Difabel Skill
- Yusrin Ahmad Tosepu
- Jun 21, 2022
- 3 min read

Banyak sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan. Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai.
Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan.
Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan pertumbuhan lulusan universitas tertinggi setelah India dan Brasil, . Namun perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan karyawan yang berpotensi tinggi. Artinya, ada yang salah. Jika setiap tahun saja muncul 398.000 perusahaan anyar, sementara di pasar kerja tersedia 250.000 fresh graduate, seharusnya perusahaan tak perlu kekurangan tenaga kerja? Nyatanya enggak begitu. Usut punya usut, setiap perusahaan memiliki standar perekrutan karyawan, sementara tidak setiap lulusan memiliki kualitas yang dibutuhkan dunia kerja. Lantas di mana pangkal masalah sebenarnya?
Pangkal masalahnya adalah kualitas pendidikan. Kalau sudah bicara soal kualitas, mau tak mau perguruan tinggi yang kena imbas. Lulusan Sarjana yang rendah keterampilan dan pengetahuan terjun ke dunia kerja. Dunia kerja kekinian menghendaki kompetensi yang diharapkan dari seorang lulusan perguruan tinggi. Yang tak kalah penting keahlian dan kepribadian.
Rendahnya kualitas pendidikan merupakan akar permasalahannya. Kualitas perguruan tinggi selama dua puluh tahun terakhir tidak kunjung membaik. Desain kurikulum pendidikan berbagai jurusan selalu tertinggal dari kebutuhan riil industri dan bisnis.
Sistem pendidikan tinggi kita dirancang untuk tidak menghargai proses belajar dan hanya
mementingkan status akhir sebagai sarjana. Akhirnya banyak mahasiswa hanya mengejar status Bukan proses untuk menjadi sarjana. Akhirnya mereka jadi tak punya pemahaman apa-apa terhadap proses pendidikan yang sudah dilalui.
Selama berada di bangku kuliah para mahasiswa terlalu banyak diajarkan teori tanpa banyak praktek kerja sehingga kemampuan yang lebih terasah selama mengenyam pendidikan formal yaitu seperti kemampuan menjawab soal, kemampuan menghapal, kemampuan mencari nilai tinggi, kemampuan melakukan sesuatu sesuai dengan buku teori, kemampuan bergaul dengan teman-teman, kemampuan pamer kekayaan di depan orang-orang, kemampuan pacaran, dan lain sebagainya.
Padatnya materi pelajaran salah satu penyebab para mahasiswa lebih banyak sibuk belajar teori daripada praktek sesuai dengan yang dibutuhkan di dunia kerja nyata sehingga berdampak pada kualitas sarjana jebolan kampus saat ini.
Kenyataan seperti ini seharusnya menggugah perguruan tinggi untuk mulai bangun tersadar dan mulai mengubah sistem dan metode pendidikan dan pemeblajaran agar lulusannya bisa memiliki kemampuan yang benar-benar siap kerja tanpa harus kaget dan syok ketika baru mulai bekerja.
Hal ini bisa diminimalisir apabila teori dan praktek dipadukan secara apik. Dengan sistem pendidikan yang memadukan teori dengan praktek diharapkan mahasiswa memiliki pengalaman yang cukup ketika lulus nanti.
Sistem pendidikan vokasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi kekurangan keterampilan pada lulusan pendidikan tinggi. Ini merupakan kesadaran bahwa sistem pendidikan perlu untuk memperkuat lulusannya dengan ketrampilan tertentu, yang diperlukan dunia kerja, khususnya sektor industri, yang merosot kinerjanya pada saat ini.
Tetapi kebijakan pendidikan vokasi dan banyak kebijakan lainnya tidak jelas atau hanya wacana publik. Jadi level kebijakan ini baru tahap sosialisasi seperti makalah, tulisan atau opini publik yang masuk ke ruang publik. Ramai sebagai wacana tetapi belum masuk ke dalam implementasi dan belum ada sumberdaya seperti apa, yang akan dikerahkan untuk mendukung kebijakan pendidikan vokasi tersebut.
Pendidikan kewirausahaan pun harus dikedepankan untuk menyesuaikan kondisi di negara kita yang memiliki jumlah pengangguran terdidik yang tinggi. Perguruan tinggi perlu memperrsiapkan diri dan bersungguh-sungguh membekali peserta didiknya dengan kompetensi/keahlian agar mampu menjawab tuntutan tenaga kerja yang dibutuhkan saat ini.
Dengan kompetensi/keterampilan yg dimiliki lulusan sarjana bukan tidak mungkin ditumbuhkan perubahan mindset berfikir dari mencari kerja menjadi membuka lapangan kerja baru di masa yang akan datang.
Commentaires