1. Pengertian dan Konsep Buzz
Buzz secara etimologis (arti kata) adalah dengungan/berdengung. Buzzing adalah suara getaran cepat dan gosip yang terus menerus didengungkan, atau suara bersenandung seperti lebah atau seperti percakapan umum dalam nada rendah, atau ekspresi umum, kejutan atau persetujuan. Untuk membuat suara yang rendah, terus menerus,bersenandung atau bunyi berdesis, seperti itu dibuat oleh lebah dengan sayap mereka. Edwin SA, seorang pakar media sosial dari trenologi mengartikan buzz sebagai ‘pembicaraan’ atau ‘percakapan’ (trenologi.com). Buzzer sendiri, meminjam istilah dari Twitter buzzer adalah pengguna media sosial yang dapat memberikan pengaruh pada orang lain dengan menyebarkan tulisan. Ia harus mempunyai kemampuan mempengaruhi orang lain.
Pengertian serupa diungkapkan oleh Silih Agung Wasesa dan Jim Macnamara (2010:395), bahwa buzz lebih mirip dengungan suara lebah, walaupun tampaknya seperti dengungan tidak beraturan, sekarang Public Relations memperlihatkan bahwa dengungan tersebut beraturan dan memiliki pola yang bisa dikembangkan. Ia sendiri mengistilahkannya dengan istilah buzzword.
Menurut Silih dan Jim, dengungan suara lebah adalah dengungan yang memiliki banyak makna, tentu saja buat lebah sendiri, bukan buat kita. Bagi lebah setiap dengung memiliki arti, sekalipun kita menandainya sama. Sebetulnya bukan hanya pada lebah, pada setiap kita pun memiliki dengungan yang berbeda, dan dimaknai yang berbeda ketika kita adalah anggota kelompok yang tidak sama. Bagi Praktisi dan akademisi Public Relations politik, buzzing akan lebih didengarkan oleh komunitasnya tersebut dibandingkan dengan iklan segencar apapun, semahal apapun, dan sekolosal apapun.
Buzz menjadi salah satu kata kunci dalam pemasaran dan public relations politik terkini, tak pelak metode ini digunakan pada pilpres 2014 lalu dan terus berkembang sampai sekarang. Metode ini marak digunakan para politisi, parpol, Tak kercuali pula masing-masing calon presiden (capres) mendatang untuk mendapatkan dukungan yang fantastis di media sosial. Bukan sekedar dukungan, juga ‘promosi’ dari para pendukungnya.
Buzzing sukarela dilakukan oleh simpatisan/pendukung juga dapat digerakan secara terstruktur oleh team kampanye ataupun relawan politik. Kicauan para baser (buzzer)—sebutan bagi orang yang melakukan buzzing—di media sosial salah satu yang meramaikan hajatan pemilihan umum (pilkada, pilcaleg, maupun pilpres). Kata kunci-kata kunci tertentu sering menjadi trending topik di facebook, di microblogging Twitter. Saling sindir, saling lempar isu, kampanye politik, kampanye negatif, kampanye hitam, twitwar, dan tagar capres menjadi hal yang banyak dilakukan oleh para baser.
2. Antara Buzz dan Pemasaran Politik
Pesan merupakan inti dari komunikasi. Sebagai komponen inti komunikasi, pesan-pesan komunikasi dalam strategi dan taktik komunikasi selalu mengalami perubahan dan inovasi. Jika pada awalnya, bahasa pemasaran cenderung ‘kasar’, langsung menembak sasaran untuk melakukan eksekusi produk. Lambat laun bahasa pemasaran cenderung bersahabat, tidak langsung menggunakan produk tetapi dengan menggunakan bahasa komunikasi konteks tinggi. Seperti iklan rokok yang tidak langsung mengajak untuk merokok, tetapi menggunakan symbol-simbol lain seperti keberanian, persahabatan, inspirasi, dan lain sebagainya. Pada sisi lain, reputasi iklan sedang terus mengalami penurunan (www.inspirasi.co.id), seperti dikatakan oleh Sumardy, praktisi komunikasi dan iklan. Sumardi mengatakan bahwa Iklan telah dimatikan oleh word of mouth (WOM) marketing. Sumardy telah berhasil melakukan strategi pemasaran tertinggi tersebut, yaitu Word of Mouth. Menurut Tanadi Santoso (tanadisantoso.com), WOM adalah tindakan yang dapat memberikan alasan supaya semua orang lebih mudah dan lebih suka membicarakan produk kita. Dalam bahasa sehari-hari disebut getok tular atau dari mulut ke mulut.
