Sub Pokok Bahasan Buku Literasi Informasi Dan Media (LIM)
PENTINGNYA LITERASI DIGITAL
Berbagai teknologi informasi dan komunikasi pada dasarnya diciptakan untuk membuat hidup manusia menjadi semakin mudah dan nyaman, tetapi perangkat tersebut digunakan oleh khalayak dengan berbagai motivasi dan kepentingan sehingga tidak jarang menimbulkan dampak buruk yang tidak diinginkan. Sekalipun belum ada pembuktian secara ilmiah, bahwa maraknya perilaku sosial menyimpang adalah akibat penyalahgunaan teknologi media komunikasi namun suatu kenyataan bahwa kedua fenomena tersebut terjadi pada waktu yang bersamaan. Media digital sebagai Media baru (new media) adalah sebuah terminologi untuk menjelaskan konvergensi antara teknologi komunikasi digital yang terkomputerisasi serta terhubung ke dalam jaringan. Media baru adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi (perantara) dari sumber informasi kepada penerima informasi. Media baru memiliki dua unsur utama yakni digitalisasi dan konvergensi. Internet merupakan bukti konvergensi karena menggabungkan beberapa fungsi media lain seperti audio, video, dan teks“ (McQuail’s, 2006:26). Sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai “media baru” bersifat digital, integratif, interaktif, dapat dimanipulasi, serta bersifat jaringan, padat, mampat, dan tidak memihak.
Manfaat media digital adalah memudahkan seseorang untuk memperoleh suatu hal yang diinginkannya, seperti: (a) arus informasi yang dapat dengan mudah dan cepat diakses di mana saja dan kapan saja, (b) sebagai media transaksi jual beli, (c) sebagai media hiburan, contohnya game online, jejaring sosial, streaming video, dan lain-lain, (d) sebagai media komunikasi yang efisien, (e) sarana pendidikan dengan adanya buku digital (Kompasiana, 12-242010). Khalayak menggunakan media untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan media digital oleh khalayak berorientasi pada tujuan. Teori uses and gratification berasumsi bahwa “khalayak pada dasarnya bersifat aktif, selektif dan goal oriented dalam menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Media massa berkompetisi dengan sumber-sumber lainnya (saluran komunikasi antar pribadi, kelompok, organisasi, dan sebagainya) dalam upaya memenuhi kebutuhan dan kepentingan khalayak“ (Rosengren et al., dalam Effendy, 2000: 291).
Media digital telah menjadi suatu paradigma dan acuan dalam tatanan kehidupan saat ini ditengah pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk menghadapi tantanga kemajuan teknologi diperlukan literasi digital yang baik. Namun, hingga saat ini budaya literasi masyarakat Indonesia tidak mengalami peningkatan. Akibatnya, Indonesia mengalami potensi risiko yang tinggi terhadap penyebaran konten negatif di era digital ini. Berbagai ujaran kebencian, berita hoax, radikalisme dan intoleransi merupakan ancaman besar yang tengah melanda masyarakat Indonesia. Itulah dampak dari rendahnya literasi masyarakat terutama terhadap informasi yang berkaitan dengan isu-isu negatif tersebut. Meskipun terlihat sederhana, akan tetapi itulah yang berpotensi meretakkan kesatuan dan persatuan Indonesia. Tanpa kita sadari, rendahnya minat literasi bisa berdampak sangat fatal terhadap keutuhan negara. Tidak hanya itu, literasi juga menjadi tolak ukur kualitas pendidikan. Menghadapi revolusi industri 4.0, literasi dapat dianggap sebagai suatu indikator keberhasilan, sehingga kita tidak hanya dituntut untuk melakukan literasi lama seperti membaca dan menulis, tetapi juga dituntut untuk mampu memahami literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Kita selaku generasi bangsa harus memiliki kemampuan untuk menganalisa data yang terdapat di dunia digital, memahami sistem mekanika dan teknologi, serta mampu menjalin komunikasi yang baik dengan sesama manusia. Maraknya penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi ancaman sekaligus peluang bagi literasi di Indonesia, terutama dalam pemanfaatan internet.
Di tengah revolusi teknologi ini, kemudahan dan kecanggihan teknologi seharusnya dapat menjadi pendukung bagi generasi digital native dalam membudayakan literasi yang berdampak pada peningkatan minat baca masyarakat. Salah satu kecemasan yang datang yaitu jumlah generasi muda yang mengakses internet begitu besarnya, yaitu kurang lebih 70 juta orang. Mereka banyak menghabiskan waktu hanya untuk mengakses internet melalui berbagai perangkat (gadget). Selain itu pola perilaku berinternet mereka tidak sehat, hal ini dapat dilihat dengan menyebarnya informasi atau berita hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi di media sosial. Sehingga tidak jarang terjadi konflik. Tentu saja ini menjadi tantangan besar bagi pengajar untuk mempersiapkan generasi digital native ini memiliki kompetensi digital pada era revolusi industri 4.0.
