BUZZER POLITIK BERBAYAR; Apa, Siapa, dan Bagaimana Kerja Mereka?
- Yusrin Ahmad Tosepu
- Jul 29, 2021
- 24 min read

PENGANTAR
Hadirnya media sosial melahirkan peradaban baru dalam komunikasi politik termasuk munculnya fenomena buzzer politik sebagai dampak keterbukaan informasi dunia digital, khususnya penggunaan media sosial ditengah masyarakat yang semakin kritis. Namun, hadirnya buzzer politik khususnya buzzer politik berbayar (buzzerRp) di dunia virtual menjadi masalah yang serius yang mengancam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Polarisasi yang terjadi akibat narasi keruh yang dibawa buzzer politik berbayar bisa menjadi bom waktu perpecahan di masyarakat.
Perlunya pemerintah untuk segera merumuskan kebijakan yang lebih efektif untuk mengendalikan keberadaan buzzer politik, utamanya yang berbayar. Dengan adanya regulasi yang akuntabel dan transparan akan berdampak baik ke depan bagi ketertiban ruang daring dari noise-noise yang berdampak negatif, juga terutama ke penegakkan demokrasi di Indonesia karena akan meminimkan potensi perpecahan saat kontestasi demokrasi.
Upaya jangka panjang untuk melawan fenomena buzzer berbayar (buzzerRp) adalah dengan cara penumbuhan kedewasaan dan pencerdasan publik dalam bermedia. Karena Buzzer politik berbayar akan efektif dalam bekerja ketika masyarakat memiliki literasi digital yang rendah. Maka dari itu, edukasi-edukasi secara jangka panjang diperlukan baik dari pemangku kebijakan ataupun dimulai dari setiap individu masyarakat agar terus bijak dalam menyebarkan konten di media sosial.
Pencerdasan publik di tengah fenomena buzzer politik berbayar (buzzerRp) di media sosial perlu dilakukan untuk membangun jaringan pesan yang kuat untuk melawan buzzer yang melakukan manipulasi opini publik. Para Intelektual, akademisi, penggiat literasi informasi dan media digital perlu aktif memproduksi pengetahuan kepada publik supaya tercerahkan.
Artikel ini adalah bahan pengembangan kajian Buku Media Baru Dalam Komunikasi Politik (Komunikasi Politik di Dunia Virtual). Bab V Media Sosial Dalam Komunikasi Politik di Indonesia, sub pokok bahasan BUZZER DALAM KOMUNIKASI POLITIK.
PENDAHULUAN
Seiring perkembangan zaman, ruang daring (cyberspace) menjadi ruang publik baru bagi masyarakat untuk secara bebas mengutarakan pesan berupa ide, gagasan, kritik dan lain sebagainya yang kemudian terangkum menjadi opini publik. Opini-opini yang diutarakan oleh masyarakat akan lebih mudah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan politik, mengingat hanya ada batasan tipis di ruang daring sehingga memudahkan masyarakat untuk mengutarakan sesuatu bahkan bisa langsung ke pemangku kebijakan yang bersangkutan. Aspirasi yang diutarakan besar kemungkinan akan direspon langsung oleh pemerintah sebagai pertimbangan pembuatan suatu kebijakan.
Maka, tidak jarang ruang daring menjadi ruang publik yang sering digunakan untuk beradu gagasan dan bertarung wacana terkait kebijakan-kebijakan yang diwacanakan atau diputuskan oleh pemangku kebijakan. Hal ini bisa berdampak positif sebagai feedback untuk pemangku kebijakan, walaupun tidak jarang pula berpotensi besar menimbulkan polarisasi dan konflik secara horizontal.
Munculnya fenomena buzzer politik menjadi noise (gangguan suara) yang sangat membisingkan pertarungan wacana dan gagasan di ruang daring. Mereka membanjiri media sosial dengan menyebarkan propaganda dengan nada pro pemerintah, oposisi atau partai politik, menyerang kampanye pada saat kontestasi demokrasi, pengalihan isu, polarisasi di tengah masyarakat, dan menekan pihak yang berseberangan.
Keberadaan buzzer politik tidak menjadi masalah ketika narasi dari konten yang mereka bawa valid dan berkualitas. Namun, noise terjadi akibat konten yang dinarasikan jauh dari kata berkualitas. Meski demikian, fenomena buzzer politik juga berpotensi menimbulkan perdebatan yang tak produktif dan pertarungan wacana yang tak sehat jika mereka menyebarkan narasi yang bersifat provokatif dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Masyarakat pengguna sosial media pun banyak yang resah dengan keberadaan buzzer politik yang membuat riuh dan keruh ruang-ruang diskusi di sosial media. Karena pesan yang disampaikan buzzer mempunyai narasi yang berseberangan dengan opini secara umum masyarakat, tidak heran jika konten mereka menuai kontroversi. Buzzer politik dengan bebas menyebarkan konten apa pun dengan menggunakan akun anonym.
Buzzer politik muncul biasanya adalah ketika ada isu yang sedang berkembang, mereka mempublikasikan pesan dengan narasi yang sama atau dengan hastag yang seragam untuk di-trending-kan. Jika dilihat, tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan para buzzer politik adalah untuk menggiring opini publik dari suatu isu tertentu.
Buzzer politik kerapkali menyebarkan narasi yang berseberangan dengan narasi kelompok masyarakat sipil. Hal itu sah-sah saja sepanjang narasi yang dibangun berkualitas. Namun, buzzer politik cenderung membangun perdebatan yang tak produktif dan tak sehat jika mereka menyebarkan narasi yang bersifat menyudutkan. Ketika misalnya masyarakat kritik atau beda pendapat dengan narasi yang disebarkan, masyarakat disudutkan, dan bukan didebat soal kontennya tapi mengarah kepada organisasi masyarakat sipilnya itu sendiri atau menyerang pribadi yang bersangkutan.
Para buzzer politik dapat dengan mudah menggeser perdebatan ke hal-hal yang tidak substansial untuk mengalihkan perhatian publik. Mereka bisa melakukan itu dengan penyeragaman narasi, termasuk memutarbalikkan fakta. Misalnya ada 6-7 orang agendanya persis sama, pake tagar, sama dan model pengondisian faktanya diputarbalikkan sedemikian rupa.
Masyarakat menilai buzzer politik yang pro pada elite pejabat atau atau pemerintah sangat reaksioner terhadap elemen masyarakat sipil. Ketika menanggapi kritik elemen masyarakat sipil terhadap Pemerintah dan DPR Misalnya, para buzzer poltik pendukung pemerintah melancarkan kontra-narasi dengan menyebut bahwa gerakan tersebut ditunggangi kepentingan politik kelompok tertentu. Padahal gerakan masyarakat mengemukakan isu-isu atau persoalan serius menyangkut kepentingan masyarakat luas. Bukan untuk kepentingan pihak tertentu.
