Sesaat terlintas dibenak pikiran, menyimak sejenak hirup pikuk dunia maya yang terlihat didepan mata, tampak jauh dari logika. Keadaan semakin carut-marut namun terlihat tenang, damai dan terkesan aman. Segelas kopi menemani. Mencoba meresapi, berfikir bagaimana menyikapi dan menghadapi fenomena ini.
Media Online dan Hoax
Kemajuan teknologi, terutama dalam bidang telekomunikasi, menjadi salah satu sarana untuk menumpahkan unek-unek kita kita ke dunia maya. Ada yang sekedar ingin curhat, ada yang ingin memberikan wejangan, ada yang gemar merangkai kata-kata indah. Namun, fenomena yang terjadi sekarang adalah, menyebarnya hoax dan pengaruh-pengaruh berbahaya dan meracuni pikiran yang tersebar melalui internet. Jika kita mampu berpikir secara logis dan bijak, hal apapun yang tertulis maupun tersaji di internet tidak akan meracuni pikiran kita. Namun, tidak semua orang mempunyai kemampuan ini, atau mungkin ada sebagian orang yang mempunyai kemampuan berpikir secara logis dan bijak, namun karena satu dan lain hal, tidak menggunakannya.
Harus diakui bahwa masih banyak masyarakat kita yang tak mampu mencerna informasi yang ada di sekitarnya, dan kemampuan mengambil kesimpulan yang logis. Dulu, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, karena belum muncul dan berkembanganya teknologi informasi dan social media. Dulu, guru, dosen bisa menjadi penengah, bisa menjadi voice of reason jika ada berita yang simpang siur atau gosip-gosip tanpa bukti, namun yang terjadi di jaman sekarang, justru banyak di antara mereka yang terjebak dan termakan hoax. Banyak di antara mereka yang justru menjadi korban. Tidak heran, jika masyarakat sekarang ini banyak menjadi kacau logika berpikirnya, karena selalu terpapar oleh argumen-argumen yang tidak bernalar sehat akibat percaya pada berita-berita hoax yang bertebaran di internet. Jelang tahun politik, banyaknya oknum-oknum sering memanfaatkan kondisi masyarakat kita yang mudah terhasut dengan hal-hal yang bersifat politik SARA.
Masyarakat Indonesia tengah dilanda wabah hoax alias berita bohong yang berseleweran di social media. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana untuk menyerap informasi positif yang mencerdaskan telah banyak didistorsi oleh kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab, dengan menjadikanya sebagai ruang untuk doktrinasi dan menebar kebencian. Tak jarang, informasi yang muncul di media sosial adalah informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya.
Merebaknya wabah informasi hoax dewasa ini, juga telah mencoreng kemuliaan fungsi dari media massa khususnya media online. Harus diakui bahwa kehadiran media massa terutama media online dewasa ini telah menciptakan keresahan masyarakat. Publik cenderung kesulitan membedakan media online yang memiliki krediblitas dan payung hukum jelas dan yang tidak. Karena kehadiran media online di media sosial begitu merayap. Akibatnya para pengguna media sosial dengan mudah meng share berita-berita yang muncul tanpa melakukan kroscek dan filter apakah informasi yang diterima benar atau tidak. Dalam situasi yang demikian inilah maka anak bangsa akan mudah terjangkit wabah informasi hoax.
Akibat dari maraknya informasi hoax tersebut, sering terjadi hujat menghujat dan caci mencaci antar sesama anak bangsa. Nilai-nilai etik dan moralitas terus terkikis. Adat ketimuran yang kental dengan sikap saling menghormati dan menghargai, yang muda menghormati yang tua, dan yang tua mengayomi yang muda terus terkikis dan tidak lagi menjadi karakter bangsa ini. Sikap-sikap intoleran terus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini.
Sebagai media informasi, media massa sebenarnya memiliki fungsi memberikan informasi dan edukasi pada publik dan masyarakat. Banyaknya informasi hoax yang lahir dari media massa, mengaburkan nilai mulia dari media tersebut. Secara tidak langsung telah meruntuhkan nilai-nilai jurnalistik dan dunia kewartawanan. Padahal dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Artinya, sebagai salah satu pilar demokrasi, media massa memiliki kewajiban untuk memberikan pencerahan pengetahuan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat lebih cerdas dan melek informasi.