Digital Literacy merupakan kemampuan seorang individu dalam menggunakan teknologi. Tidak hanya mampu membaca informasi di media digital akan tetapi juga seorang individu yang mampu mencari, mengidentifikasi, dan mengevaluasi suatu informasi yang telah didapatkan. Urgensi digital literacy di era modern seperti sekarang ini merupakan peralihan dari sumber konvensional menjadi sumber digital. Penerapan literasi digital sekarang ini sangat penting dilakukan pada generasi muda yang termasuk kedalam power of change. Digital literacy sangat memilki banyak manfaaat terutama dalam menunjang berbagai sektor ekonomi, penunjang keberhasilan pendidikan yang lebih maju. Pada digital literacy kita menyumbangkan materi yang penting mengenai teknologi informasi. Selain itu, manfaat digital literacy yang sangat mempengaruhi kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaanya ataupun mempengaruhi kenerja sebuah organisasi atau perusahaan.
Manfaat digital literacy juga selalu mendapatkan informasi terkini, berbagai platform media sosial juga menampilkan informasi-informasi update yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Selanjutnya menjadi selalu terhubung kehadiran berbagai platform media sosial yang ditujukan untuk mempermudah proses komunikasi antara orang satu dengan lainya apalagi terpaut oleh jarak, maka literasi digital yang hadir memberi manfaat dan membuat orang selalu terhubung. Selain itu kita juga dapat membuat keputusan yang lebih baik, karena dengan digital literacy seseorang dapat mencari, mempelajari sesuatu sehingga bisa membandingkan dan memutuskan sesuatu yang paling recommended, karena sejatinya segala informasi yang diterima sangat mempengaruhi keputusan yang dilakukan oleh seseorang. Selanjutnya dengan kecakapan digital literacy seseorang dapat membantu bekerja, karena berbagai perusahaan membutuhkan keterampilan dalam menggunakan teknologi misalnya professional dalam mengoperasikan computer yang berkaitan dengan aplikasi teknis yang membantu tugas dan pekerjaan seperti Microsoft, ataupun aplikasi editor seperti photoshop, adobe illustrator, corel. Didalam perusahaan platform tersebut sangat penting digunakan.
Menurut Brian Wright tahun 2015 dalam infographics yang berjudul “Top 10 Benefit of Digital Literacy : Why You Should Care About Technology” menyebutkan 10 manfaat penting dalam ber-digital literacy diantaranya, yang pertama lebih menghemat waktu, karena dalam mencari suatu informasi menjadi lebih mudah dan efektif untuk dilakukan, misalnya berbagai platform media bisa dijadikan suatu alternatif baru dalam melakukan sebuah pembelajaran. Manfaat yang kedua Belajar menjadi lebih cepat dalam kejadian ini bisa ditemukan Ketika seorang pelajar ingin mengakses pembelajaran/mengulang pembelajaran yang diajarkan disekolah dengan membuka platform media pembelajaran yang tersebar di internet. Manfaat selanjutnya dapat menghemat uang seperti penerapan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat lebih memilih membeli kebutuhan makan-minum, dan lain sebagainya menggunakan layanan transportasi online.
Sedangkan menurut Brian Wright Ketika seseorang sedang melakukan literasi digital juga sangat mempengaruhi kebahagiaan seseorang, seperti yang dilakukan seseorang dalam mengusir rasa sedih Ketika melihat jokes-jokes di platform media sosial. Digital literasi juga mempengaruhi dunia melalui penyebaran konten-konten positif di platform media sosial sangat memilki kontribusi dalam mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Misalnya dakwah seorang ulama melalui video yang diunggah di platform youtube juga sangat mempengaruhi keyakinan iman seseorang menjadi lebih baik. Oleh karena itu perlunya setiap individu memahami bahwa literasi digital sebagai kecakapan yang penting agar dapat bertanggung jawab terhadap teknologi yang digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar serta berpartisipasi dengan baik di era revolusi industri 4.0.