Keterlibatan para buzzer dalam peristiwa politik dan gejolak belakangan ini juga dinilai merusak citra dan pemaknaan publik tentang buzzer itu sendiri. Masyarakat mengakui buzzer politik sengaja hadir dan mendapat ruang dalam perhelatan politk untuk menyampaikan segala hal positif kandidat yang didukungnya. Juga sebaliknya mereka dipersiapkan untuk mengkritisi kekurangan para kandidat lain yang menjadi lawannya. Dan mestinya kerja mereka berhenti setelah pemilu selesai karena suda ada pihak yang menjadi pemenangnya. Tapi yang terjadi kemudian justru menjadi geng yang terus dipelihara, dibayar untuk membuli siapa yang mengkritik.
Buzzer politik mencuat pertama kali di media sosial pada perhelatan politik pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Para politisi memanfaatan buzzer politik untuk pencitraan. Buzzer politik digunakan untuk menaikkan citra seorang kandidat dengan mempromosikan prestasi. Tapi di sisi lain dia menyerang kandidat lawan, dengan fitnah, hoaks dan cara-cara yang difabrikasi. Pada titik itulah, peredaran hoaks dan disinformasi semakin masif, hingga saat ini.
Fenomena buzzer di Indonesia terekam pada penelitian Universitas Oxford dengan judul The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Dari hasil penelitan Oxford, 87% negara menggunakan akun manusia, 80% akun bot, 11% akun cyborg, dan 7% menggunakan akun yang diretas. Di Indonesia sendiri, pasukan cyber secara umum menggunakan akun bot dan yang dikelola manusia. (Sumber: Katadata.co.id)
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN DAN KONSEP BUZZER
Istilah buzzer atau pendengung sebenarnya sudah lama ada. Makin dikenal ketika media sosial mulai masif dimanfaatkan sebagai channel komunikasi pemasaran. Baik untuk komunikasi pemasaran sebuah produk, jasa, sampai komunikasi "pemasaran" di bidang politik.
Buzzer berasal dari bahasa Inggris. Buzz yang berarti alarm, isyarat ataupun pertanda. Pelaku buzz disebut Buzzer. Buzz secara etimologis (arti kata) adalah dengungan/berdengung. Buzzing adalah suara getaran cepat dan gosip yang terus menerus didengungkan, atau suara bersenandung seperti lebah atau seperti percakapan umum dalam nada rendah, atau ekspresi umum, kejutan atau persetujuan. Untuk membuat suara yang rendah, terus menerus, bersenandung atau bunyi berdesis, seperti itu dibuat oleh lebah dengan sayap mereka.
Sedang menurut Ivan Lanin, pakar bahasa dan komunikasi, disebutkan bahwa Buzzer adalah pendegung informasi. Dari asal kata dan definsi yang dikatakan Ivan Lanin itu dapat kita pahami bahwa, Buzzer adalah pembuat, pemulai dan pendegung suatu informasi.
Kata Buzzer diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Baser. Baser diartikan adalah orang yang membicarakan, membranding lebih tepatnya membumingkan informasi. Buzzer ini sangat memiliki peran yang cukup signifikan dalam gerakan kampanye. Terlebih gerakan kampanye di momentum politik yang kerapkali berujung mengecewakan.
Namun istilah buzzer tidak boleh kita pahami hanya pada stigma negatif bahwa mereka hanya penyebar hoax atau informasi bohong. Karena buzzer tidak hanya berkutat pada kegiatan kampanye politis dan pecitraan. Akan tetapi mereka juga bergerak di bidang bisnis. Mereka juga menyebarkan informasi sebuah produk. Namun sejauh ini, public sudah terjebak di dalam mengartikan istilah buzzer ini
Buzzer dibagi menjadi dua. Buzzer idelologis dan Buzzer komersil. Buzzer ideologis ini bergerak di sosial media atas dasar kesamaan idelogis dan tujuan. Mereka mendegungkan informasi dengan sukarela tanpa dibayar. Sedang buzzer komersil, bergerak karena ada yang menggerakkan serta dibayar. Para buzzer ini, rerata, mereka tidak menampilkan identitas sebenarnya. Mereka rentan bergerak dengan label organisasi baik tersruktur maupun tidak tersetruktur.
Meminjam istilah dari Twitter, buzzer adalah pengguna media sosial yang dapat memberikan pengaruh pada orang lain dengan menyebarkan tulisan. Buzzer harus mempunyai kemampuan mempengaruhi orang lain. Pengertian serupa diungkapkan oleh Silih Agung Wasesa dan Jim Macnamara (2010:395), bahwa buzz lebih mirip dengungan suara lebah, walaupun tampaknya seperti dengungan tidak beraturan, sekarang Public Relations memperlihatkan bahwa dengungan tersebut beraturan dan memiliki pola yang bisa dikembangkan. Ia sendiri mengistilahkannya dengan istilah buzzword.
Selain Buzzer, ada juga istilah Influencer. Meskipun sekilas terlihat sama, buzzer dan influencer merupakan dua pekerjaan yang cukup berbeda. Buzzer lebih berfokus pada penggiringan opini secara masif, tanpa dasaran yang kuat. Sedangkan influencer memiliki cara tersendiri untuk mengamplifikasi pesan ke masyarakat. Mereka biasanya dikenal memiliki keahlian di sebuah bidang. Ini membuat suaranya lebih layak didengar oleh publik dibandingkan buzzer di dunia politik.
Istilah Influencer disematkan kepada mereka yang memiliki daya pikat sebab populatitas dan ketokohan. Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas. Para Influencer ini beragam. Ada yang memang politisi, aktris, tokoh pendidikan, tokoh agama dan tokoh lainya. Kesimpulannya, Influncer ini adalah public figure. Mereka menyebarkan bahkan mengembangkan informasi dengan tujuan untuk memengaruhi followersnya. Dari sinilah bisa kita membedakaan Buzzer dan Influencer. Menjadi Buzzer tidak harus memiliki followesr. Sedang Influencer adalah mereka yang sudah memiliki pengikut atau followers.
Buzzer muncul di Indonesia sejak sekitar tahun 2006. Saat itu sudah banyak orang yang bergerak menjalankan jasa sebagai buzzer. Tapi kepentingannya saat itu lebih pada strategi komunikasi pemasaran sebuah brand. Kegiatan-kegitan marketing dan Public Relations menggunakan buzzer sebagai orang ketiga untuk membangun pencitraan produk. Melalui orang ketiga, mereka menceritakan sisi positif dari sebuah produk. Berkaitan dengan metode tersebut dalam kegiatan Public Relations khususnya, Silih dan Macnamara mengatakan bahwa dalam konteks PR, hasil buzzword menjadi sangat penting ketika dikaitkan dengan audiens target.
Dalam kontes yang lebih luas, inilah apa yang disebut oleh Breakenridge (Buku PR 2.0, New Media, New Tools, New audiences. FT Press, 2008), sebuah situasai dimana audiensi target sudah menjadi narasumber informasi itu sendiri. Kegiatan public sudah berubah, dimana sebagian besar lebih cenderung mendengarkan perbincangan yang terjadi diantara mereka sendiri. Mereka menciptakan kata-katanya sendiri, pemahaman sendiri dan terutama yang dihasilkan oleh komunitas mereka sendiri. Itulah kata-kata mereka. Menyingkatnya dengan istilah Buzzword (2010:396).
