Perubahan mendasar terjadi di pendidikan tinggi kita dewasa ini. Perubahan mendasar tersebut adalah pergeseran Orientasi, industrialisasi Pendidikan, dan degradasi tenaga pendidik
1. Pergeseran Orientasi
Disadari atau tidak telah terjadi pergeseran orientasi yang membuat terjadinya perbedaan pendidikan generasi dahulu dan sekarang. Awalnya pendidikan bertujuan untuk mendidik manusia agar memiliki karakter, budi pekerti, etika dan berakhlak mulia. Setelah karakter terbentuk barulah diajarkan berbagai ketrampilan sebagai bekal hidup peserta didik di masa depan.
Berbeda dengan orientasi pendidikan zaman sekarang, pendidikan cenderung dijadikan sarana untuk meningkatkan kecerdasan, prestasi, skill serta berbagai cara dalam menghadapi persaingan. Sementara pendidikan yang terkait dengan karakter dan moral cenderung dinomorduakan.
Bahkan tidak sedikit yang menilai bahwa pendidikan merupakan sebuah investasi sebagaimana prinsip ekonomi, serta menjadikan pendidikan sebagai mesin industri, artinya materi pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan industri.
Perguruan tinggi dikerdilkan menjadi pusat pelatihan dan sebagai pemasok 'tenaga kerja siap pakai', hanya karena ledakan permintaan kebutuhan kerja industri, bukan sebagai pusat keunggulan (centreof excellence) ilmu pengetahuan.
Pendidikan dewasa ini hanya berorientasi pada hasil (yang dijawantahkan dengan nilai tertulis) tanpa memperhatikan prosesnya menjadikan lulusannya menjadi insan-insan yang hanya berorientasi pada hasil dan uang saja.
2. Industrialisasi Pendidikan
Pergeseran terjadi pula pada misi dari institusi pendidikan. Perbedaan antara pendidikan zaman dahulu dan sekarang dari sisi misi yang diemban dapat dilihat dari sistem pengelolaan pendidikan.
Dahulu lembaga pendidikan tingkat perguruan tinggi, didirikan dan dioperasikan dengan menggunakan anggaran dari pemerintah, sehingga misi utamanya adalah memberikan layanan pendidikan secara utuh tanpa dibarengi dengan orientasi untuk mengejar keuntungan secara materi.
Berbeda dengan sekarang, banyak institusi pendidikan tingkat perguruan tinggi yang didirikan oleh pribadi, perusahaan swasta atau yayasan. Hal tersebut membuat misi dari lembaga pendidikan sudah tidak lagi murni untuk memberikan layanan pendidikan secara total tapi juga dibarengi dengan misi untuk mendapatkan keuntungan.
Itu sebabnya mendirikan lembaga pendidikan pun saat ini menjadi sarana investasi, dan masing-masing institusi pendidikan saling berlomba-lomba untuk menghadirkan sesuatu yang lebih agar tidak kalah dari institusi pendidikan yang lain.
Kondisi ini, di satu sisi memberikan dampak positif karena kompetisi yang dilakukan dengan menghadirkan sarana-prasarana yang lebih akan sangat membantu peserta didik dalam belajar, namun di sisi lain juga berdampak negatif karena orientasi bisnis menjadikan biaya pendidikan melambung tinggi.
Akibat mahalnya biaya pendidikan yang ada menjadikan para orang tua mengharapkan bahwa biaya (investasi) yang mereka keluarkan untuk menyekolahkan anaknya haruslah kembali berlipat-lipat ganda, sehingga memaksa anak hanya berorientasi untuk mencari pekerjaan.
Pun demikian dengan institusi pendidikannya sendiri, Perguruan Tinggi berlomba lomba menjadi yang terdepan mempromosikan dirinya sebagai “mesin pencetak pekerja” yang paling unggul. Sehingga semakin terjebak menjadi pabrik pencetak tenaga kerja untuk berbagai ragam industri.
3. Degradasi Tenaga Pendidik
Bagi para orang tua yang pernah mengenyam pendidikan di era 80’- 90’an tentu akan merasakan perbedaan antara pendidikan zaman dahulu dan sekarang dari sisi tenaga pendidik.
Dahulu, meski banyak dosen dengan kualifikasi pendidikan hanya setingkat strata diploma dan atau sarjana ditambah tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, namun kompetensi dan dedikasi mereka sebagai tenaga pendidik tidak ada yang meragukan.