Saat ini literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya. Menjadi literat digital berarti dapat memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, bentuk yang dimaksud termasuk menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan, dan bekerja sesuai dengan aturan etika, dan memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Memacu individu untuk beralih dari konsumen informasi yang pasif menjadi produsen aktif, baik secara individu maupun sebagai bagian dari komunitas.
Jika generasi muda kurang menguasai kompetensi digital, hal ini sangat berisiko untuk tersisih dalam persaingan memperoleh pekerjaan, partisipasi demokrasi, dan interaksi sosial. Sehingga yang terjadi adalah meningkatnya potensi keterpurukan bangsa akibat dari rendahnya kemampuan literasi yang dimiliki masyarakat. Olehnya itu, pentingnya literasi digital karena akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Masyarakat tidak akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif. Keberhasilan membangun literasi digital merupakan salah satu indikator pencapaian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
LITERASI DIGITAL SEBAGAI KECAKAPAN HIDUP
Di era globalisasi informasi, keterampilan literasi media digital adalah kecakapan penting yang perlu dimiliki oleh siapa pun untuk dapat bersaing secara global. Isu utama literasi media telah dikampanyekan dalam Partneship for 21st Century Skill, yaitu gerakan yang memfokuskan pada pengembangan kecakapan warga global di abad ke-21. Gerakan ini merupakan upaya untuk merespon perubahan masyarakat global dan tantangan-tantangan yang menyertainya melalui revitalisasi pendidikan kewarganegaraan dengan menyiapkan para generasi muda khususnya pelajar memiliki kompetisi ekonomi, produktivitas kerja yang kompleks, keamanan global, dan perkembangan media internet yang sangat krusial bagi keberlangsungan demokrasi. Aspek-aspek kecakapan yang dikembangkan diantaranya meliputi civic literacy, global citizenship, dan digital citizenship. Pertama, civic literacy difokuskan pada pengetahuan warga negara tentang hak dan kewajiban yang bersifat lokal, nasional, dan global termasuk bagaimana implikasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor publik, ketersediaan informasi dan kemudahan mengaksesnya, serta partisipasi warga negara dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan.
Kedua, global citizenship sebagaimana dikemukakan Mansilla & Jackson (2011) lewat serangkaian penyiapan warga negara memiliki kemampuan berbahasa asing (selain bahasa ibu), kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dalam kaitannya dengan interaksi antarbudaya yang berbeda, pengetahuan dasar yang mencukupi terkait aspek kesejarahan, geografi, politik, ekonomi, dan sains serta kapabilitas untuk memahami suatu persoalan dan bertindak dengan pengetahuan secara interdisipliner dan multidisipliner. Aspek ketiga yaitu digital citizenship melalui pemahaman tentang keamanan menggunakan internet, mengetahui cara menemukan, mengatur dan membuat konten digital (termasuk literasi media, dan praktek skill secara teknis), pemahaman tentang cara berperan untuk meningkatkan tanggung jawab dalam interaksi antarbudaya (multikultur), serta pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam menggunakan media internet. Aspek ketiga menjadi penting dan lebih mendesak karena media internet merupakan jalan masuk untuk menerapkan civic literacy ke dunia global atau global citizenship.
Terkait aspek aspek kecakapan literasi media digital, seorang peneliti literasi digital bernama Douglas A.J. Belshaw menyatakan bahwa terdapat delapan elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital, di antaranya adalah:
1. Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital;
2. Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;
3. Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;
4. Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital;
5. Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;
6. Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;
7. Kritis dalam menyikapi konten; dan
8. Bertanggung jawab secara sosial
Aspek kultural, menurut Belshaw, menjadi elemen terpenting karena memahami konteks pengguna akan membantu aspek kognitif dalam menilai konten. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya kecakapan literasi digital di era ini mengingat data dan informasi akan terus bertambah tanpa terkontrol. Perkembangan jumlah data berformat digital di abad sekarang ini begitu menakjubkan. Josh James (2014) dalam Infographic berjudul Data Never Sleeps 2.0, bahwa di internet setiap menitnya ada pengguna Youtube mengupload 72 jam konten video baru, pengguna Facebook membagikan 2.460.000 potongan konten, pengguna Twitter membagikan 277.000 tweet, pengguna Instagram mengupload 216.000 foto dan pengguna Pinterest membagikan 3.472 gambar.
