Kebebasan Berbicara dan Berpendapat Penting Dipahami Bagi Aktivis Informasi & Penggiat Media Sosial
- Yusrin Ahmad Tosepu
- Jul 11, 2021
- 21 min read

Sudah banyak yang menulis topik kebebasan berbicara dan berpendapat atau biasa disebut dengan istilah kebebasan berekspresi dan dari beragam perspektif. Ada ratusan buku dan ribuan artikel, monograf, dan pernyataan yang didedikasikan terhadap topik yang begitu penting dan kontroversial ini. Banyak tulisan yang sudah dihasilkan tentang kebebasan berbicara dan berpendapat, dan bahkan kebebasan berbicara dan berpendapat merupakan salah satu konsep dan isu yang paling sering diperdebatkan pada zaman kita.
Kita mengetahui bahwa kebebasan berbicara atau berpendapat atau dikenal dengan istilah kebebasan berekspresi adalah elemen penting dalam demokrasi, pembangunan dan dialog, yang tanpanya ketiga hal tersebut tidak mungkin dapat berfungsi ataupun berkembang. Sistem ketatanegaraan dan hukum Indonesia kini telah mengadopsi prinsip-prinsip HAM dan pelaksanaanya diatur dengan Undang-undang. Kebebasan berbicara di Indonesia di jamin oleh Undang-Undang seperti UUD 1945 pasal 28. Dimana dalam pasal ini menjamin semua warga negara untuk bebas mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, tanpa takut adanya hal yang akan mengganggunya. Karena kebebasan berbicara dan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia.
Terdapat 3 catatan yang menjadi gambaran bahwa pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dalam bingkai kebebasan kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh informasi masih butuh pemenuhan dan perlindungan yang utuh dan menyeluruh.
Ketiga catatan tersebut yaitu: Kebebasan berekspresi adalah hak universal yang harus dapat dinikmati semua orang. Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi maupun mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun yang dikehendaki tanpa memandang batas negara sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
Setiap orang harus memiliki seluruh alat dan mekanisme yang diperlukan yang memungkinkan terjadinya aliran bebas informasi. Namun perlu pula diketahui bahwa Kebebasan berpendapat dilindungi hukum atau undang-undang, Jadi, berpendapat bebas tapi dalam praktiknya kita tidak bebas berbicara. Hal ini berarti bebas berbicara dan bebas berpendapat dijamin sekaligus dibatasi oleh aturan.
Menyikapi hal ini, masyarakat perlu tangkas dan cermat dalam menyampaikan pendapat. Baik dalam konteks berbahasa secara lisan maupun berbahasa secara tertulis, seperti di media sosial. Begitupula dalam kekebesan berpendapat bukan berarti kita boleh melakukan pembohongan, penghinaan, pelecehan, dan seterusnya.
Apa itu kebebasan Berbicara dan Berpendapat?
Kebebasan menyampaikan pendapat selalu didambakan oleh manusia, pada zaman dahulu dan zaman modern. Kebebasan berbicara secara luas dipahami sebagai suatu pandangan yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak alami untuk mengekspresikan diri mereka dengan bebas melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara serta tanpa batas usia.
Kebebasan berbicara terkadang juga dikenal sebagai berekspresi . Dua konsep ini sebenarnya sama. Kebebasan berekspresi mencakup ekspresi yang lebih luas, termasuk kebebasan berekspresi melalui cara lisan, tercetak maupun materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik.
Kebebasan berbicara (Inggris: Freedom of speech) adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian. Dapat di identikkan dengan istilah kebebasan berekspresi yang kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan bukan hanya kepada kebebasan berbicara lisan, akan tetapi, pada tindakan pencarian, penerimaan dan bagian dari informasi atau ide apapun yang sedang dipergunakan.
kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara”. (Pasal 19, Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, 1948)
“Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa diintervensi. Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini wajib mencakup hak untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide dalam segala bentuknya, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis maupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya yang dikehendaki”
“Kebebasan berekspresi, yang mencakup hak untuk ‘mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide dalam segala jenisnya, mencakup hak untuk berbagi atau mengekspresikan informasi dan ide, serta hak untuk mengakses informasi.“ (Masyarakat Hak-hak Asasi Manusia Internasional/International
Menurut John Locke, kebebasan bereskpresi adalah cara untuk pencarian kebenaran. Kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari, menyebaluaskan dan menerima informasi serta kemudian memperbincangkannya – apakah mendukung atau mengkritiknya – sebagai sebuah proses untuk menghapus miskonsepsi kita atas fakta dan nilai.
Sedangkan John Stuart Mill, menyatakan bahwa kebebasan berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran. Kenapa demikian? sebab suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Penilaian membutuhkan asupan, penelaahan dan penyebaran informasi.
Mengapa kebebasan Berbicara dan Berpendapat Penting?
