Lisan
- Yusrin Ahmad Tosepu
- 3 days ago
- 7 min read

Lisan adalah anugerah dari Allah yang dapat menjadi sumber pahala atau dosa, tergantung bagaimana kita menggunakannya. lisan bahkan dianggap sebagai salah satu bagian tubuh yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Lisan memiliki peran besar dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk berkomunikasi, menyampaikan gagasan, maupun membangun hubungan. Lisan yang terucap menjadi gambaran sejati bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri dan orang lain.
Setiap kata yang terucap, setiap tindakan yang kita lakukan, bisa menjadi kenangan manis atau justru luka yang sulit dilupakan. Kadang orang lain bisa memaafkan kesalahan kita, tapi sebagian luka hatinya masih tersimpan dalam dada dalam waktu lama. Kadang kita tidak sadar, bahwa yang paling tajam di tubuh kita bukanlah pisau atau senjata tajam, tapi lisan.
Lisan yang kita anggap biasa saja, bisa melukai hati orang lain lebih dalam dari yang kita bayangkan.Seperti pepatah, "Cukup cabe aja yang pedas, lisanmu jangan." Ini mengingatkan kita agar berhati-hati dalam berbicara. Ada sebuah hadis yang mengatakan, "Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka."
Sebuah hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menekankan pentingnya berpikir sebelum berbicara dan memastikan bahwa setiap kata yang keluar membawa manfaat, bukan keburukan. Dengan menjaga lisan, seseorang menunjukkan kedewasaan emosional dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan.
Kekuatan Lisan dalam Membentuk Realitas
Pepatah lama mengatakan, “Mulutmu harimaumu.” Ungkapan ini menggambarkan bagaimana lisan, jika tidak dijaga dengan baik, dapat menjerumuskan seseorang ke dalam masalah besar. Kata-kata yang diucapkan bisa berdampak panjang, jauh melampaui niat awal pengucapnya. Dalam dunia yang semakin terkoneksi melalui media sosial, dampak lisan, baik dalam bentuk ucapan langsung maupun tulisan, semakin besar.
Kata-kata bisa menjadi alat untuk menyemangati dan menguatkan, tetapi juga bisa menjadi senjata yang menyakitkan. Contohnya, ucapan motivasi dari seorang pemimpin atau figur publik dapat menginspirasi jutaan orang untuk bertindak lebih baik. Sebaliknya, komentar yang tidak pantas atau ujaran kebencian dapat memicu konflik sosial yang meluas.
Seringkali, manusia merasa bahwa hanya ucapan besar seperti penghinaan atau fitnah yang berbahaya. Namun, sejatinya, komentar sederhana yang dilontarkan tanpa empati pun bisa merusak hubungan. Contohnya, kritik yang tidak membangun, candaan yang tidak semestinya dan sepantasnya, atau gosip kecil tentang orang lain.
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup dalam interaksi. Ucapan yang kasar, sindiran, atau gosip kecil dapat menjadi api kecil yang membesar, memecah belah keluarga, teman, bahkan masyarakat luas.
Lisan Bisa Merusak Persaudaraan
Dalam banyak kasus, hubungan saudara kandung menjadi renggang karena kesalahpahaman kecil yang dibiarkan membesar. Persahabatan yang bertahun-tahun terjalin bisa hancur hanya karena kata-kata tajam tak berperasaan yang diucapkan. Bahkan, komunitas yang solid pun dapat terpecah karena isu yang dipicu oleh lisan yang tak terjaga.
Sekali kata-kata keluar dari mulut, ia tidak dapat ditarik kembali. Kata-kata yang menyakitkan sering kali meninggalkan luka yang dalam dan membutuhkan waktu lama untuk sembuh, bahkan mungkin tak pernah hilang. Kata-kata menyakitkan sering dimulai dari obrolan santai, guyonan atau candaan tetapi dampaknya bisa menghancurkan hubungan. Fitnah, yang sering kali berakar pada lisan yang tidak bertanggung jawab, dapat menciptakan kesalahpahaman yang mendalam.
Banyak orang tidak menyadari kekuatan lisannya. Ketidaksadaran ini membuat mereka merasa bebas berbicara tanpa memikirkan dampaknya. Padahal kata-kata kasar atau tidak sopan dapat meninggalkan bekas luka emosional yang mendalam. Mungkin pengucapnya tidak menyadari dampaknya, tetapi bagi penerima, luka itu bisa membekas bertahun-tahun. Karena itu pepatah Arab mengatakan, "Jaraḥatus-sinani laha iltiyam, Wa la yalta’imu ma jaraḥal-lisanu." Luka yang disebabkan oleh senjata dapat sembuh, Namun luka karena lisan tak kunjung pulih.
