Belakangan ini wacana matinya kepakaran demikian populer, cukup sering disebut di mana-mana. Entahlah, apakah segalanya bermula dari buku Tom Nichols, The Death of Expertise, ataukah terlebih dulu publik resah dengan fenomena matinya kepakaran dan baru kemudian Tom Nichols menuliskan bukunya itu.
Sebelum lanjut pembahasan, ada baiknya kita pahami dulu pengertian pakar.
Apa itu pakar?
Pakar atau ahli ialah seseorang yang banyak dianggap sebagai sumber terpercaya atas teknik maupun keahlian tertentu yang bakatnya untuk menilai dan memutuskan sesuatu dengan benar, baik, sesuai dengan aturan dan status oleh sesamanya ataupun khayalak dalam bidang khusus tertentu.
Dengan kata lain, seorang pakar atau ahli adalah orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu, yaitu pakar yang mempunyai knowledge atau kemampuan khusus yang orang lain tidak mengetahui atau mampu dalam bidang yang dimilikinya.
Pada prinsipnya keduanya (pakar atau ahli) adalah predikat yang tersematkan pada orang yang menguasai secara mendalam terhadap suatu bidang ilmu atau ketrampilan tertentu.
Perbedaannya adalah pada darimana pernyataan itu keluar. Ahli adalah pernyataan internal sedangkan pakar adalah pernyataan eksternal.
Apa yg dimaksud “matinya kepakaran”?
“Matinya Kepakaran” adalah suatu frasa, yang dengan gagah memamerkan kesombongannya sendiri. Tumbuhnya kebebalan pada era informasi semacam ini, tidak bisa dipahami hanya sebagai akibat ketidaktahuan semata.
Matinya ide-ide kepakaran diartikan sebagai kehancuran pembagian antara kelompok profesional dan orang awam, murid dengan guru, dan orang yang tahu dengan yang merasa tahu karena Google, Wikipedia, dan blog.
Matinya kepakaran bukan berarti kemampuan para pakar, tapi itu merupakan ketergantungan kepada pakar sebagai teknisi semata. Penggunaan pengetahuan yang sudah mapan menjadi kenyamanan siap pakai, sesuai kebutuhan, dan hanya bila diinginkan.
Jadi, mati dalam konteks ini bukanlah secara harfiah, tetapi hiperbola atas keadaan berdasarkan sebuah sudut pandang. Tentu saja pakar dan ahli masih tetap memegang posisi mengenai siapa yang dipercaya dalam sebuah ilmu pengetahuan.
***
Tom Nichols (2017) dalam bukunya The Death of Expertise mengulas tentang fenomena "matinya kepakaran", dalam situasi zaman serba digital ini. Penulis membedah bagaimana situasi matinya kepakaran dapat terjadi hingga saat ini, hingga akhirnya dapat membahayakan iklim demokrasi.
Tom Nichols, menyebutkan beberapa tanggung jawab warga dan pakar yang hilang dalam menjaga marwah demokrasi. Nichols menyoroti betapa publik luas di era media sosial ini lebih mendengarkan suara para micro-celebrity di medsos, alih-alih mengacu para ahli yang jelas-jelas lebih punya kompetensi.
Sang penulis secara pribadi mengisyaratkan adanya kerenggangan antara pakar dan orang awam yang bahkan mampu memporak-porandakan kelangsungan demokrasi bersama. Situasi seperti ini disebut oleh Tom Nichols sebagai tanda matinya kepakaran. Istilah ini menunjukkan bagaiman pendapat yang salah bisa dianggap sebagai kebenaran.
Menurut Tom Nichols, Sebenarnya, matinya kepakaran lebih sebagai amukan bocah tingkat nasional, penolakan kekanak-kanakan terhadap figur otoritas dalam bentuk apapun, dipadukan dengan desakan bahwa pendapat yang dipertahankan dengan kuat tidak berbeda dengan fakta.
Satu yang membedakan orang awam dan pakar, yaitu kemampuan atau bakat alami. Bakat tersebut ditegaskan Tom Nichols sebagai hal yang mampu membedakan antara mereka yang memiliki sertifikat dan orang-orang lain yang memiliki pemahaman mendalam.
Kelompok yang disebut pakar pun sudah ada sejak manusia mulai menggeluti keahlian yang dimilikinya sebagai suatu pekerjaan. Menurut Nichols, mereka adalah orang-orang yang menguasai keahlian atau seperangkat pengetahuan tertentu, serta mempraktikkan keahlian atau pengetahuan itu sebagai pekerjaan utama mereka dalam hidup.