Ada banyak alasan mengapa para pendukung kebebasan berekspresi amat peduli dengan hal ini. Walaupun ada ribuan pendapat mengenai kebebasan berekspresi, pada intinya terdapat kesepakatan bahwa negara-negara dan masyarakatnya hanya dapat benar-benar berkembang dan maju jika ada suatu wadah ekspresi yang bebas dan terbuka. Selain itu, pada tingkat psikologis, dikatakan bahwa kebutuhan untuk mengekspresikan diri kita sendiri adalah suatu kondisi kemanusiaan yang universal, dan kita umat manusia sepanjang sejarah peradaban selalu mengekspresikan diri kita.
Secara umum, kebebasan berekspresi penting karena empat hal : Pertama, kebebasan berekspresi “penting sebagai cara untuk menjamin pemenuhan diri seseorang”, dan juga untuk mencapai potensi maksimal dari seseorang. Alasan kedua adalah untuk pencarian kebenaran dan kemajuan pengetahuan; dengan kata lain, “seseorang yang mencari pegetahuan dan kebenaran harus mendengar semua sisi pertanyaan, mempertimbangkan seluruh alternatif, menguji penilaiannya dengan meghadapkan penilaian tersebut pada pandangan yang berlawanan, serta memanfaatkan berbagai pemikiran yang berbeda seoptimal mungkin”. Kedua, kebebasan berekspresi merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partipasi publik dalam pembuatan keputusan-keputusan.
Ketiga, kebebasan berekspresi merupakan pra-syarat bagi perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Kebebasan bereskpresi juga menjadi pintu bagi dinikmatinya kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih. Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan public apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas.
keempat, kebebasan berekspresi penting agar orang dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, khususnya di arena politik. Kelima, kebebasan berekspresi memungkinkan masyarakat (dan negara) untuk mencapai stabilitas dan adaptabilitas/kemampuan beradaptasi. Penindasan atas kebebasan berekspresi dapat menimbulkan benih instabilitas karena masyarakat akan menjadi kaku dan tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan.
Menurut La Rue, 2010 (Arti penting) Kebebasan berekspresi, Pertama: memungkinkan orang-orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam informasi, yang bias mengembangkan dan mengekspresikan opini mereka dengan cara yang menurut mereka tepat. Kedua : Kebebasan berekspresi harus dilihat sebagai instrumen kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang lain dan juga penting sebagai alat untuk mendorong pemberantasan impunitas dan korupsi.
Namun, isu-isu kebebasan berekspresi bersifat multi aspek dan kompleks. Di satu sisi, ada situasisituasi yang mudah didefinisikan dan dikategorikan. Contohnya adalah ketika kelompok dominan dalam suatu masyarakat melarang diekspresikannya secara umum suatu pandangan tertentu dengan menerapkan suatu hukum maupun dengan intimidasi, hanya karena pandangan tersebut bertentangan dengan norma pihak penguasa. Di sisi lain, ada situasi yang lebih halus dan temanya lebih spesifik, atau bahkan amat halus, sehingga bahkan pihak yang tertindas sekalipun tidak menyadari bahwa hak kebebasan berekspresi mereka sedang diabaikan.
Pasal 19 UDHR bermakna bahwa Anda berhak untuk memiliki pendapat, dan juga mengekspresikannya. Anda harus mampu berbagi pendapat Anda dengan pihak lain melalui cara atau format apapun, termasuk dengan orang-orang dari negara lain.
Isu-isu kebebasan berekspresi bersifat multi-aspek dan kompleks. Namun kondisi ini berubah ketika Anda mengekspresikan pilihan Anda terhadap satu politisi dan tidak memilih yang lain, atau ketika Anda mengkritik legitimasi suatu agama tertentu. Anda bahkan dapat terkena masalah besar jika menggambar suatu simbol rasis atau tokoh agama dan mengunggahnya ke halaman web atau blog Anda. Bahkan karena hal-hal seperti ini, banyak orang sudah mendapatkan teguran, diserang, dituntut, dipenjara, bahkan dibunuh.
Berbicara tentang kebebasan berekspresi secara umum, kebanyakan contoh dan studi kasusnya terkait dengan kebebasan berekspresi dalam konteks politik, agama, budaya, dan pers. Ini lebih karena isu-isu keagamaan atau politik menarik jauh lebih banyak perhatian dan ancaman daripada ketika seseorang mengkritik lukisan artistik tumbuhan yang dibuat orang lain, ataupun ketika seseorang mengkritik
Mengapa Kebebasan berpendapat Dijamin dan Dibatasi oleh Aturan?
