Umumnya, ego merupakan suatu bagian dari kepribadian yang selalu ada dalam hidup dan diri manusia. Maka tidak heran, jika banyak orang yang mengeluhkan ketika orang terdekat memiliki ego yang tinggi. Hal ini dikarenakan seseorang dengan ego yang tinggi cukup mengganggu orang lain dan sering berkaitan dengan hal negatif.
Kebanyakan orang mengalami suatu konflik, berselisih paham dengan pasangan, teman, ataupun keluarga alasannya ternyata cukup sederhana: Ego! Mereka tidak setuju untuk mengidentifikasi kesamaan, membuat penyesuaian atau atau bahkan mengeksplorasi kemungkinan mencapai konsensus tentang suatu pembicaraan, masalah, atau isu-isu kritis. Tema yang jelas berjalan melalui semua komunikasi mereka adalah: Saya benar. Anda salah.
Bias dalam sifat EGO adalah hal biasa dan lebih dari yang kita kira.
Ego menciptakan rasa penting yang salah,
Menyebabkan seseorang percaya bahwa mereka benar,
Ketika orang lain tahu mereka salah.
Seseorang mulai mengabaikan pendapat yang berbeda dari pendapat mereka sendiri.
Seorang dengan ego yang tidak terkendali:
Membuat keputusan yang buruk
Cenderung mengandalkan favoritisme
Menjadi bayangan diri mereka sendiri
Namun perlu dipahami bahwa Ego pada dasarnya tidak buruk. Tidak sama sekali. Ego memicu energi, tekad, keuletan dan ketahanan. Tapi, berpegang teguh pada ego seolah-olah seluruh hidup kita bergantung padanya, pada akhirnya akan menghambat kemajuan dan pertumbuhan kita.
Kita harus mau introspeksi dan mengakui bahwa ego mereka adalah konstruksi manusia yang penting, tetapi kesadaran diri dan empati jauh melampaui itu. Hanya dengan begitu kita dapat bergerak melewatinya dan beroperasi dengan cara yang tidak semata-mata didikte olehnya.
Ego yang besar dapat membuat kita menjadi kerdil atau tidak bertumbuh karena dapat menyebabkan kekurangan: kurang mampu kolaborasi, kurangnya rasa empati dan Kesadaran diri. Seseorang yang ingin tumbuh berkembang yang lebih baik membutuhkan kemampuan untuk mendengarkan orang lain, mengakui kesalahan, percaya dan menghargai, memberdayakan, berkolaborasi dan fokus pada gambaran yang lebih besar daripada keuntungan pribadi atau kemuliaan.
PERBEDAAN EGO DAN EGOIS
Pada dasarnya, ego merupakan hal yang palsu dan selalu berkutat pada kata saya. Perlu diketahui bahwa pikiran akan selalu menciptakan berbagai ego dan sandiwara. Contohnya, seperti saya begini, saya begitu, sifat saya begini, dan saya adalah.
Ego merupakan diri palsu, segala nilai, keinginan, dan karakter yang ditanamkan kepada pikiran seseorang. Pikiran akan menciptakan berbagai ego, baik dalam bentuk positif maupun negatif. Pikiran inilah yang memiliki andil besar dalam terciptanya segala rasa, seperti sedih, senang, takut, dan sebagainya.
Ego bisa saja tercipta secara sengaja maupun tidak sengaja, namun kebanyakan tercipta melalui budaya masyarakat. Tentu saja ego orang Indonesia jauh berbeda dengan ego orang Inggris. Misalnya, ego orang Inggris tidak akan mudah terpancing apabila ada yang mengelus kepala orang lain. Namun, akan jauh berbeda untuk orang Indonesia di mana seseorang akan marah dan mukanya memerah jika hal tersebut terjadi.
Nah, kata ego dan egois memang sering kali dianggap sama sebab sama-sama membicarakan tentang karakter manusia. Selain itu, keduanya juga sering dianggap sama sebab fakta menjelaskan bahwa ego dan egois memiliki kaitan antara satu sama lain.
Perbedaan yang paling mendasar antara ego dengan egois adalah ego memiliki kaitan dengan kesadaran diri sendiri, sedangkan egois atau yang biasa dikenal dengan istilah egosentris merupakan pemusatan terhadap diri sendiri. Egois adalah mementingkan diri sendiri.
Egois merupakan sifat manusia yang merasa bahwa diri sendiri adalah yang paling penting dan utama. menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ego adalah diri pribadi; rasa sadar akan diri sendiri; atau konsepsi individu tentang dirinya sendiri. Dengan kata lain Definisi egois adalah orang yang selalu mementingkan diri sendiri.
Berdasarkan definisi ego dan egois dalam bahasa Indonesia, dapat dipahami bahwa perbedaan di antara keduanya, antara lain: Ego merujuk pada diri manusia, sedangkan egois merujuk pada karakter manusia.
