Sering mendengar perbincangan lepas tentang pendidikan, “Pilih SMK aja, biar langsung dapat kerjaan kalau udah lulus.” “S1 pendidikan kok kerja di pabrik, percuma kalau sama kayak yang nggak kuliah.” “Kuliah cuma buang-buang uang, mending cari kerja aja.” “Itu sarjana tapi pengangguran.” “S1 jadi karyawan gajinya sama aja dengan lulusan SMA, mending nggak kuliah, gajinya gede.”
Perbincangan tersebut adalah gambaran realitas lulusan sarjanan saat ini. Maklumlah, masih banyak orang yang belum faham apa hakekat pendidikan. Pendidikan hanya diukur sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi, tetapi setelah kerja dan gajinya dirasa kurang, hidup mereka tidak puas, dan akhirnya membanding-bandingkan dengan orang lain.
Inti masalah pendidikan terletak pada kemampuan seseorang dalam mengatasi persoalan dirinya sendiri. mengasah kemampuan berpikir, dan lain sebagainya. Pada intinya, pendidikan bukan sesuatu yang sia-sia.
Pendidikan itu ibarat batu loncatan yaitu pendidikan sebagai batu tumpuan untuk melompat (meloncat) mendapatkan pekerjaan atau penghidupan yang diinginkan atau sebagai jalan usaha untuk menjadi atau memperoleh kedudukan (pekerjaan) yang lebih.
Tak dipungkiri, banyak orang berhasil membuktikan bisa sukses tanpa harus kuliah atau sekolah yang tinggi. Tapi bukan berarti pendidikan itu tidak penting, bukan berarti dengan kuliah kita membuang-buang uang. Pendidikan bisa didapat darimana saja, tidak harus melalui jalur formal. Kita bisa mendapatkan pendidikan melalui kisah orang-orang sukses, atau mengambil pelajaran dari suatu kejadian, atau lainnya.
Inti pendidikan adalah belajar. Batasan tentang belajar bermacam-macam, tetapi satu, yaitu upaya untuk menguasai sesuatu yang baru. Tidak ada kegiatan belajar, kecuali di dalamnya ada upaya untuk menguasai sesuatu yang baru. Dengan demikian, aktivitas belajar berada dalam suasana yang aktif dan dinamis untuk meraih sesuatu yang baru. Dalam kaitan dengan pembentukan karakter, sesuatu yang baru adalah hal-hal yang memperkuat kecerdasan.
Pendidikan sejatinya adalah proses yang mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang lebih pintar, lebih tahu, lebih mengerti tentang dunia, sehingga ia menjadi lebih bijak. Namun, dalam perjalanannya, pendidikan lebih cenderung disejajarkan dengan perubahan dalam kognitif saja.
Indikator psikomotorik dan afektif kemudian lebih banyak dikesampingkan. Lalu, pendekatan ini lambat laun seiring berjalannya waktu dianggap sebagai tumpuan keberhasilan suatu proses pendidikan. Dengan kata lain, anak didik dikatakan berhasil dalam pendidikannya ketika ia sukses meraih peringkat lulus dengan angka cumlaude.
Meraih prestasi dalam pendidikan adalah hal yang membanggakan. Hal itu wajar saja karena salah satu kebutuhan manusia adalah ingin sebagai pribadi terbaik. Namun, yang banyak terjadi kemudian adalah mengedepankan prestasi akademik dengan mengesampingkan penanaman karakter atau kepribadian luhur yang justru melahirkan generasi-generasi ingin menang sendiri, bahagia sendiri, sukses sendiri, dan cenderung melupakan teman-teman sejawatnya yang lain.
Jadi, tidak mengherankan jika di zaman ini banyak orang-orang pintar, kaya, ahli, penguasa yang terlahir dari proses pendidikan tinggi justru terlihat tidak memiliki andil besar terhadap perubahan masyarakat dan bangsanya.
Orang yang pintar semakin pintar, orang kaya semakin kaya, dan penguasa semakin berkuasa. Sementara di tempat lain, orang miskin semakin miskin, orang bodoh semakin bodoh, dan masyarakat biasa semakin terpinggirkan. Tidak sedikit dari kita yang lupa bahwa inti dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah terbentuknya pribadi-pribadi dengan karakter yang baik.
Telah nampak di depan mata, banyak pemimpin, pejabat, dsb. yang tidak diragukan kepintarannya, diakui kekayaannya, dan dihormati kekuasaannya justru melakukan perbuatan tercela dan merugikan orang banyak, dengan melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, sogok-menyogok, konspirasi, dan lain sebagainya.
Pada akhirnya Kita kembali mempertanyakan peran dan tujuan pendidikan kita? Apakah institusi pendidikan di negeri ini kurang atau tidak peduli lagi mengajarkan pendidikan karakter kepada anak didiknya? Apakah guru tidak memberi contoh tauladan kejujuran dan amanah pada anak didiknya? Ataukah para dosen di perguruan tinggi lebih memilih menyelenggarakan perkuliahan dengan bobot ilmu pengetahuan tertinggi tetapi sudah lupa menanamkan nilai-nilai? Ataukah para mahasiswa lebih mendahulukan selembar ijazah semata.
Ataukah ada masalah dalam penyelenggaraan proses pendidikan? apakah guru, dosen, hingga pegawai terkait di bidang pendidikan sudah berkualifikasi dan pantas menjadi teladan? Sudahkah mereka menyebarkan keteladanan di hari-hari mereka berinteraksi dengan anak didik?
Jangan sampai kita terlalu sibuk menggonta-ganti kurikulum, buku teks, tata cara evaluasi, dan kebijakan-kebijakan lain yang sifatnya administratif sementara melupakan peran serta keteladanan dan profesionalisme. Apapun kurikulumnya, jika guru, dosen dan penyelenggara pendidikan (sekolah/kampus) belum sampai pada tahap keteladanan dan profesionalisme, maka semua proses pendidikan pendidikan, seminar dan pelatihan-pelatihan, akan sulit bersinergi dan berjalan dengan maksimal.
Lalu, bagaimana menciptakan guru, dosen, dan penyelenggara pendidikan yang kompeten, dan memiliki roh keteladanan. Langkah awal adalah proses seleksi guru, dosen, dan penyelenggara pendidikan perlu diperketat dan diawasi dengan semaksimal mungkin. Kita tidak bisa berharap hanya lulus tes tertulis atau lulus tes akademik saja . Karena keteladanan tidak dapat diukur secara valid dan reliabel dari proses seperti itu. Sikap, perilaku, karekater tentu saja dapat juga dijadikan bahan pertimbangan.
Oleh karena itu, dalam tes-tes seleksi guru, dosen, dan penyelenggara pendidikan perlu dimasukkan unsur-unsur tersebut sebagai penilaian layak tidaknya seseorang menjadi guru/dosen. Dengan tujuan, agar terseleksilah calon-calon pendidik yang kompeten. Agar kelak, anak didiknya bukan hanya didekatkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga dieratkan dengan nilai-nilai karakter. Apabila ini dapat terlaksana dengan baik, kelak akan tercipta generasi-generasi yang penuh keteladanan dan berkarakter baik. Dan nyatanya, memang itulah inti dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Comments