Kebebasan berbicara atau berekspresi adalah suatu hak yang kompleks. Hal ini karena kebebasan berekspresi tidak absolut dan diiringi dengan tugas dan tanggung jawab khusus dan karenanya “wajib mematuhi sejumlah pembatasan, sejauh pembatasan tersebut ditetapkan oleh hukum dan diperlukan”. Hak ini juga kompleks karena “hak ini melindungi hak pembicara sekaligus hak pendengar”. Kedua sisi hak yang sama ini kadang dapat bertentangan dan sulit untuk didamaikan. Kedua hak ini terkadang mengalami ketegangan karena tidak selalu mudah menemukan keseimbangan yang tepat antara hak atas kehormatan, keselamatan dan privasi.
Sebagian batasan dibuat setelah terjadi ketegangan-ketegangan semacam ini. Istilah “kebebasan berekspresi” itu sendiri sebenarnya telah ada sejak zaman kuno, setidaknya semenjak masa Polis Athena di Yunani sekitar 2400 tahun yang lalu. Akan tetapi, jenis kebebasan berekspresi pada saat itu sebenarnya masih amat terbatas dan hanya diberikan kepada sekelompok kecil masyarakat. Semenjak saat itu, istilah “kebebasan berekspresi” digunakan dengan amat luas dan dikonseptualisasikan (dan direkonseptualisasikan) oleh berbagai kelompok, “Setiap orang berhak atas
Kebebasan berbicara di Indonesia telah di jamin, salah satunya yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28. Dimana dalam pasal ini menjamin semua warga negara untuk bebas mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, tanpa takut adanya hal yang akan mengganggunya. Hal tersebut didasarkan pada kebebasan berbicara dan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia. Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi tentang HAM internasional.
Pengaturan tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat telah diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 pengertian tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap individu memiliki hak dasar yang termuat dalam konstitusi negara. Kebebasan berpendapat di Indonesia diatur di dalam Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Lebih lanjut, di dalam Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945 dengan tegas disebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Terdapat juga beberapa aturan yang digunakan di Indonesia tentang kebebasan berpendapat yang diatur dalam :
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1993 tentang hak asasi manusia
UU Republik Indonesia tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum
UU Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia
UU Republik Indonesia No. 11 tahun 2008 tetang informasi dan transaksi elektronik
UU Republik Indonesia No. 19 tahun 2016 tentang informasi dan traksaksi elektronik
Hal yang harus digaris bawahi bahwa dalam mengartikan makna kebebasan, tergantung dari subjeknya. Apakah subjek menempatkan rasionalitasnya untuk memaknai kebebasan atau lebih mengandalkan batinnya untuk menjawab arti kebebasan.
Pembuktian mengenai kebebasan itu nyata atau kebebasan hanya fiktif belaka tidak bisa sekadar berasumsi, tetapi harus dinyatakan dalam metodologi ilmiah untuk membuktikan kebenarannya. Berdasarkan hal tersebut, kebebasan bisa benar-benar ada atau hanya fiktif belaka tergantung dari subjek yang menilainya.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang tanpa batas tetapi kebebasan bersyarat. Ketika kita dalam melakukan aktivitas apapun akan selalu bersinggungan dengan hak orang lain. Begitu pula dalam penggunaan hak kebebasan menyampaikan pendapat yang harus menghormati harkat dan martabat orang lain.
Hak dan kebebasan berpendapat dapat dibatasi jika ditinjau dari segi baik buruknya. Pembatasan kebebasan berpendapat juga dapat dilakukan seperti yang disebutkan di dalam Deklasasi Universal HAM tahun 1948 pasal 29 ayat 2, yang berbunyi “Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasankebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.”
Pembatasan ini dilakukan agar seseorang bertanggung jawab terhadap pendapat yang disampaikannya. Selain itu, keputusan untuk membatasi kebebasan berpendapat diperlukan untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban publik.
Secara teoritik untuk menjelaskan hak kebebasan berpendapat (freedom of speech), bisa merujuk pendapat dari Frederick Schauer. Schauer berpendapat:
“…when a free speech is accepted, there is a principle according to which speech is less subject to regulation (within a political theory) than other forms of conduct having the same or equivalent effects. Under a free speech principle, any govermental action to achieve a goal, whether that goal be positive or negative, must provide stronger justification when the attainment of that goal…”
(…ketika kebebasan berpendapat diterima, ada prinsip yang menyatakan bahwa pendapat kurang tunduk pada regulasi (dalam teori politik) daripada bentuk perilaku lain yang memiliki efek yang sama atau setara.
Berdasarkan prinsip kebebasan berbicara, setiap tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan, apakah tujuan itu positif atau negatif, harus memberikan justifikasi yang lebih kuat ketika pencapaian tujuan itu …)
Penjelasan di atas tepat untuk menjelaskan kebebasan berpendapat, sebab Schauer menjelaskan bahwa kebebasan berpendapat berkaitan dengan pendapat yang tidak penuh pada aturan tertentu, bisa digunakan untuk tindakan pemerintah, dan memiliki tujuan tertentu.