Ego merupakan hal yang tentu ada pada setiap individu sebab setiap individu tentu memiliki konsepsi tentang dirinya sendiri.Berbeda dengan ego, tidak semua manusia memiliki karakter atau sikap egois yang mementingkan dirinya sendiri. Ego adalah diri atau aku, sedangkan egois adalah keakuan.
Guna memperjelas pemahaman terhadap perbedaan kedua istilah tersebut, berikut adalah pengertian ego dan egois secara lebih lanjut.
Ego adalah eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan, mengatur, mediator, dan pendamai Id dan Superego. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa setiap manusia tentu memiliki ego. (Buku berjudul Psikoterapi Islam karya Rajab (2021: 160),
Berbeda egois merupakan karakter manusia. Pribadi yang egois adalah pribadi yang melihat segala sesuatu dari kacamatanya sendiri serta mementingkan dirinya sendiri. (Buku berjudul The Power of Self-Awareness karya Patuwo: 2016: 92).
Penjelasan di atas memiliki makna bahwa ego merupakan hal yang sudah pasti ada dalam diri manusia. Namun, ketidakmampuan manusia dalam mengontrol ego dapat membuat manusia menjadi pribadi yang egois atau mementingkan diri sendiri.
Sifat egois atau egosentris bisa dimaklumi apabila ditunjukkan oleh anak-anak karena anak berusaha untuk memahami sesuatu dari sudut pandangnya sendiri dan belum bisa memahami sudut pandang orang lain secara menyeluruh. Akan tetapi, menjadi tidak wajar ketika kadar sifat egois ini berlebihan di dalam diri seseorang yang sudah dewasa.
Berikut dua ciri yang menandakan seseorang dengan tingkat ego yang tinggi, diantaranya adalah:
Terlalu Mementingkan Diri Sendiri Orang yang terlalu mementingkan diri sendiri cenderung mengabaikan kepentingan orang lain. Orang yang selalu merasa bahwa dirinya adalah yang terpenting dan selalu untuk diutamakan sehingga ia kurang mampu untuk melakukan introspeksi diri dan tidak mengakui kelemahan atau keterbatasan diri.
Kurang Memiliki Kepekaan Sosial Berorientasi utama pada diri sendiri menyebabkan seseorang kurang peka dengan orang lain atau lingkungan di sekitar menyebabkan rasa empati dan toleran terhadap orang lain menjadi tumpul.
Sifat egois yang berlebihan membuat individu menjadi sibuk dengan dirinya sendiri dan menganggap bahwa dirinya adalah yang paling penting dan paling benar sehingga menjadi kurang peduli dengan kondisi orang lain di sekitar.
Di satu sisi, sifat egois yang berlebihan membawa dampak yang negatif dalam kehidupan kita sehari-hari, antara lain sulit untuk menyesuaikan diri karena tidak dapat menerima pandangan atau pendapat dari orang lain, konflik interpersonal meningkat karena seringkali terlalu terpaku dengan pendapat pribadi, dan pada akhirnya menimbulkan konfrontasi dengan orang lain.
Meskipun begitu, terkadang kita juga perlu untuk bersikap egois, terutama untuk hal-hal yang prinsipil karena dengan begitu kita menjadi lebih yakin dan percaya diri dengan keputusan yang diambil serta melakukan sesuatu sesuai dengan hati nurani dan prinsip pribadi.
Hal yang perlu untuk diwaspadai adalah jika kadar sifat egois berlebihan, maka bisa berdampak terhadap kesehatan mental kita. Mengapa demikian?
Pemusatan terhadap diri sendiri dapat mengarah kepada kepribadian narsistik pada diri individu, di mana individu memiliki kesombongan dan rasa mementingkan diri yang besar sehingga meminta untuk terus-menerus mendapatkan pujian dari orang lain. Namun, ketika sifat egois ini masih diimbangi dengan rasa empati dan kontrol diri, maka ini merupakan langkah awal yang baik untuk mengurangi sifat egois tersebut. Berikut cara mencegah bertindak terlalu egois , antara lain:
1. Menumbuhkan Rasa Toleransi dan Peduli
Rasa toleransi dan peduli terhadap orang lain di sekitar kita dapat ditumbukan mulai dari hal-hal yang sederhana. Sebagai contoh: Saat kita sedang berdiskusi dalam kerja kelompok, kita mau mendengarkan pendapat, ide, dan masukan dari anggota kelompok yang lain.
Belajar untuk Sabar dan Menahan Diri
Kebiasaan untuk bersikap egois membuat kita menjadi tidak sabar untuk selalu berkomentar tentang hal-hal yang tidak sesuai dengan penilaian atau harapan pribadi, terutama apabila hal tersebut menyinggung kepentingan pribadi. Pengendalian diri yang baik adalah kunci untuk kita mau mendengarkan dan menghargai orang lain karena sudut pandang orang lain bisa menjadi masukan yang berharga untuk pengembangan diri kita.