Harus diakui bahwa apapun bentuknya, informasi adalah ‘teks’ yang mengandung kompleksitas unsur nilai (kepentingan). Sebagai teks, informasi mempunyai fungsi representatif—mewakili hal-hal yang tersurat dan tersirat. Nilai ideologis sangat inheren dengan keberadaan sebuah informasi, meski dalam praktiknya konsumen informasi cenderung tidak menyadarinya. Dalam ketidak sadaran inilah sebenarnya ‘kuasa’ ideologi, melalui informasi bekerja.
Setiap informasi yang hadir pada ruang publik sebenarnya memiliki nilai-nilai ideologis yang senafas dengan kepentingan subjeknya. Dari sini kita akan mengerti, meminjam istilah Norman Fairclough, bahwa merebaknya wabah informasi hoax sebenarnya ada propaganda tertentu yang dilakukan oleh aktor-aktor yang ada di balik lahirnya teks informasi tersebut. Melalui struktur bahasa yang rapi, mereka akan mudah mempropagandakan keyakinan dan pemahaman pada publik. Karena bahasa dalam filsafat linguistik adalah medan pertarungan berbagai kelompok dan kelas sosial yang berusaha menanamkan keyakinan dan pemahaman pada publik.
Bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan materialisasi bahasa dan ideologi. Keduanya, kata yang digunakan dan makna dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan melalui bingkai media massa menegasikan bahwa pengetahuan adalah kekuatan (knowledge is power).
Media sebagai alat komunikasi paling efektif dalam menanamkan keyakinan pada publik. Ketika keyakinan ini tertanam rapi pada pembaca, maka selanjutnya adalah mewujudkan kepentingan ideologis atau politisnya. Ditinjau dari aspek sosiologis, informasi adalah bagian dari praktik sosial. Sebagai praktik sosial, informasi memiliki hubungan dialektis praktis dengan praktik-praktik politik dan ideologi. Artinya, kehadiran informasi hoax ini sebenarnya memiliki relasi dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu. Di sinilah pentingnya kecerdasan dalam membaca informasi. Kita perlu melakukan pembongkaran secara kritis terhadap kandungan-kandungan ideologi dan politis yang menjadi kekuatan dominan dalam kehadiran informasi hoax.
Jika ini dilakukan, maka kita akan bisa memilah dan memilih berita-berita atau informasi mana yang harus dibaca. Sebab, setiap media informasi bekerja sesuai dengan relasi ideologi politik medianya masing-masing. Karena itu, menyikapi wabah hoax tidak cukup hanya melalui pendekatan yuridis formal atau hukum dan perundang-undangan, tapi harus ditopang dengan penguatan budaya literasi.
Krisis Ketersediaan Informasi
Masyarakat di kejutkan dengan adanya informasi yang menyebutkan keberadaan sindikat penebar kebencian melalui media-media sosial. Ujaran kebencian, isu SARA, hingga menebar kabar hoax sudah menjadi bisnis menggiurkan. Tertangkapnya Kelompok Saracen di beberapa daerah (Agustus 2017 di Pekanbaru dan Cianjur), memperlihatkan terjadi krisis ketersediaan informasi. Dari keterangan pentolan Saracen, Jasriadi, kelompok mereka menerima Rp 75 juta-Rp100 juta untuk setiap pesanan penyebaran berita hoax dan hatespeech sesuai keinginan dan tujuan kliennya. Yang mengerikan, para pemesan jasa mereka ternyata ada calon kepala daerah yang sedang ikut kontestasi pilkada. Apa jadinya nasib rakyat ketika pemimpinnya justru menjadi otak penebar kebencian. Yang menarik, kata Saracen sejatinya digunakan sebagai panggilan untuk umat Muslim oleh kerajaan Bizantin, Yunani. Kita tidak tahu apa motivasi kelompok bisnis haram ini menggunakan kata Saracen sebagai nickname mereka.
Hujan informasi di media sosial membuat zona nyaman masyarakat terganggu karena ada informasi-informasi yang tidak enak, meskipun itu adalah fakta. Sebaliknya, muncul sumber informasi alternatif yang memenuhi rasa nyaman, padahal itu informasi yang salah. Masyarakat jadi lebih suka informasi yang tidak benar, asalkan terasa manis. Berdasarkan survey daring yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada Februari 2017 lalu, media sosial bahkan menjadi sumber utama peredaran hoax. Survey yang melibatkan 1.116 responden ini menunjukkan 92,40 persen berita hoax banyak ditemukan di media sosial. Selain itu, survey internet Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan media sosial adalah jenis konten tertinggi yang diakses pengguna internet di Indonesia dari angka lebih dari 50 persen penduduk pengguna internet. Bayangkan besarnya potensi terpaan hoax pada masyarakat Indonesia.
