top of page

Buzz Politik di Media Sosial

  • Yusrin Ahmad Tosepu
  • Jan 9, 2018
  • 10 min read

Perhelatan pilpres 2019 mendatang akan diwarnai dengan buzz dan buzzing yang begitu kuat. Hal ini nyata akan terjadi, jika kita bercermin pada pemilu 2014 lalu. Buzz dan buzzing begitu berperan penting dalam membentuk opini dan wacana di media sosial tentang calon presiden Prabowo Soebianto dan Joko Widodo. Perhelatan politik di masa datang, Buzz dan buzzing akan kian masif dan terstruktur seiring teknologi informasi yang kian berkembang serta adanya ruang baru sebagai saluran komunikasi politik, yaitu media sosial.


Salah satu yang mendominasi perpolitikan kekinian adalah diramainya pesan-pesan politik yang berseliweran di media sosial. Para politisi, parpol dan lembaga politik lainnya giat melakukan komunikasi politik melalui media sosial. Komunikasi politik terjadi bukan hanya dari pihak pertama; para politisi dan tim sukses atau relawannya kepada audiens tetapi juga diantara audiens sendiri sebagai orang ketiga. Opini personal mudah menyebar, jejaring pertemanan yang membuat satu opini cepat menyebar. Sehingga berdampak viral. Hal inilah yang membuat percakapan cepat menjalar, sehingga media sosial menjadi salah satu media word of mouth atau publikasi dan iklan gratis untuk kegiatan komunikasi politik dan kampanye. Metode yang popular dalam menyampaikan pesan-pesan politik sebagaimana halnya word of mouth ddalam kegiatan marketing atau publikasi kini popular disebut buzz atau buzzing .

Komunikasi politik yang dilakukan oleh para pendukung di media sosial menjadi gaya baru yang fenomenal dalam dunia perpolitikan di Indonesia kekinian. Fenomena ini berlangsung pada perhelatan pemilu presiden tahun 2014, dimana para simpatisan masing masing capres memberikan pengaruh cukup besar terhadap keterpilihan figur calon dukungan mereka. Simpatisan sebagai pihak ketiga, dalam konteks pemasaran (politik), telah melakukan kegiatan buzzing, mempercakapkan, word of mouth, atau iklan secara gratis. Kedua Capres diuntungkan dengan banyaknya simpatisan yang mempercakapkan mereka. Mereka diibaratkan ‘relawan’ yang tidak terkoordinir dengan team, mereka berada di luar ring, karena sifatnya betul-betul sukarelawan.

Selain yang sukarela karena simpati terhadap salah satu capres, terdapat juga buzzer yang dikelola oleh team sukses. Mereka adalah para pekerja professional yang mempercakapkan capres tertentu namun tidak menunjukan identitasnya sebagai tim sukses. Amin Rais menyebutnya sebagai cybertroops namun juga ada yang terang-terangan menunjukan identitas diri mereka seperti misalnya Jasmev sebagai pasukan media sosialnya dari Joko Widodo.

Pada dasarnya, buzz dalam konteks pemilihan presiden tahun 2014 lalu merupakan pesan komunikasi politik team kampanye masing-masing kandidat Presiden. Buzz ini tidak muncul dengan sendirinya, tetapi hasil rekayasa pesan team media masing-masing Capres. Walaupun pada dasarnya terdapat relawan atau pendukung yang sama sekali tidak terkait secara struktural dengan team kampanye, hal tersebut merupakan efek dari buzz-buzz yang diciptakan oleh team kampanye di media sosial masing-masing calon presiden. Capres dikonstruksi oleh buzzer sehingga yang muncul adalah capres yang telah terkonsrtuk baik secara positif ataupun negatif.

Pada era internet, buzz-buzz dengan mudah diciptakan melalui media sosial yang terkoneksi ke dalam jaringan global (internet), buzz-buzz bisa dengan cepat diciptakan dan tesebar ke setiap komunitas. Media sosial dan para pengguna di dalamnya, menjadi partisipan aktif bagaimana melakukan pencitraan, mempromosikan, bahkan memasarkan politisi yang didukungnya dengan efektif dan efisien, sehingga dampaknya, bagaimana dukungan yang terus menguat baik terhadap figur politisi tersebut. Misal, Joko Widodo pun memiliki team sukses yang secara khusus bergerak di media sosial menjelang pencalonannya sejak menjadi calon gubernur DKI Jakarta pun menjelang pencalonnya sebagai Presiden, misalnya JASMEV atau Jokowi Advanced Sosial Media Volunteers. Walaupun dengan penggunaan nama ‘volunteer’ atau sukarelawan, Jasmev berperan sebagai team kampanye yang mengambil segmentasi khusus di media sosial.