2. Berpikir Positif tentang Orang Lain
Penilaian yang buruk tentang orang lain yang belum teruji kebenarannya bisa menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada konflik dalam hubungan interpersonal. Oleh karena itu, tanamkan kebiasaan untuk melihat hal-hal yang baik tentang orang lain sehingga dapat meminimalisir kecurigaan yang berlebih dan mendukung terjalinnya relasi yang hangat dengan orang lain.
3. Belajar untuk Melakukan Introspeksi Diri
Ambil waktu sejenak untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri, apakah sifat-sifat egois di dalam kita sudah semakin berkurang, dan apakah kita sudah berhasil mengembangkan sesuatu yang positif di dalam diri kita. Segala kemajuan yang terjadi di dalam diri kita, meskipun itu adalah kemajuan yang sedikit, kecil, atau sederhana, perlu diapresiasi karena kita sudah mau melakukan upaya-upaya untuk mengurangi sifat egois di dalam diri.
MENGEMBANGKAN SIKAP ALTRUISME
Altruisme adalah suatu sikap yang berkebalikan dengan egois. Seseorang dengan karakter ini lebih mengutamakan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Ini dilakukan dalam kondisi apapun. Altruisme adalah naluri saat seseorang selalu mengutamakan kepentingan orang lain ketimbang diri sendiri. Meski ini merupakan hal yang baik, tapi bisa berujung merugikan diri sendiri.
Sikap altruisme muncul begitu saja seperti naluri alami dan dilakukan secara tulus tanpa rasa pamrih. Altruisme berdampak positif terhadap orang-orang di sekitar, tapi juga bisa memberikan dampak buruk jika dilakukan berlebihan.
Ketika karakter altruisme bertemu dengan orang yang sengaja memanfaatkan kondisi, ini bisa berujung merugikan diri sendiri. Sebab, orang dengan karakter altruisme cenderung tidak bisa menolak permintaan.
Sebenarnya, sikap altruisme bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari. Contoh sederhaana seperti memberi uang misalnya. Perilaku di atas merupakan contoh dari altruisme kecil yang pernah dilakukan oleh semua orang. Adapun contoh lainnya, seperti:
Membantu teman atau kerabat menyelesaikan masalahnya. Menunjukkan kepedulian terhadap orang lain.
Senang berbagi meski diri sendiri sedang berada di situasi yang sulit.
Ketika melakukan kebaikan, muncul rasa puas dan senang pada diri mereka. Dampaknya, terjadi peningkatan suasana hati ke arah yang lebih positif. Sederhananya, mereka melakukan hal baik untuk orang lain agar diri sendiri merasa nyaman.
Nah, ada beberapa jenis dari karakteristik altruisme, di antaranya:
1. Altruisme Genetik
Ini merupakan tindakan yang menguntungkan anggota keluarga dekat. Misalnya, orang tua atau kakak bekerja keras dan berkorban agar bisa memenuhi kebutuhan anggota keluarga atau biaya sekolah adik-adiknya.
2. Altruisme Timbal Balik
Jenis ini muncul berdasarkan hubungan saling memberi dan menerima. Contohnya, kamu membantu teman saat mereka kesulitan. Di masa depan, mereka yang akan membantu ketika kamu mengalami kesulitan.
3. Altruisme Kelompok
Jenis ini dilakukan dengan membantu salah satu member dalam kelompok sosial yang sama.
4. Altruisme Murni
Altruisme murni dikenal sebagai altruisme moral. Ini dilakukan dengan membantu orang lain, bahkan ketika berisiko, tanpa imbalan apapun. Tindakan ini berdasarkan nilai dan moral yang tertanam dalam diri sendiri.
Pada dasarnya, Altruisme adalah tindakan yang baik jika dilakukan sesuai dengan porsinya. Artinya, menolong harus diimbangi dengan kesanggupan dari diri sendiri dan jangan memaksakan kehendak ketika tidak mampu.
Naluri menolong perlu diimbangi dengan naluri bertahan hidup. Jangan dilakukan tanpa rem karena ini bisa memberikan dampak buruk bagi diri sendiri. Contohnya, jika ingin menolong orang yang tenggelam, pastikan kamu bisa berenang. Jika memaksa ingin menolong tapi tidak bisa berenang, kamu berujung ikut tenggelam.
Jika kita pernah dirugikan karena sikap altruisme yang kita miliki, disarankan untuk mengubah pola pikir. Ingatlah kalau diri sendiri lebih penting ketimbang orang lain. Ini bukan berarti egois, tapi lebih pandai memilih situasi.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat!
Comments