Membahas mengenai pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Indonesia, adalah hal yang menarik dan tidak pernah selesai dibahas. Sebab, secara umum, masalah pendidikan adalah masalah yang amat mendasar dan berkait erat dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk sumberdaya manusia Indonesia seutuhnya.
Masyarakat menganggap bahwa perguruan tinggi memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan kehidupan. Selain itu, perguruan tinggi juga dirasakan telah banyak mengantarkan generasi muda berhasil mendapatkan pekerjaan.
Tidak sedikit generasi muda yang meraih sukses atas jasa institusi modern tersebut, menjadi politikus, pengusaha, pejabat pemerintah, tentara, polisi, hakim, jaksa, dan lain-lain. Sumbangan lembaga pendidikan tersebut terhadap kehidupan masyarakat baik di kota maupun khususnya masyarakat di pedesaan luar biasa besarnya.
Catatan keberhasilan tersebut, menjadikan masyarakat sedemikian percaya terhadap institusi perguruan tinggi . Mereka sanggup membayar berapa saja untuk membiayai anak-anaknya belajar di perguruan tinggi. Akhirnya perguruan tinggi, bagi masyarakat diyakini telah berperan sebagai dewa penolong bagi anak-anaknya yang berkeinginan memperbaiki kualitas hidupnya; menjadi pejabat, pegawai pemerintah, pekerja di bank, dan seterusnya.
Akan tetapi di balik keberhasilan itu, juga terdapat masyarakat yang justru amat kecewa dari kegagalan anak-anaknya setelah lama belajar di perguruan tinggi. Pada awalnya sedemikian optimis, anaknya akan berhasil. Namun yang diperoleh justru sebaliknya. Mereka telah berusaha, bekerja keras bahkan menjual apa saja yang dimiliki untuk mencukupi kebutuhan anaknya kuliah. Berharap semua yang dibayarkan akan kembali tatkala nanti anaknya nanti sukses dan memperoleh pekerjaan.
Akan tetapi, apa yang dibayangkan sedemikian indah itu ternyata tidak terwujud. Setelah selesai kuliah dan dinyatakan lulus, ijazah yang diperoleh oleh anaknya, sekalipun sudah berkirim surat lamaran ke mana-mana, ternyata belum berhasil mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, ia menjadi tidak jelas, sebagai pegawai bukan, berwirausaha pun juga tidak. Sebagian masyarakat beranggapan, perguruan tinggi bukan mensejahterakan orang, melainkan justru menjadikan orang pengangguran.
Nah, Itu hanya sekelumit kecil, penilaian masyarakat tentang realitas lulusan perguruan tinggi kita. Penulis mencatat bahwa permasalahan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, memang cukup banyak dan kompleks. Sehingga, dengan melihat berbagai permasalah pokok diatas, termasuk masalah relevansi pendidikan di perguruan tinggi tinggi dan kebutuhan dunia kerja.
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang belum menggembirakan. Pendidikan tinggi belum bisa menjadi faktor penting yang mampu melahirkan lulusan dengan orientasi job creating dan kemandirian.
Perguruan Tinggi belum sepenuhnya mampu melahirkan lulusan yang tentunya memiliki kompetensi/keahlian yang dibutuhkan masyarakat. Tentu banyak juga prestasi yang telah dicapai perguruan tinggi kita, akan tetapi gaung masalah ini lebih bergema dibanding deretan prestasi-prestasi.
Melihat hal ini, kita selalu dituntut untuk mencari akar masalahnya. Apakah akar masalahnya berada pada kurikulum dan literatur yang diberikan yang tidak terkoordinasi, akreditasi kelembagaan yang tidak terukur, tenaga pendidik yang belum terakreditasi, atau masalah lainnya. Dalam hal ini, setidaknya kita mencatat berbagai kendala mendasar yang ada dalam dunia pendidikan tinggi yaitu:
Pertama, masih rendahnya kualitas pendidik. Masalah ini merupakan persoalan krusial yang harus segera diatasi, karena akan berdampak signifikan terhadap lulusan yang dihasilkan. Salah satu yang akan terdampak adalah indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang selama ini dinilai masih rendah. Terkait dengan ini, dibutuhkan perhatian yang serius dalam rangka meningkatkan kualitas pendidik. Para dosen harus secara berkelanjutan melakukan update kemampuan dan ilmunya, sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berjalan.