Menimbang beberapa ciri yang disampaikan untuk menjelaskan kebebasan berpendapat, maka penting untuk melihat kesamaannya sesuai dengan regulasi di Indonesia. Kesamaan tersebut untuk mencari tahu terkait dengan tujuan dari penggunaan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Pengaturan hukum di Indonesia mengenai hak kebebasan berpendapat terdapat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (selanjutnya disingkat UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum).
Jaminan perlindungan hak kebebasan meyampaikan pendapat ini diatur secara umum dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut. Perlindungan kebebasan berpendapat diatur secara spesifik dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Perwujudan kebebasan menyampaikan pendapat dibagi menjadi berbagai macam bentuk, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yaitu: “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kemerdekaan menyampaikan pendapat yang bisa diungkapkan dengan berbagai bentuk mengindikasikan bahwa pendapat bisa disampaikan tidak hanya dengan lisan dan tulisan saja. Pendapat yang disampaikan tentu membutuhkan ruang sebagai sarana ekspresi dari pendapat yang hendak disampaikan.
Pendapat yang hendak diekspresikan bisa disampaikan dalam ruang publik, Pasal 1 angka 2 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan : “Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang didatangi dan atau dilihat setiap orang.”
Ruang publik yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat menjadi penting, sebab dengan pendapat yang disampaikan di ruang publik bisa memenuhi dua aspek ontologis (berkaitan dengan keadaan). Aspek ontologis pertama yang bisa dipenuhi berkenaan dengan ekspresi kemanusiaan (express themselves) dan keunikan identitas (unique identity). Pemenuhan dua aspek ontologis ini sangat penting, mengacu pada pendapat Arendt.
“Grounding speech as a distinctive characteristic of human beings that express themselves publicly might provide a non-consequentialist aspect to the theory of personal development. In an Arendtian sense, one might attribute to speech an existential signifiance: only by way of speech do human being express their unique identity among others in the public realm.”
(Sebagai ciri khas manusia yang mengekspresikan diri secara terbuka dapat memberikan aspek non-konsekuensialis pada teori pengembangan pribadi. pengertian Arendtian, orang mungkin mengaitkan ucapan dengan makna eksistensial: hanya dengan cara bicara manusia mengekspresikan identitas unik mereka di antara yang lain di ranah publik.)
Pendapat yang dikemukakan oleh Arendt tentang hak kebebasan berpendapat, mengkategorikan kebebasan berpendapat terkait dengan eksistensi manusia yang signifikan untuk mengungkapkan keunikan identitasnya. Pendapat tersebut jika ditarik lebih jauh bisa ditafsirkan bahwa pembatasan kebebasan berpendapat secara sewenang-wenang atau pelarangan kebebasan berpendapat secara mutlak, berdampak manusia tidak dapat mewujudkan eksistensinya.
Keterbatasan dalam perwujudan eksistensi manusia, sama halnya dengan membatasi juga upaya untuk membuat manusia lebih cerdas. Hasil akhir dari berbagai macam pembatasan kebebasan berpendapat, tanpa menimbang eksistensi manusia dapat berakhir dengan komunitas yang eksklusif, jauh dari kata inklusif.
Pendapat dari Arendt, diakui juga dalam Pasal 4 huruf c UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum : “Mewujudkan iklim yang kondusif bagi partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.”
Kreativitas dan partisipasi merupakan bagian dari iklim demokrasi. Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat termasuk hal yang penting. Pengabaian terhadap perlindungan hak kebebasan berpendapat bisa menyebabkan menurutnya tingkat partisipasi dan kreativitas dari warga negara.
Cara untuk menyampaikan pendapat juga aspek yang tidak boleh dilupakan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Arendt berpendapat ruang tersebut dinamakan sebagai ruang penampakan (ersheinungsraum).
“Ruang penampakan terjadi di tempat orang-orang saling berinteraksi dengan bertindak dan berbicara; ruang itulah yang menjadi dasar pendirian dan bentuk negara…Ruang itu ada secara potensial pada setiap himpunan orang, memang hanya secara potensial; ia tidak secara niscaya diaktualisasi di dalam himpunan itu dan juga tidak dipastikan untuk selamanya atau untuk waktu tertentu…”
Partisipasi dan kreativitas ini tidak jarang dibungkam, padahal hak kebebasan menyampaikan pendapat sebagai upaya dalam membangun dan mengembangkan kehiduoan demokrasi. Hak menyampaikan pendapat bisa digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kreativitas dan partisipasi publik yang pada akhirnya berkontribusi dalam membangun demokrasi.
Mengapa Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Penting Dilindungi?
Kebebasan ekspresi memerlukan jaminan perlindungan hak memperoleh informasi yang merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik, yang merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.
Kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kebebasan Berekspresi merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, (yang) oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”, demikian kutipan dari bagian awal Undang-Undang (UU) RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kebebasan ekspresi diatur dalam Pasal 19 DUHAM, yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.”
Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat sebagai Hak dan Kebebasan Dasar Universal. Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan “semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan kebebasan berekspresi dalam Pasal 28, dan kini dipertegas dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Ini bermakna sejak awal pengakuan atas kebebasan tersebut memiliki sejarah yang sama panjangnya dengan negara ini lahir.
Ditindak lanjuti tindak Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun di dalam pasal 14 pada UU tersebut, dinyatakan bahwa: “(1). Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2). Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.
Jelas bahwa, pasal tersebut sejatinya tunduk dan mengacu pada pasal 28F, UUD 1945 Indonesia (Amandemen ke-2, yang ditetapkan pada Agustus 2000) dan pada pasal 19, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Pada pasal 28F, UUD 1945, dinyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Sedangkan pada pasal 19, Deklarasi Universal HAM (DUHAM) PBB yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 tersebut ditegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan”.
Meskipun ada jaminan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, pelaksanaan hak tersebut tidaklah tak terbatas. Yang membatasinya adalah pada pasal 29 ayat 2 pada deklarasi yang sama, berbunyi, “dalam menjalankan hak-hak dan kebebasankebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan aspek moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.
Pasal “kebebasan berpendapat dan berekspresi” pada DUHAM PBB tersebut kemudian ‘diperkuat’ pada Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966, melalui pasal 19 di dalam Kovenan (Kesepakatan) Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 19 pada kesepakatan tersebut tertulis sebagai berikut:
1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan (pihak lain).
2. Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tulisan, cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.
3. Pelaksanaan hak-hak yang diicantumkan dalam ayat 2 pasal ini turut membawa kewajiban dan tanggung jawab khusus.
Oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal (pembatasan) ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a) Menghormati hak atau reputasi (nama baik) orang lain. b) Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan ataupun moral umum/publik.”
Dari penjelasan di atas, dengan jelas dapat kita pahami bahwa sesungguhnya secara global maupun pada konstitusi negara kita, hak individu untuk berinformasi, berpendapat dan berekspresi, melalui berbagai media sangatlah dilindungi. Sebagai pedoman atas pelaksanaan hak tersebut, secara umum dapatlah kita mengacu pada prinsip-prinsip yang diramu oleh Free Speech Debate dalam bentuk “10 Prinsip Kebebasan Berpendapat”.
10 Prinsip Kebebasan Berpendapat sebagai berikut :
Kita – semua manusia – harus bebas dan dapat mengekspresikan diri, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi, ide serta gagasan, tanpa batas
Kita mempertahankan internet dan semua bentuk komunikasi lainnya terhadap gangguan-gangguan yang tidak sah oleh kedua kekuatan publik maupun swasta
Kita membutuhkan dan membuat media yang terbuka beragam sehingga kami dapat membuat keputusan berdasarkan informasi yang baik dan berpartisipasi penuh dalam 5. kehidupan politik
Kita berbicara secara terbuka dan dengan sopan tentang segala macam perbedaan manusia
Kita mengizinkan untuk tidak ada tabu dalam diskusi dan penyebaran pengetahuan
Kita tidak melakukan ancaman kekerasan serta tidak menerima adanya intimidasi kekerasan.
Kita menghormati orang yang meyakini/mempercayai suatu hal tetapi bukan berarti atas isi keyakinan atau kepercayaannya
Kita semua berhak atas kehidupan pribadi tetapi harus menerima pengawasan jika itu adalah demi kepentingan publik
Kita harus mampu untuk melawan penghinaan pada reputasi kita tanpa mengganggu atau membatasi perdebatan yang sah
Kita harus bebas untuk menantang batasan kebebasan berekspresi dan informasi yang selama ini berdasarkan alasan untuk keamanan nasional, ketertiban umum, moralitas dan perlindungan kekayaan intelektual
Bagaimana Kebebasan Berbicara dan Berpendapat di Dunia Maya?
Semakin canggih teknologi, orang bisa berpendapat atau berkomentar dengan bebas di dunia maya (media sosial). Bahkan berkat pendapat atau komentar, ada orang yang harus berurusan dengan pihak berwajib. Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Fenomena menarik tentang berpendapat atau berkomentar di media social juga terjadi di berbagai negara. Dalam banyak kasus terlihat jelas peranan media social dalam penyebarluasan informasi yang tidak dimiliki media lainnya. Sumber-sumber informasi dari seluruh dunia dapat tersedia secara instan di rumah setiap orang yang menggunakannya, dan dapat diakses setiap saat ketika dia memerlukannya.
Selain banyak sisi positif, media social juga mempunyai sisi negatif atau dampak negatif. Satu dampak yang disebut dengan illegal content yaitu kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke media social tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Yang sering terjadi misalnya penyebarluasan pornografi yaitu dengan membuat, memasang, mendistribusikan dan menyebarkan materimateri cabul serta mengekspos hal-hal yang tidak pantas. Contoh lain yang juga masuk kategori illegal contents adalah penyebarluasan isu-isu atau fitnah menggunakan media internet yang dilakukan terhadap seseorang (biasanya public figure), sehingga menimbulkan pencemaran terhadap nama baik seseorang.