Sementara itu dilansir dari HootSuite merupakan situs layanan manajemen konten yang menyediakan layanan media daring yang terhubung dengan berbagai situs jejaring sosial mencatat total pengguna Internet seluruh dunia sampai Januari 2020 sebanyak 4,540 milyar, Pengguna Media Sosial Aktif sebanyak 3,800 milyar, Pengguna Mobile Unik sebanyak : 5,190 milyar dengan jumlah populasi penduduk sebesar 7,750 milyar
Data Tren Internet dan Media sosial 2020 di Indonesia menurut Hootsuite, sebagai berikut :
• Pengguna Internet: 175,4 juta
• Pengguna Media Sosial Aktif: 160 juta
• Pengguna Mobile Unik: 338,2 juta
• Total Populasi (jumlah penduduk): 272,1 juta
Dalam mengakses media, pengguna di Indonesia menghabiskan waktu yang bervariasi, berikut penjabarannya:
Rata-rata setiap hari waktu menggunakan internet melalui perangkat apa pun: 7 jam, 59 menit.
Rata-rata setiap hari waktu menggunakan media sosial melalui perangkat apa pun: 3 jam, 26 menit.
Rata-rata setiap hari waktu melihat televisi (broadcast, streaming dan video tentang permintaan): 3 jam, 4 menit.
Rata-rata setiap hari waktu menghabiskan mendapatkan musik: 1 jam, 30 menit.
Rata-rata setiap hari waktu bermain game: 1 jam, 23 menit.
Persentase pengguna internet yang menggunakan setiap platform media sosial yang paling aktif tahun 2020 adalah sebagai berikut:
• Pengguna Youtube di Indonesia sebanyak 88% dari jumlah populasi.
• Pengguna Whatsapp di Indonesia sebanyak 84% dari jumlah populasi.
• Pengguna Facebook di Indonesia sebanyak 82% dari jumlah populasi.
• Pengguna Instagram di Indonesia sebanyak 79% dari jumlah populasi.
Ringkasan Pengguna Facebook di Indonesia tahun 2020di Indonesia sebagai berikut :
• Jumlah pengguna facebook di Indonesia tahun 2020: 130 juta jiwa.
• Prosentase pengguna Facebook berjenis kelamin perempuan: 44,4%
• Prosentase pengguna Facebook berjenis kelamin laki-laki: 55,6%
Ringkasan Pengguna Instagram di Indonesia tahun 2020
• Jumlah pengguna Instagram di Indonesia tahun 2020: 63 juta jiwa.
• Prosentase pengguna Instagram berjenis kelamin perempuan: 50,8%
• Prosentase pengguna Instagram berjenis kelamin laki-laki: 49,2%
Berdasarkan hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut pengguna internet di Indonesia pada kuartal II/2020 sebanyak 196,7 juta atau 73,7 persen dari populasi warga Indonesia sudah menjadi pengguna akses internet. Jumlah ini bertambah sekitar 25,5 juta pengguna dibandingkan tahun lalu. Dari hasil survey tersebut menjelaskan bahwa kenaikan penggunaan internet di Indonesia didorong oleh kehadiran infrastruktur internet cepat yang makin merata dan transformasi digital yang masif . Pengguna di Pulau Jawa masih berkontribusi terbesar terhadap kenaikan jumlah pengguna internet tersebut, yakni 56,4 persen. Pengguna internet terbesar kedua berasal dari Pulau Sumatera dengan 22,1 persen. Disusul Pulau Sulawesi (7 persen), Kalimantan (6,3 persen), Bali-Nusa Tenggara (5,2 persen), dan Maluku-Papua (3 persen).
Survei juga mengungkapkan bahwa beberapa ibukota provinsi memiliki penetrasi internet lebih tinggi dibandingkan penetrasi provinsi bahkan nasional yang rerata 73,7 persen. Beberapa ibu kota provinsi dimaksud antara lain; DKI Jakarta 85 persen; Bandung 82,5 persen; dan Surabaya 83 persen. Bahkan Serang di Banten jumlah penetrasi tembus 100 persen. Survei APJII juga menemukan bahwa media sosial merupakan layanan yang paling banyak diakses menggunakan internet kedua sebesar 87,13%, setelah layanan pesan singkat (89,35%). Popularitas media sosial bahkan mengalahkan layanan mesin pencari yang berada di posisi ketiga dengan tingkat penggunaan sebesar 74,84%. (https://teknologi.bisnis.com). Dari data tersebut dapat dibayangkan berapa banyaknya informasi yang tercipta di internet, baik dalam jenis numerik, teks, gambar, audio atau video dalam setiap menitnya.
