top of page
Writer's pictureYusrin Ahmad Tosepu

DIGITAL PEDAGOGI MODEL PEMBELAJARAN ERA DIGITAL

(Sub Pokok Bahasan Buku Teknologi Informasi & Komunikasi

Dalam Pendidikan : Kajian, Analisis Dan Konsep)


A. PENDAHULUAN


Kemajuan teknologi memasuki era revolusi industri 4.0 yang menghadirkan internet of thing (IoT), cloud computing, artificial intelligence dan mobile phone sebagai perangkat yang penting bagi manusia. Pengintegrasian teknologi dalam pembelajaran dilandasi oleh filosofi digital pedagogy. Pedagogi digital dimaknai sebagai keterlibatan dan praktik reflektif selama kegiatan belajar mengajar melalui teknologi digital. Karakteristik dari pedagogi digital adalah menyatukan teori dan praktek, cara berpikir, menumbuhkan kreativitas, pemecahan masalah dan permainan, mendorong partisipasi dan kolaborasi.


Menggunakan computer dalam kelas tidak membuat pembelajaran menjadi efektif, guru/dosen perlu memahami cara menggunakan teknologi secara efektif, memahami teori pembelajaran, dan mengetahui cara memilih teknologi yang tepat untuk hasil pembelajaran yang dituju. Secara sederhana, pedagogi digital merupakan suatu studi tentang bagaimana cara mengajar dengan menggunakan teknologi digital. Pedagogi digital merupakan pendekatan yang tidak hanya berbasis keterampilan guru/dosen menggunakan teknologi, namun bagaimana guru/dosen sebagai fasilitator memanfaatkan teknologi untuk membangun keterampilan berpikir sekaligus mengembangkan aspek afektif peserta didik .


Digital pedagogi merupakan salah satu model pembelajaran era ditigal saat ini yang memiliki perbedaan dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Pendekatan model pembelajaran era digital terdiri 3 model: pertama, guru/dosen memberikan materipembelajaran secara online pada peserta didik kemudian di download dan dipelajari secara manual (ofline), kedua, guru/dosen memberikan materi pembelajaran secara online dan peserta didik mempelajari secara online juga, dan ketiga, kolaborasi antara pembelajaran yang berlangsung antara online dengan offline. Kemudian ada juga model pembelajaran yang tidak terikat dengan guru/ dosen yang memberikan materi pembelajaran tetapi dapat mengakses informasi pembelajaran secra personal dengan sumber-sumber pembelajaran secara online. Apalagi saat ini era digital yang didukung jaringan internet sangat memungkinkan setiap orang dapat belajar sendiri tanpa diarahkan oleh guru/dosen secara real.


Pada intinya, digital pedagogi mencakup perubahan pedagogi tradisional dan lebih banyak pada pendekatan konstruktivis, dimana peserta didik membangun pengetahuan dari pengalaman mereka dengan cara menggabungkan pengalaman baru ke dalam suatu kerangka tanpa merubah kerangka tersebut. Mitch Resnick menciptakan istilah konstruksionisme terdistribusi untuk menjelaskan bagaimana jaringan computer dapat mendukung konstruksi pengetahuan saat peserta didik bekerja sama dalam suatu desain pembelajaran.


B. PENTINGNYA DIGITAL PEDAGOGI


Kita berada dalam lingkungan masyarakat dengan informasi global. Informasi dan komunikasi tidak lagi terbatas pada lingkungan lokal saja. Jenis pekerjaan di masa depan pun berubah menjadi teknologi dan mesin. Sehingga peserta didik perlu dipersiapkan untuk membiasakan dengan teknologi digital sehingga di masa depan mereka dapat berkontribusi dalam pekerjaannya.


Tenaga kerja Indonesia perlu dipersiapkan secara digital. Kompetensi digital, kepercayaan diri, dan penggunaan ICT untuk pekerjaan, pembelajaran, pengembangan diri dan partisipasi diharapkan untuk menjadi tenaga kerja yang terampil. Walaupun sekarang teknologi digital sudah memasuki kehidupan manusia, namun bukan berarti peserta didik mampu memanfaatkan teknologi digitalnya dengan baik. Umumnya, peserta didik masih menggunakan teknologi digital untuk kebutuhan rekreasi dan bersenang senang. Pada akhirnya, sekolah ataupun kampus perlu membekali peserta didik dengan keterampilan ICT untuk kemudahan pekerjaan di masa depan.


Menggunakan teknologi digital di kelas merupakan hal menarik dan memotivasi. Pada dasarnya, peserta didik memiliki ketertarikan pada hal-hal baru yang menyangkut teknologi. Hal ini dapat dimanfaatkan guru/dosen untuk memperkaya peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan belajar. Peserta didik selalu memiliki potensi ketika berhadapan dengan besarnya ilmu pengetahuan yang ada pada internet sebagai suatu sumber informasi.


Belajar sepanjang hayat. Hal ini menunjukkan pendidikan tidak terbatas pada sekolah formal, namun berfokus pada pengembangan keterampilan dan bakat peserta didik untuk memastikan mereka mampu terlibat dalam pembelajaran sepanjang hidup mereka. Peserta didik dapat belajar terus menerus dengan memanfaatkan akses internet, informasi dari google, membaca situs web, dll. Ketika di sekolah atau di kampus peserta didik sudah dibiasakan dengan teknologi digital, mengembangkan literasi digital dan membantu mereka dalam mengkritisi suatu informasi, maka hal tersebut dapat memastikan mereka untuk belajar lebih lama sepanjang hayat.


Lebih lanjut, di era pendidikan 4.0 ini, tekanan dari berbagai pihak semakin meningkat kepada pendidik dan pengajar untuk memasukkan media pembelajaran dengan teknologi dan media digital (email, web dan multimedia) ke dalam program dan praktek mengajar mereka. Pendidik dan pembelajaran perlu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru dalam desain dan produksi sumber daya multimedia. Ada kebutuhan yang berkembang bagi pendidik untuk memahami proses desain media serta proses desain pendidikan.


