Secara umum arti asumsi berarti dugaan atau anggapan sementara yang kebenarannya belum bisa dibuktikan dan butuh pembuktian langsung. Sedangkan pendapat lain mengatakan jika asumsi adalah tindakan memperkirakan kondisi tertentu yang belum terjadi.
Asumsi juga diartikan sebagai skenario untuk melakukan stimulus kondisi yang bisa terjadi dengan memperhatikan beberapa faktor menyeluruh dan kompleks.
Biasanya, asumsi juga sering dihubungkan dengan aturan praktis. Dengan kata lain, asumsi juga bisa diartikan sebagai landasan berpikir yang dianggap benar meski hanya untuk sementara sebab asumsi bukanlah kepastian.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asumsi bermakna adalah dugaan yang diterima sebagai dasar; landasan berpikir karena dianggap benar. Kata asumsi adalah sinonim dari kata anggapan, dugaan, hipotesis, pengandaian, perkiraan, postulat, premis, presumsi, proposisi, sangkaan, taksiran.
Dari arti asumsi tersebut, ada tiga kata yang mesti juga kami pahami secara baik dan benar, sebelum memberikan jawaban ya atau tidak untuk pertanyaan di atas. Kedua kata tersebut adalah ‘dugaan’ dan ‘dianggap benar’.
Arti ‘dugaan’ adalah hasil dari perbuatan menduga; sangkaan: perkiraan; taksiran. Sedangkan ‘dianggap benar’ berarti belum tentu benar; bisa benar, dapat pula meleset (salah).
Antara ‘benar’ dan ‘salah’ saling meniadakan (antonim), jika diberi nilai dengan menggunakan teori probolitas, maka nilai untuk ‘dianggap benar’ dan ‘dianggap salah’ adalah sama.
Bila menggunakan 100 persen sebagai nilai tertinggi, maka sesuai teori peluang dimaksud, nilai ‘diangap benar’ dan ‘dianggap salah’, sama-sama sebesar 50 persen.
Begitu pula benar atau tidaknya sebuah dugaan, sebelum adanya pembuktian lebih lanjut, nilai juga ‘fifty-fifty’.
Jadi, asumsi adalah anggapan yang belum terbukti kebenarannya dan memerlukan pembuktian secara langsung. Artinya, adalah sesuatu ‘hal yang mustahil’ bila ada seseorang mampu membuat pendapat akhir atau membuat kesimpulan (menyimpulkan sesuatu) tanpa berdasarkan fakta, data, informasi yang menyertai sebuah peristiwa atau kejadian.
Santan kelapa sebagai analogi atau perumpamaan. Adakah santan yang dihasilkan tanpa adanya kelapa yang diparut/dikukur dan diperas?
Sejauh yang kita ketahui, belum ada orang yang bisa menghasilkan santan dari kelapa yang masih bulat. Lebih-lebih dari kelapa yang belum dibuang sabutnya dan masih di tandan di atas pohonnya.
Contoh lainnya; Adakah seseorang yang bisa menyimpulkan isi pidato dari seorang pembicara dalam sebuah diskusi atau seminar, sementara yang bersangkutan tertidur sesaat sebelum si pembicara naik berpidato dan baru terjaga sesaat sebelum si pembicara turun dari podium?
Kembali ke kata kesimpulan. Kesimpulan merupakan interpretasi (pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran) atas hasil analisis).
Dengan kata lain sebuah kesimpulan, terutama bila dikaitan dengan pendapat, maknanya adalah kesudahan pendapat atau pendapat terakhir yang berdasarkan pada uraian sebelumnya.
Kesimpulan itu menjelaskan dari aspek materi atau isi. Kesimpulan dapat berupa inferensi dan dapat pula berupa implikasi.
Inferensi adalah kesimpulan berdasarkan referensi (rujukan yang digunakan), tidak melibatkan data secara langsung. Sedangkan implikasi adalah kesimpulan yang melibat data.
Jadi, hal penting lainnya yang harus diketahui dalam membuat kesimpulan yang baik, yaitu kesimpulan tak boleh menyajikan hal-hal yang tak diuraikan sebelumnya dalam sebuah peristiwa atau kejadian tersebut.
Intinya, untuk dapat membuat kesimpulan dari apa yang dibaca, dilihat, didengar, dirasa, dan sebagainya, seseorang harus membaca, melihat, mendengar, merasa seluruh apa yang dilakukannya tersebut secara intensif (secara sungguh-sungguh), dari awal hingga akhir.
Dalam suatu kesempatan diskusi kuliah yang membahas topik tentang fakta, data dan informasi. seorang mahasiswa bertanya “Pak! Bisakah asumsi pribadi menjadi dasar untuk mengambil sebuah kesimpulan?”
Nah, untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, tentu saya terlebih dahulu harus kembali pada penjelasan tentang asumsi tersebut diatas.
Tentunya jawabannya adalah: “Asumsi pribadi tidak dapat dijadikan dasar untuk mengambil kesimpulan.” Karena asumsi bukan fakta. Dengan kata lain asumsi hanya “pengisi celah” data, bukan fakta yang sebenarnya.
Nah, sekarang ini banyak orang yang menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan asumsi. Orang yang suka berasumsi adalah orang yang memiliki cara berpikir tidak tersistem. Orang yang demikian adalah orang yang suka berkonflik dengan realitas.
Suka berasumsi atau suka mengedepankan prasangka adalah Salah satu penyebab terjadinya sebuah konflik. Itulah pentingnya hindari asumsi negatif, karena asumsi adalah buang-buang waktu, yang mudah muncul jika kita hanya terus membiarkan diri untuk menduga-duga.
Dalam hubungan interaksi dan komunikasi sebaiknya kita berusaha untuk mengembangkan sikap keingintahuan, ingin tahu tentang orang lain, apa yang mereka rasakan, bagaimana mereka berpikir, bagaimana mereka melihat dunia.
Bicaralah dengan niat dan integritas, dengan melakukan hal tersebut, maka kita akan mudah menghilangkan asumsi negatif terhadap orang lain. Inilah yang harus kita sadari sepenuhnya. Jangan sampai kita justru diambil alih oleh pikiran sendiri dan jadi gemar berasumsi negatif.
Comentarios