Dari tahun ke tahun jumlah informasi yang ada di internet itu akan terus mengalami peningkatan tanpa terkontrol hingga menyebabkan kelebihan informasi (information overload). Seorang filsuf Perancis, Paul Virilio menyebut kelebihan informasi sebagai bom informasi yang akan berdampak pada dehumanisasi (Kloock, 1997 dalam Bernhard Jungwirth, 2002). Pada akhirnya kelebihan informasi tersebut akan menyebabkan kesulitan bagi setiap individu dalam mencari informasi yang benar-benar bernilai. Jika tiap individu tidak membekali diri dengan kemampun literasi digital, maka akan semakin sulit untuk mencari informasi yang benar-benar bernilai.
Mendapatkan informasi yang bernilai merupakan salah satu manfaat dari literasi digital. Disisi lain, literasi digital bukan hanya menyangkut tentang kemampuan dalam mencari, menemukan, mengevaluasi, membuat, memanfaatkan hingga menyebarkan kembali informasi tersebut tapi juga mencakup banyak kemampuan lainya yang harus dimiliki misalnya bagaimana menjaga privasi dalam dunia online. Memahami dari segala jenis cybercrime seperti pencurian online lewat kartu kredit (carding), mengenal ciri-ciri situs palsu (phishing), dan penipuan via email. Bahkan dalam konsep yang lebih luas, literasi digital juga pada hakikatnya mencakup bagaimana menjaga etika dalam pemanfaatan teknologi informasi.
TANTANGAN DAN PELUANG LITERASI DIGITAL DI INDONESIA
Media baru muncul dan khalayak menjadi super aktif dalam berselancar di arus informasi tanpa batas dan penuh kebebasan. Andai saja masyarakat Indonesia yang sudah menjadi masyarakat informasi ini terbiasa melakukan literasi media maka akan dijauhkan dari kemungkinan diintegrasi dan chaos. Dengan melakukan literasi informasi dan media, seseorang menjadi lebih waspada dan tidak mudah disesatkan oleh situasi tertentu. Namun masalah yang muncul saat ini, sebagian orang memang memutuskan untuk dipengaruhi sebuah informasi, bahkan ada yang sudah tahu bahwa informasi dan berita yang disajikan ataupun yang ditayangkan di media itu palsu namun tetap dinikmati. Inilah tantangan masyarakat di era banjir informasi sekarang sekarang ini. Kecakapan literasi informasi dan media merupakan kecakapan penting bagi masyarakat dewasa ini orang agar mampu berpikir ilmiah, kritis, reflektif, dan kreatif dalam gempuran informasi yang yang berseleweran di berbagai platform media sekarang ini.
Literasi informasi dan media perlu menjadi sebuah gerakan masyarakat, bukan sekedar membuat sebagai program tetapi harus menjadi gerakan yang nyata di masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 menunjukkan kepemilikan telepon genggam di Indonesia sebanyak 355 juta, dan jumlah pengguna internet sebanyak 171 juta jiwa dan angka ini tumbuh sebanyak 51 persen dalam kurun waktu satu tahun. Perkembangan dunia digital dapat menimbulkan dua sisi yang berlawanan dalam kaitannya dengan pengembangan literasi digital.
Derasnya arus informasi dengan terjadinya transformasi digital tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak juga disinformasi yang beredar. Disinformasi dapat ditemui pada segala sektor, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, bahkan kesehatan. Salah satu kehawatiran yang muncul adalah jumlah generasi muda yang mengakses internet sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta orang. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk berinternet, baik melalui telepon genggam, komputer personal, atau laptop, mendekati 5 jam per harinya. Tingginya penetrasi internet bagi generasi muda tentu meresahkan banyak pihak dan fakta menunjukkan bahwa data akses anak Indonesia terhadap konten berbau pornografi. Belum lagi perilaku berinternet yang tidak sehat, ditunjukkan dengan menyebarnya berita atau informasi hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi di media sosial. Hal-hal tersebut tentu menjadi tantangan besar bagi orang tua, yang mempunyai tanggung jawab dan peran penting dalam mempersiapkan generasi abad ke-21, generasi yang memiliki kompetensi digital.
Hasil riset yang dilansir oleh Mitchell Kapoor menunjukkan bahwa generasi muda yang memiliki keahlian untuk mengakses media digital, saat ini belum mengimbangi kemampuannya menggunakan media digital untuk kepentingan memperoleh informasi pengembangan diri. Hal ini juga tidak didukung dengan bertambahnya materi/informasi yang disajikan di media digital yang sangat beragam jenis, relevansi, dan validasinya (Hagel, 2012). Di Indonesia saat ini, perkembangan jumlah media tercatat meningkat pesat, yakni mencapai sekitar 43.400, sedangkan yang terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 243 media. Dengan demikian, masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai media yang ada, terlepas dari resmi atau tidaknya berita tersebut (Kumparan, 2017). Hal ini terindikasi dari semakin merosotnya budaya baca masyarakat yang memang masih dalam tingkat yang rendah. Kehadiran berbagai gawai (gadget) yang bisa terhubung dengan jaringan internet mengalihkan perhatian orang dari buku ke gawai yang mereka miliki.