Kedua, belum memadainya fasilitas pendidikan. Hingga kini masih banyak pendidikan tinggi yang belum memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap, sehingga proses pembelajaran dan hasil lulusan menjadi kurang optimal. Perlu diingat bahwa tanpa fasilitas yang memadai dan relevan dengan kebutuhan, maka hasil pendidikan tidak akan optimal. Hal ini pada umumnya terjadi di berbagai fakultas yang membutuhkan alat peraga dan alat praktek dalam proses pembelajaran.
Ketiga, masalah efektivitas pendidikan. Efektivitas pendidikan terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh pendidikan tinggi. Namun kenyataan yang sangat memprihatinkan adalah, bahwa di Indonesia, hingga kini masih banyak penyelenggaraan pendidikan tinggi yang belum efektif, sehingga hanya sedikit pendidikan tinggi Indonesia yang masuk pada ranking atas pendidikan tinggi di tingkat dunia dan bahkan tingkat Asia. Kenyataan ini menunjukkan betapa rendahnya kualitas pendidikan tinggi di kebanyakan pendidikan tinggi Indonesia, dan tentu saja hal ini berimplikasi pada sumber daya manusia yang dihasilkan.
Keempat, mahalnya biaya pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bersama, hingga kini masyarakat masih harus menanggung banyak biaya, sehingga hanya golongan masyarakat mampu yang dapat membiayai pendidikan anaknya di jenjang pendidikan ini. Meskipun Pemerintah menyediakan beasiswa untuk mahasiswa dari keluarga tidak mampu, namun jumlahnya hanya sedikit. Dampak akhir dari kenyataan ini adalah ketidakadilan dalam memperoleh hak atas pendidikan.
Kelima, masalah pengangguran terdidik. Pengangguran terdidik terkait dengan kualitas pendidikan tinggi. Banyaknya lulusan pendidikan tinggi yang tidak dapat segera memasuki dunia kerja, apalagi menciptakan lapangan kerja sendiri, merupakan permasalahan krusial dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Berdasarkan pengamatan penulis, pengangguran terdidik di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak beberapa tahun terakhir, sementara jumlah penganggur tidak terdidik makin turun. Dengan melonjaknya jumlah pengangguran intelektual maka tugas pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja juga akan semakin susah.
Keenam, link and match antara pendidikan tinggi dan kebutuhan akan sumberdaya manusia di lapangan kerja. Pendidikan tinggi bagai berjalan dengan iramanya sendiri, sementara kondisi riil di lapangan kurang diperhatikan secara matang. Akhirnya pendidikan tinggi tidak mampu menjadi faktor yang penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan tinggi belum mampu sepenuhnya melahirkan sumberdaya manusia yang layak diterima di lapangan kerja yang ada, dan pendidikan tinggi juga belum mampu menghasilkan entrepreneur yang memiliki keberanian dan kemandirian.
Upaya Menjawab Resistensi Masyarakat
Fenomena Sarjana Pengangguran ini menimbulkan pertanyaan, “jika parameter kesuksesan pendidikan di perguruan tinggi tidak sejalan dengan kesuksesan lulusanya di masyarakat, lantas perguruan tinggi mempersiapkan peserta didiknya untuk apa? Bukankah perguruan tinggi mempersiapkan peserta didik untuk siap sukses di masyarakat?
Tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, dan masih banyak lagi.
Dengan Undang-undang tersebut, tentu saja diharapkan bahwa perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dengan adanya UU Pendidikan Tinggi, diharapkan sejumlah persoalan yang menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan tinggi dapat terjawab.
Bagaimana kenyataannya? Apakah lulusan perguruan tinggi kita siap menghadapi tantangan dunia kerja? Apakah sarjana kita siap beradaptasi dengan perkembangan zaman? Apakah luaran perguruan tinggi sudah dibekali komptensi/keahlian hardskills dan softskills yang memadai? Siapakah yang siap berwirausaha, mereka yang lulusan sarjana atau orang tidak sarjana?
