Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat di masa pandemik adalah disinformasi dan misinformasi covid19 yang beredar di masyarakat. Disinformasi adalah informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk mempengaruhi opini publik dan menutupi kebenaran. Sedangkan Misinformasi adalah informasi yang salah dan tersebar tak sengaja tanpa disertai niat buruk.
Maraknya disinformasi dan misinformasi seputar covid19 berdampak pada sulitnya masyarakat untuk menyaring antara informasi yang sesuai fakta atau informasi palsu alias hoaks. Adanya disinformasi dan misinformasi seputar covid19 berpotensi menimbulkan kebingungan publik dan menyebabkan ketidakpercayaan pada pihak-pihak tertentu.
Banyaknya komando, informasi yang datang silih berganti, dan ketidakpastian kondisi pada situasi pandemi COVID-19 menjadi ladang subur bagi para penyebar disinformasi. Meskipun jumlah disinformasi dan misinformasi sedikit, ketika tersebar secara masif, jutaan orang menerima informasi yang salah.
Informasi salah yang beredar tersebut berkisar tentang teori konspirasi covid19, klaim obat dan produk herbal, serta berbagai mitos yang dapat menangkal ataupun menyembuhkan pasien Covid-19.
Banyak Informasi yang beredar di media sosial yang menyarankan masyarakat untuk mengonsumsi obat obatan tertentu, suplemen makanan dan minuman herbal dan rempah-rempah untuk meningkatkan kekebalan mereka.
Klaim obat-obatan yang tersebar secara luas di masyarakat membuat orang percaya bahwa obat tersebut ampuh mengatasi Covid-19. Obat-obatan tersebut dinilai dapat membahayakan masyarakat karena pemakaian obat tidak bisa sembarang tanpa resep dokter.
Dilain sisi, hal ini dapat berakibat pada kelangkaan obat, kenaikan harga obat, hingga penyalahgunaan obat-obatan, termasuk penggunaan yang tidak sesuai resep dokter.
Selain Disinformasi dan Misinformasi, juga marak Obskurantisme dan Pseudo-sains tentang covid19. Obskurantisme adalah tindakan yang dengan sengaja menyajikan informasi dengan cara yang berkesan kabur dan sukar dimengerti dengan tujuan agar tidak ada yang mencoba bertanya atau memahami lebih lanjut. Istilah ini juga dapat mengacu kepada pembatasan pengetahuan secara sengaja agar pengetahuan tersebut tidak menyebar.
Pseudosains didefinisikan kumpulan kepercayaan dan praktik yang salah tanpa dilandasi alur metode ilmiah yang benar (Cover JA, 1998). Filsuf Karl Popper mengklasifikasi pseudosains sebagai demarkasi good science dan bad science.
Secara umum, Pseudoscience adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu bidang yang menyerupai ilmu pengetahuan namun sebenarnya bukan merupakan ilmu pengetahuan. Sesuatu yang menyerupai ilmu pengetahuan ini tidak valid dan memiliki banyak kekurangan, tidak rasional dan cenderung dogmatis. Dengan kata lain ilmu-palsu.
Istilah pseudosains, pertama kali muncul pada 1800-an, kombinasi dari bahasa Yunani, pseudo, yang berarti semu atau palsu, dan bahasa Latin scientia, yang berarti pengetahuan. Pseudosains memiliki konotasi negatif karena sering menunjukkan objek yang mendapat label ini digambarkan sebagai suatu yang tak akurat, tidak valid, dan berujung tidak dipercayanya sebagai ilmu pengetahuan.
Pseudosains bisa juga dikatakan kumpulan pandangan yang berada di luar lingkup ilmiah. seni, nilai, kreatifitas, spiritualitas, sugesti, dan bagi banyak orang, merupakan aspek yang sangat penting dari eksistensi manusia. Subyek non-sains biasanya mudah dipisahkan dari sains.