Menarik dicermati, rendahnya budaya baca masyarakat kita terjadi seiring dengan menderasnya arus internet. Indonesia termasuk sepuluh Negara pengguna internet terbanyak. Akan 89,8 juta pengguna internet, 79 juta di antaranya pengguna aktif media sosial media. Internet sebagai ujung tombak dari teknologi digital memang menyediakan kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan. Namun, menurut Sheryy Turkle (2011), teknologi ini juga melahirkan pendangkalan kemampuan bernalar. Budaya yang terhubung membuat kita tergoda selalu melontar komentar sehingga tidak punya waktu berpikir serius. Pada akhirnya, terpaan teknologi digital ini, akan melahirkan “generasi yang berpikir cekak”.
Menurut Nichjolas G. Carr, tanpa disiplin bernalar, kita akan kehilangan daya memilah banjir informasi di dunia yang makin kompleks, di mana citra menggantikan realitas, iklan, dan propaganda membaur dengan berita. Bahkan gossip dan hoax bersanding dengan fakta. Pada akhirnya, kita akan gagap karena tak kuasa lagi membedakan mana fakta mana opini. Tidak mengeherankan jka hoax, meme, atau olok-olok dari propagandis pun menyebar dengan deras dalam ruang informasi, dan kemudian ditelan mentah-mentah oleh masyarakat yang tuna literasi sebagai kebenaran. Tuna literasi tidak hanya menyesatkan dalam dunia digital. Bahaya lain adalah menjadikan bangsa ini gagal mendefinisikan diri. Minim membaca jelas terkait rendahnya produktivitas tulisan. Bagaimana mau menulis jika tidak membaca?
Tak hanya minim dalam publikasi ilmiah, Indonesia juga sangat minim memproduksi buku berkualitas. Buku-buku tentang Indonesia; Sejarah, alam, dan kebudayaan – lebih banyak ditulis orang luar atau orang Indonesia yang tinggal di luar negeri. Bangsa kita adalah bangsa yang didefinisikan oleh bangsa lain. Ibarat lingkaran setan, sudah kecil volume buku tercetak, kecil pula minat baca masyarakat. Jika peristiwa yang lewat tidak dituliskan dan direfleksikan, kita tidak akan pernah belajar. Lalu dari mana kita belajar? Di abad informasi ini, kecakapan literasi begitu penting tidak hanya terbatas baca tulis. Kemampuan dasar itu hanya sebagai pintu masuk untuk mengembangkan literasi yang dibutuhkan dalam kehidupan ditengah limpahan informasi.
Dilihat dari permasalahanya, tantangan besar menghadapi digital literacy di Indonesia adalah masih banyak masyarakat yang belum memiliki kecakapan literasi informasi dan media sehingga mereka kurang kritis dalam mengkonsumsi informasi dari sumber-sumber digital akibatnya mudah termakan sumber- sumber informasi yang berbau kebohongan/ hoax. Seiring dengan mudahnya informasi di akses melalui digital, semakin malas masyarakat untuk melakukan ‘cek kembali’ mengenai sumber- sumber berita yang mungkin dinilai kurang jelas/afdol, dan inilah salah satu alasan berita hoax di Indonesia masih banyak tersebar secara gamblang. Terlihat betapa banyaknya berita hoax tersebar di berbagai platform dan banyak menimbulkan dampak negatif terutama pada sistem pendidikan di Indonesia. Urgent dan sangat perlu pemerintah menerapkan kepada masyarakat Indonesia mengenai digital literacy. Masih perlu adanya tindakan untuk meningkatkan budaya literasi kepada masyarakat di Indonesia mengingat pentingnya hal tersebut agar terhindar dari beberapa sumber berita hoax. Kesadaran individu sendiri juga harus mampu dan sadar akan adanya perkembangan teknologi, perlu adanya sikap yang bijaksana dan mampu menyaring/ memilah mana itu yang baik atau buruk dalam bermedia sosial.