Tak dipungkiri jika kehadiran media sosial telah membangun masyarakat sipil yang bebas sebab ia mengijinkan individu di manapun untuk bergaul dengan orang lain secara bebas. Kemerdekaan berkumpul, berserikat dan mengemukakan pendapat sangat dimungkinkan jika menggunakan media internet, meskipun hanya dilakukan secara maya. Hal itu tentu saja bias dijumpai dalam berbagai kasus. Sebagai contoh, organisasi-organisasi yang bergerak dalam penanganan Hak Asasi Manusia (HAM) menggunakan internet untuk saling berbagi informasi mengenai penindasan dan pelanggaran HAM. Pemerintah di berbagai negara (termasuk Indonesia) memiliki egovernment yang menempatkan informasi secara online yang dapat diakses oleh warga negaranya 24 jam dalam sehari.
Media Internet, tentu saja masuk sebagai media yang mampu menjadi sarana yang penting dalam pemenuhan hak berpendapat dan berekspresi ini. Mengapa tidak? Pada Juni 2011, PBB melalui Special Rapporteur bidang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Frank William La Rue, mengingatkan, “Internet telah menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia, memerangi ketidakadilan, dan mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia, maka memastikan (ketersediaan) akses ke Internet haruslah menjadi prioritas bagi semua negara”.
Tetapi La Rue memiliki kekhawatian bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat secara di Internet, kini tengah menghadapi tantatangan, bahkan oleh negara (baca: pemerintah). Menurutnya, kebebasan berekspresi di Internet di banyak negara, kini banyak dihambat dengan cara menerapkan hukum pidana ataupun menciptakan hukum baru yang dirancang untuk dapat mengkriminalkan para pelaku kebebasan berekspresi di Internet. Menurutnya, hukum seperti itu seringkali dijustifikasi sebagai hal yang perlu untuk melindungi nama baik (reputasi), kemanan nasional ataupun guna melawan terorisme. “Namun pada prakteknya, hukum tersebut seringkali digunakan untuk menyensor situs (di Internet) yang kontennya tidak disukai/disetujui oleh pemerintah atau pihak yang berkuasa lainnya,” tegasnya.
Di sisi lain, masih melalui La Rue, PBB yakin bahwa Internet adalah platform yang sangat berharga di negara yang media massanya tidak indepenen. Untuk kasus di Indonesia, data empiris menunjukkan bahwa perkembangan industri media tidak selalu ke arah positif sebagai sebuah media publik. “Industri media di Indonesia melihat pemirsa semata-mata sebagai konsumen, bukan sebagai warga negara yang memiliki hak terhadap media. Logika utama yang mendorong perkembangan industry media di Indonesia adalah dua hal, yaitu profit dan kekuasaan,” demikian kutipan dari laporan penelitian berjudul ‘Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia’, oleh Yanuar Nugroho dan kawan-kawan, yang dirilis pada Maret 2012.
La Rue menegaskan bahwa Internet memungkinkan individu untuk berbagi pandangan kritis dan untuk menemukan informasi yang obyektif. Pun seperti diyakini pula oleh Yanuar dalam laporan penelitannya, “penggunaan Internet telah memunculkan kesempatan baru bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasi mereka dan mendapatkan respon dalam cara dan skala yang tidak terpikirkan sebelumnya.”
Jelaslah sudah bahwa Internet menawarkan kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk memberikan ruang memainkan peran penting sebagai salah satu hak kehidupan , yaitu berinformasi, berpendapat dan berekspresi. Bahkan secara khusus, sudah mendesak perlu adanya tata kelola (governance) atas Internet yang pro pada HAM.
Pada Pertemuan Informal Asia – Eropa (ASEM Meeting) ke-12 di Seoul pada 27-29 Juni 2012, salah satu konsensus yang disampaikan adalah, “perlindungan HAM harus juga diterapkan pada ranah online (Internet), bebas dari batasan-batasan dan mencakup semua jenis media. Adapun secara umum, visi dari penggunaan dan pemanfaatan media Internet yang berbasiskan pada HAM telah dirumuskan oleh Koalisi Hak dan Prinsip Ber-Internet dalam bentuk “10 HAK ASASI MANUSIA di INTERNET”, yaitu :
1. Universalitas dan Kesetaraan
Semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi dalam ranah online.
2. Hak dan Keadilan Sosial
Internet adalah ruang untuk promosi, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan memajukan keadilan sosial. Setiap orang memiliki kewajiban untuk menghormati HAM orang lain dalam ranah online.
3. Aksesibilitas
Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mengakses dan menggunakan internet yang aman dan terbuka.