Hal ini juga yang terjadi dalam konteks politik. Para politisi menggunakan buzzer sebagai orang ketiga. Buzzer menggunakan bahasa mereka sendiri untuk mempromosikan politisi dukungan mereka ataupun yang membayar mereka dengan menggunakan bahasa tidak seragam, bercampur antara bahasa public relations dan marketing. Dengan penceritaan oleh orang ketiga tersebut, mereka tidak hanya pandai menyampaikan tetapi juga menguasai ‘product knowledge’, mereka menjadi narasumber-narasumber baru yang mandiri, menyampaikan informasi politisi yang mereka idolakan. Materi yang mereka sampaikan di media sosial sangat beragam, dari mulai ketokohan, argumentasi, rekam jejak, kegiatan-kegiatan harian,dan lain sebagainya.
Menurut Silih (2011:118), orang ketiga dalam public pelations politik sengaja diciptakan sebagai penyampai pesan utama. Oleh karena itu, buzzword tepat berdiri sebagai public relations, sementara iklan politik yang disampaikan orang ketiga dijadikan sebagai pemberi testimoni. Orang ketiga dalam buzz public relations berbicara berdasarkan keyakinan dan kompetensi orang tersebut, mereka berdiri di atas komunitas sosialnya. Mereka berbicara dari sudut pandangnya sendiri terhadap kapabiltas politisi. Dalam hal ini peran mereka sebagai buzzer mensinergikan antara panggung, actor, dan peran yang harus dimainkan.
Panggung merupakan tempat-tempat social; Media massa, media sosial, atau kelompok target audiens. Sedangkan aktor adalah orang-orang yang bisa kita jadikan juru bicara tidak resmi, dan mereka memiliki visi dan kepentingan yang sama. Buzzer dalam hal ini menjadi aktor yang memainkan peran di segala ruang di atas; media massa, sosial media, atau kelompok target audiens. Dalam konteks politik siber (cyber politic), buzz public relations lebih banyak dilakukan oleh orang ketiga melalui media sosial baik blog, jejaring sosial, forum, video sharing, microblog, atau pun instagram. Orang ketiga tersebut, selain isi pesannya beragam, mereka juga berasal dari berbagai latar belakang, budaya, agama, pendidikan. Mereka disatukan oleh visi yang sama tanpa terhambat oleh jarak.
2. KLASIFIKASI BUZZER
Menurut Dudi Rustandi (2014: 54) kegiatan buzzing dapat diklasifikasikan sebagai buzz berbayar atau dalam konteks komunikasi konvensional dapat disebut sebagai iklan. Juga ada buzz gratis sebagaimana halnya world of mouth dalam pemasaran konvensional. Di samping itu, proses kemunculannya ada yang disengaja, tidak disengaja, ada yang dikoordinir juga tak terorganisasi tapi muncul begitu saja sebagai gerakan populis.
Iklan sendiri bermetamorfosis menjadi bentuk lain seperti infobiz atau advertorial yang hampir serupa dengan publikasi dalam media konvensional. Namun untuk buzz sendiri tidak bisa dilacak apakah sebagai iklan atau publikasi berbayar atau bukan. Karena tidak menggunakan kode khusus seperti halnya advertorial dalam media konvensional. Dengan pengertian buzz sebagai sebuah percakapan atau dengungan. Inti dari buzz adalah bagaimana agar produk atau program dari suatu lembaga diceritakan oleh pihak lain. Tujuan penceritaan tersebut adalah agar produk atau program lembaganya dikenal oleh audiens atau konsumen.
Metode yang digunakan oleh pihak manajemen perusahaan untuk mengenalkan produk dan lembaga mereka agar diceritakan oleh banyak orang dengan berbagai cara. Bisa dengan kegiatan yang kontroversial, undangan kepada para blogger atau mereka yang aktif di media sosial agar bisa diceritakan oleh mereka. Menceritakan sebanyak-banyaknya pengalaman mereka agar bisa dibaca oleh netizen yang berada dalam jejaringnya.
Buzz berbayar, misalnya dapat dicermati dari akun-akun populer yang memiliki banyak follower di twitterland. Akun tersebut bisa berupa akun yang dikelola secara profesional dalam bentuk usaha informasi seperti halnya media mainstream. Bisa juga oleh akun populer yang dikelola secara personal atau team tapi belum profesional.
Sebagai media yang difungsikan untuk menceritakan produk atau program, karakter yang dimunculkan oleh buzzer berbayar tersebut berbeda dengan iklan yang dimunculkan oleh media mainstream. Karakter ‘iklan’nya tidak menunjukan diri sebagai iklan tapi sebagai cerita yang mengalir seolah-olah tanpa beban ‘iklan’. Karena struktur kalimat dari twit sejak awal sudah dikonstruk sebagai promosi/iklan, maka kesan yang muncul dalam twitter sebut sebagai iklan.
Sementara buzz, kalimat yang dimunculkan dalam setiap kicauan tidak dikonstruk sebagai promosi, tetapi sebagai sebuah pengalaman, cerita yang mengalir saat berhubungan dengan sebuah program, produk, atau kegiatan lembaga, maka konstruksi kesan pun tidak mengarah kepada iklan saat ada kalimat promo yang muncul. Inilah yang membedakan buzz dengan iklan. Oleh karena itu, buzz dalam media konvensional dapat dipastikan sama dengan publikasi. (Dudi Rustandi, 2014: 55-56)
3. STRATEGI BUZZING
Menyangkut proses keseluruhan bagaimana tujuan buzzing tercapai. Dudi Rustandi (2014:56) mengutif Silih dan Jim dalam buku ‘Strategi Public Relations’ menilainya cukup sederhana. Menurutnya stretegi Buzzing dilakukan melalui kombinasi antara Character, Consideration, dan Communication. Character merupakan komunitas dimana audiensi target berkembang dan merasa nyaman, consideration adalah pertimbangan masyarakat untuk mengambil keputusan ataupun mengubah pendapat, dan communication adalah pola komunikasi di antara komunitas utama, komunitas pendukung dan masyarakat dalam arti luas (Silih & Jim, 2010: 397).
Silih dan Jim mencontohkan secara praktis bagaimana buzzing bekerja. Menurutnya, secara simple titik buzzing terbagi dua, yaitu Pertama, Main Buzz Spot, yaitu titik-titik yang melestarikan terjadinya sebuah pendapat. Main Buzz Spot, yaitu titik-titik pendukung yang bisa dijadikan “perantara” buzz hingga mampu mengubah persepsi audiensi target. Kedua, Buzz point adalah titik-titik sosial yang mampu menciptakan pembicaraan. Pembicaraan itu akan menular ke anggota komunitas hingga ke luar anggota komunitas.