Oleh karenanya, dalam tantangan dan peluang ditengah era digital seperti sekarang ini, penting bagi masyarakat mengasah kemampuan digital, mampu menggunakan teknologi untuk mendapatkan informasi dengan cepat. Seiring berkembangnya teknologi dan komunikasi, masyarakat Indonesia perlu membekali diri dengan kecakapan literasi digital. Tak dapat dipungkiri pula bahwa kesadaran literasi di Indonesia juga sangat penting untuk segera ditingkatkan. Kemajuan suatu negara juga dapat dilihat dari tingkat literasi masyarakatnya yang sangat bergandengan erat dengan kemajuan pendidikan di negara itu sendiri. Mengingat sangatlah minim generasi muda di Indonesia dalam berliterasi.
Selain hal tersebut, salah satu tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia ialah masih adanya kesenjangan atas akses informasi melalui teknologi digital karena belum meratanya tingkat adopsi TIK di Indonesia, belum berimbang antara masyarakat yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan. Pada survey APJII pada tahun 2017 menggambarkan angka penetrasi internet di perkotaan dan pedesaan ialah 72,41% vs 48,25%. Sedangkan mayoritas pengguna berada pada rentang usia 15 – 19 tahun, dan hanya 16,2% yang berusia di atas 60 tahun. Tantangan lainnya ialah berdasarkan data dari Japelidi pada tahun 2018 pendidikan literasi digital mayoritas masih dilaksanakan pada level perguruan tinggi. Padahal mayoritas pengguna aktif internet tidak hanya ada pada perguruan tinggi. Data dari Kemenristek Dikti (sekarang Kemedikbud) menyebutkan jumlah total mahasiswa di Indonesia hanya 6,9 juta jiwa atau 5% dari keseluruhan pengguna internet. “Artinya masih banyak diluar angka tersebut yang membutuhkan pendidikan literasi digital. Bagi mereka yang belum menggunakan internet hambatan terbesarnya berdasarkan data Kementerian Kominfo tahun 2018 sebagai berikut:
1. Tidak tahu cara menggunakan teknologi;
2. Tidak tertarik atau tidak merasa perlu menggunakan karena tidak melihat fungsi internet;
3. Mahalnya biaya.
4. Kesempatan yang tidak berimbang ini seringkali disebut dengan kesenjangan digital.
Kesenjangan digital sendiri didefinisikan sebagai kesenjangan antara individu, rumah tangga, bisnis, dan area geografis pada level sosial-ekonomi yang berbeda terkait dengan peluang mereka dalam mengakses TIK dan penggunaannya untuk berbagai kegiatan (Gargallo-Castel, et.al., 2010). Definisi lain dari kesenjangan digital adalah tumbuh semakin besar antara anggota masyarakat yang kurang mampu, terutama mereka yang hidup di garis kemiskinan, pedesaan, berusia lanjut, dan penyandang disabilitas, dalam memiliki akses terhadap TIK (Van Dijk, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi kesenjangan digital ialah usia, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan. Premisnya semakin tua seseorang, semakin rendah tingkat pendidikan dan penghasilan maka semakin kecil peluangnya dari optimasi pemanfaatan teknologi termasuk literasi digital.
Pada tahun 2019 CFDS UGM bersama salah satu peer to peer landing terbesar di Indonesia Amartha, melakukan riset terkait bagaimana tingkat adopsi TIK masyarakat yang tinggal di pedesaan. Penelitian menggunakan mixed method mengkombinasikan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan pada delapan daerah (desa kabupaten), antara lain Mojokerto, Klaten, Bogor, dan Banyumas. Pada hasil penelitian, terlihat sebanyak 62,5% responden tidak memiliki akses terhadap internet, sisanya sebanyak 37,5% memiliki akses internet untuk kebutuhan media sosial sebagai sarana hiburan dan telekomunikasi. Dari hasil penelitian tersebut juga terlihat bagaimana ketidakpemilikan gawai cenderung semakin besar pada responden dengan usia lebih tua. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat pendidikan yang lebih rendah. Namun dalam hal tingkat pendapatan, temuan lapangan menunjukan bahwa individu yang memiliki pendapatan lebih tinggi tidak selalu memiliki akses internet lebih tinggi juga dibanding dengan yang memiliki pendapatan lebih rendah.