Visi belajar dan pembelajaran telah mengalami reformasi yang menekankan: 1) keterlibatan aktif pebelajar dalam proses pembelajaran; 2) memperhatikan kemampuan intelektual dan emosional pada berbagai tingkatan; 3) penyusunan media pembelajaran dimaksudkan untuk ikut memecahkan permasalahan pada dunia yang berubah dengan cepat dan fleksibilitas antara pebelajar yang akan memasuki dunia kerja yang akan menuntut pembelajaran seumur hidup. Kearsley, (1994: p159) pengungkapkan pendidik, pengajar dan administrator harus benar siap untuk meningkatkan dan mengelola teknologi.


Salah satu bidang yang sangat penting bagi pendidik dan pengajar adalah kemampuan untuk secara kritis mengevaluasi teknologi media pembelajarn yang ada dan yang baru. Pendidik dan pengajar harus dapat berpikir tentang kemungkinan efek samping, konsekuensi dan dampak dari teknologi media pembelajaran yang telah dikembangkan. Pendidik dan pengajar perlu mengembangkan media pembelajaran yang hanya bisa menjadi mediator. Namun bisa menghubungkan sumber belajar yang menjadi asset pendidikan dan pembelajaran di dunia.


Pendidik dan pengajar harus semakin menyadari awal dari pergeseran paradigma penggunaan media pembelajaran adalah konteks, peran, pengiriman dan pola pendanaan pendidikan dan pembelajaran. Pertumbuhan baik jumlah maupun jenis media meningkat seperti garis eksponensial dalam penggunaan internet, khususnya web sejak tahun 1995 dengan kemampuannya untuk berkomunikasi beberapa media informasi teks, gambar, audio, animasi, video interaktif dan sekarang telah menjadi cara instan untuk melintasi batas-batas negara. Toffler (1990) menegaskan pengamatannya bahwa “apa yang terjadi adalah munculnya sistem yang sama baru yang menyediakankekayaan pada komunikasi instan, data, ide, dan symbol dll “.


Media pembelajaran baru memungkinkan perubahan praktik pendidikan dan pembelajaran dengan cara yang sering digambarkan sebagai “komunikasi fleksibel”, “belajar fleksibel” dan “mediasi belajar”. Sumber daya yang cukup menawarkan pembelajaran dalam mode fleksibel untuk lebih pebelajar. Sebuah alasan yang umum adalah bahwa fleksibel berbasis internet adalah di mana saja dan kapan saja, pembelajaran harus ditawarkan oleh lembaga yang memberikan layanan pendidikan dan pembelajaran dengan tanpa batas untuk mempertahankan posisi pendidik dan pengajar. Posisi tersebut berkaitan dengan memiliki relevansi di pasar global dan keberagaman fasilitas pada lembaga penyelenggara pendidikan dan pembelajaran sebagai penyedia yang kompetitif.


Metodologi industri yag berkembang saat ini adalah bagaimana informasi dibuat, diakses, disampaikan, dan digunakan dalam konteks kehidupan yang cepat berubah. Dede (1996) berpendapat bahwa “untuk berhasil mempersiapkan pebelajar sebagai warga Negara yang produktif, pendidik dan pengajar harus memasukkan ke dalam pengalaman kurikulum dengan menciptakan dan memanfaatkan bentuk-bentuk media pembelajaran dengan ekspresi baru, seperti multimedia.


Keterampilan inti untuk tempat kerja saat ini tidak hanya “mencari makan saja”, tapi pekerjaan membutuhkan penyaringan sejumlah besar informasi yang masuk, kemudian mengelola informasi dan bermuara dalam mengeksekusi kebijakan atau tindakan berdasarkan informasi. Sehingga konteks ini bersifat memperluas definisi media pembelajaran yang bersifat tradisional dan retorika agar menjadi pengalaman berpusat pebelajar dengan berinteraksi dengan informasi sangat penting untuk mempersiapkan pebelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat abad ini.


Kurikulum pendidikan terus berubah dari informasi teks yang berpusat pada guru dan ujian tertulis dan perangkat laiinya telah berubah dengan memposisikan pebelajar sebagai peserta aktif dalam proses pencarian, pengorganisasian, analisis, menerapkan dan menyajikan beberapa media informasi dengan cara baru untuk mengatasi masalah dan menyelesaikan serangkaian masalah. Hasil belajar bukan dalam bentuk ukuran nilai. Hasil belajar merupakan kapasitas pebelajar untuk menangani secara independen dengan informasi baru dalam berbagai konteks dalam berbagai bentuk dengan menggunakan berbagai media pebelajar.


Pebelajar bijaksana di era sekarang akan mencari dan bersedia membayar biaya pembelajaran yang mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang membutuhkan informasi untuk menjadi pengusaha bukan sebagai pekerja. Berbagai intiusi lembaga pendidikan (sekolah dan universitas) dan entitas virtual lainnya (di dunia maya) mulai memberikan penawaran kualitas dan akan mengambil alih pebelajar dari lembaga penyelenggara pendidikan dan pembelajaran yang masih bersifat tradisional.


Tuntutan budaya, politik, ekonomi dan kelembagaan yang meningkat telah menuntut pendidik dan pengajar untuk memanfaatkan media komunikasi baru melalui email, web dan multimedia dalam kaitannya dengan belajar dan pembelajaran. Kurikulum yang fleksibel berkembang menjadi pengalaman dimediasi jika dikembangkan dan dimoderatori oleh fasilitator pendidik dan pengajar yang handal. Ada kebutuhan yang sangat nyata bagi pendidik dan pengajar untuk memahami proses desain media generik dan untuk mengembangkan keterampilan dalam menghasilkan sumber daya multiple-media pembelajaran.


C. MEMAHAMI DIGITAL PEDAGOGI


Pembelajaran digital (Digital Pedagogy) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran di era pendidikan 4.0. Pengembangan system cyber dalam dunia pendidikan akan memungkinkan guru/dosen dapat memberikan materi ajar yang mutakhir sesuai perkembangan zaman, karena langsung dapat menayangkan materi itu dalam ruang kelas secara online. Dengan kata lain, pembangunan atau penyediaan fasilitas jaringan cyber sebagai bagian integrasi dengan jaringan teknologi informasi dan komunikasi di lembaga/institusi pendidikan akan menciptakan berbagai kemudahan, baik dalam adminsitrasi akademik, non akademik, dan proses belajar mengajar, yang bermuara kepada peningkatan kualitas SDM output dari sebuah lembaga/institusi pendidikan.