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah kemampuan berpikir kritis dan literasi masyarakat Indonesia yang lemah. Penelitian Central Connecticut State University pada 2015 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dalam hal tingkat literasi masyarakat dunia. Disandingkan dengan jumlah pengguna internet yang besar, berada di peringkat ini bisa dikatakan memprihatinkan sekaligus berbahaya bagi masyarakat Indonesia.
Jadi, apakah kehadiran berita bohong dan hoax benar-benar menimbulkan masalah? Meski masyarakat tidak serta-merta terdampak, paling tidak akan timbul ketakutan ketika seseorang membagikan informasi yang simpang-siur akan timbul keresahan dan kecemasan bahkan berefek pada kebencian dan permusuhan akibat informasi tersebut
Saat ini masyarakat Indonesia masuk di dalam Post Truth Society. Post-truth adalah sebuah kata untuk menggambarkan keadaan di mana daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan fakta yang objektif. Sederhananya, orang akan mendahulukan perasaan dan emosi dibandingkan fakta objektif yang mungkin bertentangan dengan emosi mereka. Dalam kaitannya dengan berita bohong dan hoax, keadaan ini menjadi salah satu faktor pelemahan disiplin verifikasi dalam jurnalisme, yang kemudian mendorong entengnya jempol seseorang untuk menekan tombol share. Tidak bisa disalahkan memang, khususnya untuk kasus kriminalisme dan terorisme. Penerima berita pasti akan segera meneruskan pesan ini ke orang lainnya entah teman, kerabat, atau keluarganya agar tetap waspada dan tidak terkena dampaknya. Ini jadi berbahaya karena kemudian masyarakat tidak lagi mengecek kebenaran informasi karena terpengaruh emosi dan ketakutan.
Problem sekarang bukan kelangkaan informasi, tapi informasi berlebih. Tsunami informasi sehingga ada problem menyaring informasi yang akurat. Sehingga justru sebagian besar tidak akurat karena di serap info tidak akurat. Post Truth Society adalah masyarakat yang tidak mementingkan fakta dalam proses komunikasi sosial. Prefensinya pada kesukaan, bukan kepada kebenaran. Masyarakat mengambil sikap hanya pada yang ia sukai dan yakini. Lebih memuaskan dimensi emosi dari pada rasionalitas. Lebih banyak digerakan aspek emosi dari pada rasio dan kognisi.
Masalah lainnya adalah tergerusnya kepercayaan kepada institusi negara dan media massa yang selama ini menyediakan informasi. Ada otoritas baru yang memberikan informasi, namun informasinya tidak benar. Akibatnya timbul perselisihan saat berkomunikasi, karena ada sebagian orang berpegangan bukan kepada fakta. Hoax gampang dipercaya masyarakat, karena mudah mengabaikan aspek kebenaran faktual, hanya menyenangkan secara emosional. Tidak punya basis rasionalitas, tapi informasinya diterima karena kedekatan emosional.
Lebih jauh lagi, budaya dalam era post-truth ini akan menempatkan masyarakat dalam kubu-kubu tertentu, terfragmentasi dalam emosi dan ego, menjadikan semakin tipisnya batas antara berita yang asli dan yang palsu. Masyarakat yang tingkat literasinya rendah akan jadi lebih mudah terombang-ambing oleh kesimpangsiuran informasi dengan sulitnya memisahkan yang benar dan yang salah, tergantung dengan kondisi dan hubungan emosional mereka dengan orang-orang tertentu. Salah satu contoh, di Sosial media, ada istilah yang dikenal dengan sebutan 'Kaum Bumi Datar'. Kaum Bumi Datar adalah sebutan yang disematkan kepada sebagian masyarakat yang dianggap antikritik, antifakta. Awalnya Bumi Datar adalah istilah pseudoscience bidang astronomi, lalu dijadikan sebutan untuk kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Sebutan Kaum Bumi Datar sama saja seperti Kecebong, Sumbu Pendek atau Bani Taplak. Semua hanyalah olok-olok politik semata.