4. Ekspresi dan Serikat
Setiap orang berhak untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi secara bebas di Internet tanpa sensor atau gangguan lainnya. Setiap orang juga memiliki hak untuk berserikat (berkumpul) secara bebas melalui dan/atau di Internet, untuk kepentingan sosial, politik, budaya atau lainnya.
5. Perlindungan Privasi dan Data
Setiap orang memiliki hak privasi online. Ini termasuk kebebasan dari pengawasan, hak untuk menggunakan enkripsi, dan hak untuk anonimitas online. Setiap orang juga memiliki hak untuk perlindungan data, termasuk kontrol atas pengumpulan data pribadi, retensi, pengolahan, penghapusan dan pengungkapan.
6. Kehidupan, Kebebasan dan Keamanan
Hak untuk hidup, bebas, dan aman harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi secara online. Hak-hak ini tidak boleh dilanggar, atau digunakan untuk melanggar hak-hak lain, dalam ranah online.
7. Keanekaragaman
Keanekaragaman budaya dan bahasa di Internet harus dipromosikan, dan inovasi teknis serta kebijakan harus didorong untuk memfasilitasi pluralitas (keberagaman) ekspresi.
8. Kesetaraan Jaringan
Setiap orang berhak memiliki akses universal dan terbuka untuk konten Internet, bebas dari diskriminasi prioritas, penyaringan atau kontrol trafik atas alasan komersial, politis atau lainnya.
9. Standar dan Peraturan
Arsitektur Internet, sistem komunikasi, dan dokumen dan format data harus didasarkan pada standar terbuka yang menjamin interoperabilitas lengkap, inklusi (terbuka) dan kesempatan yang sama untuk semua.
10. Tata Kelola
HAM dan keadilan sosial harus membentuk landasan hukum dan normatif yang menjadi kerangka Internet ditata dan dikeloka. Ini dapat terjadi secara transparan dan multilateral, berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi yang inklusi (terbuka) dan menjalankan akuntabilitas.
Tentu saja ke-10 visi di atas tak bisa dilepas begitu saja, tanpa ada upaya untuk mewujudkannya. Seperti dikutip langsung dari butir lain konsensus pertemuan ASEM tentang HAM & ICT di atas adalah, “diperlukan adanya edukasi, pemahaman dan peningkatan kapasitas (pengetahuan) tentang bagaimana menggunakan media baru (Internet) untuk berbagai keperluan, termasuk untuk social activism. Dengan demikian publik dan komunitas dapat memilih dan mengatur sendiri tata-cara menggunakan ICT (Internet).” Mengacu pada paparan di atas, maka tak dapat dipungkiri pentingnya kesadaran dan keingnan semua pihak, baik masyarakat sipil (publik), komunitas, pemerintah maupun swasta, untuk menghormati dan melindungi HAM di ataupun melalui Internet.
Berkaitan hal tersebut, lahirnya UU ITE sebagai aturan untuk memenuhi, melindungi, menjamin masyarakat berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Dengan kata lain, latar belakang dibuatnya UU ITE ini adalah untuk mengatasi masalah dan isu-isu hukum berkaitan dengan teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Perkembangan cyberlaw di negara-negara lain sudah lebih maju. Singapore dan Amerika misalnya, mereka sudah mengembangkan dan menyempurnakan cyberlaw sepuluh tahun yang lalu. Malaysia memiliki Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) dan Digital Signature Act (Akta Tandatangan Digital) tahun 1997, Communication and Multimedia Act (Akta Komunikasi dan Multimedia) tahun 1998.
Singapore memiliki The Electronic Act (Akta Elektronik) tahun 1998, Electronic Communication Privacy Act (Akta Privasi Komunikasi Elektronik) tahun 1996. Guna memerangi pornografi, Amerika mempunyai US Child Online Protection Act (COPA), US Child Pornography Protection Act, US Child Internet Protection Act (CIPA), US New Laws and Rulemaking. Di Australia, New Zealand serta Negara-negara Eropa lainnya pun memiliki Cyberlaw untuk melindungai masyarakat dan negaranya kejahatan dunia maya.
UU ITE diharapkan dapat menjadi alat untuk melindungi hak-hak masyarakat dan seharusnya menjadi alat untuk melindungi kebebasan berbicara dan berpendapat. Meskipun masih adanya pro dan kontra dari berbagai kalangan yang menilai UU ITE sebagai alat untuk memberangus atau bahkan menjadi penghalang masyarakat untuk berpendapat dan berbicara. Pendapat pro dan kontra atas UU-ITE ini haruslah difahami sebagai bentuk refleksi demokrasi sejalan dengan perkembangan kematangan UU-ITE ini sendiri. Oleh sebab itu, antisipasi penyempurnaan perlu dilakukan perubahan pada beberapa pasal, karena bertentangan dengan UUD dan HAM sehingga tidak ada lagi kasus kasus yang terjadi yang menyangkut kebebasan berbicara dan berpendapat baik secara lisan maupun tulisan. Termasuk penyegeraan terbitnya peraturan-peraturan di bawahnya (i.e. PP, Permen, dsb), terutama untuk mencegah pemanfaatan pasal „karet‟ oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan tidak produktif.