Menurut Reeves (1998), untuk kepentingan pembelajaran di sekolah, terdapat dua pendekatan pokok dalam penggunaan teknologi, yaitu para peserta didik dapat belajar ‘dari’ dan ‘dengan’ teknologi. Belajar ‘dari’ teknologi dilakukan seperti dalam penggunaan computer-based instruction (tutorial) atau integrated learning systems. Belajar ‘dengan’ teknologi adalah menggunakan teknologi sebagai cognitive tools (alat bantu pembelajaran kognitif) dan menggunakan teknologi dalam lingkungan pembelajaran konstruktivis (constructivist learning environments).


Menurut Shahroom dan Hussin (Shahroom & Hussin,2018), kondisi saat ini idealnya telah merubah aliran pendidikan untuk berorientasi pada mewujudkan lingkungan yang memungkinkan pelajar, pendidik, untuk memecahkan hambatan, berimajinasi, berinovasi, menciptakan, dan berkolaborasi mengembangkan ekosistem 4.0. Selain itu, memacu konektivitas manusia yang lebih luas dilingkungan global dengan tetap menggabungkan nilai-nilai spiritual, etika dan moralitas, identitas nasional dan rasa koneksi ke masyarakat, melalui penyampaian kurikulum dan transfer teknologi dan memperhatikan manfaat serta risiko yang ditimbulkan.


Sekarang ini, peserta didik didominasi generasi z, merupakan generasi muda yang lahir di era digital sehingga terbiasa memanfaatkan internet dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tumbuh bersama derasnya arus informasi dan hidup bersama teknologi komunikasi digital. Pola komunikasi dan manajemen pengetahuan mereka pun dimediasi oleh teknologi. Wacana digital native makin banyak digunakan dalam berbagai kajian dan literatur. Echenique, dkk. menyebut peserta didik masa kini sebagai digital learners, dengan asumsi bahwa peserta didik telah sangat dipengaruhi oleh teknologi informasi sampai-sampai kita harus menganggap mereka sebagai “digital” (Gallardo-Echenique, Marqués-Molías, Bullen, & Strijbos, 2015). Mereka memahami teknologi karena mereka berpikir dan memproses informasi secara berbeda dari generasi sebelumnya.


Peserta didik belajar dengan bantuan teknologi baru, memainkan video game yang kompleks, simulasi yang menantang, kursus online, jejaring sosial dan pembelajaran online. Teknologi menciptakan peluang belajar yang menantang praktik tradisional sekolah dan perguruan tinggi. Relung belajar baru ini memungkinkan individu dari segala usia mengejar pembelajaran dengan persyaratan mereka sendiri, belajar dari rumah, perpustakaan, internet kafe dan tempat kerja. Mereka dapat memutuskan apa yang ingin mereka pelajari, kapan belajar dan bagaimana mereka ingin belajar (Collins & Halverson, 2010).


Dunia pendidikan khususnya institusi/lembaga pendidikan Sekolah, perguruan tinggi, pendidik, dan peserta didik akan makin tertinggal jika tidak menyesuaikan dengan arus perubahan. Tantangan utama institusi/lembaga pendidikan adalah apakah mampu menggabungkan pembelajaran berbasis teknologi untuk generasi selanjutnya. Maka, pembelajaran digital dapat menjadi alternatif solusi sebagai pendekatan pembelajaran yang relevan dengan peserta didik generasi millennia di era industri 4.0.


Pembelajaran Digital merupakan pendekatan yang tidak sekedar berbasis pada keterampilan pendidik menggunakan teknologi namun bagaimana pendidik sebagai fasilitator memanfaatkan teknologi untuk membangun kemampuan berpikir sekaligus mengembangkan aspek afektif peserta didik. Pembelajaran terpusat pada peserta didik (Studi Center Learning – SCL)) dan pemanfaatan teknologi digunakan untuk menumbuhkan suasana belajar yang dinamis, bersifat inquiri dan peserta didik mengamati kemudian mengkonstruksi realitas yang ada. Hal ini akan membangun sikap kritis, rasa ingin tahu, empati, dan mengupayakan solusi atas realitas sehingga bukan sekedar membangun pengetahuan namun juga kecerdasan sosial.


Pembelajaran Digital mencakup beberapa perubahan aksiomatik pada pedagogi tradisional dan lebih banyak memiliki kesamaan dengan pendekatan konstruktivis, dimana peserta didik membangun pengetahuan mereka sendiri dalam konteks sosial. Selain itu, pedagogi digital juga termasuk mengajar tentang teknologi digital untuk belajar. Penekanan pedagogi digital adalah pembangunan bersama pengetahuan. Pedagogi digital mencakup perencanaan untuk pembelajaran yang kontennya lebih sedikit daripada berbasis pemecahan masalah.


Pendekatan ini dapat menyajikan pengetahuan sebagai masalah daripada sebagai perbaikan. Oleh karena itu dapat mempromosikan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan peserta didik beralih dari mengingat konten ke mendapatkan pemahaman konsep yang mendalam, (Kent & Holdway,2009). Hal ini juga memungkinkan peserta didik mengembangkan analisis kritis, metakognisi dan refleksi, sering melalui pembuatan, pengeditan dan penerbitan online (Luckin et al, 2009).


Selanjutnya, pembelajaran digital dapat mencakup teknologi Web 2.0 untuk jejaring sosial, dengan penggunaan blog, wiki, i-phone dan i-pad untuk pembelajaran. Dengan cara ini, pedagogi digital membantu mempromosikan keterhubungan kedunia yang lebih luas. Beberapa penelitian telah menyelidiki praktik di ruang kelas seputar pelaksanaanpedagogi digital untuk literasi. Misalnya, Oakley (2008) meneliti menggunakan pendekatan pengalaman bahasa dengan bercerita digital menggunakan power point dengan rekaman suara dan Ciampa (2012), ia mempelajari penggunaan buku cerita elektronik untuk meningkatkan motivasi membaca dan menemukan bahwa metode tersebut berhasil dalam memotivasi peserta didik dan mengajarkan aspek literasi (Milton & Vozzo,2013).