Menurut penelitian yang dilakukan Standford University pada 2016, setidaknya ada dua hal yang mendukung penyebaran hoax; banjir arus informasi yang melimpah serta kemampuan berpikir kritis masyarakatnya yang rendah. Selain itu, aktifnya penggunaan media sosial oleh masyarakat khususnya Indonesia menjadi salah satu faktor pendukung maraknya peredaran berita palsu dan hoax.
Krisis Membaca
Di Era informasi ini, masyarakat terperangkap oleh hingar binar dunia teknologi. Dengan mudahnya, mereka mengakses dunia virtual yang menawarkan berbagai macam konten-konten dan informasi pendek. Dunia virtual menjelama menjadi candu. Melemahnya pemahaman konteks persoalan akibat kurang baca menjadi kurang tepat dalam mengambil keputusan, terkesan serampangan. Maka dinamika seperti itu akan melahirkan masyarakat yang tidak memiliki ketajaman dalam logika berpikir. Masyarakat yang kurang membaca akan rentan terhadap informasi yang beraroma hoax dan konten-konten yang menjurus pada kebencian.
Ketersediaan informasi dan pengetahuan tak lantas membuat masyarakat gemar membaca. Banyak penelitian yang menemukan fakta bahwa kelemahan masyarakat kita sekarang ini adalah malas membaca. Kesukaan mereka adalah informasi-informasi pendek yang sifatnya instan. Dengan pola pikir yang dangkal, masyarakat kekinian tidak bisa memilah-milah informasi. Tidak bisa mempertimbangkan kebenaran, akibatnya mudah terprovokasi atas informasi-informasi yang sebenarnya akan menyesatkan.
Krisis informasi semakin meluas karena pengaruh globalisasi dan digitalisasi kurang disikapi cerdas oleh masyarakat. Alhasil, perlu upaya untuk memerangi berita-berita tidak benar alias hoax. Setiap berita yang tidak benar harus dihadapi bijak dan bersama-sama. Informasi palsu dan hoax menimbulkan teror dan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Gersangnya sumber informasi yang bisa dipercaya menimbulkan krisis di tengah-tengah kabut hoax yang kian pekat.
Jika kita amati, beberapa tahun terakhir ini, masyarakat indonesia mengalami krisis membaca. Krisis membaca ini tidak hanya terjadi pada masyarakat umum, dalam dunia pendidikan pun juga mengalami hal yang sama. Pemandangan pelajar membaca yang dahulu mewarnai lembaga-lembaga pendidikan kini mengalami kegersangan. Akibat minimnya wawasan dan pengetahuan, maka akan mudah terjangkit wabah hoax yang mengandung unsur hegemoni dan kepentingan politik tertentu.
Presentase minat baca dikalangan masyarakat, khususnya pelajar dan mahasiswa di Indonesia semakin memperhatinkan. Dari data yang bersumber UNESCO April 2016, minat baca tidak menyentuh dari 5 persen dari seluruh wilayah di Indonesia. Inilah dinamika zaman yang terus menggerus khazanah keilmuan dengan rendahnya intektual, dangkal akan ilmu pengetahuan akibat kurangnya asupan buku bacaan. Indikasi semacam itu sudah terbukti ketika dosen mengajak para mahasiswa untuk diskusi. Minimnya para mahasiswa untuk menyampaikan gagasan menjadikan forum diskusi menjadi tidak menarik. Hampa.
Mereka yang jarang banyak membaca akan kehilangan pola pikir kritis. Tidak mampu untuk menganalisa dan melakukan sintesa. Dan gagal melihat persoalan dari berbagai sudut pandang. Maka tidak usah heran dengan stagnanisasi pola pikir generasi sekarang yang tidak bisa berpikir independent. Kalau sudah suka dengan tokoh politik yang sekiranya mereka suka, mereka akan selalu mengagungkan tokoh politik tersebut walaupun sebrengsek apa pun moral yang dimiliki tokoh politik tersebut. Seorang sastrawan asal Amerika yang bernama Ray Bradbury berkata, “Tak perlu membakar buku untuk menghancurkan sebuah peradaban cukup hanya manusianya berhenti membaca.”