Pseudo-sains muncul ketika ada yang mengklaim bahwa telah dibuktikan secara ilmiah, Padahal sebenarnya tidak. Keyakinan dan kepercayaan kadang-kadang menjadi pseudo-sains ketika ada orang yang berusaha mempopulerkan suatu keyakinan atau kepercayaan sebagai sesuatu fakta yang sudah terbukti secara ilmiah . Argumentasi seperti ini seringkali muncul ketika sains belum dapat menemukan jawabannya.
Karakteristik kunci dari pseudosains adalah bahwa hal itu tidak sesuai dengan metode ilmiah. Ini berarti bahwa klaim ilmu ini terhadap suatu hal tidak dapat diuji, dan tidak mengikuti urutan logis. Banyak konsep-konsep ilmiah tidak dapat diuji dengan peralatan yang ada. Dengan kata lain Pseudosains tidak memiliki dukungan ilmiah, dan tidak dapat diuji.
Maraknya pseudosains tentang covid19 karena masih adanya ketidakpastian sains tentang pemahaman masyarakat terhadap karakteristik virus SARS-CoV-2, penyakit dan komplikasi yang ditimbulkannya, hingga terapi preventif kuratif yang tepat untuk mengeradikasi Covid-19.
Jika anda sedang browsing di internet, anda akan menemukan beberapa berita, informasi, atau pun artikel tentang covid19 yang telah beredar luas yang memuat suatu uraian yang terkesan ilmiah tetapi jauh dari kata ilmiah. Misal, klaim obat dan produk herbal, serta berbagai mitos yang dapat menangkal ataupun menyembuhkan pasien Covid-19. Klaim tersebut dianggap menyesatkan, sebab tak disertai bukti ilmiah.
Melansir Healthline, ada beberapa klaim daftar obat-obatan yang dapat menangkal ataupun menyembuhkan pasien Covid-19, yaitu: Pertama. Remdesivir. Menurut data Mayo Clinic, obat ini sebenarnya digunakan untuk mengatasi virus ebola. Kemudian, riset menunjukkan remdesivir dapat membantu mempercepat pemulihan pasien COVID-19. Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengklaim obat ini tidak sepenuhnya aman untuk mengatasi pasien Covid-19 karena bisa menimbulkan peningkatan kadar enzim hati yang memicu kerusakan hati. FDA hanya mengizinkan rumah sakit untuk memberikan obat antivirus ini kepada pasien Covid-19 dengan gejala yang parah.
Kedua. Chloroquine dan hydroxychloroquine. Obat ini sebenarnya digunakan untuk mengobati malaria dan beberapa jenis gangguan autoimun. Obat ini sebenarnya dianggap kurang efektif untuk mengatasi pasien Covid-19 karena bukti ilmiah masih terbatas. Obat ini juga bisa menimbulkan menimbulkan berbagai efek samping, seperti gejala gastrointestinal dan risiko interaksi negatif dengan resep lain yang mungkin digunakan oleh pasien. Risiko paling fatal dari penggunaan obat ini adalah gangguan irama jantung yang bisa menghambat aliran oksigen ke seluruh tubuh.
Ketiga. Ciclesonide (Alvesco). Sampai sekarang, belum ada riset ilmiah yang cukup membuktikan obat ini efektif untuk pasien Covid-19. Bahkan, obat untuk pasien asma ini bisa menimbulkan efek samping seperti iritasi mulut, hidung tersumbat, sakit tenggorokan, gatal atau ruam kulit, nyeri sendi, dan sakit kepala. Keempat. Acetazolamide. Di beberapa negara, obat ini hanya dapat boleh digunakan untuk pengobatan hewan. Obat ini biasanya digunakan untuk mengatasi glaukoma, mengendalikan kejang, atau penyakit ketinggian. Bagi beberapa orang, obat ini bisa menimbulkan efek samping berbahaya seperti reaksi alergi, mati rasa, otot melemah, kesulitan bergerak, dan sensasi dering di telinga.