Titik-titik di atas diterjemahkan oleh Silih dan Jim sebagai berikut :
Komunitas kelas menengah yang mudah terpengaruhi,
Orang-orang yang dijadikan referensi oleh kelas menengah,
Lokasi representative tempat terjadinya pertemuan mereka yang mampu membuat keterpengaruhan kelas menengah oleh referens.
Di era siber, buzzer tidak hanya diciptakan lembaga laba; perusahaan atau industry, tapi juga diciptakan oleh politisi, parpol, pemerintah untuk kepentingan politik dan pencitraannnya. Lembaga laba; perusahaan atau industry menggunakan buzzer untuk mengetahui dan faham suara-suara tentang produk yang sedang ada di pasaran. Jika suara-suara sumbang yang muncul, perusahaan bisa cepat mengantisipasinya. Menurut Silih, suara tersebut bisa seperti rayap yang bisa menggerogoti reputasi perusahaan. Namun jika suara positive, bisa lebih didorong lebih jauh. Sehingga bisa menghasilkan dengungan yang positif. Inilah yang dilakukan oleh beberapa perusahaan multinasional seperti KFC, Toyota, Honda, Yamaha, atau dalam politik, metode ini pula yang digunakan para politisi, partai politik, lembaga politik lainnya, maupun pemerintah.
4. METODE BERKAITAN DENGAN CARA MELAKUKAN BUZZING
Di era informasi, media siber menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia, bahkan bisa dikatakan menjadi jantungnya informasi manusia. Saat semua individu atau lembaga menyadarinya, konten-konten tersebut tidak hanya diciptakan oleh seseorang yang senang berbagi/bercerita saat berhubungan dengan produk yang muncul tanpa terstruktur, tanpa terencana. Namun juga sengaja diciptakan oleh organisasi secara terstruktur dan terancana untuk mengenalkan sekaligus membangun citra produk. Mereka tidak hanya menggunakan konsultan media, PR tetapi juga menghimpun komunitas agar organisasi beserta produknya diceritakan oleh blogger, facebooker, atau yang aktif ngetwit.
Buzzing dilakukan dengan beragam cara, baik dari sisi penceritaan atau media yang digunakan. Tujuan buzzing sendiri adalah agar produk atau program cepat dikenal oleh konsumen. Bukan hanya dikenal, penceritaan melalui orang terpecaya atau oleh oleh banyak orang di dunia maya akan mendorong seseorang untuk mengenal, mengetahui, faham, butuh, hingga pada akhirnya melakukan pengambilan keputusan untuk menggunakan produk atau program yang diceritakan oleh orang lain.
Dengan menggunakan tanda pagar (hastag) tertentu, produk akan dikenal dengan mudah oleh para peselancar media siber. Hastag sendiri menyebar karena sifat keterjangkauan dan koneksi pesan yang saling menerpa. Secara umum tanda pagar atau tag merupakan kata kunci yang digunakan agar lebih memudahkan saat pencarian suatu produk. Saat peselancar dunia maya mencari kata kunci yang dimaksudkan maka akan mengarah pada tagar yang telah ditulis oleh banyak pengguna media sosial aktif.
PEMBAHASAN
1. BUZZER POLITIK

Buzzer awalnya sebuah profesi yang legal atau bias dimaknai secara netral karena digunakan untuk kepentingan promosi brand atau produk. Buzzer bekerja untuk kepentingan pemasaran dari produk atau brand untuk menaikkan citra produk tersebut. Buzzer seperti itu, bergerak transparan dan menjaga akuntabilitas. Mereka merupakan influencer yang jelas, memiliki spesialisasi, memiliki jaringan luas dan mampu memengaruhi persepsi publik untuk sebuah brand atau produk.
Buzzer yang disponsori oleh brand atau produk, dituntut jujur dengan kontennya, dimana dia akan menyatakan pesan itu disponsori sebuah brand A atau B. Dan itu semuanya bernuansa positif Karena itu kepentingan membangun brand image. Kini, penggunaan buzzer makin luas, sudah masuk ke ranah politik. Buzzer marak digunakan di dunia politik. Para buzzing sukarela ataupun berbayar digerakan secara terstruktur oleh para politisi, parpol, tak tercuali pula pemerintah.
Buzzer mulai terlibat dalam dunia politik pada Pemilihan Gubernur Jakarta 2012. Pada saat itu, pasangan calon gubernur DKI Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama atau paling dikenal dengan panggilan Ahok membentuk relawan politik yang bernama JASMEV atau Jokowi Advanced Sosial. JASMEV berperan sebagai team kampanye yang mengambil segmentasi khusus bergerak di media sosial mengkampanyekan Joko Widodo sejak menjadi calon gubernur DKI Jakarta sampai menjelang pencalonnya sebagai Presiden tahun 2014 lalu.
Seperti diketahui, popularitas Joko Widodo selain karena dukungan yang penuh dari media massa juga adanya pasukan cyber atau buzzer yang dikelola langsung oleh JASMEV untuk mengampanyekan sosok Joko Widodo. Jasmev tidak hanya melakukan kampanye atau publikasi politik secara terpusat pada pendukung Jokowi saja, tetapi menularkan pengaruh terhadap pengguna media sosial lainnya. Sehingga kampanye kampanye atau publikasi politik yang dilakukan tidak terkesan berasal dari team pendukung Jokowi, tetapi dari masyarakat umum.
Kesannya menjadi kuat jika Jokowi benar-benar diinginkan menjadi Presiden oleh seluruh rakyat Indonesia. Joko Widodo yang memiliki kapasitas sebagai walikota dibuatkan panggung agar memiliki kapasitas sebagai gubernur oleh orang ketiga/buzzer, dan setelah menjadi gubernur dibuatkan panggung agar ia memiliki kapasitas sebagai Presiden. Panggung yang dimaksud adalah beragam publikasi yang dikaitkan dengan Joko Widodo; harapan, pernyataan, ulasan ketokohan, rekam jejak, prestasi, atau latar belakangnya.
Pakar politik dan media di Universitas Nasional Australia, Ross Tapsell mengatakan sudah menjadi hal yang biasa bagi kandidat di Asia Tenggara untuk mempekerjakan ahli strategi kampanye online, kemudian memanfaatkan sekumpulan orang untuk menyebarkan konten di media sosial. Misal, pada Maret 2019 lalu menjelang pemilihan presiden, lebih dari selusin anggota tim buzzer politik, konsultan media sosial, dan pakar dunia maya menggambarkan serangkaian operasi media sosial yang untuk menyebarkan propaganda atas nama para kandidat presiden.
Tiga buzzer politik yang terlibat langsung dalam kampanye di media sosial menyebutkan bahwa mereka mengoperasikan ratusan akun media sosial yang dipersonalisasi masing-masing atas nama para kandidat. Meskipun satu tim membantah menyebarkan berita palsu, namun dua mengatakan mereka tidak peduli dengan keakuratan konten yang mereka sebarkan. Akan tetapi, kedua tim kampanye kandidat presiden membantah menggunakan buzzer atau menyebarkan berita palsu sebagai bagian dari strategi kampanye mereka.
