top of page
Yusrin Ahmad Tosepu

Dosen Butuh Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi


APA persamaan dan perbedaan dokter dengan dosen? Pastinya banyak tanggapan beragam. Jawaban mengerucut kepada kesimpulan bahwa dosen dan dokter sama-sama profesi yang menangani manusia. Perbedaannya, penghasilan dosen kalah jauh jika dibandingkan dengan penghasilan dokter. "Mengapa demikian?" Karena sepanjang kariernya sebagai dokter, setiap hari dia dituntut untuk berpikir HOTS.


Jika ditelaah lebih lanjut, seorang dokter memang dituntut untuk setiap saat menganalisis penyakit pasien yang ditanganinya. Tidak mungkin seorang dokter memberikan obat yang persis sama, baik jenis, dosis, dan cara mengonsumsinya kepada sejumlah orang yang menderita gejala penyakit yang sama tetapi dengan latar belakang medis dan gejala-gejala respons terhadap treatment yang berbeda.


Misalnya ada beberapa penderita penyakit batuk. Dokter sebelum memberikan treatment kepada setiap pasien harus tahu apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tertentu atau tidak, mempunyai penyakit yang lain atau tidak, pernah mendapatkan treatment tertentu yang bisa membahayakan pasien jika mengonsumsi obat yang akan diberikan atau tidak, dan seterusnya.


Dokter harus banyak melakukan evaluasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dialami oleh satu pasien dengan pasien yang lainya setelah diberikan treatment kepada mereka. Bahkan ia bisa menciptakan sebuah treatment baru yang sama sekali berbeda jika ternyata pasien penderita penyakit tersebut ternyata memiliki hal-hal yang mendesak untuk ditangani.

Dokter juga sudah terbiasa bekerja dalam tim untuk menangani satu pasien. Contohnya ketika ada seorang pasien yang harus menjalani operasi bedah sesar, maka diperlukan kerja sama tim antara 3 dokter spesialis, yakni spesialis anestesi, spesialis bedah, dan pesialis anak.


Dokter-dokter harus berkonsentrasi penuh dan selalu menggunakan analisa-analisa menyeluruh dan evaluasi yang ketat sehingga pasien dari persiapan melahirkan, operasi caesar sampai pascaoperasi dan seterusnya dalam kondisi baik-baik saja.


Ini artinya dokter sudah biasa menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta dalam pekerjaannya sehari-hari. Ketiga level berpikir itulah yang di dalam taksonomi Bloom itu disebut sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS), di samping keterampilan berpikir mengingat, memahami, dan menerapkan, yang berada pada level berpikir tingkat rendah dan menengah.


Lantas, bagaimana dengan dosen di Indonesia? Apakah para dosen itu dalam pekerjaan sehari-harinya juga melakukan keterampilan berpikir sebagaimana yang dilakukan oleh para dokter? Apakah setiap saat mereka berpikir pada level HOTS?


Apakah mereka senantiasa menganalisis perlakuan yang seharusnya mereka terapkan kepada peserta didiknya sehingga para mahasiswa tersebut bisa mendapat peningkatan kompetensi yang sangat signifikan setelah dilakukan treatment oleh para dosen tersebut?


Apakah para dosen juga senantiasa mengevaluasi sehingga diperoleh keputusan-keputusan terbaik dalam memberikan treatment kepada para mahasiswanya setiap saat?


Apakah mereka juga melakukan rapat-rapat khusus untuk menciptakan model-model baru atau perlakuan perlakuan yang mengajarkan materi-materi yang sekiranya sangat mendesak untuk dikuasai mahasiswa dan bisa berakibat fatal bagi masa depannya apabila mereka tidak menguasai atau keliru memahaminya?


Jika dosen bisa melakukan hal-hal yang dilakukan oleh dokter tetapi di ranah pendidikan, suatu saat penghasilan dosen mungkin akan sama dengan penghasilan dokter.


Dan akan sangat jarang dijumpai para dosen yang komplain dan mengatakan bahwa mereka ribet dengan berbagai administrasi yang rumit, repot dengan perangkat mengajar, terganggu dengan kewajiban untuk menjadi dosen pembelajar, dan lain-lain, sehingga tidak sempat memikirkan bagaimana mendidik dan mengajar dengan baik para peserta didiknya.


Dosen justru akan butuh melakukan analisis jitu dan mencatat hal-hal kecil yang detail untuk bahan evaluasi dan menciptakan metode, model, media, atau konten pembelajaran mutakhir dalam menjalani pekerjaan mereka sehari-hari. Dan akhirnya masyarakat mempercayai mereka dengan memberikan penghargaan berupa penghasilan yang tinggi.


Dari LOTS ke HOTS


Alice Thomas dan Glenda Thorne (2009) mendefinisikan istilah HOTS sebagai cara berpikir pada tingkat yang lebih tinggi daripada menghafal, atau menceritakan kembali sesuatu yang diceritakan orang lain. Konsepnya, menyempurnakan konsep dalam teori pendidikan klasik Taksonomi Bloom yang mengategorikan berbagai tingkat pemikiran, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi. Dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, sampai dengan evaluasi.


Konsep Taksonomi Bloom yang esensinya adalah tujuan pembejalaran, terbagi dalam tiga ranah ialah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai daya cipta, daya rasa, dan daya karsa. Kognitif atau daya cipta merupakan keterampilan mental seputar pengetahuan. Afektif atau daya rasa adalah sisi emosi seputar sikap dan perasaan. Sedangkan psikomotorik atau daya karsa berhubungan dengan kemampuan fisik dan keterampilan.


Keterampilan mental seputar pengetahuan dengan tingkatan kemampuan berpikir inilah HOTS menempati posisinya. Menurut Lorin Anderson dan David Krathwohl (2001), tingkat kemampuan berpikir dimulai dari (1) mengingat; (2) memahami; (3) mengaplikasikan; (4) menganalisis; (5) mengevaluasi sampai dengan (6) mencipta.


Tingkatan kemampuan berpikir (1), (2), dan (3) dikategorikan sebagai Lower Order Thinking Skills (LOTS) atau kemampuan berpikir tingkat rendah. Sedangkan tingkatan kemampuan berpikir (4), (5), dan (6) dikategorikan sebagai HOTS atau kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Mungkin inilah yang dimaksud dengan mengejar ketertinggalan mutu pendidikan. Selama ini kita baru mampu mengimplementasi pembelajaran LOTS dan belum beranjak ke HOTS. Sedangkan di banyak negara, HOTS sudah bukan barang baru lagi.


Upaya pemerintah mengejar ketertinggalan melalui implementasi HOTS patut dihargai dan diapresiasi. Kebijakan pendidikan dipastikan dengan maksud dan tujuan mulia. Tetapi, maksud dan tujuan mulia belum tentu berhasil dicapai jika strategi dan cara yang ditempuh tidak matang.


Implementasi dari LOTS ke HOTS dalam dipastikan tidak efektif apabila tidak didahului dengan proses pembelajaran HOTS. Selain itu, dosen semestinya terbiasa mengevaluasi pembelajaran dengan menggunakan HOTS.


Untuk itu dosen perlu paham dengan baik proses pembelajaran HOTS. Proses pembelajaran sangat urgen untuk hasil belajar dan bukan sekadar hasil.


#MariKitaRenungkanBersama @MajuTerus Pendidikan Tinggi Indonesia

234 views0 comments
bottom of page