Kelima. N-acetylcysteine. Obat ini biasanya dipakai untuk mengatasi penyakit pernapasan. Namun, belum ada riset ilmiah yang membuktikan obat ini efektif untuk pasien Covid-19. Obat ini juga memiliki efek samping seperti menyebabkan sesak nafas, pembengkakan di area wajah, dan reaksi alergi. Keenam. Ivermectin. Obat ini digunakan untuk mengobati infeksi parasit sehinga dianggap ampuh untuk mengatasi Covid-19. Tapi, hingga saat ini tidak ada uji klinis yang menunjukkan bahwa obat ini efektif untuk pasien Covid-19. Obat ini juga bisa menimbulkan reaksi alergi, iritasi kulit, nyeri sendi, pembengkakan, dan demam.
Ketujuh. Cetylpyridinium chloride. Obat ini biasanya digunakan untuk obat kumur dan produk-produk kesehatan gigi untuk membunuh kuman. Namun, belum ada riset membuktikan obat ini bisa mengatasi atau mencegah Covid-19. Kedelapan. Favipiravir. Meskipun obat antivirus ini disetujui di Cina dan Jepang untuk mengobati influenza, sejauh ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa obat tersebut efektif mengatasi Covid-19. Hingga kini masih dilakukan uji klinis untuk mengulik efektivitas dan efek samping dari obat ini.
Kesembilan. Guaifenesin (Mucinex). Beberapa dokter mungkin merekomendasikan obat batuk yang dijual bebas ini untuk membantu meredakan gejala ringan COVID-19. Namun, obat ini tidak bisa digunakan untuk melawan virus penyebabnya. Kesepuluh. Antibiotik. Antibiotik bekerja melawan infeksi bakteri, bukan infeksi virus seperti COVID-19. Tidak ada uji klinis yang membuktikan obat ini bisa mencegah Covid-19.
Selain obat-obatan tersebut diatas, beberapa informasi menyesatkan beredar luas di masyarakat. Misalnya, klaim pakai minyak kayu putih dan Konsumsi Alkohol dapat menyembuhkan pasien Covid-19. Nah, sejak pandemi COVID-19 dimulai, penggunaan alkohol semakin meningkat sebagai bahan dasar yang harus ada baik pada cairan pembersih tangan maupun disinfektan. Kandungan tersebut menjadi penting karena mampu membunuh bakteri dan virus, sehingga bisa membantu mencegah penularan virus corona.
Namu, klaim bahwa meminum alkohol bisa melindungi tubuh dari SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, tidak benar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Eropa, alkohol tidak bisa melindungi dari infeksi atau penyakit yang berkaitan dengan COVID-19. Faktanya, konsumsi alkohol justru meningkatkan kemungkinan berkembangnya penyakit parah akibat COVID-19.
Konsentrasi alkohol yang tinggi, seperti 60-90 persen memang bisa membunuh beberapa bentuk bakteri dan virus. Namun, manfaat alkohol tersebut hanya berlaku pada penggunaan di kulit. Minum alkohol bisa berdampak buruk pada sistem kekebalan tubuh. Menurut WHO, alkohol tidak berperan dalam mendukung sistem kekebalan untuk melawan infeksi virus. Hal ini berlaku untuk konsentrasi alkohol apa pun. Bahkan penggunaan alkohol yang berlebihan mungkin bisa merusak sistem kekebalan tubuh. Selain itu, alkohol dapat meningkatkan risiko penyakit menular tertentu, seperti pneumonia dan tuberkulosis.
Menurut artikel tahun 2015 di jurnal Alcohol Research, alkohol bisa mencegah sel-sel kekebalan untuk bekerja dengan baik, sehingga mengurangi kemampuan sistem kekebalan untuk melawan infeksi. Alkohol juga bisa menyebabkan peradangan yang dapat melemahkan sistem kekebalan. Sistem kekebalan tubuh yang lemah juga bisa menyebabkan kamu berisiko mengembangkan penyakit yang parah bila terkena COVID-19.