Pergeseran cara pandang dan cara hidup di era digital turut menggeser apa yang penting untuk dipelajari melalui pendidikan dan bagaimana pendekatan tepat untuk mempelajarinya secara efektif. Pengintegrasian teknologi dalam pendidikan menjadi konsekuensi yang perlu dilaksanakan dengan baik. Hal ini perlu dilakukan untuk menjawab kebutuhan akan pendidikan yang sesuai dengan disrupsi teknologi yang tengah terjadi. Digitalisasi di berbagai sektor menempatkan generasi muda saat ini sebagai digital learners yang memerlukan pendekatan pembelajaran berbeda untuk memenuhi harapan dan kebutuhan mereka dalam menangkap peluang dan menghadapi tantangan di masadepan.


Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran digital dapat menjadi alternatif solusi pada pembelajaran di era pendidikan 4.0 yang bertujuan menghasilkan generasi muda yang kritis, adaptif, dan memiliki kecerdasan sosial dalam menghadapi tuntutan era industri 4.0. Singkatnya, cara-cara pengajaran harus di sesuaikan dengan hal-hal yang dibutuhkan pada era ini. Penyesuaian tersebut berupa pengajaran berbasi proyek, kolaborasi, inovasi dan berorientasi lifes skill merupakan modal utama bekal peserta didik menghadapi tantangan di era revolusi industry 4.0.


1. Konsep Dan Pengertian Digital Pedagogi


Digital Pedagogy atau pedagogi digital dapat diartikan sebagai sebuah seni dalam proses pembelajaran termasuk dalam hal ini pengetahuan dan keterampilan seorang pendidik supaya peserta didik mampu mengingat, memahami, mengimplementasikan, menganalisa, mengevaluasi sampai dengan menciptakan (bloom taxonomy). Sebagai sebuah pengetahuan dan keterampilan sudah seharusnya pedagogi harus berkembang mengikuti zamannya termasuk dalam hal ini teknologi yang digunakan dalam proses pembelajaran karena pendidikan pasti akan mengikuti perkembangan teknologi.


Pedagogi digital adalah studi dan penggunaan teknologi digital kontemporer dalam pengajaran dan pembelajaran. Pedagogi digital dapat diterapkan pada lingkungan pembelajaran online, hybrid, dan tatap muka. Pedagogi digital juga berakar pada teori konstruktivisme. Teknologi digital bukan semata-mata menggunakan teknologi dalam pembelajaran tetapi lebih tepatnya mendekatkan alat-alat digital tersebut dari perspektif pedagogi kritis. Jadi pedagogi digital lebih tepatnya bagaimana menggunakan alat-alat digital dengan bijaksana seperti tentang memutuskan kapan tidak menggunakan alat digital, dan tentang memperhatikan dampak alat digital pada pembelajaran. Pedagogi Kritis sendiri dapat dipahami sebagai teori dan praktik pendidikan yang didesain untuk membangun kesadaran kritis peserta didik.


Pedagogi digital menjadi sangat penting untuk dipahami oleh para pendidik dan peserta didik karena bukan tidak memungkinkan jika teknologi juga dapat memberikan pengaruh negatif dalam dunia Pendidikan kita. Salah satu contohnya adalah budaya copy paste. Tentunya hal ini sudah sering kita dengar dan lakukan, padahal budaya seperti ini tidaklah mendidik karena membuat peserta didik tidak menjadi seorang peserta pendidik yang kritis sedangkan kompetensi ini sangat diperlukan mereka dimasa depan mereka nantinya. Contoh lain adalah ketika anak-anak diberikan pekerjaan rumah (PR) oleh Gurunya di sekolah, para peserta didik tinggal membuka website tertentu dan langsung mendapatkan jawabannya tanpa perlu berpikir keras untuk mengerjakan soal yang diberikan oleh Guru atau dosennya.


Hal-hal seperti yang disampaikan diatas merupakan salah satu hal yang perlu diperbaiki dan hal tersebut dapat dilakukan melalui pedagogi digital. Pada pedagogi digital, peserta didik dilatih untuk menggunakan teknologi dalam proses belajar termasuk didalamnya kapan mereka menggunakan teknologi dan kapan mereka tidak menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran, bagaimana peserta didik mampu belajar melalui Learning Management System (LMS) yang disediakan sekolah dan bagaimana Guru memastikan para peserta didiknya telah mengakses LMS yang merupakan sumber belajar akan materi-materi yang diajarkan kepada peserta didik.


2. Digital Pedagogi : Kolaborasi Antara Guru/Dosen Dan Peserta Didik


Di zaman ini sesuai dengan perkembangan dunia teknologi yang terus berkembang, masih banyak Guru.dosen yang mengesampingkan penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran padahal tanpa mereka sadari bahwa peserta didik mereka sudah lebih maju dari mereka dalam memahami materi-materi yang ada di sekolah atau di kampus karena pada dasarnya hampir semua materi yang diajarkan di kelas ada semua di internet. Jika demikian adanya bukan tidak mungkin sebelum Guru/dosen menyampaikan materinya, peserta sudah terlebih dahulu mengetahui materi tersebut lalu untuk apa mereka ada di kelas?. Dari sini kita perlu mencermati akan perlunya kolaborasi dalam melaksanakan pedagogi digital dalam proses pembelajaran.


Supaya kolaborasi antara Guru/dosen dan Peserta didik dapat berjalan dengan baik. Tentunya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :


Ciptakan Kepercayaan. Berikan peserta didik kepercayaan untuk mencari materi yang akan mereka pelajari sesuai dengan pokok-pokok materi yang dibuat oleh Gurunya. Dengan Guru/dosen memberikan kepercayaan maka kemandirian dan kepercayaan diri para peserta didik secara tidak langsung akan muncul dan mereka akan lebih aktif dalam belajar untuk mencari ilmu yang akan mereka butuhkan. Lalu bagaimana Guru mengetahui jika mereka telah mendalami pokok-pokok materi yang telah disampaikan sebelumnya?. Berikan mereka tantangan setelah mereka mendapatkan materi sesuai dengan pokok materi yang telah disampaikan oleh Guru/dosen sebelumnya. Tantangan tidak hanya menjawab soal saja tetapi apa yang dapat mereka ciptakan atau hasilkan dari materi-materi yang telah mereka pelajari?.