Perbedaannya, Jasmev tidak melakukan kampanye Joko Widodo – Jusuf Kalla secara terpusat pada teamnya saja, tetapi menularkan pengaruh terhadap pengguna media sosial lainnya yang tidak terlibat sama sekali dalam team kampanye nomor urut dua tersebut. Sehingga kampanye yang dilakukan oleh team Joko Widodo tidak terkesan berasal dari juru kampanye, tetapi dari masyarakat umum. Kesannya menjadi kuat jika Jokowi benar-benar diinginkan menjadi Presiden oleh seluruh rakyat Indonesia. Joko Widodo yang memiliki kapasitas sebagai walikota dibuatkan panggung agar memiliki kapasitas sebagai gubernur oleh orang ketiga/buzzer, dan setelah menjadi gubernur dibuatkan panggung agar ia memiliki kapasitas sebagai Presiden. Panggung yang dimaksud adalah beragam publikasi yang dikaitkan dengan Joko Widodo; harapan, pernyataan, ulasan ketokohan, rekam jejak, prestasi, atau latar belakangnya.

Seperti diketahui, popularitas Joko Widodo selain karena dukungan yang penuh dari media massa juga adanya pasukan cyber yang dikelola langsung oleh JASMEV untuk mengampanyekannya sehingga sosok Joko Widodo bertambah popular. Begitu juga dengan Prabowo yang popularitasnya masih tertinggal jauh dari Joko Widodo, semakin hari terus mengejar popularitas Joko Widodo. Salah satunya didukung team media sosial. Niken Satyawati, satu dari blogger yang menulis sosok Joko Widodo secara konsisten. Dari laman-laman tulisannya, Niken menulis semua hal tentang Joko Widodo; mulai dari Teh Jokowi, peluang menjadi Gubernur, prestasi, Ibunya, dan lain sebagainya. Dwiki Setyawan melalui laman blog juga menjadi salah satu blogger yang menulis tentang Joko Widodo. Buku berjudul ‘Jokowi Bukan untuk Presiden’ merupakan buzz yang dibukukan. Penulisnya adalah orang ketiga atau yang tidak terkait dengan tim sukses. Baik itu yang sudah simpatik dengan rekam jejak Joko Widodo ataupun mereka yang tertarik agar tulisannya dibukukan.

Pada sisi lain, sosok Prabowo yang sudah muncul ke permukaan wacana untuk mencalonkan diri menjadi Presiden. Para buzzer yang tergabung dalam komunitas relawan juga membuat web/ blognya dengan khusus seperti relawan Prabowo-Hatta melalui bloggersatu.com, relawannusantara.com. indonesiabangkit.org, korps08.blogspot. com, mediaprabowo, dan lain sebagainya. Di samping itu beberapa media Partai Keadilan Sejahtera menjadi salah satu media yang melakukan buzzing Prabowo-Hatta. Juga relawan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak jauh beda, mereka memiliki kelompok-kelompok buzzer di kompasiana.com, blogdetik, atau blog lainnya sepertihttp://kawanjokowi.org, dukungjokowi.com, dan tersebar di sejumlah blog-blog personal.

Selain melalui blog yang dikelola oleh masing-masing relawan, mereka juga bergerak secara individu dan terkoordinir melalui akun-akun media sosial. Seperti diketahui, kedua capres didukung oleh banyak relawan. Di era media sosial, para relawan tidak hanya bergerak di dunia nyata, juga di dunia maya sebagai tempat terhubung dengan orang-orang tanpa terhalang oleh ruang dan waktu. Mereka juga menciptakan grup-grup di akun media sosial. Berbagai grup relawan menjadi ajang pertemuan, seperti pada grup Facebook dan Twitter. Facebook dan Twitter menjadi media yang dapat saling menghubungkan satu sama lain. Facebook dan Twitter juga menjadi media untuk membagikan berbagai tautan tulisan berbagai blog/ web/ atau berita tentang kedua capres tersebut. Melalui media sosial, relawan buzzer tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, saling menguatkan antar sesama fans capresnya melaui status-status facebook serta twit bahkan menjurus menjadi twitwar—perang twit antar kubu.