Dengan kata lain, pakar adalah orang-orang yang jauh lebih tahu mengenai satu pokok bahasan dibandingkan dengan kita semua. Mereka adalah sosok yang kita cari ketika membutuhkan nasihat, pendidikan, atau solusi dalam bidang pengetahuan tertentu. Meskipun saat ini, peran itu digantikan oleh internet.
Tom Nichols juga juga menuliskan perihal matinya kepakaran sebagai tanda kemajuan. Ketika rahasia hidup tidak lagi tersembunyi dalam makam kuno dan perpustakaan besar yang hanya segelintir orang mengunjunginya.
Meski di sisi lain, Tom Nicholas tidak mengatakan bahwa matinya kepakaran disebabkan oleh internet semata. menurut Nichols, internet dan media sosial bukanlah penyebab tunggal dari matinya kepakaran dan demokrasi. Serangan terhadap pengetahuan yang sudah mapan memiliki sejarah yang panjang, dan internet hanyalah alat terbaru.
***
Pernyataan Tom Nichols benar adanya, bahwa "runtuhnya" kepercayaan publik terhadap pakar, kepakaran dan/atau produk kepakaran berupa pengetahuan yang telah mapan (established knowledge) bukan semata-mata atau "sebagian" karena internet. Namun, kehadiran internet cukup menjelaskan masalah tersebut.
Telah kita ketahui bersama bahwa era kemajuan teknologi dan komunikasi modern telah membawa perubahan yang cukup siginifikan Khususnya perubahan secara masif dari pola konsumsi media konvensional ke media baru (media online).
Sebelum muncul internet, pola konsumsi informasi diperoleh melalui media konvensional, seperti surat kabar, majalah dan televisi. Dengan kemunculan media informasi berbasis internet atau media online telah merubah pola konsumsi masyarakat dalam mencari informasi.
Perubahan pola konsumsi informasi disebabkan karena setiap individu merasa diberi kemudahan dalam mencari informasi yang didukung dengan teknologi informasi komunikasi, khususnya perangkat digital.
Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet memungkinkan informasi yang tersedia di berbagai kanal seperti Google, Wikipedia, Blog, dll. sangat melimpah, dimana setiap orang bisa mengaksesnya secara mudah, dan gratis.
Di sisi lain, hadirnya media digital (media online), terlebih lagi medsos telah menghancurkan berbagai sekat, terlebih sekat antara warga tidak berpendidikan dan sekelompok pakar. Dulu, tidak semua orang bisa "berbicara". Sekarang, mulai pakar, ahi, akademisi, profesor, sampai penganggur yang belum pernah pegang buku seumur-umur, bisa sama-sama bersuara.
Media sosial telah menjadi ruang dan corong dimana setiap individu bebas menyampaikan pendapatnya tanpa sekat menjadi kian riuh. Di media sosial, siapapun dapat memberikan komentar terhadap suatu isu, meskipun dengan modal pengetahuan yang minim.
Era digital, terlebih lagi era medsos, masyarakat dengan mudahnya mendapatkan dan menyebarluaskan informasi. Hanya bermodal Jari dapat menemukan informasi yang menjamur dengan cepat dalam rimba internet. Akibatnya, kebenaran dari suatu informasi tidak lagi menjadi fokus untuk dipertanyakan ulang.
Adanya informasi setengah matang dan bukti yang memihak, lantas dikonsumsi sekaligus disebarkan Kembali ke masyarakat luas. Siklus kebodohan yang tak berujung.Orang-orang kini membaca sekilas berita dan artikel dan membagikannya di media sosial tanpa benar-benar membacanya.
Tak ada syarat khusus untuk dapat berdebat dengan pakar atau ahli. Semua bebas menyampaikan pendapatanya. Bahkan di dalam buku ini tertulis, tidak sedikit dari pernyataan kepakaran yang menimbulkan ledakan kemarahan dari golongan tertentu.
Parahnya, pihak-pihak yang seharusnya memberikan pencerahan, seperti perguruan tinggi, media, hingga kalangan pakar itu sendiri, kadang justru memiliki andil dalam membunuh kepakaran.
Dari situlah matinya kepakaran itu bermula. Orang didengarkan bukan karena dia ahli dalam suatu bidang. Orang diikuti kata-katanya lebih karena pengaruhnya yang besar di media sosial. Semakin banyak follower atau subscriber seseorang di medsos, semakin dia disimak dan diperhatikan.
Maka, kepakaran pun mati. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh Tom Nichols. Pandangan itu disetujui oleh banyak pakar lainnya, termasuk mungkin oleh akademisi. Sebagian besar memandangnya secara negatif, penuh kecemburuan, sambil menyiratkan pernyataan bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi.