Dalam konteks itulah, budaya literasi perlu dilestarikan, dan dimulai dari dunia pendidikan. Hal ini dalam rangka untuk menyelematkan anak bangsa dari wabah hoax. Jika wabah hoax ini dibiarkan bukan tidak mungkin sikap-sikap intoleran akan terus berkembang di Indonesia karena terprovokasi dengan berita-berita bohong. Solusinya adalah membudayakan membaca. Orang yang suka membaca mempunyai sudut pandang. Bisa membangun pola pikir kritis dan analisisnya mendalam. Argumentasinya luwes dan kokoh. Perkataannya mempunyai nilai keilmuan dan penuh hikmah. Sebaliknya, jika orang yang tidak suka membaca akan menemukan kebuntuan dalam berargumentasi. Perkataannya tidak terstruktur. Dangkal dalam menganalisis persoalan. Pandangannya buram.
Kesimpulan
Jika menyimak dan mengamati fenomena percakapan berita bohong atau hoax. Secara garis besar, kita bisa melihat fenomena ini sebagai cerminan dari tiga hal. Pertama, terbiarkannya isu-isu krusial yang terus berkembang di masyarakat namun belum mendapatkan penjelasan yang memadai dari pihak yang berwewenang. Pemerintah tampak begitu gagap dan lambat dalam menjawab isu-isu krusial tersebut sehingga meresahkan publik. Kedua, fenomena hoax bisa jadi merupakan cerminan dari kegagalan media mainstream sebagai referensi publik yang dapat dipercaya. Di saat pemerintah mengalami krisis kredibilitas, ternyata media juga kurang mampu meneguhkan dirinya sebagai referensi publik dalam mendapatkan informasi yang kredibel. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh dua hal. Pertama, kualitas produk jurnalistik yang terkadang kurang memperhatikan standar dan kode etik jurnalistik. Kedua, rapuhnya independensi media dalam bekerja.
Dalam konteks kualitas jurnalistik, terkadang media turut andil dalam menciptakan hoax dan menyulut konflik di tengah-tengah masyarakat. Sebagai pilar demokrasi, seharusnya jurnalistik mengusung jurnalisme edukatif yang mencerahkan sehingga publik memiliki kesadaran luhur menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan persaudaraan. Bukan justru menyulut sengketa dan konflik. Prinsip “bad news is good news” sangat tidak baik bagi demokrasi dan persatuan bangsa. Banyak media yang tersandera oleh kepentingan pemilik modal yang juga seorang politisi atau pendukung kekuatan politik tertentu. Media sebagai salah satu pilar terpenting demokrasi telah kehilangan independensinya. Sehingga media menjadi partisan dan jurnalis pun menjadi petugas partai. Ini memprihatinkan dan tentunya tidak kita harapkan.
Yang ketiga adalah faktor media sosial. Semakin menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah dan media mainstream dalam memperoleh informasi, mendorong mereka berkreasi sendiri dengan mengakses atau bahkan memproduksi sendiri informasi. Media sosial akhirnya menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya berbagai macam informasi. Namun sayangnya, meningkatnya peran media sosial tidak diiringi dengan kecerdasan literasi publik. Darurat kecerdasan literasi telah membuat ruang publik digital kita tercemari dengan informasi yang memicu permusuhan. Melimpahnya informasi terkadang membuat kita terlihat seperti orang yang tidak terdidik (untuk tidak mengatakan bodoh). Dengan mudah kita share info-info sampah, bahkan dengan info-info itu kita tebarkan ujaran kebencian dan fitnah.
Boleh jadi ini paradoks paling heboh di era media sosial: makin melimpah informasi bukan membuat kita semakin bijak dan penuh hikmah tetapi justru membuat kita semakin ceroboh dan gemar tebarkan fitnah.Pada kasus ekstrim, ujaran kebencian dan hoax itu timbulkan irreversible damage yakni kerusakan korban yang tidak bisa dipulihkan. Itu kerugian besar. Petaka bagi semua.
Di media sosial ada orang atau kelompok yang hobinya menghasut. Ada juga orang atau kelompok yang dengan mudah dihasut. Jadilah kolaborasi antara penghasut dan terhasut sehingga semua pihak menjadi kusut. Ada orang atau kelompok yang hanya bisa eksis dengan menghasut. Hakikatnya, mereka sorak sorai bila kita layani. Kita tinggalkan mereka akan mati sendiri.