Buzz dan buzzing politik begitu berperan penting dalam membentuk opini dan wacana di media social. Kehadiran buzzer Politik diprediksi bakal lebih berpengaruh ketimbang politisi konvensional untuk menggemakan isu-isu politik di masa depan, terutama di media sosial. Lanskap politik di Indonesia saat ini dan mendatang akan dipengaruhi kekuatan buzzer. Fenomena buzzer tak bisa dilihat secara parsial. Mereka tak bekerja sendiri tapi merupakan bagian dari suatu industri buzzing yang melibatkan aktor-aktor lain.
Buzzer politik adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu. Singkatnya, buzzer adalah pelaku buzzing yang bertugas untuk membuat suara-suara bising seperti dengung lebah.
Buzzer politik diarahkan untuk melakukan pencitraan, mempromosikan, bahkan memasarkan politisi atau lembaga politik yang didukungnya dengan efektif dan efisien, sehingga dampaknya, bagaimana dukungan yang terus menguat baik terhadap figur politisi atau lembaga politik tersebut. Mereka menyebarkan pesannya lintas platform. Walaupun demikian, dalam perkembangannya, Twitter dipilih sebagai media buzzer karena mikroblogging itu memiliki sifat virality atau aliran isu yang bisa mengubah berbagai narasi dan opini banyak orang.
Buzzer politik tak selalu akun palsu tapi bisa juga akun orang nyata yang memiliki jaringan luas, mampu memproduksi konten, dan piawai melibatkan akun lain secara persuasif. Motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer, yaitu; Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.
Tapi, tak memungkiri banyak buzzer politik yang selama ini berkeliaran di media sosial menerima bayaran, baik itu dari agen maupun langsung dari tokoh politik. Namun, tak sedikit pula buzzer yang bekerja sukarela. Buzzer politik yang bergerak sukarela, lebih digerakkan oleh kepuasan jika berhasil memviralkan isu tertentu. Mereka tak melihat uang sebagai tujuan. Sementara itu, buzzer berbayar biasanya menerima pesanan isu tertentu untuk disebarkan di media sosial. Dia bertugas mempengaruhi atau mengarahkan sudut pandang warganet ke opini tertentu.
Sejak Pilgub DKI 2012 lalu sampai sekarang, dinamika dan hiruk pikuk buzzer politik lebih terasa di ruang-ruang media sosial. Iklan politik yang disampaikan melalui buzz dengan menggunakan bahasa yang sangat halus sampai yang kasar (vulgar). Saling sindir, saling lempar isu, kampanye politik, kampanye negatif, kampanye hitam, twitwar, dan tagar menjadi hal yang banyak dilakukan oleh para baser.
a. Ciri-ciri Buzzer Politik
Seorang buzzer politik biasanya dikenal sebagai orang yang cakap bermedia social, bahkan punya kemampuan tinggi meretas situs-situs media, termasuk menghack akun akun media social serta memiliki jaringan yang sangat luas. Saking luasnya, biasanya para buzzer ini memiliki sumber informasi A1, alias terpercaya. Para buzzer politik juga dikenal sebagai orang yang melek isu. Mereka bisa dengan cepat membuat konten berdasarkan isu yang sedang marak saat ini. Oleh karena dibutuhkan untuk meyakinkan ratusan, bahkan jutaan orang.
b. Cara Kerja Buzzer Politik
Tugas buzzer politik adalah membingkai dan mengamplifikasi isu-isu politik tertentu untuk kepentingan klienya. Tujuannya tentu saja mempromosikan para politisi, partai politik termasuk mengkampanyekan kebijakan politik tertentu. Mereka bekerja untuk menggiring opini publik melalui akun-akun media berdasarkan permintaan klien. BuzzerRp akan membela mati-matian kepentingan kliennya. Memuji-muji klienya dan menghancurkan lawan-lawan yang berbeda pendapat.
Buzzer politik yang sudah profesional biasanya terorganisir. Mereka bekerja dengan merancang isu tertentu yang harus didengungkan ke publik lewat media sosial. Biasanya mereka sudah memetakan siapa saja orang yang bisa menjadi perantara pesan itu agar mendengung dan viral. Buzzer juga mengatur bagaimana proses penyebaran pesan tersebut dengan melalui tools-tools atau bot yang mereka punya.
Para buzzer politik memilih pemberitaan yang mendukung pembingkaian isu politik yang mereka lakukan. Mengolahnya menjadi berbagai bentuk pesan, baik narasi maupun propaganda. Bentuknya tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga gambar, video maupun meme. Ini merupakan strategi untuk memenangkan perang informasi.
Adapun Strategi Buzzer kerja buzzer politik sebagai berikut :
Berkicau dengan tagar serta membangun percakapan, baik secara alami maupun rekayasa;
Membuat atau memanfaatkan situs berita untuk meningkatkan kredibilitas konten;
Memanfaatan jaringan yang dimiliki buzzer dan aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp dan Telegram untuk menyebarkan konten.
Strategi para buzzer politik saat ini sudah semakin mutakhir. Ada kalanya mereka dibagi dalam kelompok-kelompok berbeda untuk melakukan simulasi adu argumentasi, untuk memperlebar percakapan dan menciptakan atmosfer yang heboh. Pada titik inilah, pendengung sudah menjadi industri. Penyebaran hoax, ujaran kebencian, serta SARA juga menjadi strategi yang dihalalkan oleh sebagian pemain.
c. Cara Buzzer Politik Direkrut
Meskipun kerja buzzer politik tampak sepele, perekrutan mereka, khususnya buzzer politik berbayar, membutuhkan seleksi berjenjang. Berdasarkan penelitian CIPG, seorang calon buzzer politik berbayar pertama kali akan dijaring melalui media sosial. Pada tahap ini, perekrut akan memantau suatu akun, tak hanya berdasarkan jumlah pengikut tapi juga keterlibatan aktifnya (engaging).
Selanjutnya, akun atau si calon buzzer itu akan dimasukkan ke grup percakapan daring, biasanya WhatsApp atau Telegram. Di sini, ia dipantau keaktifannya. Jika lolos tahap kedua di atas, ia akan melaju ke tahap selanjutnya. Si perekrut akan memasukkanya ke grup percakapan lain.
Jika si calon buzzer tetap menunjukkan keaktifan, si perekrut akan mengundangnya dalam sebuah pertemuan tatap muka. Tawar-menawar harga pun terjadi dan resmilah akun atau orang tersebut menjadi buzzer.
Adapun Pola Rekrutmen Buzzer politik sebagai berikut:
Media Sosial Pemantauan akun yang aktif di media sosial seperti retweet, share dan like.
Group Chat 1 Seleksi akun yang aktif di media sosial. Akun yang aktif dimasukkan ke dalam grup chat 1, biasanya memanfaatkan WhatsApp dan Telegram.
Group Chat 2 Seleksi akun yang paling aktif di grup Chat 1. Akun yang paling aktif dimasukkan ke grup Chat 2.