Dialog yang menginspirasi. Jadilah Guru/dosen yang menginspirasi peserta didiknya dengan menciptakan dialog melalui diskusi. Berikan pertanyaan-pertanyaan yang mampu mengugah mereka untuk mampu mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran mereka. Dialog bukan hanya secara verbal tetapi juga secara digital (online). Peserta didik zaman sekarang akan sangat bangga jika Gurunya mampu melakukan dialog secara digital. Berikan mereka inspirasi yang memunculkan empati mereka terhadap sebuah materi supaya mereka lebih tertarik untuk mencari sumber materi yang akan mereka pelajari.


Jujur dan transparan. Hal ini sudah tidak asing lagi bagi para Guru/dosen, perlu mendidik dan mengajarkan peserta didiknya untuk bersikap jujur karena pada dasarnya perkembangan teknologi sudah memaksa manusia untuk bersikap jujur. Jika Guru/dosen tidak tahu akan jawaban pasti dari pertanyaan peserta didik, jawab saja tidak tahu dan akan mencari tahu mengenai pertanyaan dari pertanyaan tersebut. Jangan suka menghindar dengan memberikan jawaban yang berputar-putar karena peserta didik akan dengan mudah mengecek apakah jawaban yang diberikan oleh guru/dosen tersebut benar atau salah, bayangkan jika hasil pengecekan peserta didik akan jawaban yang diberikan oleh guru/dosen salah, secara otomatis kredibilitas guru/dosen akan hancur di mata peserta didik. Sebaliknya, kredibilitas guru/dosen tidak akan hilang/hancur jika mereka jujur, termasuk dalam hal ini adalah penilaian, jika perlu guru/dosen dapat diskusi dengan peserta didik mengenai penilaian yang dilakukan oleh Guru sehingga semua berjalan dengan transparan.


Terbukalah akan perubahan. Semakin cepat perkembangan teknologi maka semakin banyak ilmu baru karena itu guru harus membuka mata dan telingga selebar-lebarnya akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang pelajaran yang mereka ampu. Jangan menutup diri akan perubahan justru guru/dosen harus mengikuti perubahan karena jika tidak mereka akan tersingkir dengan guru-guru atau dosen baru yang penuh dengan semangat perubahan termasuk dalam dunia digital.


Pada intinya, pedagogi digital bukan sekedar berbicara dari sisi teknologi saja karena pada dasarnya teknologi hanya merupakan alat bantu tetapi yang perlu diperhatikan apa yang dapat guru/dosen lakukan dengan bantuan teknologi untuk membantu proses pembelajaran peserta didik. Dari beberapa langkah yang disampaikan diatas, jika guru/dosen benar-benar mampu melakukan hal tersebut, disitulah salah satu yang disebut dengan “Merdeka Belajar.”



D. RELASI DIGITAL PEDAGOGI DAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pedagogi digital adalah studi dan penggunaan teknologi digital kontemporer dalam pengajaran dan pembelajaran. Pedagogi digital dapat diterapkan pada lingkungan pembelajaran online, hybrid, dan tatap muka. Pedagogi digital juga berakar pada teori konstruktivisme. Konstruktivisme maksudnya adalah penataan, pembangunan atau penyusunan pengetahuan. Jadi manusia belajar dari pengalaman kemudian mendapat pengetahuan lalu di tata atau disusun, itulah bekal manusia untuk menjalani kehidupan.


Pembangunan pengetahuan berdasarkan teori konstruktivistik adalah bahwa subjek harus proaktif untuk membuat susunan kognitif dengan cara berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Susunan kognitif tersebut berfungsi untuk menciptakan definisi realitasnya sendiri sesuai dengan pengalaman yang didapat. Serta dengan interaksi kognitif tersebut akan memungkinkan adanya pembangunan pengetahuan baru. Susunan kognitif harus sering disesuaikan berlandaskan apa yang terjadi di lingkungan. Agar manusia atau peserta didik bisa fleksibel dalam setiap ada hal yang baru dalam perkembangan zaman. Aktivitas adaptasi atau penyesuaian ini dilakukan secara berkesinambungan agar manusia/peserta didik bisa lebih hidup dalam menjalani hidup.


Teori konstruktivisme merupakan ide yang sudah lama, namun karena efektif dan adaptif dalam pembelajaran perangkat teori ini bisa bertahan hingga saat ini. Teori yang mengedepankan pengumpulan pengalaman ini bisa membuat peserta didik bisa lebih fleksibel dalam kehidupan. Teori belajar konstruktivistik adalah metode yang memfokuskan pada proses atau aktivitas pembelajaran yang mendalami pengetahuan secara bebas agar peserta didik bisa memaknai pengetahuan baru sesuai dengan pengalamannya. Teori belajar konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh peserta didik itu sendiri.


Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui (Schunk, 1986). Dengan kata lain, karena pembentukan pengetahuan adalah peserta didik itu sendiri, peserta didik harus aktif selama kegiatan pembelajaran, aktif berpikir, menyusun kosep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar peserta didik itu sendiri.


Sementara peranan pendidik/pengajar (guru/dosen) dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru/dosen tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar. Ciri-ciri belajar konstruktivisme yang dikemukakan oleh Driver dan Oldhan (1994) adalah sebagai berikut:


  1. Orientasi, yaitu peserta didik diberik kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan melakukan observasi.

  2. Elitasi, yaitu peserta didik mengungkapkan idenya denegan jalan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain.

  3. Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru.

  4. Penggunaan ide baru dalam setiap situasi, yaitu ide atau pengetahuan yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi.

  5. Review, yaitu dalam mengapliasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah.


Paradigma konstruktivistik memandang peserta didik sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru/dosen, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan. Peranan kunci guru/dosen dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang meliputi;


  1. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk megambil keputusan dan bertindak.

