“BUMI ada batasnya, tapi kebodohan manusia tidak ada batasnya,” -Gustave Flaubert.
Kecerdasan manusia sangat bervariasi. Mempelajari kebodohan manusia mungkin tampak seperti tugas yang bodoh. Mengapa evolusi tidak menjadikan kita semua jenius, dan mengapa bahkan mereka yang ber-IQ tinggi pun bertindak seperti orang bodoh? Mengapa kecerdasan manusia cenderung berfokus pada spektrum kecerdasan yang hanya dimiliki manusia manusia tertentu?
Namun, spektrum kecerdasan memiliki cakupan luas menimbulkan banyak pertanyaan menarik. Misalnya, jika menjadi pintar merupakan sebuah keuntungan yang luar biasa, mengapa kita tidak semua memiliki kecerdasan yang sama? Atau apakah ada kelemahan dalam menjadi pandai sehingga terkadang membuat orang yang berpikir lambat lebih unggul? Dan mengapa bahkan orang-orang terpintar pun rentan terhadap kebodohan?
Ternyata ukuran kecerdasan yang biasa kita gunakan – khususnya IQ – tidak ada hubungannya dengan perilaku irasional dan tidak logis. Kita sebenarnya bisa menjadi sangat cerdas, namun pada saat yang sama sangat bodoh. Memahami faktor-faktor yang menyebabkan orang pintar mengambil keputusan yang buruk mulai menjelaskan banyak hal mengapa orang terpintar pun rentan terhadap kebodohan.
Kebodohan yang dialami oleh manusia bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Kebodohan juga bukan merupakan sebuah hukuman yang kita terima dari pihak eksternal apalagi spontan muncul begitu saja.
Kebodohan adalah merupakan muara dari rentetan suatu siklus panjang yang mungkin berevolusi dalam untaian kesadaran kita dalam berbagai bentuk perjalanan hidup kita. Kebodohan menjadi pondasi dasar dari munculnya penderitaan.
Kehidupan yang kita saat ini tidak serta merta terjadi secara tiba-tiba. Tetapi merupakan konsekuensi dan hasil dari kumpulan perbuatan, baik melalui pikiran, ucapan, maupun perilaku yang telah kita lakukan pada kehidupan-kehidupan lalu. Kehidupan kita ini sangat berkaitan erat dengan Hukum sebab-akibat.
Hukum sebab-akibat merupakan hukum yang menjelaskan sebab dan akibat dari perbuatan yang dilakukan. Perbuatan baik atau buruk akan menghasilkan akibat yang sesuai. Jika kita melakukan sebab perbuatan yang secara moral tidak baik, maka efeknya akan memunculkan penderitaan. Sebaliknya, jika kita melakukan sebab perbuatan yang secara moral baik, maka efeknya akan memunculkan kebahagiaan. Secara Hukum sebab-akibat, kita adalah pencipta dari kehidupan kita sendiri.
Secara umum, kebodohan dapat diartikan sebagai keadaan dan situasi di saat kurangnya pengetahuan terhadap sesuatu. Hal ini tidak sama dengan tingkat kecerdasan yang rendah (kedunguan), seperti kualitas intelektual dan tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang.
Orang bodoh cenderung berperilaku yang egois, kasar dan mudah marah. Mereka selalu merasa paling benar sendiri dan sulit menerima perbedaan. Sangat terikat pada sesuatu hal, namun mudah percaya pada pada apapunyang belum tentu kebenarannya. Tidak dapat membedakan baik dan buruk.
Dalam dunia filsafat, kebodohan adalah noda yang paling buruk dari semua noda. Seseorang dapat terbebas dari semua noda bilamana telah menyingkirkan kebodohan ini. Membebaskan diri dari noda kebodohohan untuk menemukan kebijaksanaan.
Kebodohan adalah sikap mental yang tidak mengenal eksistensi dirinya dan abai terhadap kebenaran. Oleh karena itulah, orang-orang Arab Jahiliyah dahulu bukan bodoh dalam ilmu pengetahuan, tetapi enggan menerima ajaran kebenaran dan tak berkeadaban.