Untuk menjawab berbagai persoalan pendidikan tinggi ternyata tidak berlangsung dengan mudah. Resistensi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi terkait fenomena sarjana penggangguran, dan memerlukan jawaban dan kesungguhan dari seluruh kalangan pemangku kepentingan pendidikan tinggi tinggi kita.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan masyarakat. Tentu saja diharapkan bahwa dunia pendidikan tinggi dapat menghadapi perkembangan globalisasi yang makin mengutamakan basis ilmu pengetahuan dan peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Pendidikan Tinggi, diharapkan sejumlah persoalan yang menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan tinggi dapat terjawab.
Terkait erat dengan kesuksesan seseorang di masyarakat, Thomas J. Stanley melakukan penelitian dengan cara memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 miliarder Amerika Serikat. Hasilnya? 10 besar faktor paling menentukan terhadap kesuksesan seseorang ternyata adalah kejujuran, disiplin keras, mudah bergaul, dukungan pendamping/pasangan, kerja keras, kecintaan terhadap apa yang dikerjakan, kepemimpinan, kepribadian yang kompetitif, hidup teratur, dan kemampuan menjual ide.
Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tinggi saat bersekolah tidaklah masuk dalam peringkat 10 besar. Lalu berada di posisi manakah nilai-nilai sekolah? Ternyata, penilaian tinggi di sekolah hanya berada pada faktor ke-30, sementara faktor IQ berada pada urutan ke-21, dan faktor bersekolah di universitas atau sekolah favorit menempati peringkat ke-23.
Kalaulah ada yang berkilah bahwa parameter kesuksesan yang dimaksud terlalu sempit, yakni sekedar mengukur kesuksesan berdasarkan kekayaan, maka mari kita perhatikan juga korelasi antara tujuan pendidikan nasional dengan hasil pendidikan selama ini.
Jika kita perhatikan seksama faktor terbesar penentu kesuksesan yang diteliti oleh Stanley dan tujuan pendidikan nasional, semuanya bermuara kepada keutamaan sikap, karakter, soft skills. Jika Stanley berbicara jujur, pembentukan sikap, karakter, soft skills adalah yang utama.
Jika Stanley berbicara mengenai disiplin keras, sikap, maka dunia pendidikan harusnya memberikan lebih dari itu, yakni sikap adaptif (kemampuan berkomunikasi dan kolaborasi), sikap kompetitif, kemampuan menjual ide (kreatif dan inovatif), dan masih banyak lagi. Intinya, seluruh sikap maupun sifat utama penentu kesuksesan dalam penelitian J. Stanley, harusnya menjadi penguatan pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik.
Selama ini, pola pendidikan diperguruan tinggi hanya mengutamakan kognitif tapi minim softskils. Fokus utama hanya mengasah kecerdasan peserta didiknya.Porsi penguatan softskills sangatlah minim atau bahkan tidak ada sama sekali.
Pola inilah yang menghasilkan generasi-generasi muda tak mampu menghadapi perubahan--tantangan zaman. Padahal, mahasiswa perlu didorong kekuatan mentalnya. Kekuatan mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita.
Perguruan tinggi harus memberikan bekal bagaimana agar para mahasiswa memiliki cara berpikir yang kreatif, bagaimana cara melakukan inovasi, dan bagaimana cara untuk berpikir kritis, sehingga mereka dapat menghadapi tantangan masa depan yang makin kompleks. Selain itu, pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswa harus dekat kehidupan nyata tidak bergantung pada materi perkuliahan dan mengandalkan apa yang disampaikan oleh dosen saja.
Dosen harus mampu membekali peserta didik menguasai, menyerap, mengingat informasi, pengetahuan, dan menguasai kecakapan baik secara dalam arti efisien maupun efektif. Atau Metode belajar yang baik dapat membantu peserta didik belajar secara poduktif; dimana informasi, pengetahuan dan kecakapan dikembangkan dan dimanfaatkan untuk hidup bagi kerja pribadi dan kesejahteraan orang lain.