Luka karena lisan sulit disembuhkan karena kata-kata yang menyakitkan sering kali meninggalkan bekas yang tidak terlihat tetapi sangat dalam di hati dan pikiran seseorang. Kata-kata yang menyakitkan dapat menyerang harga diri, rasa percaya diri, atau martabat seseorang. Efek psikologis ini sering kali menetap lebih lama daripada luka fisik karena terus berulang dalam ingatan. Setelah kata-kata terlontar, tidak ada cara untuk menghapusnya sepenuhnya. Permintaan maaf mungkin bisa mengurangi rasa sakit, tetapi memori tentang ucapan tersebut tetap terukir di pikiran.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Hati-hatilah dengan lisanmu. Lisan itu lebih tajam daripada mata pedang.” Perkataan ini menekankan bahwa kata-kata dapat melukai seseorang lebih dalam daripada luka fisik. Lisan yang tajam dapat menghancurkan hubungan, reputasi, dan bahkan keharmonisan masyarakat. Mu’adz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah SaW tentang amal yang paling utama. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah SaW mengingatkan tentang pentingnya menjaga lisan: “Bukankah manusia diseret ke dalam neraka di atas wajah mereka (atau di atas hidung mereka) hanya karena hasil dari ucapan lisan mereka?”
Kata-kata yang baik memiliki kekuatan untuk mempererat hubungan antarindividu. Dalam keluarga, kata-kata yang lembut dan penuh kasih sayang dapat menciptakan suasana harmonis. Begitu pula dalam lingkungan kerja atau pergaulan, komunikasi yang santun dan penuh penghargaan mampu membangun kepercayaan dan rasa hormat. Sebaliknya, kata-kata kasar atau menyakitkan dapat merusak hubungan yang telah dibangun dengan susah payah. Luka akibat perkataan buruk sering kali lebih sulit sembuh dibanding luka fisik, karena kata-kata itu terukir dalam hati dan ingatan.
Betapa beratnya akibat yang ditimbulkan oleh lisan yang tak terkendali. Meskipun kita hanya bercanda atau berbicara tanpa berpikir, kata-kata yang keluar bisa menyakiti hati orang lain dan bahkan menjerumuskan kita ke dalam hal yang tidak kita inginkan. Mereka mungkin tampak biasa saja di hadapan kita, tapi siapa yang bisa mencegah mereka menceritakan semuanya kepada Allah ? Hanya Dia yang tahu seberapa dalam luka yang disebabkan oleh lisan kita.
Tidak ada yang bisa menyembunyikan perasaan di hadapan Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, sebelum melontarkan kata-kata, mari kita pikirkan dua kali. Apakah itu akan membangun atau malah menghancurkan? Terkadang, diam itu lebih baik daripada berbicara tanpa berpikir.
Bijak dalam Menggunakan Lisan
Lisan adalah alat yang bisa menumbuhkan kebaikan atau keburukan. Keberadaan lisan yang tidak terjaga dapat merusak hubungan, baik dengan sesama umat manusia maupun dengan Allah SWT. Oleh karena itu, menjaga lisan menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan menjaga lisan, kita menjaga hati, baik hati kita maupun hati orang lain. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”
Demikian juga Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Demi Allah yang tidak ada ilah(sesembahan) yang benar kecuali Dia, tidak ada di muka bumi yang lebih membutuhkan lamanya penjara dari pada lisan.” (Jaami’ Ulumu wal Hikaam, halaman 241)
Jika kita belum mampu memberikan kebahagiaan atau meninggalkan kenangan indah dalam kehidupan seseorang, setidaknya jangan menjadi penyebab kesedihannya. Sebab, luka hati sering kali lebih sulit sembuh dibanding luka fisik. Ada kata-kata yang meski hanya sesaat terucap, namun membekas bertahun-tahun. Ada perlakuan yang mungkin kita anggap sepele, tapi meninggalkan trauma mendalam bagi orang lain.
Maka, sebelum mengucapkan sesuatu atau bertindak terhadap orang lain, tanyakan pada diri sendiri ; Apakah ini akan melukai perasaannya ? Apakah ini akan menjadi kenangan buruk baginya ? Jika ragu, lebih baik tahan diri. Karena luka di hati sering kali tak mudah disembuhkan, dan kita tak ingin menjadi penyebab kesedihan yang tak terlupakan bagi orang lain.
Ibnu Rajab Al-Hanbali, seorang ulama besar dalam bidang hadits dan fiqh, banyak membahas tentang pentingnya bijak dalam menggunakan lisan. Salah satu perkataannya yang masyhur adalah: “Barangsiapa yang menghisab dirinya dan menjaga lisannya, maka sedikitlah kesalahannya. Barangsiapa yang meremehkan lisannya, niscaya ia akan terjatuh dalam dosa yang banyak.”
Perkataan ini menggarisbawahi betapa pentingnya kontrol terhadap apa yang kita ucapkan. Lisan adalah salah satu alat manusia yang paling sering digunakan, namun sekaligus paling rentan menjerumuskan seseorang ke dalam dosa seperti ghibah (menggunjing), fitnah, ucapan sia-sia, dan dusta. Ibnu Rajab juga menjelaskan dalam kitab Jami'ul Ulum wal Hikam tentang hadits Rasulullah SaW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ia menjelaskan bahwa menjaga lisan adalah tanda keimanan seseorang. Ucapan yang keluar dari mulut seorang mukmin seharusnya membawa manfaat, bukan mudarat. Jika ragu apakah ucapan itu baik atau buruk, diam adalah pilihan terbaik.