Tak dipungkiri bahwa Kehadiran media digital (media online), terlebih lagi medsos bukan hanya menghasilkan banyak pengetahuan, pun gesekan sosial. Hasil interaksi tidak lagi penghormatan yang lebih besar kepada pengetahuan, melainkan tumbuhnya keyakinan rasional bahwa semua orang sama pintarnya.
Pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan sains bukan hanya pakar yang bisa menjawab, melainkan juga para penganut teori konspirasi, orang awam sok tahu, hingga pesohor yang menyesatkan. Penjelasan pakar tidak lagi didengar, sementara jawaban dari tokoh yang mempunyai banyak pengikut justru lebih dipercaya banyak orang.
Sekarang ini para tukang berisik di medsos lebih didengarkan daripada para ahli, rasanya tak ada yang dapat membantahnya. Bahkan, sebagaimana yang tengah riuh-rendah belakangan ini, sebagian di antara mereka memonetisasi posisi sebagai micro-celebrity dengan menjadi buzzer. Mulai dari buzzer untuk berjualan produk-produk komersial, hingga buzzer isu untuk mendukung kekuatan politik ini dan itu.
Meski demikian, masyarakat tidak berlebihan dalam cara pandang atas media sosial. Seolah-olah medsos adalah akar kebodohan publik, sehingga publik punya kontribusi terbesar dalam membunuh kepakaran. Padahal, kalau kita mau konsisten kepada nilai-nilai demokrasi, sesungguhnya dengan medsos masyarakat lebih bisa mengakses hak kemerdekaan dan kesetaraan untuk bersuara.
Dulu, hanya kalangan tertentu yang bisa muncul di media-media. Itu contoh termudahnya. Kalau Anda bukan pejabat, bukan akademisi, bukan tokoh masyarakat, bukan ahli dalam suatu bidang, sangat tipis kemungkinannya pendapat Anda dihadirkan di sebuah media dan disimak ribuan orang.
Sekarang, akses untuk meraih keterbacaan pada skala luas bukan hanya monopoli para "oligarki pengetahuan". Seorang pedangang bisa. Seorang tukang ojek bisa. Seorang ibu rumah tangga bisa. Seorang kuli bangunan bisa. Caranya, mereka menciptakan media mereka sendiri, yaitu melalui akun di media sosial.
Iklim yang lebih anti-hierarki seperti ini tak ayal berpengaruh juga ke media-media konvensional. Mereka tidak mau terikat pada cara pandang lawas yang hanya memberikan akses hak bersuara kepada segelintir orang.
Walhasil, apa yang muncul di media sosial dan tulisan-tulisan yang nongol di media konvensional tak lagi tampak terlalu berbeda. Maka, muncullah apa yang disebut sebagai "orang tanpa latar keahlian tapi bisa bicara macam-macam".
***
Menurut saya “Matinya kepakaran” justru karena pakar itu sendiri. Kenapa demikian? Sederhana saja. Saya menganalogikannya ruang digital atau media sosial dengan warung kopi. Media sosial adalah warung kopi. Di warung kopi, siapa pun bisa berbincang tentang apa pun. Mulai gosip perselingkuhan tetangga, naiknya harga BBM, sembako, hingga konflik politik paling mutakhir. Semua bebas-bebas saja, tak ada larangan, tak ada aturan di warung kopi yang menyatakan, "Mohon Pengunjung Tidak Berbicara di Luar Bidang Keahliannya".
Lalu, siapa yang paling didengarkan di warung-warung kopi? Tentu saja orang-orang yang paling pintar berbicara. Mau Anda pintar setinggi Monas, tapi kalau cuma diam terus dan menghabiskan waktu dengan ngemil bakwan, tak pernah ikut ngobrol, dan sekalinya ngobrol kalimat-kalimat Anda sulit dipahami orang, ya Anda tidak akan didengarkan.
Persis demikian juga media sosial. Di medsos, kita adalah warga biasa, dan bicara apa saja. Mulai pamer makan apa di restoran mana, akhir pekan ini piknik ke mana, malam tadi pakai skin care apa, hingga membicarakan pasal-pasal dalam RUU bermasalah, semua bisa. Pembatasan topik obrolan yang harus sejalan dengan bidang keahlian bisa jadi semakna dengan represi atas hak bersuara.
Lalu, siapa yang paling didengarkan di media sosial? Tentu saja sama persis aturan mainnya dengan warung kopi: siapa saja yang paling ceriwis dan paling pintar berbicara!
Sesimpel itulah media sosial. Jangan sampai lupa bahwa ada kata "sosial" pada istilah media sosial, sehingga mekanisme-mekanisme yang berjalan di sana pun merupakan mekanisme yang berkarakter sosial.