Pertemuan Tatap Muka Individu dengan akun paling aktif yang sudah terjaring di grup chat 2 diundang dalam pertemuan tatap muka dengan koordinator buzzer. Buzzer terpilih.
Selain cara di atas, buzzer bisa direkrut secara konvensional. Agensi atau biro komunikasi memetakan dan mencari akun buzzer yang sesuai dengan kebutuhannya. Atau bisa juga mengumumkan lowongan untuk menjadi buzzer untuk agenda politik atau isu tertentu.
2. BUZZER POLITIK BERBAYAR (BUZZER RP)
Buzzer politik berbayar (buzzerRp) adalah penyuara politik yang dibayar melalui akun-akun di media sosial yang umumnya adalah akun-akun anonym (akun palsu). Dengan kata kelompok yang tak jelas siapa identitasnya atau biasa disebut dengan istilah ‘cybertroops’. Namun juga ada yang terang-terangan menunjukan identitas diri mereka.
Buzzer politik berbayar digunakan untuk melakukan 'pemasaran' politik. Mereka menjadikan platform media sosial sebagai wadah untuk menyebar berita, informasi politik untuk kepentingan kliennya. Apa yang mereka unggah jadi isu yang kemudian berkembang. BuzzerRp tidak berkicau untuk didengar, tetapi untuk uang alias berbayar. Dengan kata lain, buzzerRp bergerak sesuai keinginan klienya atau digerakkan oleh pihak tertentu. Cara menyuarakannya pun bisa secara langsung atau secara anonim..
Dilansir dari berbagai sumber media, pekerjaan buzzer berbayar (buzzer RP) ini merupakan sebuah pekerjaan yang dibayar perbulan. Perkiraan bayarannya pun mulai dari Rp50 juta hingga Rp100 juta untuk tiap proyek isu. Dari uang tersebut akan dibagi-bagi kepada para Buzzer RP yang bekerja. Per orang pun akan mendapatkan gaji Rp3,5 juta hingga Rp5 juta. Ada koordinator yang bekerja dengan gaji Rp6 juta. Sementara sumber lain mengatakan bahwa Buzzer RP bisa juga digaji Rp2 juta per satu paket nge-tweet.
a. Tipologi BuzzerRp
Isu mengenai BuzzerRp atau buzzer politik berbayar mencuat di dalam perpolitikan Indonesia setelah masifnya penggunaan media social sebagai media dalam komunikasi politik di era modern. Selain menggunakan simpatisan sebagai pihak ketiga dalam mengkampanyekan kepentingan politik mereka, para politisi, parpol, atau lembaga politik lainnya juga melakukan kegiatan buzzing, yaitu menggunakan buzzerRp atau buzzer berbayar yang dikelolah secara teroganisir. Mereka dibuatkan grup-grup di akun media sosial media yang dikelolah secara teroganisir dan tersebar di seluruh Indonesia.
Melalui grup-grup di akun media social tersebut, buzzerRp menyebarkan propaganda politik melalui berbagai tautan tulisan berbagai blog/web/ atau melaui status-status facebook serta twit. Propaganda mereka tidak hanya ditujukan untuk mengkampanyekan kepentingan politik klienya tapi juga menyerang kubu yang berseberangan dengan kepentingan kliennya.
Sebagai strategi politik, tidak sedikit para politisi, parpol ataupun lembaga politik lainnya membuat team buzzer berbeda-beda secara peran untuk melakukan kampanye dan publikasi politik yaitu ada yang ditugaskan melakukan negative campaign, defensive campaign, dan offensive campaign. Umumnya, buzzerRp tidak memiliki identitas yang identik di dalam akun-akun media sosialnya, dengan kata lain data indentitasnya tidak jelas alias akun palsu. Hal inilah yang menjadi kontroversi, sehingga setiap perkataan BuzzerRp tidak bisa dipertanggungjawabkan dan sulit untuk diketahui siapa yang menulis di akun-akun tersebut.
BuzzerRp ini mirip Petrus (Penembak Misterius) pada zaman Orde Baru (Orba). Petrus yang di mana kita tak pernah tahu siapa pelakunya dan juga tidak pernah ada informasi yang terungkap mengenai ini. Nah, Jika kita kaitkan dengan BuzzerRp hal ini memiliki kemiripan hanya saja ini dalam konteks platform dan zaman yang berbeda. Petrus dan BuzzerRp sama-sama tidak ketahui identitasnya dan juga memiliki aura yang sama yaitu menghantui dan menakut-nakuti. BuzzerRp lebih menakut-nakuti orang untuk bebas berpendapat di media sosial dengan menyerang dan menjatuhkan citra pemilik akun, bahkan juga tidak segan memfitnah pemilik akun tersebut.
BuzzerRp menjadi alat propaganda politik melalui berbagai bentuk kampanye dan promosi politik yang dituliskan melalui media social untuk menghasilkan, mempertahankan, memperbaiki, dan mengubah realitas. Dengan demikian, realitas yang diciptakannya merupakan hasil ciptaan melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Sehingga menjadi wajar jika pada akhirnya muncul istilah ‘pencitraan’.
1. Pertama dissemanator, biasanya menyebar informasi harian, polanya berbagi dan terkoneksi satu sama lain dengan tujuan agar ide, ajakan atau sikapnya diketahui dan bisa diikuti orang lain.
2. Kedua publicst, biasanya membangun citra positif untuk tujuan popularitas dengan kontestasi politik, misalnya pemasaran politik melalui media sosial.
3. Ketiga propagandist, senantiasa mempraktikkan teknik-teknik propaganda guna kepentingan delegitimasi lawan sekaligus memperkuat legitimasi dirinya lewat internet. Keempat hactivist, yaitu aktivitas utamanya adalah meretas dan membobol akun, situas maupun informasi berbasis internet lainnya.
Melihat dari tipologi yang disebutkan di atas rasa-rasanya kepentingan BuzzerRp lebih digunakan untuk ke tipologi propagandis yang bersifat selalu negatif dan menyerang dalam konteks politik kepada pihak-pihak lawan politiknya. Sampai saat ini, ‘perang’ Akun-akun media sosial yang berafiliasi terhadap para politisi, parpol, dan lembaga politik lainnya masih terus berlangsung. Di samping akun-akun yang terafiliasi tersebut terdapat juga akun-akun yang dikelola secara komunal yang menjadi bagian dari kepentingan politik pencitraan. Di samping akun tersebut, tersebar ribuan akun individu yang menjadi bagian dari buzzerRp para politisi.
Kehadiran buzzerRp atau buzzer politik berbayar sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari konteks Pilkada DKI 2012 lalu, dan puncaknya pada pilpres tahun 2019 lalu yang dipenuhi dengan "propaganda politik” dengan menebar kebohongan politik atau janji-janji politik yang sangat sulit dipenuhi. Kebohongan ini memang sengaja diciptakan dengan maksud mempengaruhi opini publik. Propaganda seperti itu dikembangkan berdasar teori Paul Joseph Goebbels, seorang menteri penerangan dan propaganda Jerman era Nazi Hitler. Kata-katanya yang terkenal adalah kebohongan yang dikampanyekan secara terus menerus dan sistematis akan diterima sebagai "kebenaran."
