AKADEMISI dan RISET
- Yusrin Ahmad Tosepu
- Mar 24, 2018
- 4 min read
Updated: Dec 20, 2020

Bangsa yang besar dan maju menyadari peran penting para akademisinya, sehingga mereka lebih menghargai para akademisi tersebut, dan menempatkan mereka (orang-orang terpilih ini) pada kedudukannya yang layak di masyarakat. Sebagai contoh misalnya Amerika, bangsa yang maju, yang menguasai dan menyumbangkan hampir 70% perkembangan ilmu pengetahuan di dunia.
Para scholarnya banyak menghiasi publikasi ilmiah di jurnal-jurnal ternama, bahkan jurnal-jurnal bergengsi tersebut dikelola sebagian besarnya oleh mereka. Melalui berbagai produk-produk teknologinya yang sebagiannya dihasilkan dari kerja-kerja para akademisinya, yang telah ikut memajukan dan mengokohkan pondasi ekonomi mereka.
Produk-produk berbasis high teknologi seperti produk Teknologi Informasi, produk pertahanan dan keamana, seperti pesawat tanpa awak, dan lain sebagainya. Produk tersebut menghasilkan milyaran dolar ketika dipasarkan keseluruh dunia. Akibatnya, hegemoni Amerika sampai saat ini tidak terkalahkan, baik dari sisi ilmu pengetahuan, teknologi hingga politik.
Kekuatan ini tidak lahir dan didapatkan begitu saja, tetapi dihasilkan dari keunggulan para akademisinya. Sehingga saat ini sekolah-sekolah terbaik sebagian besarnya ada di Amerika, sebagian besar perguruan tinggi di Amerika menguasai rangking universitas-universitas terbaik di dunia.
Jika kita berkaca dengan situasi yang ada di Indonesia, tentulah masih jauh tertinggal. Hal ini disebabkan oleh karena para akademisi kita tidak sebaik yang diharapkan. Hanya sebagian kecil dari para akademisi ini yang mampu mengaktualisasikan peran mereka bagi bangsa. Sebagian besarnya larut dan sibuk dalam mengurusi kebutuhan primer (masalah klasik di Indonesia), mengejar proyek-proyek di luar kampus yang menghasilkan tambahan uang.
Tidak bisa disalahkan, karena urusan perut dan lain-lainnya memang harus terpenuhi terlebih dahulu (menurut teori kebutuhan Maslow), untuk kemudian seorang individu mampu mencapai kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri. Akibat rendahnya penghasilan para akademisi ini, banyak terjadi salah kaprah, salah orientasi dan salah niatan. Sebagian besar mereka lebih banyak mengajar, daripada meneliti. Ini wajar karena banyak mengajar akan menghasilkan lebih banyak uang, tetapi banyak meneliti bagi sebagian akademisi seperti menambah migrain di kepalanya.
Bandingkan saja dengan Singapura, Negara kecil tetapi memiliki impact factor yang besar. Mereka hanya memiliki 2 universitas utama, namun kedua-keduanya menduduki rangking 10 besar universitas terbaik di Asia (kalau tidak percaya boleh ditelusuri). National University of Singapore dan Nanyang University, keduanya ini menjadi ikon perguruan tinggi di Asia, bahkan cukup diakui di dunia internasional.
Hal ini disebabkan salah satunya karena para akademisinya berhasil menunjukkan publikasi ilmiah terbaik, di jurnal-jurnal terbaik berimpact factor tinggi. Saya lebih mudah menemukan karya ilmiah para akademisi Singapura ini, di jurnal-jurnal bergengsi dibandingkan para akademisi di Indonesia (khususnya dalam bidang Psikologi).
Seorang professor (dalam bidang Psikologi) terkenal di Indonesia sekalipun yang saya telusuri, belum berhasil menunjukkan kesuhuannya pada jurnal- jurnal bergengsi ini. Belum memiliki H-Index di google scholar, ini menunjukkan belum berimpact factornya para akademisi kita bahkan sekelas professor psikologi di dunia internasional.
