Sub Pokok Bahasan Buku Literasi Informasi & Media (LIM)
Banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia terkait pelanggaran UU ITE mencerminkan bahwa kebebasan bereskpresi di dunia maya tidak bisa dianggap hal sepele. Meskipun bebas, namun masyarakat harus dapat mempertanggungjawabkan pendapat atau informasi yang disampaikan. Dengan begitu, setiap pengguna harus memikirkan dengan baik-baik konten apa yang akan diunggah di media sosial kita. Pertanyaannya kemudian sejauh mana kebebasan bisa dipertanggungjawabkan dalam komunikasi media jejaring sosial? Dengan kata lain, sejauh mana individu memiliki otonomi dalam melakukan atau tidak melakukan komunikasi dengan menggunakan jejaring sosial yang ada? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu, kita harus memahami karakteristik media jejaring sosial dan khalayaknya. Ada dua sifat media jejaring sosial yang saling berhubungan satu dengan lainnya, yakni interaktivitas dan khalayak aktif. Interaktivitas menandakan bahwa khalayak media jejaring sosial adalah aktif karena jika pasif maka interaktivitas tidak akan berjalan. Dalam media sosial, khalayak menentukan akses atas informasi yang disediakan media sosial itu dalam tiga hal, yakni kapan informasi itu diakses, jenis informasi apa yang akan diakses, dan apakah khalayak itu akan membagikan (sharing) atas informasi yang mereka dapatkan ataukah tidak (dikutip dari Rianto, 2016).
Visi khalayak aktif berarti pula otonomi. Dalam media jejaring sosial seperti facebook, Instagram, Twitter khalayak memilik otonomi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan para khalayak media massa. Seperti dikemukakan oleh Ruggiero (Baran dan Davis, 2010: 296), sekali pesan terdigitalisasi, manipulasi media menjadi tidak dapat diukur, membuat individu memiliki lebih banyak kontrol daripada terhadap media tradisional. Ini mengandung pengertian bahwa khalayak media baru jauh lebih bebas dan otonom dibandingkan dengan media massa. Oleh karena itu, ketika tuntutan etis komunikasi massa dilandasi oleh profesi-setiap perilaku profesi harus disandarkan pada kaidah-kaidah etis demi menjamin kepentingan publik (Haryatmoko, 2007; Siregar, 2006)-maka etis dalam media baru merupakan konsekuensi atas otonomi dan kebebasan komunikasi itu sendiri. Maka, jika etika komunikasi hendak memecahkan dilema antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab media sebagai instansi pelayanan publik (Haryatmoko, 2007) maka dalam konteks media baru, tuntutan etis tentu saja bukan soal kebebasan dan tanggung jawab layanan publik, tapi bahwa kebebasan itu senantiasa membawa konsekuensi.
Etika merupakan pilihan nilai moral dalam menghadapi realitas, yang secara substansial dapat ditarik ke akarnya, yaitu bagaimana pelaku mendefinisikan alter dalam interaksi sosial (Siregar, 2006: 73). Kebutuhan akan etika hadir karena manusia adalah makluk sosial. Sebagai makluk sosial, keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari interaksinya dengan pihak lain. Dalam interaksinya itu, dibutuhkan pedoman perilaku agar masing-masing mengetahui bagaimana seharusnya bertindak, menempatkan diri dalam keseluruhan interaksi dengan manusia lainnya sehingga tidak menimbulkan kegoncangan ataupun kekacauan sosial (Nasution, 2015). Oleh karena etika ditempatkan dalam interaksinya dengan orang lain, maka etika dapat dilihat sebagai filosofi tentang apa perilaku yang baik dan berterima (right and acceptable behavior), mempromosikan suatu fair play bahkan terhadap orang yang tidak disukai sekalipun, dan merupakan kode personal berupa suatu pilihan pribadi untuk berperilaku etis (Nasution, 2015: 22). Etika merupakan orientasi bagi manusia bagaimana seharusnya ia menjalani hidup dalam kehidupan sosial. Etika sebagai sarana orientasi bagi manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental, yakni bagaimana saya harus hidup dan bertindak? (Magnis-Suseno, 1987).
Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat. Kebiasaan baik ini lantas disebarluaskan, disosialisasikan, dan diturunkan dari satu ke generasi ke generasi berikutnya. Kaidah-kaidah, norma, dan aturan menyangkut baik buruk perilaku manusia yang secara singkat kemudian dipahami sebagai kaidah yang menentukan apa yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus ditinggalkan. Dalam konteks ini, etika disamakan dengan ajaran moral. Etika secara lebih luas dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup, dan bertindak sebagai orang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, dan arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia (Keraf, 2002: 3). Etika, di sisi lain, bisa dipahami sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situsi khusus tertentu (Keraf, 2002: 4). Etika dipahami sebagai filsafat moral, suatu ilmu yang membahas secara kritis persoalan benar dan salah secara benar, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret (Keraf, 2002: 5). Menurut Nasution (2015: 23), “etik merupakan filosofi untuk berperilaku yang berterima di tengah orang lain. Etik mempertanyakan apa yang harus kita perbuat pada situasi tertentu (what we should do in some circumstance) atau apa yang harus kita lakukan selaku partisipan dalam berbagai aktivitas atau profesi.”
Para pengguna media baru mempunyai kebebasan dan otonomi, dan karenanya harus dituntut tanggung jawabnya. Berdasarkan data yang telah dikemukakan sebelumnya terkait pelanggaran UU ITE memberikan pelajaran bahwa menggunakan media jejaring sosial tidak sekadar menulis dan membagi informasi, tapi bahwa tindakan tersebut harus disadari oleh pertimbangan-pertimbangan etis. Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa dibandingkan khalayak media massa, khalayak media jejaring sosial jauh lebih bebas dan otonom. Ia tidak hanya bisa membaca, tapi sekaligus memberikan respon segera atas apa yang dibacanya itu dalam waktu dan situasi yang dipilihnya. Selain itu, para pengguna media baru juga mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki khalayak media massa karena bisa memproduksi pesan dan menyebarkannya. Seorang pengguna facebook tidak hanya bisa membaca dari tulisan atau berita yang di share oleh teman-teman mereka, tapi sekaligus bisa memproduksi pesan media untuk didistribusikan. Dalam waktu bersamaan, ia bertindak sebagai penerima dan pemroduksi pesan sekaligus. Di sinilah, tindakan komunikasi itu harus benar-benar mempertimbangkan segi etis. Ini karena bukan hanya bahwa media jejaring sosial seperti facebook atau twitter mampu menjangkau khalayak luas karena bisa di share dan menjadi viral, tapi bahwa media jejaring sosial itu sendiri mempunyai “kehidupan sosial”. Oleh karenanya, setiap tindakan komunikasi terutama dalam memproduksi dan mendistribusikan konten atau pesan-pesan komunikasi harus selalu dilandasi oleh etis komunikasi.
Tindakan etis semacam itu bisa dilakukan dengan cara mempertanyakan secara kritis apakah tindakan-tindakan komunikasi yang ia lakukan sesuai dengan kewajiban universal sesuai ajaran etika deontologi atau memberikan manfaat terbesar bagi banyak orang sesuai ajaran etika utilitarianisme. Jika bukan karena pertimbangan kewajiban moral atau manfaat atas tindakan komunikasinya, maka ia bisa merujuk pada hati nuraninya, pada pengalaman-pengalaman pribadinya, apakah jika menulis sebuah pesan ataupun mendistribusikan sebuah pesan maka itu baik atas pertimbangan hati nurani dan pengalaman pribadinya. Dari perspektif ini, meskipun media jejaring sosial memberikan keleluasan dan otonomi yang lebih besar, tapi tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab. Begitu juga bahwa tidak ada kebebasan yang sifatnya mutlak. Setiap kebebasan dibatasi oleh hak-hak orang lain, dan etika hendak menjamin bahwa kebebasan itu tidak menuju pada keburukan dan kekacauan. Dengan mempertimbangkan segi-segi etis atas tindakan komunikasi-menulis atau mendistribusikan sebuah pesan komunikasi melalui media sosial-tidaklah sederhana. Ia harus senantiasa melibatkan pertimbangan-pertimbangan etis, ajaran-ajaran dan nilai-nilai moral yang berkembang dalam masyarakat. Di sini, diperlukan semacam keterbukaan pikiran agar pertimbangan-pertimbangan etis bisa dilakukan dengan baik.
Referensi
Sumber Buku Literasi Informasi dan Media (LIM), Cetakan I, Pebruari 2021
#BukuLiterasiInformasiDanMedia(LIM)#LiterasiDigitalSebagaiKecakapanHidup #TantanganDanPeluangLiterasiDigitalDiIndonesia
Comments