Propaganda politik melalui kampanye hoaks begitu massif memenuhi media sosial sepanjang pemilu presiden tahun 2019. Para buzzerRp diorganisir secara terstruktur dan massif membangun isu-isu politik untuk mempengaruhi opini masyarakat. Propaganda politik yang dilakukan oleh para buzzerRp di media sosial sifatnya mendangkalkan pikiran melalui pesan-pesan yang diciptakan secara terus menerus.
Pasca pilpres 2019, perang buzz tersebut terus berlanjut hingga saat ini dalam metode dan bentuk pergerakan yang lebih agresif, terstruktur, terdistribusi dan masif. Buzzer bayaran tersebut makin mendominasi media sosial, dengan menyebar fitnah, ujaran kebencian, dan hoax melalui saluran media sosial sambil "menyerang" pihak lawan. Tentunya hal ini sangat berpotensi membuat kegaduhan politik.
2. BuzzerRp Ancaman Politik dan Demokrasi di Indonesia
Sekarang ini, membayar pendengung untuk kepentingan politik dan pencitraan merupakan hal yang lumrah. Para politisi, parpol, atau lembaga politik lainnya memanfaatkan jasa pendengung untuk menjalankan 'promosi' politik. Bahkan masyarakat mensiyalir pemerintah memelihara buzzerRp yang dibantu media melawan masyarakat; aktivis dan tokoh yang menyerang kebijakan pemerintah.
Keterlibatan buzzerRp dalam isu-isu politik menjadi sebuah ancaman dalam kehidupan politik dan demokrasi di negara kita. Musababnya, buzzerRp telah menjelma sebagai makhluk politik yang kerap terlibat dalam penyebaran informasi palsu, hasutan, membelokkan isu, dan bahkan menciptakan skenario ribut. Bahkan perilaku buzzerRp kerap menimbulkan rasa takut dan cemas kepada public dalam menyampaikan pendapat di media sosial.
Tentunya kemunculan buzzerRp akan mengancam kehidupan demokrasi. Karena dari sudut pandang demokrasi sendiri, bahwa berpendapat itu adalah hak individu warga negara yang harus dilindungi. Mengingat demokrasi seharusnya membuat warga semakin tenang dan nyaman menyatakan pendapatnya bukan membuat warga memiliki rasa takut untuk berpendapat. Media sosial merupakan ruang publik terbuka yang membebaskan setiap orang untuk mengunggah atau berkomentar terhadap suatu peristiwa, termasuk pada pemerintah. walaupun dalam hal ini “bebas” yang dimaksud tetap dalam koridor norma-norma sosial yang berlaku.
Dalam iklim demokrasi, keberadaan buzzerRp itu menunjukkan dua hal penting. Pertama, kualitas demokrasi yang semakin turun karena tak ada lagi debat terbuka tentang suatu isu. Kedua, demokrasi yang semakin kompetitif. Lebih lanjut, keberadaan para buzzerRp tersebut juga sangat mengganggu karena kerap kali mereka tak memahami substansi yang dikritik. Akibatnya, serangan yang muncul cenderung destruktif. Ini sangat menggangu karena mereka tidak tahu konten atau substansi apa yang dikritik.
BuzzerRp akan agresif jika klien, tokoh atau politisi yang membayaranya diserang maka para buzzerRp akan mati-matian membela. Hal ini, menunjukkan, mereka hanya meyakini kebenaran dari bagian yang mereka sukai atau pun yang membayar mereka. Tentunya, Ini jauh dari asas demokrasi, sangat tidak sehat dan sangat merugikan iklim demokrasi di negara kita.
Masyarakat menilai bahwa fenomena buzzerRp sangat unik. Sebelumnya, tidak dikenal ada istilah pendengung politik berbayar alias buzzerRp. Padahal di masa pemerintahan sebelumnya, internet dan sosial media sudah meriah. Meskipun tidak semeriah di negara-negara maju saat itu. Sosial media digunakan masih sebatas untuk informasi online yang digunakan oleh media cetak demi memperluas jangkauan readers dan juga orang-orang tertentu yang menggunakan fitur-fitur internet pada keperluan publikasi dan promosi politik bisnis dan ada juga dalam dunia pendidikan.
Tetapi masa sekarang ini khususnya di era pemerintahan Jokowi, istilah buzzerRp menjadi trend. Sebab, sebuah fakta terungkap bahwa sederetan pendukung pemerintah dan elite elite tertentu bukan hanya bekerja di dunia nyata, melainkan di dunia maya. Bahkan dikabarkan, 1 buzzer politik bisa memiliki lebih dari satu akun dengan identitas yang berbeda alias palsu.
Para buzzerRp ini biasanya menyebar isu politik untuk kepentingan penguasa ataupun elite elite tertentu. mereka bergerak aktif melawan nitizen yang mengkritik, melawan elite, politisi atau pejabat yang membayaranya. Cuitan-cuitan mereka banyak mengandung kebohongan dan acapkali mengundang perpecahan. Di sisi lain, para buzzerRp pun menyebarkan narasi-narasi yang berseberangan dengan yang diperjuangkan masyarakat sipil.
Kehadiran para buzzerRp merusak tatanan demokrasi di negeri ini. Mereka membungkam kebebasan berpendapat masyarakat di media sosial. Sebab serangan serangan buzzerRp selalu ditujukkan pada akun-akun yang sering mengkritik, mengoreksi elite, politisi, ataupun kebijakan dan aturan yang dibuat pemerintah.
Tak dipungkiri, hadirnya para buzzerRp juga karena demokrasi yang ditunggangi kapitalis untuk kepentingan kekuasaan. Tak pelak, masyarakat menuduh para buzzerRp adalah sampah demokrasi yang kerap menebar fitnah, ujaran kebencian dan hoax. Dan tak segan merusak nama orang. Selain itu, media massa ikut memberi ruang bagi para buzzerRp. Kehadiran mereka telah merusak pondasi demokrasi, mempabrikasi kebohongan, memecah belah warga negara.
Masyarakat menilai, pemerintah memiliki andil berkembangnya buzzerRp di media sosial sekarang ini. Beberapa kasus represi di dunia maya terhadap masyarakat, tokoh politik, penggiat demokrasi yang mengkritik pemerintah atau elite pejabat tertentu diduga terkait dengan pendengung politik. Meski tak bisa dibuktikan, namun serangan buzzerRp yang membabi-buta terhadap mereka yang mengkritik pemerintah erat dengan kaitanya dengan pemerintah ataupun elite-elite tertentu.
Seperti diketahui, pasca Pemilu 2019, para pendengung politik berbayar ini kembali jadi perbincangan karena mereka bergerak aktif melawan mereka yang mengkritik, melawan atau menolak kebijakan pemerintah. Misal, kritik mahasiswa hingga para tokoh masyarakat tentang UU KPK. Beberapa hal yang menjadi tuntutan masyarakat sipil adalah mencabut UU KPK hasil revisi dan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi. Kemudian menolak pelemahan pemberantasan korupsi, RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, RUU Sumber Daya Air, RUU Ketenagakerjaan. Selain itu, mereka juga mendesak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hingga tuntaskan berbagai kebakaran hutan dan lahan.