***
Jadi, ini semata-mata perubahan bentuk. Dulu ada warung kopi, sekarang ada medsos. Sejak dulu di warung kopi semua bebas ngomong apa saja, sekarang di medsos demikian juga. Di warung kopi, yang paling didengarkan adalah mereka yang paling lihai berbicara, dan ternyata di medsos pun begitu pula.
Pembedanya adalah respons media-media konvensional. Saya lihat sekarang media konvensional jauh lebih terbuka menampung suara dari orang biasa di luar para anggota kebenaran pengetahuan.
Ya, bukan berarti dulu sama sekali tidak begitu. Tetap ada orang-orang seperti itu. Misalnya, yang mengaku diri sebagai seorang ahli, pakar atau spesialis. Bisa menulis tentang politik, agama, ekonomi, seni rupa, hingga tentang diplomasi luar negeri.
Dengan peta situasi seperti ini, siapa pun bebas bicara. siapapun bebas komentar. Siapapun bebas menulis walaupun bukan pakar atau ahli dibidang tersebut. Adanya media sosial, warga berhak bicara apa saja, itu hak masyarakat sipil. Memangnya yang bisa mikir cuma para pakar? Apalagi terkait hal-hal yang berpotensi mempengaruhi kepentingan kita sebagai warga.
***
Kira-kira seperti itulah pesan yang akan saya sampaikan. Saya ingin mengatakan: kalaulah kita yakin kepakaran telah mati, maka yang membunuhnya adalah para pakar itu sendiri. Kenapa? Karena sibuk ngemil saja di warung kopi.
Banyak ahli/pakar, dan terutama mereka yang berada di lembaga akademi/universitas, enggan, bahkan menolak dan meninggalkan tugas mereka untuk terlibat dengan publik. Mereka lebih memilih dan fokus untuk berinteraksi dengan sesama kolega atau anggota komunitas keilmuan masing-masing, melalui organisasi keilmuan atau profesi; forum-forum akademik/ilmiah seperti pertemuan/kongres/konferensi/seminar ilmiah; dan/atau terbitan berkala ilmiah.
Mereka juga lebih tertantang dan dituntut untuk "memelihara tradisi akademik" dan "unjuk prestasi dan kebanggan akademik", daripada membangun jaringan dengan publik melalui karya-karya pengabdiannya.
Fenomena ini merupakan persoalan klasik dan menjadi kritik paling keras dari publik kepada para pakar/ahli/perguruan tinggi. Publik hanya melihat mereka sebagai "kelompok elit" yang eksklusif, dan distigmasi sebagai "menara gading" yang menjulang tinggi.
Mereka sama sekali tidak acuh, tidak peduli, tidak peka, dan abai terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka hanya bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya, tanpa terlibat dalam kerja-kerja praksis atau melakukan bentuk aktivisme sosial kolektif di masyarakat.
Oleh karena itu, Para pakar harus menyadari bahwa di era kebebasan informasi dan masyarakat bebas dewasa ini, Internet merupakan repositori pengetahuan yang luar biasa. Kehadiran kanal-kanal informasi dan pengetahuan berbasis jaringan/internet ini harus dapat dimanfaatkan oleh oleh pakar/ahli dengan turut hadir dan berpartisipasi di dalamnya, melalui tulisan-tulisan kepakaran yang bisa mengedukasi dan mencerahkan publik.
Saat ini, kehadiran pakar dan kepakaran di ruang-ruang digital sangat penting untuk membangun diskursus tentang peradaban yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan tidak menjadi absurd.
Para pakar dituntut memiliki tanggungjawab untuk menciptakan dan mengembangkan budaya partisipatif dan politik aktif publik di ruang-ruang digital berjejaring. Kehadiran pakar dan kepakarannya diharapkan mampu membangun medsos sebagai ruang demokratis yang berkeadaban yang mampu menciptakan warganet yang beradab sebagai basis network society.
***
Nah, agar fenomena matinya kepakaran tidak menjadi hal yang perlu ditakutkan dan dihadapi dengan penuh kegelisahan oleh para pakar, maka taruh dulu scopus-nya, artikelnya, risetnya dan mulailah ikut berbincang-bincang dengan semuanya. Sodorkan pandangan yang tajam, ilmiah, akurat, tapi tetap dengan gaya para pengunjung warung kopi yang tak sudi mendengar istilah-istilah ilmiah yang ngeri-ngeri. Tapi untuk berbincang ala warung kopi lewat tulisan-tulisan di medsos ada tekniknya. Minimal Anda bisa menulis dengan cair, licin, lincah, dan membuat orang terus menyimak tuturan Anda.
Comentarios