Di Era media digital, konsep Word of Mouth banyak digunakan untuk kegiatan-kegitan marketing dan Public Relations yang menuntut adanya penceritaan oleh orang ketiga. Di media sosial bahasa marketing dan public relations menyatu, walaupun bahasa marketing masih sering ditemui, tetapi penggunaan bahasa public relation yang halus sering mengisyaratkan dan menggiring audiens untuk melakukan pmbelian produk. Kegiatan penyampaian pesan baik untuk kepentingan marketing atau pencitraan melalui public relations menjadi esensi dari—meminjam istilah dari Silih dan Macnamara—buzzword atau buzz. Melalui orang ketiga, mereka menceritakan sisi positif partai atau seseorang. Hal ini juga yang terjadi dalam konteks pilpres 2014 lalu. Prabowo ataupun Jokowi menjadi politisi yang banyak diperbincangkan oleh orang ketiga. Sebagai orang ketiga atau orang yang tidak termasuk ke dalam tim sukses, mereka menggunakan bahasa mereka sendiri untuk mempromosikan capresnya masing-masing sehingga bahasanya tidak seragam, bercampur antara bahasa public relations dan marketing.
Berkaitan dengan metode tersebut dalam kegiatan Public Relations khususnya, Silih dan Macnamara mengatakan bahwa dlam konteks PR, hasil buzzword menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan audiens target. Dalam kontes yang lebih luas, inilah apa yang disebut oleh Breakenridge di buku PR 2.0, New Media, New Tools, New audiences (FT Press, 2008), sebuah situasai dimana audiensi target sudah menjadi narasumber informasi itu sendiri. Terlalu lama untuk sekadar mengandalkan media massa konvensional, karena masyarakat tidak lagi seantusias 5 tahun yang lalu dalam membaca media massa, terutama media cetak. Kegiatan public sudah berubah, dimana sebagian besar lebihcenderung mendengarkan perbincangan yang terjadi diantara mereka sendiri. Mereka menciptakan kata-katanya sendiri, pemahaman sendiri dan terutama yang dihasilkan oleh komunitas mereka sendiri. Itulah kata-kata mereka. Menyingkatnya dengan istilah Buzzword (2010:396).
Dengan penceritaan oleh orang ketiga tersebut, mereka tidak hanya pandai menyampaikan tetapi juga menguasai ‘product knowledge’, mereka menjadi narasumber-narasumber baru yang mandiri, menyampaikan informasi capres yang mereka idolakan. Materi yang mereka sampaikan di media sosial sangat beragam, dari mulai ketokohan, argumentasi kenapa harus menjatuhkan pilihan pada calon, rekam jejak, kegiatan-kegiatan harian, sampai bicara silsilah keluarga calon presiden.
Menurut Silih (2011:118), orang ketiga dalam public pelations politik sengaja diciptakan sebagai penyampai pesan utama. Oleh karena itu, buzzword tepat berdiri sebagai public relations, sementara iklan politik yang disampaikan orang ketiga dijadikan sebagai pemberi testimoni. Orang ketiga dalam buzz public relations berbicara berdasarkan keyakinan dan kompetensi orang tersebut, mereka berdiri di atas komunitas sosialnya. Mereka berbicara dari sudut pandangnya sendiri terhadap kapabiltas capres. Dalam hal ini peran merekasebagai buzzer mensinergikan antara panggung, actor, dan peran yang harus dimainkan.