Ada pula kasus pendengung politik berbayar ini, menimpa Stand-up komedian Bintang Emon. Bintang Emon mendapat serangan di media sosial usai mengomentari kasus penyiraman air keras ke wajah penyidik KPK Novel Baswedan melalui tayangan video. Dalam video yang diunggah ke akun medsos pribadinya, Bintang menyindir alasan ketidaksengajaan di balik tuntutan satu tahun penjara pada terdakwa penyiram Novel. Ia mempertanyakan alasan penyiraman air keras yang tidak sengaja namun justru mengenai mata Novel.
Imbasnya, muncul serangan buzzerRp di medsos berupa meme berisi keterangan Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Meme itu diunggah sejumlah akun anonim dengan narasi yang seragam, menuding Komika itu mengonsumsi sabu.Peristiwa itu sontak mengundang reaksi dari warganet. Bintang pun sempat mengunci sejumlah akun medsosnya, meski belakangan telah dibuka kembali.
Buntut dari peristiwa tersebut, DPR meminta pemerintah turun tangan menertibkan buzzer yang diduga menyerang Bintang. Sebagai warga negara, Bintang dinilai tak boleh mendapat ancaman hanya karena mengkritik pemerintah. Padahal Padahal kritikan yang disampaikan Bintang tak lebih dari kritikan khas anak muda yang semestinya dihargai. Dan kritik itu seharusnya dibalas pula dengan kritik.
Tak cuma Bintang, serangan berupa peretasan akun medsos juga sempat menimpa sejumlah aktivis secara masif. Terutama mereka yang selama ini vokal mengkritik RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Korban peretasan yang dimaksud antara lain Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Fajar Adi Nugroho, dan peneliti SAFENet Damar Juniarto.
Tak hanya itu, masih banyak kasus-kasus kriminalisasi aktivis pengkritik pemerintah yang diduga lewat represi di dunia maya lainnya. Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Wasisto Jati menilai keberadaan buzzerRp yang menyerang akun medsos belakangan ini telah mencederai demokrasi di Indonesia. Serangan umumnya menimpa mereka yang mengkritik pemerintah.
Masyarakat mensiyalir pemerintah menggunakan pendengung politik berbayar (buzzerRp) untuk menyerang akun-akun yang sering mengkritik pemerintah serta menggunakan buzzerRp untuk mengkampanyekan agenda politik, kebijakan dan program-program pemerintah. Namun hal tersebut dibantah pemerintah melalui Deputi V Kantor Staf Presiden Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM Jaleswari Pramodhawardani mengatakan bahwa pemerintah sama sekali tidak menggunakan buzzer, yang digunakan pemerintah adalah narasumber yang berpengaruh (influencer).
Menurut Jaleswari, pemerintah bekerja sama dengan influencer sebagai narasumber diskusi. Influencer yang digunakan adalah tokoh yang memiliki latar belakang pengetahuan, dan memiliki pengikut (followers) jutaan atau ratus ribuan orang. Pemerintah tidak menggunakan buzzer untuk mendengungkan isu berdasarkan pesanan.
Lebih lanjut Jaleswari, menjelaskan bahwa mereka menggunakan influencer yang berpengaruh yang memiliki kecakapan. Influencer ini, sesekali diakan mendiskusikan tentang isu-isu strategis. Oleh sebab itu, influencer sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam peran-peran penting membangun jaringan informasi yang berpengaruh terhadap aktivitas produktif sosial ekonomi dan politik.
SIMPULAN
Masyarakat dan khususnya pemerintah bisa melihat bahwa keberadaan buzzerRp ini menjadi masalah yang serius yang mengancam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Polarisasi yang terjadi akibat narasi keruh yang dibawa buzzerRp bisa menjadi bom waktu perpecahan di masyarakat. Maka dari itu, perlu adanya regulasi khusus yang mengatur fenomena buzzer ini agar tidak lagi meresahkan.
Sebelum berdampak terlalu jauh, masyarakat dan khususnya pemerintah harus segera melakukan penertiban pasukan buzzer politik ini. Ada pengaturan legal yang mengikat buzzer politik, selayaknya buzzer untuk mendukung promosi brand atau produk.
Tentunya pihak pemerintah bisa menertibkan Buzzer tersebut untuk kepentingan negara agar tetap tegaknya pilar-pilar demokrasi, dalam hal ini kebabasan hak berpendapat. Maka Pengaturan secara legal perlu dilakukan agar mengetahui buzzer politik yang tersebar tersebut bekerja untuk siapa, dari agency apa ia berasal dan transparansi pendanaannya, serta penindakan jika konten yang disampaikan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Maka, perlunya Pemerintah segera merumuskan kebijakan yang lebih efektif untuk mengendalikan keberadaan buzzer politik, utamanya yang berbayar. Dengan adanya regulasi yang akuntabel dan transparan akan berdampak baik ke depan bagi ketertiban ruang daring dari noise-noise yang berdampak negatif, juga terutama ke penegakkan demokrasi di Indonesia karena akan meminimkan potensi perpecahan saat kontestasi demokrasi.
Upaya jangka panjang untuk melawan fenomena buzzerRp ini adalah dengan cara penumbuhan kedewasaan dan pencerdasan publik dalam bermedia. Karena Buzzer politik berbayar akan efektif dalam bekerja ketika masyarakat memiliki literasi digital yang rendah. Maka dari itu, edukasi-edukasi secara jangka panjang diperlukan baik dari pemangku kebijakan ataupun dimulai dari setiap individu masyarakat agar terus bijak dalam menyebarkan konten di media sosial.
Pencerdasan publik di tengah fenomena buzzer politik berbayar di media sosial perlu dilakukan untuk membangun jaringan pesan yang kuat untuk melawan buzzerRp yang melakukan manipulasi opini publik. Mayrakat diharapkan aktif bersuara melawan narasi negatif yang disebarkan buzzer di media sosial. Para Intelektual, akademisi, penggiat literasi informasi dan media digital perlu aktif memproduksi pengetahuan kepada publik supaya tercerahkan.
Rujukan
Tosepu, Yusrin Ahmad. 2018. Media Baru Dalam Komunikasi Politik (Komunikasi Politik di Dunia Virtual). Surabaya. CV Jakad Publishing.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200616072246-32-513675/kasus-bintang-emon-dan-fenomena-buzzer-di-ranah-politik.
https://www.wartaekonomi.co.id/read290185/apa-itu-buzzer-rp?page=2
https://today.line.me/id/v2/article/oYJDZW
https://www.kedaipena.com/daftar-lengkap-buzzerrp-dibongkar-rizal-ramli-sampah-demokrasi-kok-dipelihara/
https://tirto.id/apa-itu-buzzer-politik-arti-strategi-sejarah-dan-pola-rekrutmen-gaaE
Comments