Akan tetapi pada sisi lain, lahirnya UU ITE juga merupakan tonggak sejarah berkembangnya cyberlaw di Indonesia. Fungsinya amat penting, yaitu untuk melindungi kepentingan masyarakat yang berkaitan dengan distribusi informasi dan transaksi elektronik. Dan sepatutnya UU ITE menjadi payung hukum yang dapat memberikan kepastian hukum yang “adil‟ bagi masyarakat dalam bertransaksi di dunia “maya‟.
UU ITE diharapkan dapat menyelesaikan beberapa isu yang mucul akibat dampak penerapan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang keliru dan merugikan masyarakat. UU ITE ini diharapkan akan memberikan dampak positif pada kehidupan nasional kita sebagaimana dinyatakan dalam tujuan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik pada pasal 4, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan perekonomian nasional, meningkatkan pelayanan publik, serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. Singkat kata, dengan lahirnya UU-ITE ini akan membuat penegak hukum di Indonesia lebih terbantu dalam menjerat pelaku kejahatan cyber crime dan e-commerce termasuk kejahatan pornografi.
Selanjutnya, bila kita cermati lebih dalam, beberapa pasal penting yang mengatur pelaku dunia usaha, domain dan hak kekayaanintelektual (HAKI) serta distribusi informasi juga diatur di UU-ITE ini, khususnya di pasal 23-26. Beberapat perbuatan yang dilarang pun diatur, yaitu di Pasal 27 yang berhubungan dengan distribusi transaksi yang bermuatan pelanggaran kesusilaan (termasuk pornografy), perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman. Pasal 28 berhubungan dengan pembohongan dan penyesatan informasi serta distribusi informasi bermuatan suku, agama, ras, antar golongan (SARA).
Selanjutnya di pasal 30 dan 31, mengatur tentang peretas, penyadap, pembobol informasi. Pasal 33 mengatur tentang pembajakan perangkat keras dan lunak, kode akses, termasuk kata sandi, dan yang paling menarik adalah pasal yang mengatur ketentuan pidananya, yaitu pasal 45 (ayat 1) yang menyebutkan: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan / atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Simpulan
Kebebasan berbicara dan berpendapat merupakan kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian. Dapat diidentikan dengan istilah kebebasan berekspresi yang terkadang digunakan untuk menunjukkan bukan hanya kepada kebebasan berbicara lisan, akan tetapi, pada tindakan pencarian, penerimaan dan bagian dari informasi atau ide apapun yang sedang dipergunakan.
Kebebasan berbicara juga merupakan hak asasi manusia, dan undang undang di indonesia sudah menjamin akan kebebasan berbicara seseorang, seperti yang diatur di dalam UUD 1945, UU HAM (hak asasi manusia) dan undangundang lainnya. Jadi tidak boleh kebebasan berbicara tersebut dilarang dan juga tidak boleh ada suatu undang-undang atau aturan yang mengkriminalkan hal tersebut. Akan tetapi kebebasan berbicara juga harus pada tempatnya dan juga bertanggung jawab, pada tempatnya maksudnya bahwa seseorang yang mengeluarkan pendapat atau berbicara tersebut harus sesuai dengan kenyataan, bertanggung jawab adalah apa yang di tuangkan dalam pendapat tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan bukan hanya asal bicara atau asal mengeluarkan pendapat baik secara lisan ataupun secara tertulis saja. Sehingga tidak membuat orang lain tercemar nama baiknya.
Rujukan
Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition. Chicago: Chicago University Press.
Hardiman, F. Budi. 2010. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.
Schauer, Frederick. 1982. Free Speech: A Philosophical Inquiry. New York: Cambridge University Press.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_berbicara
https://lifepal.co.id/tanya/q/adakah-batasan-dalam-kebebasan-berpendapat/
http://permataft-uh.org/memahami-kebebasan-berpendapat/
https://www.komnasham.go.id/files/1604630519snp-kebebasan-berekspresi-dan--$SF7YZ0Z.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/240089-tinjauan-yuridis-terhadap-kebebasan-berb-c58d5036.pdf
https://lbhpengayoman.unpar.ac.id/hak-kebebasan-berpendapat-di-indonesia-sebagai-upaya-mencerdaskan-kehidupan-bangsa/
(*Catatan : Artikel ini adalah pengembangan kajian Buku Membangun Literasi Informasi. Bab VIII. Membangun Literasi Informasi Melalui Kebebasan Intelektual Dan Akses Terhadap Informasi Serta Demokrasi Informasiakses Terhadap Informasi Serta Demokrasi Informasi. Sub Pokok Bahasan Kebebasan Atas Informasi Perspektif Demokrasi Dan Ham.
Comments