  2. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik.

  3. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar peserta didik mempunyai peluang optimal untuk berlatih.


Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya.


Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.


Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa peserta didik akan dapat menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu peserta didik mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?


Evaluasi belajar pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelumproses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran.


Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar peserta didik. Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.


Beberapa hal penting tentang evaluasi dalam aliran konstruktivistik (Siregar & Nara, 2010), yaitu: diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksikan pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi, mengkonstruksi pengalaman peserta didik, dan mengarhkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.


1. Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)


Lev Vygotsky merupakan tokoh dari teori belajar konstruktivistik yang menekankan bahwa manusia secara aktif menyusun pengetahuan dan memiliki fungsi-fungsi mental serta memiliki koneksi social. Beliau berpendapat bahwa manusia mengembangkan konsep yang sistematis, logis dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan seorang yang dianggap ahli disekitarnya. Jadi dalam teori ini orang lain (social) dan bahasa memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif manusia.


Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang di pelopori oleh Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut sebagai teori belajar sosiokultur merupakan teori belajar yangtitik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya.


Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri). Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang.


Inti dari teori belajar konstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Dengan kata lain bahwa peserta didik itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lag.


Teori belajar ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Teori belajar ini meliputi tiga konsep utama, yaitu: 1) hukum genetik tentang perkembangan, 2) Zona perkembangan proksimal dan 3) mediasi.


Untuk lebih memahami tentang kajian tersebut mari kita kaji satu persatu.


1. Hukum Genetik tentang Perkembangan

Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran sosial dan tataran psikologis. Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang bersangkutan. Teori ini menempatkanlingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, lingkungan sosial dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky meyakini bahwa kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.


2. Zona Perkembangan Proksimal

Zona Perkembangan Proksimal atau Zona Proximal Development (ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar kokonstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai ‘level perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu.


3. Mediasi

Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan; (2) Scafholding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.


Berdasarkan teori Vygotsky dapat disimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :


  1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya peserta didik memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.

  2. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.

  3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.

  4. Peserta Didik diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah

  5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi.


Dalam teori belajar kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar konstruktivistik yang banyak digunakan dalam pendidikan adalah:


  1. Pengetahun dibangun oleh peserta didik secara aktif,

  2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada peserta didik,

  3. Mengajar adalah membantu peserta didik,

  4. Tekanan dalam proses belajar dan bukan pada hasil belajar,

  5. Kurikulum menekankan pada partisipasi peserta didik dan

  6. Pendidik/pengajar atau guru/dosen adalah fasilitator.


Pada intinya, teori belajar konstruktivistik, proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar.


Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.


2. Teori Belajar Jean Piaget


Dalam perkembangan pendidikan tentang teori konstruktivistik paling baru menjelaskan bahwa teori kognitif Piaget yang mengungkapkan bahwa sebuah pengetahuan yang disusun oleh pikiran peserta didik adalah sebuah aktivitas percampuran yang berlandaskan skemata yang disusun olehnya. Menurut Jean Piaget teori belajar ini memfokuskan pada proses dalam menciptakan sebuah teori dan pengetahuan yang disusun oleh peserta didik berdasarkan kehidupan nyata. Sementara guru bertugas sebagai pembimbing dan fasilitator.


Berikut merupakan penyusunan sebuah pengetahuan yang berlandaskan pada penjelasan Jean Piaget:


a. Skemata

Adalah himpunan konsep yang dipakai saat berhubungan dengan lingkungan. Sedari peserta didik telah mempunyai susunan kognitif dengan nama skema. Skema ini ada karena adanya pengalaman yang terakumulasi dalam hidupnya. Dan karena akumulasi pengalaman tersebut susunan kognitif akan tercipta. Saat anak sudah menginjak umur yang lebih tua maka mereka akan semakin paham dengan skema yang dipunyainya. Aktivitas pemahaman atas skema bisa sempurna dengan adanya aktivitas asimilasi dan akomodasi.


b. Asimilasi

Adalah aktivitas kognitif berupa peleburan/penggabungan secara terintegrasi tentang konsep, sudut pandang dan pengalaman baru ke ranah skema atau pola yang telah ada dalam pikiran. Asimilasi adalah aktivitas kognitif berupa pengkategorian sebuah fenomena atau stimulasi baru pada skema yang sudah ada. Asimilasi tidak dapat merubah skema yang telah ada dalam pikiran. Lebih lanjut Asimilasi merupakan aktivitas seorang individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan atau pandangan baru. Fungsi utama dari aktivitas ini adalah agar individu bisa berkembang.


c. Akomodasi

Ketika bertemu pengalaman atau stimulus baru, manusia cenderung tidak bisa melakukan asimilasi terhadap stimulus baru dengan skemata yang sudah dimiliki. Stimulus baru tersebut memiliki kemungkinan tidak sesuai dengan skema yang sudah dimiliki. Karena hal tersebut manusia akan melakukan akomodasi. Akomodasi dilakukan agar skema baru bisa terbentuk dan bisa sesuai dengan skema yang telah ada dan juga bisa memodifikasi skema sehingga bisa sesuai dengan stimulus yang baru.


d. Ekuilibrium

Merupakan ekuilibrasi/ekuilibrium (keseimbangan) dari asimilasi dan akomodasi. Sementara diskuilibrasi atau disequilibrate merupakan kondisi tidak seimbang antara akomodasi dan asimilasi. Keseimbangan atau ekuilibrium bisa bermanfaat agar individu bisa menggabungkan susunan kognitif dalam dengan pengalaman luarnya.


1. Tujuan Teori Belajar Konstruktivistik


Berikut merupakan tujuan Teori Belajar Konstruktivistik :


  1. Peserta didik bisa terdorong dan sadar bahwa belajar merupakan kewajiban untuk dirinya sendiri.

  2. Peserta didik akan lebih mampu dan peka untuk mengetahui masalah yang ada disekitar dan bisa mencari solusi yang harus dilakukan.

  3. Peserta didik akan dapat menemukan pertanyaan atas persoalan yang ada.

  4. Peserta didik bisa lebih terbantu dalam meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang sebuah konsep secara detail.