Menjelang pemilihan, kampanye berubah menjadi ‘perang’. Akun-akun media sosial yang berafiliasi terhadap capres seperti @GarudaPrabowo, @Gerindra @jokowi4me, @FansGerindra @PDI_Perjuangan, @Relawan_Jokowi, juga @Jokowi4p yang hadir untuk membantu masing-masing kampanye Capres. Dalam pandangan Yose Rizal seperti dikutip oleh marketing.co.id persaingannya relatif ketat antara sentiment negatif, netral, dan positif (marketing.co.id). Di samping akun-akun yang terafiliasi tersebut terdapat juga akun-akun yang dikelola secara komunal seperti @PartaiSosmed, @99army, @Triomacan2000 yang menjadi bagian dari kepentingan kampanye salah satu dari kedua capres. Di samping akun tersebut, tersebar ribuan akun individu yang menjadi bagian dari relawan masing-masing capres. Sebagai strategi kampanye, team Prabowo-Hatta lebih menekankan alur konten yang mengikuti aturan pusat seperti, tidak diperkenankan melakukan kampanye negatif atau black campaign. Namun demikian, kenyataan di lapangan, tidak sedikit pendukung Prabowo yang tidak terkoordinir karena tidak menjadi bagian dari team. Hal serupa juga terjadi pada team kampanye Joko Widodo. Namun team Joko Widodo-JK membuat team buzzer berbeda-beda secara peran untuk melakukan kampanye yaitu ada yang ditugaskan melakukan negative campaign, defensive campaign, dan offensive campaign (detik.com). Strategi ini menunjukan bahwa buzzer Jokowi selain terdapat pendukung di luar team, namun team sendiri memiliki kebijakan terkait kampanyenya melalui media sosial.

Perang buzz tentang capres tersebut tidak hanya dilakukan saat menjelang pemilihan, juga setelah pemilihan, bahkan perang buzz terus berlanjut hingga saat ini. Prabowo dan Joko Widodo seolah mewakili koalisi partainya masing-masing saat pemilu presiden. Koalisi Merah Putih selalu berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat, pun dengan para pendukung yang masih melakukan buzz tentang isu kedua koalisi tersebut melalui media sosial. Hal tersebut tersebut akan berlanjut pada pilpres 2019 yang akan datang dalam metode dan bentuk pergerakan yang lebih terstruktur, terdistribusi dan masif.

Lalu bagaimana buzz-buzz tersebut berdampak terhadap para konstituen atau calon pemilih khususnya sehingga mereka terpengaruh oleh buzz-buzzyang mereka baca? Satu penelitian tentang kehidupan jejaring sosial pernah diteliti oleh A. Christakis di Amerika (2010:19-29), bagaimana jejaring itu bisa mempengaruhi satu sama lain. Seperti dikutip Dudi Rustandi (2013), yaitu:

Pertama, kita membentuk jejaring kita. Dalam konteks kasus buzzing, kecenderungan orang membangun jejaring atau komunitas di dunia maya karena adanya kesamaan atau homofili, persis seperti yang diteliti oleh Yuddy. Kecenderungan keterpengaruhan seseorang secara afektif karena adanya homofili.

Kedua, Jejaring kita membentuk kita. Selain kita yang membentuk jejaring, jejaring kita juga membentuk kita. Kita akan saling mempengaruhi dalam jejaring pertemanan yang kita miliki.

Ketiga, teman mempengaruhi kita. Apa yang mengalir dalam jejaring akan mempengaruhi kita. Satu penentu aliran adalah kecenderungan manusia untuk saling mempengaruhi dan saling meniru.

Keempat, Temannya teman mempengaruhi kita. Jika seseorang memiliki sesuatu dan kontak dengan orang lain, kontak itu cukup untuk dapat membuat orang kedua mempunyainya juga.

Penyebarannya mungkin memerlukan proses lebih rumit yang melibatkan penguatan oleh banyak kontak sosial. Teman dan temannya teman akan saling menguatkan pengaruh. Kelima, Jejaring sosial memiliki kehidupan sendiri. Jika seseorang ditanya kenapa memilih produk atau jasa tertentu karena dipengaruhi oleh media sosial, tidak bisa ditanya satu individu, tetapi harus secara menyeluruh. Aturan diatas terjadi pada media jejaring sosial seperti pada kasus buzzing karena seperti yang dinyatakan oleh Christakis dan James (2010: 44) emosi menyebar dari orang ke orang karena dua sifat interaksi manusia: kita punya kecenderungan biologis untuk meniru orang lain, dan ketika meniru, kita juga jadi mengalami keadaan internal seperti mereka sehingga sifat kencederungan terpengaruhi secara efektif dari metode komunikasi buzzing menjadi sangat wajar.