Orang yang mengembangkan penyakit parah akibat COVID-19 berisiko mengalami sindrom gangguan pernapasan akut atau acute respiratory distress syndrome (ARDS). Sindrom tersebut terjadi ketika cairan mengisi kantung udara di paru-paru, sehingga mengurangi suplai oksigen ke tubuh. ARDS bisa berakibat fatal. Selain itu, konsumsi alkohol juga bisa bisa mengganggu keseimbangan neurotransmitter yang menyebabkan otak tidak bisa berfungsi dengan baik. atau memperburuk masalah kesehatan mental yang ada.
Mitos lainnya yang beredar luas dimasyarakat adalah meminum air panas 6 kali sehari, meminum susu panas dan teh panas 4 kali sehari, serta rajin menghirup uap panas bisa menumpas virus vorona. WHO melalui situs resminya telah menegaskan bahwa tidak ada hasil penelitian yang menemukan bahwa meminum minuman panas dan menghirup uap panas dapat membunuh virus Corona.
Hasil penelitian oleh sekelompok peneliti dari Universitas St. Thomas, Minnesota, Amerika Serikat menyatakan bahwa meskipun temperatur tinggi dapat melemahkan partikel virus Corona yang berada di permukaan suatu benda, metode tersebut tidak dapat memberikan hasil yang efektif ketika virus Corona telah masuk ke dalam tubuh manusia.
Adapula klaim yang menyebut bahwa asap dari bakaran batok kelapa dapat dijadikan sebagai obat Covid-19. Disebutkan juga bahwa asap batok kelapa yang bisa dijadikan obat Covid-19 adalah yang sudah dikondensasi. Klaim tersebut disampaikan lewat sebuah unggahan di media social Facebook. Unggahan tersebut disertai dengan video berita yang menayangkan proses pembuatan batok kelapa menjadi obat Covid-19. Dalam unggahan tersebut muncul kalimat yang menyatakan bahwa asap batok kelapa bisa jadi obat Covid-19 seperti berikut: "Apresiasi Anak Negeri" "Asap Batok Kelapa jadi Obat Covid-19."
Selain batok kelapa, ada juga rumor lainnya yang mendorong konsumsi bawang putih, kayu manis, dan akar manis, sebagai tindakan pencegahan atau pengobatan COVID-19. Ada juga rumor lainnya yang tengah beredar di media sosial, mengatakan bahwa jambu Kristal, air rebusan belimbing wuluh. Disebutkan buah-buahan ini mampu sebagai anti virus corona Covid19.
Lebih jauh, tersebar juga rumor di media sosial, mengatakan bahwa Vaksin Covid-19 Tidak Kebal Menghadapi Virus. Padahal klaim yang menyebut vaksin tidak kebal melawan virus dan masih bisa menularkan virus tidak benar. Faktanya, vaksin butuh waktu untuk membentuk antibodi agar seseorang tidak terinfeksi atau dampak yang serius dari infeksi dari sebuah penyakit. Begitupula rumor tentang test Swab bisa negatif jika mencuci hidung dgn cairan infus NaCL. Padahal narasi yang disertakan dalam video aslinya tidak ditemukan klaim bahwa mencuci hidung dengan cairan infus agar hasil tes swab negatif.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa klaim tentang obat obatan ataupun beberapa informasi yang terkait pengobatan untuk mengurangi gejala atau komplikasi karena infeksi corona adalah klaim yang tidak benar. Pasalnya Tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung klaim absurd tersebut.