Pesan dari Ibnu Rajab ini sangat relevan di era modern, di mana kebebasan berbicara sering disalahgunakan, baik secara langsung maupun di media sosial. Mengikuti nasihat beliau, bijak dalam menggunakan lisan adalah langkah awal untuk memperbaiki diri dan menjaga keharmonisan hubungan sosial. Untuk itu ada beberapa prinsip agar bijak dalam menggunakan lisan:
Pertama. Berpikir sebelum berbicara. Sebelum mengucapkan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar? Apakah ini baik? Apakah ini bermanfaat? Prinsip ini dapat membantu kita memilah mana ucapan yang layak disampaikan dan mana yang sebaiknya ditahan.
Kedua. Mengutamakan ejujuran. Meski kejujuran adalah kebajikan, kejujuran juga harus disampaikan dengan cara yang bijak. Misalnya, menyampaikan kritik dengan cara yang sopan dan konstruktif akan lebih diterima daripada menyampaikannya dengan nada kasar.
Ketiga. Mengendalikan emosi. Banyak ucapan yang disesali lahir dari emosi yang tidak terkendali. Oleh karena itu, penting untuk belajar menenangkan diri sebelum berbicara, terutama saat marah atau kecewa.
Keempat. Mengenali konteks dan lawan bicara. Apa yang pantas diucapkan kepada teman dekat belum tentu pantas diucapkan kepada atasan atau orang yang lebih tua. Memahami konteks dan menyesuaikan bahasa adalah bagian dari kebijaksanaan lisan.
Kelima. Menghindari ghibah dan fitnah. Islam mengajarkan untuk menjauhi ghibah (menggunjing) dan fitnah karena keduanya dapat merusak hubungan dan menciptakan dosa besar. Dalam masyarakat multikultural, menjaga ucapan agar tidak menyinggung atau merugikan orang lain adalah kunci menciptakan harmoni.
jadi pada intinya menjaga lisan berarti mengontrol ucapan agar tidak menyakiti orang lain, menimbulkan fitnah, atau menciptakan kebencian. Menjaga lisan penting dilakukan karena dapat mencerminkan akhlak dan keimanan, serta mencegah dosa dan fitnah. Untuk itu ada beberapa maanfaat penting agar bijak dalam menggunakan dan menjaga lisan:
Menjaga lisan dapat mencegah perpecahan hubungan sosial
Menjaga lisan dapat menghindarkan diri dari perbuatan yang merugikan diri sendiri
Menjaga lisan dapat menjauhkan diri dari kebinasaan
Menjaga lisan dapat mendatangkan ridha Allah SWT
Menjaga lisan dapat membawa diri dekat kepada Rasulullah SAW di surga
Adapun cara menjaga lisan, yaitu :
Berpikir sebelum berbicara
Berlatih diam dalam situasi emosional
Bertutur kata dengan lembut
Menghindari perkataan negatif
Mengikuti tuntunan agama
Melatih komunikasi yang baik
Menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak kasar
Jaga intonasi dan volume suara
Hindari gosip dan fitnah
Jangan berbohong
Bijak dalam menggunakan lisan adalah cerminan kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang. Dalam kehidupan bermasyarakat, lisan yang terjaga dengan baik dapat menjadi alat untuk membangun keharmonisan, menciptakan kedamaian, dan menyebarkan kebaikan. Sebaliknya, ketidakbijaksanaan lisan dapat menjadi sumber konflik dan perpecahan.
Jadi, sudah saatnya kita belajar untuk menanam kebaikan dalam setiap interaksi, sehingga kita dikenang bukan sebagai penyebab luka, tetapi sebagai sumber kebahagiaan bagi sesama. Al Imam As Sa'di rahimahullah berkata,
ومن تغافلَ عنْ عيوبِ الناس، وأمسك لسانه عن تتبع أَحوالهم التي لا يحِبُّون إظهارها سلم دينه وعرضه
“Barang siapa yang tidak menganggap aib manusia dan menahan lisannya dari mencari-cari keadaan yang mereka tidak ingin untuk ditampakkan,niscaya akan selamat agama dan kehormatannya.” Al Fawākih Asy Syahiyyah, 11
Mari kita jadikan lisan sebagai sarana untuk berbagi kebaikan. Sebelum berbicara, tanyakan pada diri sendiri apakah ucapan kita akan membawa manfaat atau justru menciptakan masalah. Dengan menjaga lisan, kita tidak hanya menjaga hubungan dengan sesama, tetapi juga mendekatkan diri kepada Tuhan. Bukankah kehidupan yang damai dan harmonis dimulai dari ucapan yang penuh kebijaksanaan?
Comments