang berumur 17- 37 pada tahun ini. Millennials sendiri dianggap spesial karena generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, apalagi dalam hal yang berkaitan dengan teknologi.
Generasi millennials memiliki ciri khas tersendiri yaitu, mereka lahir pada saat TV berwarna,handphone juga internet sudah diperkenalkan. Sehingga generasi ini sangat mahir dalam teknologi.
Di Indonesia sendiri dari jumlah 255 juta penduduk yang telah tercatat, terdapat 81 juta merupakan generasi millenials atau berusia 17- 37 tahun. Hal ini berarti Indonesia memiliki banyak kesempatan untuk membangun negaranya. Tapi, kemanakah mereka pergi? Apakah mereka bersembunyi?
Sungguh tidak, jika kita melihat ke dunia sosial media, generasi millennials sangat mendominasi jika dibandingkan dengan generasi X. Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang ada, generasi millenials belum banyak yang sadar akan kesempatan dan peluang di depan mereka. Generasi millennials cenderung lebih tidak peduli terhadap keadaan sosial di sekitar mereka seperti dunia politik ataupun perkembangan ekonomi Indonesia. Kebanyakan dari generasi millenials hanya peduli untuk membanggakan pola hidup kebebasan dan hedonisme. Memiliki visi yang tidak realistis dan terlalu idealistis, yang penting bisa gaya.
Kondisi Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara merupakan sebuah provinsi yang sumber perekonomian bergantung pada pertanian, perkebunan, peternakan dan pertambangan. Orientasi politik di Sulawesi Tenggara berbeda beda, ada yang mendukung pilihan berdasarkan latar belakang kedekatan (Ras, Golongan, Suku dan Kedaerahan), sebagian lagi memilih berdasarkan cara kerja dan relasi dengan masyarakat.
Di era milenial, konsep desa dinilai konservatif telah berubah, ditandai dengan kreatifitas penduduk desa berbasis IT, semakin jarangnya budaya berserikat (karang taruna) dan lebih memilih kopdar touring sebagai rutinitas modern yang diadaptasi dari perkotaan.
Menurut data BPPS Sulawesi Tenggar tahun 2015, Generasi milenial (17 – 30) berjumlah sekitar 500 ribu, cukup banyak jika dibandingkan dengan usia 40 tahun ke atas berjumlah 300 ribu. Perbandingan tersebut juga dikaitkan dengan preferensi politik, dalam hal ini generasi milenial memilih pemimpin bekerja nyata, minim konflik, inovatif, merepresentasikan jiwa muda. Berbeda dengan kaum melek politik, yang melihat pemimpin dari track record pribadi tokoh, afiliasi parpol sampai kinerja yang dilakukan. Maka dari itu sering kali kaum muda saat ini tidak melek politik (apolitis) dikarenakan politik dikaitkan dengan konflik saling menjatuhkan, bukan adu gagasan membangun.
Hal ini yang menjadi tantangan bagi calon gubernur. Parpol harus mampu mengamati kondisi saat ini (milenial), mampu meningkatkan minat pemuda akan politik lewat pendidikan politik usia dini.
Perkembangan Politik saat ini
Politik merupakan ilmu yang dianggap usang, dikarenakan bersumber dari 1 (satu) pintu (sentralistik). Sentralistik disini diartikan segala kebijakan daerah ditentukan oleh pusat. Hal ini yang membuat parpol di daerah tidak dapat berkembang. Selain itu adanya aturan permainan yang dapat dibentuk dan diubah sewaktu waktu oleh pemimpin di pusat, menjadi berkurangnya minat pemuda mengamati perpolitikan di Indonesia.
Transparansi dan akuntabilitas parpol terhadap publik salah satu faktor penyebab tindakan apolitis oleh kaum muda. Golput pun menjadi pilihan kaum muda dalam sepak terjang pesta Demokrasi. Namun seringkali Golongan Putih dianggap tindakan negatif. Golput suatu upaya memilih untuk tidak memilih. Jika tidak adanya perubahan maka tidak mungkin angka penurunan pemilih semakin berkurang.
Perkembangan Politik saat ini seringkali juga disalahfungsikan. Pilkada bukan hanya ajang memilih calon pemimpin di TPS, namun juga ajang pamer oleh segelintir orang di sosial media. Tidak heran apabila saat pemilu informasi di sosial media bukan berisi perkembangan perolehan suara, namun foto jari sebagai tanda telah memilih (instagramable). Belum adanya kesadaran tokoh (paslon) dalam memberikan ruang kesempatan bagi kontestan muda untuk bertanding, merupakan dampak minimnya partisipasi kaum milenial, yang menuntut adanya hal baru. KAVITA MEDIA menganalisa berdasarkan data dan informasi yang ada bahwa jumlah swing voters di Sultra berjumlah 48 % dan 28 % belum menentukan pilihan. Tidak hanya itu, adanya pengkotak kotakan berdasarkan wilayah juga menjadi faktor penentu suara.
Harapannya adanya kandidat yang mampu menembus batas batas (gagasan dan inovasi, money politic, black campaign) dalam pilkada, selanjutnya parpol juga diharapkan keluar dari zona oligarkhi, dan menggenjot kaderisasi muda yang berkompeten dalam menangkap aspirasi kaum muda.
Kita semua berharap, PILKADA SULTRA dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. SEMOGA !!!