Panggung merupakan tempat-tempat sosial. Media massa, media sosial, atau kelompok target audiens. Sedangkan aktor adalah orang-orang yang bisa kita jadikan juru bicara tidak resmi, dan mereka memiliki visi dan kepentingan yang sama. Buzzer dalam hal ini menjadi aktor yang memainkan peran di segala ruang di atas; media massa, sosial media, atau kelompok target audiens.
Dalam konteks politik siber (cyber politic), buzz public relations lebih banyak dilakukan oleh orang ketiga melalui media sosial baik blog, jejaring sosial, forum, video sharing, microblog, atau pun instagram. Orang ketiga tersebut, selain isi pesannya beragam, mereka juga berasal dari berbagai latar belakang, budaya, agama, pendidikan. Mereka disatukan oleh visi yang sama tanpa terhambat oleh jarak. Media sosial menjadi pendobrak jarak. Pemilu 2014 lalu, dinamika dan hiruk pikuk politik lebih terasa di ruang-ruang media sosial. Oleh karena itu, wajar jika pengamat dan media mengatakan, pilpres tahun 2014 menjadi fenomenal karena diramaikan dan melibatkan buzzer yang di media sosial. Iklan politik yang disampaikan melalui buzz walaupun dengan bahasa yang sangat halus, seperti dinyatakan Sumardy, mengalami penurunan reputasi, sementara publikasi—dalam hal ini word of mouth—atau seperti dimaksud penulis sebagai buzz memiliki reputasi yang sangat baik.
Kegiatan buzz public relations yang dilakukan melalui media sosial, memenuhi karakteristiknya yang membutuhkan waktu cukup lama. Berbeda dengan iklan yang bisa dengan singkat melakukan pencitraan. Bagian tulisan ini merupakan sejumlah kasus-kasus buzz public relations yang dilakukan melalui media sosial yang dianalisis berdasarkan konsep-konsep yang telah dijelaskan di atas, baik media sosial, buzzword, ataupun public relations.
3. Klasifikasi Buzz
Menurut Dudi Rustandi (2014: 54) kegiatan buzzing dapat diklasifikasikan sebagai buzz berbayar atau dalam konteks komunikasi konvensional dapat disebut sebagai iklan. Juga ada buzz gratis sebagaimana halnya world of mouth dalam pemasaran konvensional. Di samping itu, proses kemunculannya ada yang disengaja, tidak disengaja, ada yang dikoordinir juga tak terorganisasi tapi muncul begitu saja sebagai gerakan populis.
Iklan sendiri bermetamorfosis menjadi bentuk lain seperti infobiz atau advertorial yang hampir serupa dengan publikasi dalam media konvensional. Namun untuk buzz sendiri tidak bisa dilacak apakah sebagai iklan atau publikasi berbayar atau bukan. Karena tidak menggunakan kode khusus seperti halnya advertorial dalam media konvensional. Dari pengamatan penulis, terdapat publikasi berbayar dengan penyewaan space pada beberapa media, cetak, elektronik, ataupun digital. Dengan pengertian buzz sebagai sebuah percakapan atau dengungan. Inti dari buzz adalah bagaimana agar produk atau program dari suatu lembaga diceritakan oleh pihak lain. Tujuan penceritaan tersebut adalah agar produk atau program lembaganya dikenal oleh audiens atau konsumen.
Metode yang digunakan oleh pihak manajemen perusahaan untuk mengenalkan produk dan lembaga mereka agar diceritakan oleh banyak orang dengan berbagai cara. Bisa dengan kegiatan yang kontroversial, undangan kepada para blogger atau mereka yang aktif di media sosial agar bisa diceritakan oleh mereka. Bagaimana agar para blogger atau aktifis media sosial sebagai pihak ketiga dapat menceritakan pengalaman mereka saat berinteraksi dengan suatu program atau produk baru. Menceritakan sebanyak-banyaknya pengalaman mereka agar bisa dibaca oleh netizen yang berada dalam jejaringnya. Buzz berbayar, misalnya dapat dicermati dari akun-akun populer yang memiliki banyak follower di twitterland. Akun tersebut bisa berupa akun yang dikelola secara profesional dalam bentuk usaha informasi seperti halnya media mainstream. Bisa juga oleh akun populer yang dikelola secara personal atau team tapi belum profesional.