Dengan tingkat kesejahteraan yang rendah, dosen tetap memberikan dedikasi yang terbaik, melahirkan banyak karya karya besar dalam memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi.
Namun begitu, dosen seperti halnya guru benar-benar dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dengan status yang sangat terhormat serta dipandang memiliki pengetahuan lebih dibandingkan masyarakat setempat lainnya.
Saat itu peran dosen benar-benar total sebagai pendidik dan pengajar, sehingga cara mendidik dan mengajar mereka berkesan pada peserta didiknya. Terlebih pendekatan yang dilakukan dosen terhadap peserta didik lebih bersifat terbuka dan kekeluargaan, sehingga terbangun interaksi yang erat antara peserta didik dengan dosen.
Berbeda dengan sekarang. Meski dari kualifikasi pendidikan tidak perlu diragukan karena persyaratan untuk menjadi dosen sebagaimana peraturan yang ditetapkan pemerintah minimal harus berijazah S-2, namun dari sisi kompetensi dan dedikasi dalam mengajar masih banyak yang meragukan.
Banyak yang menilai dedikasi mengajar dan berkarya dosen sekarang mengalami penurunan, begitu juga dengan kewibawaannya. Itu sebabnya, masyarakat kadang ragu akan mutu dan kemampuan lulusan perguruan tingi dewasa ini.
Mengacu pada perubahan mendasar tersebut diatas, proses pendidikan yang terjadi sekarang ini hanya berorientasi pada kebutuhan kerja industri. Lulusan yang dihasilkan hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman.
Elemen Pendidikan Essensial di Era RI.4.0
Perubahan zaman tidak berarti mengubah hakikat prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan seumur hidup (life long education) justru harus dibudayakan lebih sungguh sungguh. Peserta didik harus dibekali dengan dua macam kemampuan.
Di satu sisi harus memiliki kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan angin perubahan. Di sisi lain harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh diterjang angin.
Kemampuan tersebut harus ditanamkan kepada peserta didik dalam porsi yang proporsional, agar kelak mereka bisa menghadapi tantangan perkembangan zaman. Dua Kemampuan tersebut terdiri dari empat elemen penting yaitu, Ilmu Pengetahuan, karakter, kesenian/budaya, spiritual/keagamaan, dan kreativitas.
Pendidikan sekarang ini tidak hanya membekali peserta didik dengan keterampilan teknis tapi juga membekali mereka daya kreatif dan daya karakter.
Menumbuhkan Mental Kreatif
Tugas pergutruan tinggi sekarang ini adalah menumbuhkan mental kreatif (creative mind). Mengikuti Peter H Diamandis, MD (2018), setidaknya ada lima karakteristik mentalitas yang perlu dibudayakan peserta didik. Jiwa sungguh mencintai (passion) terhadap apa yang dirasa sebagai bakat, minat, pilihan, dan impian seseorang.
Kuncinya adalah mengupayakan ketersingkapan potensi diri dengan mengalami secara langsung aktivitas pengembaraan, ragam kegiatan dan percobaan (experiential learning). Rasa ingin tahu (curiosity) dengan memfasilitasi proses eksperimentasi dan penemuan.
Peserta didik perlu diberikan keterampilan untuk belajar mengajukan pertanyaan, hipotesis, mendesain eksperimentasi, mengumpulkan data, dan merumuskan kesimpulan. 'Keliaran' imajinasi dengan membiarkan alam terkembang menjadi guru.
Perkembangan imajinasi peserta didik bisa difasilitasi dengan program-program pengajaran dengan basis kreatif melalui permainan berselancar di dunia maya dan karya-karya sastra. Ffilm dan science fiction juga bisa merangsang penjelajahan imajinasi.
Pikiran kritis (critical thinking)
Untuk menghadapi tantangan kehidupan era baru, dengan beragam ide yang saling bertentangan, berebut klaim, misinformasi, berita negatif dan bohong, maka dibutuhkan kemampuan berfikir kritis agar dapat membantu mengurangi kesesatan, kegaduhan, dan pembodohan.
Kampus bisa memfasilitasi pengembangan keteguhan ini lewat ajang kompetisi dalam semangat kolaborasi, juga dengan narasi figur-figur ternama yang mampu bangkit dari kesulitan dan keterpurukan.