Jejaring pada media sosial diibaratkan kelompok-kelompok pada dunia nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas pesan dalam jejaring sangat tergantung pada karakteristik kelompok dalam jejaring tersebut, seperti dinyatakan oleh Jalaluddin Rakhmat (2009:101), yaitu; ukuran kelompok, jaringan komunikasi, kohesi kelompok, dan kepemimpinan. Faktor lain berkaitan dengan karakteristik pada anggota kelompok yaitu; kebutuhan interpersonal, tindakan komunikasi, peranan anggota dalam jejaring. Jika ditarik pada konteks buzz di media sosial, tingkat efektifitas keterpengaruhan anggota pada lingkaran jejaringnya ditentukan seberapa besar peran dia dalam kelompok tersebut (ukuran kelompok), bagaimana seorang buzzer berinteraksi dengan teman-teman dalam jaringannya, terdapatnya tujuan bersama untuk melakukan kampanye salah satu calon.

Jika satu orang melakukan buzz kemudian di buzz ulang (sharing/ retwit) oleh anggota dalam jaringannya karena memiliki tujuan yang sama untuk saling menyebaran buzz kemungkinan informasi yang disampaikan berpengaruh terhadap kognitif, afektif, sekaligus psikomotoriknya. Pada sisi lain, sifat jaringan komunikasi yang terjadi dalam media sosial lebih egaliter, satu sama lain, tanpa membedakan status structural dalam kelembagaan team kampanye akan cukup efektif dalam mempengaruhi para anggota dalam jaringannya. Apalagi jika terjadi saling apresiasi isi kampanye yang secara bebas dilakukan oleh buzzer, ini menjadi bagian kohesi yang terjadi dalam kelompok tersebut. Sehingga pesan-pesan kampanye, sekalipun negatif akan diamini oleh anggota dalam jaringannya tersebut.

Hal ini sesuai dengan teori kerja buzzing yang ditulis oleh Silih Agung Wasesa dan Jim McNamara, yaitu adanya pelestarian pendapat dalam kelompok utama (main buzz spot) kemudian ruang pendukung di dalam jaringan menjadi perantara agar sampai kepada audiens target (main buzz point). Melalui Buzz point, pesan-pesan politik diciptakan dan menghasilkan pembicaraan tentang Capres yang mereka dukung sehingga buzzing politik menular ke anggota komunitas hingga ke luar anggota komunitas.

Menilik prosesnya, titik ini adalah komunitas kelas menengah yang menjadi rujukan dalam komunitas netizen. Seperti kita ketahui banyak komunitas-komunitas netizen yang aktif berbagi ilmu sehingga terbentuk komunitas seperti internet sehat, Relawan TIK, Indonesia Mengajar, atau komunitas-komunitas blogger seperti Kompasiana, Blogdetik, Indonesiana, dan lain sebagainya. Dalam komunitas tersebut, mereka memiliki figure rujukan yang dijadikan anutan, katakanlah seperti Onno W. Purbo pakar IT yang juga ‘gaul’ dengan netizen, atau Nukman Luthfie, konsultan dan pemerhati media sosial. Juga rujukan-rujukan intelektual seperti Yusril Ihza Mahendra, Fajloer Rahman, atau politisi muda seperti Budiman Sujatmiko, Fahri Hamzah, Nusron Wahid, atau Fadli Zon.

Melalui pakar rujukan tersebut kemudian masuk dalam komunitas, blogger yang juga menjadi bagian daribuzzer itu dilakukan oleh masing-masing kandidat. Sehingga wajar, karena masing-masing punya referensi, seakan para pakar yang dijadikan rujukan oleh para netizen pun terbelah dukungannya. Buzz-buzz itu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sengaja diciptakan oleh team kampanye media sosial masing-masing capres. Apa yang dituturkan oleh Silih dan Jim dilakukan oleh team kampanye media sosial melalui figure netizen masing-masing capres, mereka langsung masuk ke dalam komunitas-komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia kemudian menciptakan buzz politik. Sehingga wajar, satu isu mengenai capres langsung menyebar kepada anggota dalam jejaringnya.

Dalam twitter misalnya muncul tanda pagar (tagar/ hashtag) yang menjadi trending topic.Buzz-buzz inilah yang kemudian menjadi pusat keterpengaruhan massa digital dibandingkan dengan iklan karena sifatnya yang langsung menuju target audiens karena tingkat kredibilitasnya yang tinggi. Menjadi publikasi gratis atau word of mouth. Dengan menggunakan bahasa lisan yang dituliskan melalui media sosial dan lebih personal menjadikan pesan komunikasi menjadi efisien dan efektif. Menurut Roger Fidler (2003:85), bahasa lisan memberi manusia cara untuk menyampaikan pengetahuan kolektif, pengalaman, dan kepercayaan-kepercayaan kepada generasi mendatang, namun dalam konteks ini kepada para netizen.