Sebagai media yang difungsikan untuk menceritakan produk atau program, karakter yang dimunculkan oleh buzzer berbayar tersebut berbeda dengan iklan yang dimunculkan oleh media mainstream. Karakter ‘iklan’nya tidak menunjukan diri sebagai iklan tapi sebagai cerita yang mengalir seolah-olah tanpa beban ‘iklan’. Karena struktur kalimat dari twit sejak awal sudah dikonstruk sebagai promosi/ iklan, maka kesan yang muncul dalam twittersebut sebagai iklan. Sementara buzz, kalimat yang dimunculkan dalam setiap kicauan tidak dikonstruk sebagai promosi, tetapi sebagai sebuah pengalaman, cerita yang mengalir saat berhubungan dengan sebuah program, produk, atau kegiatan lembaga, maka konstruksi kesan pun tidak mengarah kepada iklan saat ada kalimat promo yang muncul. Inilah yang membedakan buzz dengan iklan. Oleh karena itu, buzz dalam media konvensional dapat dipastikan sama dengan publikasi. (Dudi Rustandi, 2014: 55-56)
4. Strategi Buzzing
Menyangkut proses keseluruhan bagaimana tujuan buzzing public relations tercapai. Dudi Rustandi (2014:56) mengutif Silih dan Jim dalam buku ‘Strategi Public Relations’ menilainya cukup sederhana. Menurutnya stretegi Buzzing dilakukan melalui kombinasi antara Character, Consideration, dan Communication. Character merupakan komunitas dimana audiensi target berkembang dan merasa nyaman, consideration adalah pertimbangan masyarakat untuk mengambil keputusan ataupun mengubah pendapat, dan communication adalah pola komunikasi di antara komunitas utama, komunitas pendukung dan masyarakat dalam arti luas (Silih & Jim, 2010: 397).
Membahas bagaimana strategi 3C (Character, Consideration, Communication) tersebut diimplementasikan dalam kegiatan edukasi PR dan Promosi pemasaran, Silih dan Jim mencontohkan secara praktis bagaimana buzzing bekerja. Menurutnya, secara simple titik buzzing terbagi dua, yaitu Pertama, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik yang melestarikan terjadinya sebuah pendapat. Kedua, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik pendukung yang bisa dijadikan “perantara” buzz hingga mampu mengubah persepsi audiensi target. Pada titik ini kecerdasan PR dibutuhkan dalam membangun buzzword. Hal ini mengingat supporting spot ini dijadikan jembatan penghubung antara 3 C (Silih dan Jim, 2010: 398). Buzz point adalah titik-titik sosial yang mampu menciptakan pembicaraan. Pembicaraan itu akan menular ke anggota komunitas hingga ke luar anggota komunitas.
Titik-titik di atas diterjemahkan oleh Silih dan Jim sebagai berikut : 1) Komunitas kelas menengah yang mudah terpengaruhi, 2) orang-orang yang dijadikan referensi oleh kelas menengah, 3) lokasi representative tempat terjadinya pertemuan mereka yang mampu membuat keterpengaruhan kelas menengah oleh referens.
Apa yang disampaikan oleh Silih dan Jim tersebut dalam konteks kegiatan kopi darat (offline), kini berlaku di era daring. Jika pada awalnya, perusahaan tersebut tidak sadar kenapa itu bisa terjadi dan sulit untuk mempertahankan buzz ini, seperti yang dinyatakan oleh Silih. Di era siber, buzz lebih sering dan banyak diciptakan oleh lembaga laba ataupun laba baik besar, kecil, swasta, pemerintah, nasional atau multinasional.