Menumbuhkan karakter Usaha
Menumbuhkan kapabilitas kreatif peserta didik itu hanya bisa menghasilkan karya dan luaran yang konstruktif dan produktif bila dibarengi kekuatan karakter yang memberi landasan nilai integritas dan etos kerja.
Pendidikan karakter diperlukan untuk menempa peserta didik menjadi pribadi baik (karakter pribadi) sekaligus warga negara baik (karakter kolektif).
Tentang bagaimana menjadi pribadi yang baik, Thomas Lickona (2011), menengarai ada 9 nilai inti karakter pribadi yang harus ditumbuhkan: keberanian (courage), keadilan (justice), kebaikan hati (benevolence), rasa terima kasih (gratitude), dan kebijaksanaan (wisdom), wawas diri (reflection), rasa hormat (respect), tanggung jawab (responsibility), serta pengendalian diri (temperance).
Tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik, Jonathan Haidt (2012), menengarai ada 6 nilai inti moral publik sebagai basis karakter kolektif kewargaan: peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama (care), rasa keadilan dan kepantasan (fairness), kebebasan dengan menjunjung tinggi hak-hak dasar manusia (liberty).
Lalu, kesetiaan pada institusi, tradisi dan konsensus bersama (loyalty), respek terhadap otoritas yang disepakati bersama (authority), serta menghormati nilai-nilai yang dipandang paling 'mulia' (santinctity). Dalam konteks Indonesia, keenam nilai inti moral publik itu terkadung dalam Pancasila.
Pergeseran Pendekatan
Menurut Christiaan Henny (2016), ada beberapa hal yang patut diperhatikan sebagai karakteristik pendekatan dan metodologi pendidikan masa depan. Aktivitas belajar di ruang kelas mengalami pembalikan (flipped classroom).
Dengan fasilitas e-learning, pelajar bisa memiliki lebih banyak kesempatan belajar pada aneka tempat dan waktu, juga bisa belajar jarak jauh dan belajar sendiri. Dengan demikian, aktivitas di ruang kelas bisa kebalikan dari pendekatan pembelajaran konvensional.
Aspek-aspek teoritis yang biasanya disampaikan di ruang kelas bisa dipelajari di luar kelas; sebaliknya aspek-aspek praktis yang biasanya menjadi pekerjaan rumah justru dikerjakan di ruang kelas secara interaktif.
Ruang kelas menjadi wahana mendiskusikan hal-hal yang belum jelas, juga menjadi ajang kerja kelompok untuk mengaitkan hal-hal yang teoritis ke dalam praktik.
Pembelajaran mengalami personalisasi (personalizing learning).
Para pelajar akan belajar dengan alat-alat pembelajaran sesuai dengan kapabilitas dirinya. Peserta didik yang memiliki kecakapan di atas rata-rata pada subjek-subjek tertentu akan ditantang dengan tugas dan pertanyaan yang lebih berat, sedangkan pelajar yang mengalami kesulitan akan mendapatkan kesempatan yang lebih banyak hingga bisa mencapai level yang dikehendaki. Peserta didik akan mendapatkan peneguhan secara positif, yang bisa mengatasi kehilangan kepercayaan diri.
Dosen harus dapat mengenali secara lebih jelas, peserta didik mana yang memerlukan bantuan dalam bidang apa. Keterbukaan pilihan bebas (free choice). Meskipun setiap subjek yang diajarkan mengarah pada tujuan yang sama, jalan yang ditempuh oleh peserta didik untuk mencapai tujuan tersebut bisa berbeda.
Memodifikasi proses belajar dengan alat-alat pembelajaran.
Para Peserta didik belajar dengan beragam peralatan, program, dan teknik sesuai dengan preferensinya. Dosen lebih berperan sebagai mentor pendamping, pengarah, pendorong, dan penghubung Peserta didik dengan dunia luar.
Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning).
Mengikuti kencederungan pilihan karier pekerjaan di era baru, yang tidak terlalu terikat (freelance), peserta didik hari ini harus diadaptasikan pada praktik pembelajaran dan pekerjaan berbasis proyek.
Mereka harus belajar bagaimana menerapkan keterampilannya dalam jangka pendek pada ragam situasi. Keteterampilan berorganisasi, kolaborasi, dan pengaturan waktu juga diajarkan sebagai modal dasar untuk dikembangkan pada karir selanjutnya.
Perluasan pengalaman lapangan (field experience)
Karena teknologi dapat memfasilitasi secara lebih efisien pembelajaran aspek-aspek teoritis pada domain tertentu, kurikulum harus memberi ruang bagi pengembangan keterampilan dalam pengalaman langsung.