Komunikasi semacam ini menurut Fidler bertindak sebagai proses simbolis yang menghasilkan, mempertahankan, memperbaiki, dan mengubah realitas. Walaupun Fidler mengambil konteks bahasa lisan dalam dunia nyata, hal ini mewakili percakapan di media sosial yang lebih lugas dengan menggunakan bahasa lisan sehari-hari tanpa terikat oleh ketentuan formalitas bahasa, seperti harus mengikuti kaidah EYD. Efisiensi berbahasa tersebut ditemukan oleh para netizen/ buzzer untuk melakukan kampanye capresnya sesuai dengan bahasa mereka sendiri. Percakapan melalui media sosial adalah percakapan lisan yang biasa terjadi sehari-hari di lingkungan nonformal. Saat menyampaikan buzz sebagai pesan komunikasi politik yang mewakili pikiran, perasaan, dan pengalamannya lebih mengena dibandingkan disampaikan melalui media mainstream atau media nirmassa seperti telpon/sms.

Pada sisi lain, buzz-buzz yang diciptakan dan tersebar/terdistribusikan secara otomatis ke setiap netizen, melakukan konstruksi sosial terhadap capres, baik secara positif ataupun negatif. Hal ini berdasar pada teori konstruksi sosial yang dibangun oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Seperti dinyatakan oleh Bungin (2008:11) bahwa dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relative bebas di dalam dunia sosialnya. Netizen/ buzzer sebagai individu bebas, sedang menciptakan realitas para capres sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya menulis gagasan melalui berbagai saluran media sosial. Dengan demikian, sosok capres yang muncul baik Prabowo atau Joko Widodo sebagai realitas capres merupakan hasil ciptaan netizen kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Sehingga menjadi wajar jika pada akhirnya muncul istilah ‘pencitraan’ untuk capres tersebut. Walaupun yang disampaikan oleh Bungin terkait denga media massa, namun masih relevan dengan media sosial yang memiliki karakteristik heterogen seperti halnya media massa.

Konstruksi sosial yang dilakukan oleh para netizen di media sosial akan cepat mewujud, kerena sifatnya yang mendangkalkan pikiran seperti dinyatakan oleh Marshall McLuhan. Orang terperangkap di dalam informasi konten yang dibawanya. Bahkan masih kata McLuhan media popular membentuk apa yang kita lihat dan bagaimana kita melihatnya—pada akhirnya, jika kita cukup sering menggunakannya, ia akan mengubah siapa diri kita, sebagai individu dan masyarakat. Efeknya tidak terjadi pada tataran pendapat atau konsep, tetapi mengubah pola persepsi secara terus menerus dan tanpa perlawanan (Carr, 2011: 15).

Hal yang Yang menarik dari gegap gempita Buzz dan buzzing di media sosial adalah fenomena unfriend dan unfollow. Banyak pengguna Facebook terpaksa mengambil keputusan unfriend terhadap kawan-kawannya yang berbeda pilihan dan memberi komentar yang dianggap kurang pas. Ada juga yang memutuskan untuk unfollow, yang artinya tetap bersahabat tetapi tidak ingin berbagi posting sahabatnya dibaca di linimasa (timeline)-nya. Betapa dahsyatnya dampak Buzz dan buzzing politik dalam dunia maya, perbedaan pilihan politik harus memutus persahabatan di dunia maya. Oleh karena itu melalui strategi penyampaian pesan yang tepat, melalui komunitas di media sosial, menggunakan komunitor yang dijadikan sumber rujukan para netizen, dengan karakteristik yang dimiliki oleh media sosial, buzz yang diciptakan oleh para buzzer telah melakukan konstruksi sosial terhadap capres pada pemilu 2014 lalu.


Melalui konstruksi sosial bukan hanya mengubah pendapat tapi juga mengubah seseorang menjadi bagian dari komunitas sosial, mereka didangkalkan pikirannya oleh pesan-pesan yang diciptakan secara terus menerus oleh para buzzer. Wajar jika pada akhirnya, para buzzer bukan hanya melakukan buzz mereka juga menjadi pecinta yang aktif terhadap politisi yang didukungnya.


Simak video berikut : Mengenal Profesi Buzzer Politik Di Media Sosial Twitter

Video : #Jokowi Top Capres di #Twitter Buzz

 
 
 

Comments


Follow

  • Facebook

Contact

082187078342

Address

Makassar, Sulawesi Selatan Indonesia

©2016 by Yusrin Ahmad Tosepu

bottom of page