  5. Peserta didik berkembang dan mampu untuk menjadi seorang pemikir yang independen.

  6. Peserta didik lebih sadar tentang pentingnya proses belajar dan bagaimana cara belajar.


Esensi dari pembelajaran konstruktivistik yang berdasarkan dari pernyataan Brooks & Brooks mengungkapkan bahwa sejatinya pengetahuan itu bersifat sementara, tidak pasti, selalu berubah (dinamis) dan juga tidak objektif. Belajar bila dipandang dari pembangunan pengetahuan adalah suatu pengalaman empiris, kegiatan kerjasama dan evaluasi. Sedangkan mengajar adalah memelihara lingkungan agar peserta didik bisa terdorong untuk bisa mendalami hakikat dan bisa sadar akan ketidak pastian. Dengan fondasi seperti di atas maka peserta didik akan mempunyai penguasaan dan perspektif yang luas terhadap pengetahuan yang didapat dari pengalaman untuk ditafsirkan.


Pada teori ini memfokuskan pada perkembangan sebuah konsep dalam definisi yang dalam, pengetahuan dengan fondasi yang kuat dengan peran aktif peserta didik. Bila peserta didik tidak proaktif dalam mengkonstruksi pengetahuan, walaupun mereka sudah memiliki umur yang matang, tetap saja pengetahuan tidak berkembang didalam dirinya. Sebab pengetahuan bisa berkembang dan berguna bila pengetahuan bisa bermanfaat dan bisa untuk menemukan solusi atas kejadian atau persoalan yang ada di sekitar.


Sebuah pengetahuan tidak bisa hanya disampaikan begitu saja tetapi harus ditafsirkan secara independen oleh setiap peserta didik. Selain itu pengetahuan juga bukan barang yang tetap, karena setiap pengetahuan itu bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.


2. Elemen dan Prinsip Teori Konstruktivistik


Terdapat banyak prinsip konstruktivisme yang bisa membentuk cara kerja teori ini dan penerapannya bagi peserta didik . Berikut merupakan berbagai prinsip konstruktivisme dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut menyusun keseluruhan sebuah teori.


  1. Pengetahuan itu ditata, disusun atau dibangun. Ini merupakan prinsip dasar konstruktivisme, artinya pengetahuan dibangun berdasar dari pengetahuan lain (terdahulu). Jadi peserta didik akan mendapat pengetahuan dari guru kemudian digabungkan dengan pengetahuan terdahulu lalu menjadi pengetahuan baru setelah diproses oleh cara berpikir mereka sendiri yang unik. Cara berpikir ini bisa berupa pengalaman, keyakinan, wawasan pengetahuan.

  2. Manusia belajar untuk belajar. Pembelajaran merupakan proses untuk menghubungkan dan melibatkan suatu makna dan sistem makna. Contohnya adalah ketika peserta didik sedang mempelajari kronologi rangkain peristiwa dalam sejarah, maka disaat yang sama mereka juga sedang mempelajari apa itu arti kronologi. Maksudnya adalah saat kita belajar kita juga akan belajar tentang sesuatu hal yang baru. Jadi setiap hal yang kita pelajari hari ini akan memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang hal-hal lain di masa depan.

  3. Belajar adalah proses aktif. Pada saat pembelajaran berlangsung peserta didik akan otomatis membangun makna karena ada masukan sensorik. Ketika belajar, peserta didik harus melakukan sesuatu untuk belajar. Maka mereka harus terlibat secara langsung dalam pengembangan dan pembelajaran yang mereka lakukan. Jadi pelajar harus terlibat langsung secara aktif untuk diskusi, membaca, beraktivitas dsb.

  4. Belajar merupakan kegiatan sosial. Maksudnya adalah belajar merupakan proses interaksi secara langsung dengan orang lain, seperti guru, keluarga, teman, kenalan yang pasti akan mempengaruhi pembelajaran kita. Pendidik akan lebih berhasil apabila secara sadar dan menyadari bahwa keberhasilan dalam pembelajaran adalah adanya keterlibatan teman dan kegiatan sosial lain dalam pembelajaran. Pendidikan progresif juga mengakui bahwa interaksi sosial merupakan kunci dalam kesuksesan belajar, mereka menggunakan percakapan, interaksi dan aplikasi kelompok untuk membantu peserta didik dalam mempertahankan pengetahuan dan kesuksesan belajar..

  5. Belajar itu kontekstual. Dalam pembelajaran peserta didik pasti akan kesulitan apabila mempelajari teori yang terpisah dengan kehidupan nyata (keseharian mereka). Kita belajar dengan cara yang berhubungan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui, apa yang kita yakin dsb. Seringkali hal-hal yang kita ingat merupakan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang ada disekitar kita.

  6. Pengetahuan bersifat pribadi. Karena konstruktivisme didasarkan pada pengalaman dan keyakinan diri, maka pengetahuan menjadi ranah pribadi. Maka cara dan hal yang didapat dan dipelajari oleh setiap orang pasti berbeda-beda.

  7. Kunci belajar adalah dengan melibatkan pikiran. Belajar hanya dengan bermodalkan tindakan fisik dan pengalaman belumlah cukup. Dengan melibatkan pikiran, seseorang akan lebih berhasil dalam belajar.

  8. Motivasi adalah kunci belajar. Peserta didik tidak bisa belajar maksimal jika mereka tidak termotivasi. Guru harus tahu cara untuk memotivasi peserta didik agar pikiran dan mental mereka aktif dalam membantu mereka untuk bersemangat. Tanpa tekad dan semangat kuat, sulit bagi peserta didik untuk menjangkau pengetahuan dan pengalaman masa lalu mereka untuk membuat koneksi yang menjadikan sebuah pengetahuan baru.


Agar peserta didik bisa mengikuti dengan alur dinamis dan tetap bisa fleksibel dan adaptif berikut merupakan elemen penting dari teori konstruktivistik:


  1. Terdapat kondisi sosial yang aman.

  2. Adanya motivasi agar peserta didik lebih mandiri.

  3. Terdapat upaya untuk memperkenalkan pendekatan ilmiah pada peserta didik

  4. Peserta didik bisa memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya.


a. Prinsip teori konstruktivistik

Poin penting dari prinsip atau pengaruh teori konstruktivistik, yakni:


  1. Pengetahuan disusun oleh peserta didik secara mandiri.

  2. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru ke peserta didik begitu saja, namun harus ada upaya aktif dari peserta didik untuk memahami dan menalar.