Kampus menyediakan kesempatan yang lebih luas pada peserta didik untuk meraih keterampilan dalam dunia nyata sesuai dengan preferensinya. Kurikulum harus lebih banyak ruang bagi peserta didik untuk menjalani permagangan, proyek kolaborasi, dan mentoring.
Teknologi bisa menolong aktivitas belajar mandiri di luar kelas manakala peserta didik memiliki budaya belajar dan literasi yang kuat. Untuk itu, kurikulum harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menulis dan meneliti dalam kerangka penguatan hardskill dan softskill.
Membaca, menulis dan meneliti harus menjadi kecapakan fungsional yang dibiasakan (Literasi habit) sejak awal mereka masuk kampus. Kecakapan dan kebiasaan membaca, menulis, dan meneliti sejak dini akan memudahkan peserta didik untuk menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran yang mereka peroleh.
Budaya literasi kian penting dihadapkan pada perluasan terpaan media digital dengan muatan pesan yang serba ringkas dan instan. Tanpa tradisi membaca yang kuat akan sulit bagi generasi baru untuk memahami dan mengembangkan penalaran panjang seperti pengetahuan-pengetahuan naratif (filsafat, ideologi, sejarah, agama, sastra, dan lain-lain). Pengetahuan naratif merupakan sumber penemuan diri dan pembentukan karakter.
Perguruan tinggi harus membudayakan minat baca, tradisi menulis, dan meneliti pada peserta didik. Tanpa daya interpretasi, daya baca, daya tulis, dan daya meneliti, perkembangan kreativitas manusia tidak memiiki landasan yang kuat. Oleh karena itu, harus disediakan wahana bagi peserta didik untuk mengembangan budaya literasi. Kampus hanya menyediakan bahan-bahan bacaan yang sejalan dengan misi pendidikan.
Peserta didik juga harus dilatih untuk mempresentasikan apa yang mereka tangkap dari bahan bacaan. Bukan sekadar membantu mengingat, melainkan juga melatih kepercayaan diri, serta pembiasaan saling mendengar dan saling mengapresiasi sesama peserta didik.
Selain membaca, Peserta didik harus diberikan kecapakan menulis. Pelajaran menulis tidak sekadar diletakkan di kegiatan pelatihan paruh waktu, tetapi subjek tersendiri yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran. Kecakapan menulis merupakan bekal dasar bagi asah kemampuan logika, sistematika, meneliti, dan mencipta.
Semua pergeseran dalam pendekatan dan metodologi pendidikan itu harus seiring dengan transformasi pendidikan karakter. Untuk itu, kurikulum harus menyediakan peserta didik suatu wahana olah rasa untuk mengasah daya-daya afeksi yang dapat memperkuat kepekaan estetik, kehalusan perasaan, keindahan perangai, kepekaan empati dan solidaritas sosial, sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, semangat kebangsaan (nasionalisme), dan gotong-royong.
Untuk itu, kurikulum hendaklah memberi perhatian pada pelajaran seni/budaya, moral keagamaan, kesejarahan, pendidikan karakter personal dan kewargaan, wawasan kebangsaan, dan kemanusiaan.
Pengembangan karakter merupakan pendekatan holistis yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil kehidupan peserta didik.
Dalam pendidikan karakter, moral itu ditangkap (caught) dengan keteladan, bukan diajarkan (taught) dengan hafalan. Cara mengajarkannya tidak terisolasi dalam mata pelajaran tersendiri, tetapi melekat dengan seluruh rangkaian kurikulum dan melibatkan peran komunitas kampus.
Sifat-sifat karakter yang dikehendaki harus merembesi lingkungan belajar Peserta didik baik dalam kelas, jalan masuk, kafetaria, lapangan olahraga, dan tempat-tempat lainnya, yang kemudian terhubung dengan praktis moral dalam realitas masyarakat.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa hakikat prinsip pendidikan tidah berubah karena perubahan dan perkembangan zaman tapi terus dikembangkan dan ditingkatkan. Sebuah peribahasa Latin yang berbunyi “Non scholae sed vitae discimus” artinya “kita belajar bukan untuk nilai sekolah, namun demi nilai kehidupan.”
Hakikatnya pendidikan membekali dan mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki potensi spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan. Dengan bekal itulah, peserta didik diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change)
Comments