Hingga saat ini belum terdapat obat maupun vaksin yang bisa digunakan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Obat yang diberikan kepada penderita covid19 merupakan obat untuk mengurangi gejala atau komplikasi karena infeksi corona. Sedangkan obat-obatan tradisional umumnya bersifat antioksidan dan juga imunomodulator atau untuk meningkatkan imunitas tubuh. Jadi, belum ada obat yang benar-benar bisa langsung menargetkan virus penyebab Covid-19 tersebut.
Melansir dari laman covid-19.go.id, dijelaskan bahwa sampai saat ini, belum ada obat khusus yang disarankan untuk mencegah atau mengobati penyakit yang disebabkan virus corona baru (COVID-19). Bahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) tidak menyetujui penggunaan obat-obatan tersebut diatas karena dianggap tidak aman dan efektif untuk mengobati atau mencegah Covid-19.
Dari laman covid-19.go.id menjelaskan bahwa klaim yang menyatakan bahwa ada pasien yang sembuh karena meminum atau mengonsumsi sesuatu, hal itu terjadi semata-mata karena daya tahan tubuh pasien bukan karena obat-obatan ataupun herbal yang dikonsumsi. Obat-obat herbal yang beredar di masyarakat hanya obat-obatan yang digunakan untuk meredakan, bukan sebagai obat yang secara langsung dapat menyembuhkan. Mereka yang positif Covid-19 harus menerima perawatan yang tepat untuk meredakan dan mengobati gejala, dan mereka yang sakit serius harus dibawa ke rumah sakit.
Strategi Melawan Ancaman Obscurantisme, Pseudosains, Disinformasi dan Misinformasi Covid 19
Melawan ancaman Obscurantisme, Pseudosains, Disinformasi dan Misinformasi Covid 19 yang berseleweran di media sosial maupun di aplikasi pesan seperti WhatsApp diperlukan sejumlah strategi agar dapat terhindar dari berbagai bentuk informasi-informasi yang absur, sesat, bias atau tanpa bukti ilmiah tentang covid19.
Adapun langkah-langkah strategi yang harus kita lakukan untuk Melawan Ancaman Obscurantisme, Pseudosains, Disinformasi dan Misinformasi Covid 19, sebagai berikut:
1. Menyemai Scientific Temper (Perangai Ilmiah)
Selama pandemi ini, banyak berseleweran informasi ataupun artikel seputar virus corona dan Covid-19 yang beredar di berbagai platform media sosial maupun di aplikasi pesan seperti WhatsApp yang sifatnya testimoni yang tidak didukung dengan metodologi ilmiah atau sainsnya. Sehingga, diperlukan sikap skeptisisme kritis dalam menerima informasi tentang covid19. Dengan demikian, informasi yang kita terima adalah informasi yang benar-benar akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Sains sangat diperlukan dimasa pandemic sekarang ini untuk membantu menemukan kebenaran yang jarang terlihat dan banyak yang hilang dalam sebuah kebingungan. Diperlukan sebuah dedikasi dan keberanian untuk menanamkan sikap saintis yang senantiasa berpikir kritis serta terbuka untuk menghilangkan segala tipu muslihat yang para penipu ciptakan terlebih di masa pandemic covid 19 sekarang ini.
Terjadi di kehidupan masyarakat masa pandemic covid19 sekarang ini, tidak berfungsinya ilmu sains atau ilmu pengetahuan sebagai dasar atau pijakan seseorang untuk berpikir. Terkadang disfungsional ini dipakai untuk memberikan pendapat mengenai suatu hal yang terkesan absurd, bias atau tanpa bukti ilmiah.
Paradigma ilmu pengetahuan (sains) tentang covid19 mendesak untuk dikampanyekan, oleh masyarakat dan khususnya pemerintah , sebagaimana produk atau politik dikampanyekan. Bukan untuk tujuan bisnis atau kekuasaan, tapi untuk membangun budaya nalar, menyemai scientific temper (perangai ilmiah) sebagai gaya hidup.