  3. Peserta didik harus proaktif dalam membangun pengetahuan secara konstan, sehingga pikiran mereka akan berkembang.

  4. Pada tahap pembangunan pengetahuan guru hanya berperan untuk membimbing agar aktivitas pembangunan pengetahuan bisa berlangsung dengan baik.

  5. Menemukan masalah yang sesuai dengan kehidupan peserta didik .

  6. Susunan pembelajaran tentang konsep dan pertanyaan lebih diutamakan.

  7. Memperoleh dan memperhatikan setiap buah pikiran yang peserta didik utarakan.

  8. Bisa fleksibel dengan kurikulum agar tanggapan peserta didik bisa dinilai sesuai dengan konteks zaman.


b. Contoh Konstruktivisme dalam Pembelajaran Kelas


Penting untuk mengetahui dan mengerti bagaimana guru atau dosen bisa mengaplikasikan konstruktivisme di dalam pembelajaran kelas, sehingga lingkungan belajar peserta didik menjadi lebih unik. Pada pembelajaran di kelas konstruktivis, guru/dosen akan menciptakan lingkungan yang menyedikan peserta didik untuk bisa berkolaborasi secara aktif dan bisa terlibat secara aktif dalam pembelajaran sendiri.


Di sini guru/dosen lebih menjadi fasilitator daripada instruktur, guru/dosen harus bisa mengerti dan memahami pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik . Kemudian guru/dosen harus jeli dalam memasukan pengetahuan baru yang akan disampaikan.


Berikut merupakan contoh penerapan teori konstruktivisme dalam pembelajaran:


Saling berbagi pengetahuan antara guru/dosen dan peserta didik .

Kewenangan bersama antara guru/dosen dan peserta didik .

Guru/dosen bertindak sebagai pemandu atau fasilitator.

Kelompok belajar terdiri dari peserta didik yang berjumlah sedikit.


Dari banyak area, pembelajaran konstruktivis sangat berbeda dengan pembelajaran normal. Pada pembelajaran ini kelas berfokus pada pertanyaan dan minat peserta didik . Guru/dosen akan membangun apa yang telah dipahami dan diketahui peserta didik , guru/dosen juga berfokus pada pembelajaran interaktif dan berpusat pada peserta didik, guru/dosen berdialog dengan peserta didik untuk membantu memahami pemahaman mereka sendiri dan peserta didik akan bekerja dengan kelompok


Selain itu pembelajaran konstruktivis ini juga mengharuskan guru/dosen untuk berdialog terbuka dengan peserta didik mengenai apa yang dibutuhkan peserta didik untuk menemukan bakat dan minat yang menjadi faktor kunci kesuksesan di masa yang akan datang.



E. PENUTUP


Digital pendagogi atau Pedagogi digital merupakan salah satu pendekatan pembelajara di era digital yang berakar pada teori konstruktivisme. Seperti halnya teori kognitif, behavioristik dan humanistik, teori konstruktivisme ini mengedepankan perkembangan peserta didik ke arah yang lebih progresif. Karena sifat kehidupan yang dinamis dan berubah-ubah maka teori Konstruktivistik ini sangat dibutuhkan di kehidupan. Penerapan Digital pendagogi pada pembelajaran bisa mengakibatkan peserta didik bisa lebih independen dalam berpikir sehingga kelak bila sudah akhir masa sekolah atau kuliah mereka bisa mengejar ilmu pengetahuan dengan mudah dan adaptif.


Pada prinsipnya, pendekatan pembelajaran digital pendagogi ini, yaitu:


  1. Sebuah metode pendekatan pembelajaran yang memberikan kemudahan dalam kegiatan pembelajaran yang menggabungkan berbagai cara penyampaian, model pengajaran, dan gaya pembelajaran, memperkenalkan berbagai pilihan media dialog antara fasilitator dengan orang yang mendapat pengajaran. Digital pendagogi juga sebagai sebuah kombinasi pengajaran langsung (face-to-face) dan pengajaran online, tapi lebih daripada itu sebagai elemen dari interaksi sosial.

  2. Digital pendagogi adalah pembelajaran dengan bantuan teknologi dan media digital. Dengan kata lain, digital pendagogi adalah model pembelajaran yang berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Posisi digital pendagogi dalam pendidikan era 4.0 merupakan suatu bentuk konsekuensi logis, karena dunia pendidikan tak luput dari pengaruh perkembangan teknologi, maka mutlak diperlukan teknologi dalam mendukung kegiatan pembelajaran .

  3. Digital pendagogi memberikan kemudahan pada siapa saja untuk mengakses informasi dan materi pembelajaran dari mana saja dan kapan saja. Model pembelajaran digital pendagogi ini mendorong keaktifan peserta didik untuk selalu belajar kapanpun dan di manapun diinginkan tanpa dibatas ruang dan waktu. Artinya bahwa dengan digital pendagogi, peserta didik diberikan kemudahan dalam belajar tanpa mengurangi tugas dan tanggungjawabnya.

  4. Digital pendagogi adalah pemanfaatan berbagai bentuk platform atau aplikasi untuk pembelajaran dalam aspek digital yang biasa dipakai oleh beberapa institusi pendidikan. Lingkungan pembelajaran virtual menawarkan sistem pembelajaran dengan berbagai komponen, dengan menambahkan keuntungan dari pembelajaran berbasis komputer dan ruang pengajaran. Salah satu proses untuk meningkatkan pengalaman belajar adalah sarana ruang virtual, yang dapat menjadi pusat peserta didik belajar, dan yang mendorong peserta didik untuk mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri.


REFERNSI


Buku Teknologi Informasi & Komunikasi Dalam Penddikan : Kajian, Analisis Dan Konsep. Pandu Graha Pustaka Makassar, 2023.




200 views0 comments

Comments


bottom of page