Bagaimana menyikapi fenomena hoax ini?
Pertama, Pemerintah harus mampu merespon isu-isu krusial yang berkembang di masyarakat secara cepat, tepat dan akurat. Keresahan publik harus dijawab dengan bukti dan nalar argumentasi, bukan tindakan represi. Integritas harus dikedepankan dengan satunya ucapan, tindakan dan kebijakan. Pernyataan dan sikap yang saling lempar tanggungjawab semakin menunjukkan inkompentsi pemerintah dalam mengelola negara. Inkompentensi ini akan melahirkan kegamangan kolektif di benak publik. Kedua, mari kita dorong bersama agar peran pers atau media kembali kepada khittahnya sebagai penyambung lidah rakyat. Kembalikan jurnalis sebagai petugas rakyat, bukan petugas partai atau petugas pemilik modal. Demokrasi membutuhkan pers yang sehat, pers yang cermat, pers yang berdiri dengan kaki sendiri yang senantiasa berjuang dengan menegakkan prinsip-prinsip kebenaran yang mereka yakini bukan didorong oleh kepentingan modal dan politik praktis. Ketiga, pemerintah, pers, civil society dan tentunya partai politik harus bersama-sama mengkampanyekan pentingnya membangun kecerdasan literasi publik dalam mengakses dan memproduksi informasi. Hoax adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh siapa pun, dan harus dijadikan musuh bersama karena merugikan semua pihak dan menceraiberaikan keutuhan bangsa.
Di saat yang sama publik harus dibekali dua hal: kesadaran moral dan kesadaran operasional. Kesadaran moral penting ditumbuhkan karena berbohong dan menyebarkan kebohongan adalah tindakan yang tidak bermoral dan tidak dibenarkan oleh agama manapun. Sedangkan kesadaran operasional memberikan edukasi terkait bagaimana menggunakan media sosial yang beradab. Pastikan kita memahami, mengkonfirmasi dan memverifikasi terlebih dahulu informasi yang kita terima sebelum kita menyebarluaskan. Dan kita harus cegah dan lawan perilaku hoax di sekitar kita. Mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat kita. Kesadaran moral dan operasional ini harus menjadi kerja kolektif bersama semua pihak. Pemerintah, pers, civil society dan partai politik bisa menjadi motor dalam mengkampanyekan ini. Kebohongan tidak akan pernah bisa bertahan selama kebenaran masih ada yang mempercayainya dan eksis memperjuangkannya.
Mari bersama bahu-membahu mengedukasi masyarakat untuk menjadi lebih terliterasi. Dimulai dari diri sendiri, perlu kesadaran untuk tidak mudah membagikan informasi yang tidak jelas sumbernya, atau bahkan berpotensi menimbulkan ketakutan. Ada baiknya untuk mengabaikan informasi dan berita dari media abal-abal, terutama media sosial, dan membaca berita dari media arus utama yang sudah terverifikasi. Waspadai situs dengan ekstensi blogspot atau wordpress pada domainnya dan terus bersikap skeptis dalam penerimaan informasi.
Gerakan melawan hoax merupakan salah satu bentuk perlawanan masyarakat terhadap produksi dan penyebaran berita HOAX. Upaya ini perlu terus disokong oleh seluruh lapisan masyarakat untuk membentuk Indonesia terliterasi yang bebas dari kebohongan. Sosialisasikan dan terus sebarkan kebenaran. Jadikan komunikasi sebuah jalan keluar dari keruhnya keadaan akibat permasalahan yang disebabkan komunikasi itu sendiri.
Saya mengajak seluruh masyarakat kampus di seluruh Indonesia dan seluruh masyarakat Indonesia, dan pembaca sekalian, mari melawan hoax, mari kita buat perubahan nyata bagi negeri ini, dengan senantiasa berpikir logis dan positif dalam menyikapi setiap berita dan informasi yang berkembang di media sosial. Telisik Fakta, Simak Data, Semai Informasi yang factual, actual dan terpercaya. Jangan mau terjebak, termakan dan korban berita HOAX. Stop Kebiasaan sekedar dan asal percaya. Cek and Ricek, Cek and Balance adalah Kode Kunci dalam menyimak berita dan informasi di Sosial Media!
Semoga Bermanfaat !!! Salam Pendidikan Tinggi Indonesia
Simak video berikut : CIRI-CIRI BERITA HOAX