Sains penting, karena, mengutip fisikawan Richard Feynman: “metode bagi manusia agar tidak mudah dibodohi; karena sejatinya manusia adalah makhluk yang paling gampang dibodohi.” Khususnya saat ini, di masa pandemic covid19, ketika perdebatan atau tafsir tentang realitas mulai mengarah ke pemikiran anti-sains. Ketika pikiran tanpa-nalar memiliki platform yang sama dengan yang nalar.
Carl Sagan dalam bukunya “The Demon Haunted World”, yang membahas perihal pseudosains yang bisa kita renungkan dan cermati. Sagan mewariskan sikap skeptisisme kepada para pembaca yang tampaknya menjadi hal yang hangat dan positif: alat yang digunakan untuk mengungkap fakta dan kenyataan dunia di sekitar kita, serta untuk menghilangkan delusi.
Carl sagan menulis didalam bukunya ini bahwa sains merupakan jawaban untuk menangkal segala sesuatu yang berhubungan dengan pseudosains. Karena sains memuat literatur-literatur ilmiah yang ditulis oleh para ilmuwan setelah melewati tahap yang tidak singkat.
Untuk menciptakan literatur harus ada peer review. Terdapat standar yang ketat untuk kejujuran dan akurasi. Segala eksperimen yang dilakukan harus dapat dijelaskan dengan tepat sehingga eksperimen tersebut dapat diulangi secara presisi. Pengulangan ini dilakukan dalam rangka perbaikan hasil atau penerapan dalam kasus atau peristiwa lainnya.
Sedangkan dalam pseudosains, produk-produk psudo tidak dapat direproduksi atau diverifikasi. Dalam pseudosains, literatur-literatur yang ada tidak mengalami proses yang Panjang dimulai dari review sampai publikasi, hal ini membuat pernyataan yang ditujukan tidak terdapat adanya standar untuk mencapai peryataan yang valid.
Meskipun ada studi atau eksperimen, tetapi begitu samar-samar digambarkan. Studi atau eksperimen tersebut pun prosedurnya kurang jelas sehingga masyarakat umum tidak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan dalam studi atau eksperimen atau bagaimana hal itu dilakukan dalam studi atau eksperimen.
Melawan segala bentuk pseudosains adalah dengan sains itu sendiri (ilmu Pengetahuan). Gagasan maupun ide harus dilawan dengan gagasan atau ide yang sesuai dengan metodologi keilmuan dari berbagai aspek epistemologis, aksiologis, hingga ontologis.
Sains dibangun dari sumber-sumber fisis yang dapat dikaji ulang oleh orang lain dan semua yang bersifat sains bermula dari premis-premis empiris dan bebas dibuktikan oleh siapapun. Perhatikan saja, ketika seorang saintis memulai segala sesuatu, maka ia berangkat dari makna filosofis yang didasari norma-norma profesionalisme yang selalu digelutinya.
Seperti yang Carl Sagan tuliskan dalam bukunya, mengingatkan akan dua sikap yang perlu dirawat dan dilakukan dalam memahami sains, yakni berupa berpikir kritis dan bersikap skeptis. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan akan hakikat dari sains itu sendiri. Sains bukan sebatas kumpulan data maupun fakta, melainkan ia adalah sebuah cara berpikir. Frasa “cara berpikir” inilah yang kemudian harus ditekankan dan menjadi perhatian pada ruang-ruang diskursus pengetahuan.
Di luar itu, ketika ditarik pada periodesasi peradaban keilmuan, ada tiga masa yang telah berjalan, yakni zaman iman (faith age), zaman nalar (reason age), dan zaman tafsir (interpretation age). Dan pada saat ini peradaban berada pada zaman tafsir. Tidak salah ketika meminjam aforisma yang pernah diungkapkan oleh Friedrich Nietzsche—tak ada fakta, yang ada hanyalah interpretasi.
Mafhum, orang kemudian mudah melakukan penafsiran tanpa memperhatikan otoritas keilmuan yang ada. Dilema ini kemudian melahirkan jurang pemisah antara ilmuwan dan non ilmuwan, antara tirai ketakpahaman dan persoalan komunikasi.