Al-Haddad meriwayatkan hadits, “Ketika menciptakan kebodohan, Allah memanggilnya, 'Majulah! ' Kebodohan itu justru mundur. Sebaliknya, ketika Dia memintanya untuk mundur, ia malah maju. Allah lalu mengatakan, 'Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak menciptakan makhluk yang paling Kubenci selain dirimu.
Secara fitrah, manusia dibekali potensi kepandaian, yakni benar, baik, dan indah. Ketika dilahirkan belum tahu apa-apa, kemudian belajar dengan perangkat yang telah disediakan.
Allah SWT berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur." (QS an-Nahl (16): 78).
Bagi orang awam, kebodohan kerap disalahartikan seolah sama maknanya dengan seorang yang tidak mampu mengerjakan soal ujian dalam sebuah kompetisi, dsb. kebodohan seperti ini bukan sebagaimana yang dimaksud. Perlu dipahami bahwa kebodohan punya penjelasan yang lebih khusus. Kebodohan adalah pengertian yang salah tentang sifat keberadaan.
Orang yang dikuasai kebodohan adalah orang-orang yang beranggapan bahwa dirinya merupakan sosok paling penting di dunia ini. Ia merasa bahwa apa pun yang ada di sekitarnya adalah milik dia seutuhnya, orang lain menjadi tidak penting. Ketika ia bekerja maka ia merasa bahwa pekerjaan itu miliknya seutuhnya. Atau ketika ia mendapat kesenangan bahwa kesenangan itu miliknya.
Akibatnya, dalam kehidupan ini, seluruh energi kehidupan yang dimilikinya hanya terfokus kepada dia atau yang berhubungan dengan dirinya. Dalam pengertiannya, apa yang berkenaan dengan dirinya adalah paling utama. Ia merasa nyaman dengan konsep pengertian tersebut.
Sehingga bila terjadi sesuatu yang menimbulkan "kontak" terhadap dirinya maka orang seperti ini akan sangat reaktif. Bila sesuatu itu menimbulkan perasaan gangguan maka ia begitu terguncang dan merasa dunia akan runtuh. Selanjutnya timbullah kekotoran batin, seperti kemarahan, dendam, benci, dan seterusnya.
Sebaliknya jika mengalami sesuatu yang membuat ia senang, maka ia merasa itu menjadi surga buat kita dan kalau bisa kita harus mendapatkannya lagi dan terus lagi. Akibatnya muncullah nafsu-nafsu keinginan, keserakahan, dan sebagainya. Inilah penderitaan yang kerap kita alami selama ini.
Saat ini, banyak kita yang justru terjebak dalam konsep pengertian seperti itu. Kita berolahraga bukan untuk merawat kesehatan fisik kita tetapi justru ingin mempertahankannya agar tetap awet sehingga usia tua menjadi enggan menghampiri.
Kita belajar bukan untuk berbagi kepada sesama, tetapi hanya untuk memperkuat kedudukan ego kita. Kita mengalami masalah seolah hanya kita yang mengalaminya, sehingga begitu mudahnya kita terpuruk dalam kekecewaan dan tekanan pikiran. Kita bukan mencintai kehidupan tetapi justru menjauhi kehidupan itu sendiri.
Kebodohan seperti ini membuat kita tidak menyadari hakikat kehidupan yang terus berubah, datang dan pergi, timbul serta tenggelam, begitu terus. Untuk mengatasinya, mari kita ubah pandangan ini. Bahwa disamping kita, juga masih ada orang lain, makhluk lain.
Mereka juga tak kalah penting dengan diri kita. Mereka juga punya kontribusi bagi kebahagiaan kita. Dengan memikirkan orang lain, maka kita juga terlatih untuk membangkitkan pikiran bijak dalam diri kita. Bahwa kita perlu mendengar apa yang terjadi di luar diri kita. Kita perlu mengulurkan tangan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dan kita perlu mendoakan agar semua berbahagia.
Ini adalah proses latihan untuk menyempurnakan diri sehingga kebodohan pikiran dan batin menjadi terminimalkan. Dengan demikian kebodohan yang selama ini menjebak hidup kita menjadi perlahan sirna, dan penderitaan yang kita alami menjadi kebijaksanaan yang berharga.
Comentários