Untuk merealisasikan 3-C (Character, Consideration, Communication), Silih dan Jim menyarankan agar terlibat langsung di suatu komunitas agar mengetahui dan faham suara-suara tentang produk yang sedang ada di pasaran. Jika suara-suara sumbang yang muncul, perusahaan bisa cepat mengantisipasinya. Menurut Silih,suara tersebut bisa seperti rayap yang bisa menggerogoti reputasi perusahaan. Namun jika suara positive, bisa lebih didorong lebih jauh. Sehingga bisa menghasilkan dengungan yang positif. Inilah yang dilakukan oleh beberapa perusahaan multinasional seperti KFC, Toyota, Honda, Yamaha, atau dalam kasus politik Prabowo dan Jokowi sama-sama melakukan metode ini.
5. Metode berkaitan dengan cara melakukan buzzing
Buzzing dilakukan dengan beragam cara, baik dari sisi penceritaan atau media yang digunakan. Tujuan buzzing sendiri adalah agar produk atau program cepat dikenal oleh konsumen. Bukan hanya dikenal, penceritaan melalui orang terpecaya atau oleh oleh banyak orang di dunia maya akan mendorong seseorang untuk mengenal, mengetahui, faham, butuh, hingga pada akhirnya melakukan pengambilan keputusan untuk menggunakan produk atau program yang diceritakan oleh orang lain. Di era informasi, kebutuhan akan pengetahuan produk dilakukan secara mandiri melalui pencarian di media siber. Alih-alih menanyakan kepada front office atau customer service dari produk tertentu, selain akan bersifat subjektif karena faktor kepentingan yang sangat besar juga cara pencarian informasi seperti itu tidak efektif dan efisien. Sementara dunia siber menyimpan banyak arsip tentang informasi yang sedang dibutuhkan. Informasi ini hadir karena setiap orang dengan sifat dan sikap senang berbaginya menciptakan informasi-informasi tersebut dalam bentuk catatan di berbagai aplikasi media siber seperti blog, web, atau media jejaring sosial. Dengan berselancar di dunia maya, seorang netizen bisa mendapatkan pengetahuan produk dari berbagai macam sudut pandang, bisa membandingkan kelebihan dan kekurangan, harga, kualitas dan lain sebagainya.
Informasi tidak akan didapat jika kontennya tidak tersedia. Konten-konten tersebut hadir karena ditulis oleh orang secara sukarela. Konten-konten tersebut tidak diciptakan oleh produsen produk, tetapi pihak ketiga yang pernah berinteraksi dengan produk tersebut. Kini, media siber menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia, bahkan bisa dikatakan menjadi jantungnya informasi manusia. Saat semua individu atau lembaga menyadarinya, konten-konten tersebut tidak hanya diciptakan oleh seseorang yang senang berbagi/bercerita saat berhubungan dengan produk yang muncul tanpa terstruktur, tanpa terencana. Namun juga sengaja diciptakan oleh organisasi secara terstruktur dan terancana untuk mengenalkan sekaligus membangun citra produk. Mereka tidak hanya menggunakan konsultan PR tetapi juga menghimpun komunitas agar organisasi beserta produknya diceritakan oleh blogger, facebooker, atau yang aktif ngetwit.
Dengan menggunakan tanda pagar (hastag) tertentu, produk akan dikenal dengan mudah oleh para peselancar media siber. Hastag sendiri menyebar karena sifat keterjangkauan dan koneksi pesan yang saling menerpa. Secara umum tanda pagar atau tag merupakan kata kunci yang digunakan agar lebih memudahkan saat pencarian suatu produk. Saat peselancar dunia maya mencari kata kunci yang dimaksudkan maka akan mengarah pada tagar yang telah ditulis oleh banyak pengguna media sosial aktif.
Simak video berikut : Jasa "Buzzer" di Tahun Pemilu