Hal ini bisa jadi mengindikasikan bahwa ada faktor lain yang berpengaruh dan dapat dipertimbangkan ketika kita bicara pendekatan literasi digital untuk individu yang tinggal pada daerah pedesaan. Berdasarkan Tambotoh (et. al., 2015), selain usia, pendidikan, dan pendapatan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi seorang individu, seperti:
1. Persepsi atas manfaat yang diberikan teknologi tersebut;
2. Persepsi atas kemudahan;
3. Sikap terhadap teknologi baru.
Artinya dalam upaya memberikan literasi digital harus mempertimbangkan bagaimana persepsi dan sikap individu yang disasar atas teknologi tersebut, karena tidak semua individu memiliki kecepatan adopsi yang sama. Berdasar temuan lapangan penelitian CFDS UGM, ditemukan hambatan terbesar masyarakat pedesaan dalam mengakses internet/TIK, sebagai berikut:
1. Tidak adanya manfaat yang dirasakan;
2. Penggunaan dirasa tidak mudah;
3. Tidak ada waktu untuk mempelajari karena waktu dan beban kerja yang banyak.
Hasil temuan penelitian CFDS UGM, merupakan gambaran yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan ketika merancang suatu program literasi digital, hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami terlebih dahulu apa hambatan dari target sasaran. Setelah mengetahui hal tersebut baru dapat disusun program yang sesuai. Hasil penelitian tersebut menghasilkan tiga saran kepada para stakeholder literasi digital di Indonesia. Pertama diperlukan gerakan inisiasi literasi digital nasional yang mampu menjangkau seluruh kalangan, terutama mereka yang masih memiliki hambatan mengakses internet/TIK, karena akses menjadi kunci untuk tahapan lainnya. Sebagai contoh Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) telah berkolaborasi melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi yang beranggotakan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, penyedia jasa layanan internet, industri terkait, komunitas penggiat literasi digital, serta akademisi.
Kolaborasi semacam ini harus diperbanyak, karena jika bergantung pada satu aktor saja akan sulit dan lambat untuk menyelesaikan permasalahan di Indonesia terkait kcakapan literasi media digital. Kedua, perlu dibuat roadmap literasi digital untuk memetakan tingkatan literasi digital pada berbagai kelompok masyarakat. Hal tersebut karena dibutuhkan pendekatan berbeda untuk segment masyarakat yang berbeda. Ketiga, perlu dibuat kebijakan untuk mendorong litersi digital yang masif. Aturan terkait misinformasi pada platform media sosial, perlindungan data, memasukkan kurikulum literasi digital di instisusi/lembaga pendidikan (SD-SMU dan perguruan tinggi). Hal ini diperlukan untuk semakin meningkatkan dan mempercepat pendidikan literasi digital yg merata di Indonesia.
Di sisi lain, perkembangan media digital memberikan peluang, seperti meningkatnya peluang bisnis e-commerce, lahirnya lapangan kerja baru berbasis media digital, dan pengembangan kemampuan literasi tanpa menegasikan teks berbasis cetak. Perkembangan pesat dunia digital yang dapat dimanfaatkan adalah munculnya ekonomi kreatif dan usaha-usaha baru untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar di dunia dan pemerintah melihat ini sebagai peluang untuk menciptakan 1.000 technopreneurs dengan nilai bisnis sebesar USD 10 miliar dengan nilai e-commerce mencapai USD 130 miliar yang ditarget tercapai tahun 2020 lalu. Pemanfaatan e-commerce memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk meningkatkan pemasaran barang dan jasa secara global, mengurangi waktu dan biaya promosi dari barang dan jasa yang dipasarkan karena tersedianya informasi secara menyeluruh di internet sepanjang waktu. Selain itu, jenis lapangan pekerjaan yang memanfaatkan dunia digital semakin bertambah, seperti ojek atau taksi daring, media sosial analisis, dan pemasaran media sosial.
Selain itu, peralatan dan jaringan internet yang ada bisa dijadikan media yang dapat membantu mereka untuk mengembangkan kemampuan literasi mereka tanpa menegasikan teks berbasis cetak. Justru digitalisasi bisa dijadikan media perantara untuk menuju praktik literasi yang dapat menghasilkan teks berbasis cetak. Sebagai contoh, kegiatan menulis di blog pribadi bisa diarahkan untuk mengumpulkan tulisan untuk kemudian bisa dicetak menjadi buku yang berisi kumpulan tulisan dengan tema tertentu yang diambil dari blog pribadi. Kalangan muda yang gemar menulis di jejaring sosial bisa diarahkan untuk berlatih menulis dan mengemukakan gagasan tentang sesuatu yang dekat dengan mereka.
Referensi
Sumber Buku Literasi Informasi dan Media (LIM), Cetakan I, Pebruari 2021
#BukuLiterasiInformasiDanMedia(LIM)#LiterasiDigitalSebagaiKecakapanHidup #TantanganDanPeluangLiterasiDigitalDiIndonesia
Comentários