Mahasiswa harus dibekali pula dengan kemampuan literasi, baik itu literasi data, literasi teknologi, dan juga literasi manusia. Jika literasi mahasiswa sudah berjalan dengan baik, akan berkembang mengenai kemanusiaan, komunikasi, dan kerjasama dalam diri mahasiswa.
Selain itu, mahasiswa tidak hanya mempelajari satu bidang saja, karena dalam menghadapi tantangan zaman, khususnya di dunia kerja dan industri tidak lagi bertanya mengenai latar belakang pendidikan, melainkan keahlian yang dimiliki. dalam hal ini adalah bagaimana agar mahasiswa memiliki entrepreneur mindset.
Penguatan Hardskils dan SoftSkills sebagai jawaban
Beragam masalah pendidikan yang telah dipaparkan membawa kita pada kesimpulan bahwa Kemajuan zaman menuntut mahasiswa tak hanya pintar secara IQ, akan tetapi juga sukses dalam EQ dan SQ.
Kegagalan perguruan tinggi dalam melahirkan lulusan sarjana yang “berkualitas” karena pola pendidikan saat ini berfokus mengasah salah satu cabang kecerdasan saja, yakni kognitif (kecerdasan intelektual) dan telah terbukti tidak banyak membantu peserta didik untuk sukses bermasyarakat.
Agar kita tidak terjebak dalam pusaran uji coba sistem pendidikan tanpa henti, orientasi pendidikan haruslah difokuskan pada pengembangan dan penguatan hardskill dan softskills peserta didik secara berimbang. Penilaian tertinggi peserta didik selama proses pendidikan tidak hanya nilai intelektualnya tapi juga hal yang tak kalah penting adalah “soft skillnya”.
Soft skills seperti sikap terbuka, jujur, bertanggungjawab, kerja keras, pantang menyerah, kemampuan berkomunikasi, beradaptasi, kolaborasi dan dsb. adalah potensi dasar peserta didik yang harus dikuatkan dan dikembangkan dalam aktifitas dan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di perguruan tinggi sebagai bekal peserta didik dalam menghadapai tantangan zaman. Artinya pendidikan softskills menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan dan aktifitas pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi.
Persepsi inilah yang harus menjadi orientasi seluruh pemangku kebijakan pendidikan tinggi, termasuk dalam merumuskan visi, misi, kurikulum pendidikan dan instrumen belajar di perguruan tinggi. Jika ini dilakukan dengan semestinya, maka sistem pendidikan di perguruan tinggi kita akan segera memiliki landasan kokoh dalam mendidik dan membelajarkan generasi muda pelanjut masa depan negeri ini.
Perguruan tinggi harus memperbaiki diri dengan reorientasi pendidikan dan pengajaran ke arah filsafat pendidikan, yakni pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tapi pendidikan yang berwatak atau berkarakter. Hal itu telah diajarkan para tokoh bangsa ini; Boedi Oetomo mendirikan Pergerakan yang mengajarkan budi pekerti yang mulia atau, Bung Karno dengan membangun karakter bangsa yang bertanggung jawab.
Kompetensi, Kreativitas, Inovasi, Kemampuan Berpikir Kritis dan beradaptasi menjadi Kunci pendidikan di perguruan tinggi sekarang ini dalam menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, praktek pendidikan dan pengajaran perguruan tinggi harus berimbang hardskill dan softskill. Inilah implementasi sesungguhnya dari amanat pasal 31 ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3.
setuju dg pandangan ini , bagaimnan harapan dan realitas perguruan tinggi menajalankan fungsi pendidikan bagi bangsa . Namun menurut saya bagaimana kesiapan PT dalam menghadapi masa depan digitasl yang sangat volatile harus juga dijawab oleh PT. Bagaimana PT dapat menyajikan produk berupa jurusan yang visioner yang dapat menjawab kebutuhan SDM masa depan. Beberapa jurusan harus di evaluasi apakah masihh tetap dipertahankan atau harus dihentikan krn masa depan sudah tidak memerlukan atau perlu dalam jumlah yang sedikit SDM jurusan tersebut. PT harus visoner kuncinya agar tidak memunculkan kekecwaan di masa yang akan datang....