Apa yang salah sebenarnya pada kehidupan akademisi kita, dan bagaimana solusinya? Ini seperti merajut kembali benang-benang yang kusut. Perlu proses yang sistematis dan lurus. Perlu pengadaptasian kebijakan baru yang lebih memacu para akademisi untuk maju beberapa langkah ke depan. Celah-celah penghambat atau bottle neck perlu ditelusuri secara mendalam, untuk kemudian bisa menemukan obat mujarab bagi sakitnya kehidupan akademisi di Indonesia.
Antara tahun 1970 hingga 1990-an, penelitian yang dilakukan universitas negeri relatif hanya untuk memberikan legitimasi atas kebijakan pembangunan negara. Di bawah rezim Orde Baru, akademisi lebih menyerupai teknokrat ketimbang ilmuwan, menghasilkan riset pesanan pemerintah. Penelitian mendasar serta publikasi ilmiah tidak diutamakan.
Kebijakan pemerintah untuk mendorong universitas negeri menjadi skala internasional belum berhasil mendukung kawin silang keilmuan dan penelitian. Justru, universitas negeri menggunakan otonomi yang ada untuk meningkatkan biaya perkuliahan dan jumlah mahasiswa, sementara juga menjalankan riset dan pelatihan untuk pemasukan.
Sehingga, akademisi di Indonesia tidak ubahnya pekerja di sektor jasa, yang menghadapi sistem yang semakin terpengaruh oleh mekanisme pasar. Mereka harus mengambil beban mengajar yang tinggi karena banyaknya jumlah mahasiswa.
Data tahun 2014/2015 menunjukkan di antara 638 perguruan tinggi, hanya 55 di antaranya universitas negeri (8,6%); namun 56.8% dari keseluruhan mahasiswa terdaftar di sana. Data yang sama menunjukkan setiap satu pengajar di universitas negeri menangani rata-rata 33 mahasiswa, bandingkan dengan 16 mahasiswa untuk pengajar swasta.
Akademisi didorong untuk menjalankan riset yang menambah pendapatan lembaga mereka. Di saat yang sama, universitas tidak diminta untuk mengungkapkan kepada publik seberapa besar dana yang mereka terima dari kegiatan komersial tersebut. Idealnya, para pelaku yang bergerak di bidang akademis meneliti di dalam sebuah rumpun ilmu untuk mencapai banyak hal, dari mencari jawaban dari sebuah masalah sampai dengan eksplorasi ide.
Hasil penelitian ini kemudian dipublikasi, diuji, dan disempurnakan lagi oleh para akademisi lainnya, untuk kemudian diimplementasi oleh para praktisi. Hasil implementasi dan pengujian oleh akademisi maupun industri ini kemudian akan menelurkan tantangan-tantangan maupun permasalahan baru lagi yang kemudian dapat diteliti lebih lanjut. Alur kerja ini membentuk umpan balik yang pada jangka panjangnya akan memajukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban manusia secara keseluruhan.
Membangun aliansi
Indonesia membutuhkan jaringan sarjana, dalam jenjang karir yang beragam, dari berbagai universitas dan organisasi riset di Indonesia dan luar negeri, untuk memperdalam interaksi akademis. Aliansi ini harus dibangun untuk mendorong reformasi riset di organisasi mereka masing-masing dengan memenuhi aspirasi internasionalisasi pemerintah.
Meskipun asosiasi ini melengkapi beberapa sarjana Indonesia dengan keterampilan dan jaringan global yang bermanfaat untuk mendukung pengembangan riset di universitas tempat mereka bekerja, perubahan hanya bisa dicapai jika kebijakan, alokasi anggaran, dan kepemimpinan di tiap universitas ditujukan untuk memupuk budaya sejawat (peer culture). Hanya melalui budaya sejawat produksi karya akademis dapat menjadi norma, sehingga yang menjadi hal yang janggal adalah seorang akademisi yang tidak meneliti dan menulis dan bukan sebaliknya.
Saya dan kita semua berperan penting dalam memecahkan kebuntuan ini, perlu kembali ke khitah semula sebagai seorang akademisi. Menata impian, menata hati, dan menata semangat untuk mengembangkan ilmu di masing-masing bidang kepakarannya.
Perjalanan masih panjang, ibarat kata pepatah "if there's a will, it will be likely a way to achieve everything". Jadi kuatkan niat, dan kehendak kita untuk meraih impian terbaik setinggi mungkin, khususnya dalam pengembangan keilmuan yang kita minati.
Comments