Terlepas dari banyaknya kesempatan penyalahgunaan sains dapat membantu masyarakat keluar dari kemunduran pemikiran khususnya dalam menyikapi pandemic covid19. Maka pentingnya setiap individu, akademisi, pakar, komunitas masyarakat, institusi, lembaga, pemerintah memberikan pemahaman atau menyampaikan manfaat dari sains itu sendiri ke berbagai media seperti radio, tv, surat kabar, internet, dan media lainnya supaya masyarakat sadar akan pentingnya sains.
2. Menyaring Informasi di Dunia Maya
Sebaiknya kita tidak langsung percaya terhadap unggahan atau konten yang ada di media sosial ataupun WhatsApp grup (WAG) sebelum menelisik kebenaran informasi tersebut dengan cara mengkonfirmasi sumber informasi tersebut dengan mencari sumber lain yang terpercaya, mungkin media, teman, keluarga yang lebih tahu, atau ke pakarnya langsung. Sehingga, jika muncul informasi yang tidak jelas di media sosial, maka kita dapat membandingkan dengan sumber informasi lain yang tersedia mengenai hal itu.
Bagi mereka yang sudah memiliki kesadaran untuk mencari informasi, sebaiknya mencarinya dari sumber-sumber berita, informasi atau artikel yang berbasis sains (ilmu pengetahuan). Oleh karena itu, masyarakat harus cerdas dalam memilih informasi yang diterima dan menyebar informasi yang layak disebar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pennycook G. et al. terkait penyebaran misinformasi COVID-19 di sosial media, partisipan penelitian menunjukkan performa yang lebih buruk dalam membedakan berita yang faktual dan yang tidak saat ditanya apakah akan menyebarkan informasi terkait COVID-19 melalui sosial media mereka, dibandingkan ketika ditanya mengenai pendapat mereka tentang akurasi informasi tersebut.
Pada studi yang sama ditemukan bahwa reminder untuk memeriksa kebenaran informasi meningkatkan performa partisipan hingga dua kali lipat dalam menentukan informasi mana yang akan disebar dan yang tidak. Reminder berperan penting membiasakan masyarakat memeriksa kebenaran sebuah informasi terlebih dahulu sebelum mengolah dan menyebarkannya lagi.
Faktor lain yang juga mempengaruhi kemampuan seseorang memilah informasi adalah latar belakang pendidikan. Orang dengan latar belakang bidang sains memiliki kecenderungan untuk bersifat lebih waspada terkait informasi yang diterima.
Ada begitu banyak jenis disinformasi dan misinformasi tentang covid19. Berikut ini merupakan contoh yang sering kita temukan di kehidupan sehari-hari
Misleading title : Informasi yang dimuat dapat memiliki kebenaran, namun dimuat dengan judul yang menyesatkan
No proof: Informasi yang tidak memiliki bukti nyata
Totem pro parte: Pandangan satu orang dibuat seakan dibuat menjadi pandangan institusi tertentu
Narrative laundering: Penyebaran disinformasi dengan mencatut nama individu atau institusi
Drowning facts with emotion: Membawakan disinformasi dengan melibatkan sentuhan emosi supaya menarik atensi
Guna mencegah tersebarnya disinformasi atau misinformasi, berikut langkah sederhana:
Baca dengan sikap skeptis (sikap waspada untuk menghindari bias)
Periksa akurasi
Jangan asumsi
Hati-hati dengan sumber anonym
Adapun langkah-langkah yang dapat membantu menanggulangi disinformasi dan misinformasi sebagai berikut.
Pastikan tiga hal ini sebelum mempercayai dan/atau menyebarkan sebuah informasi. Yaitu : Kebenaran sumber berita, Kebenaran gambar,, dan Kesinambungan judul dan isi berita
Tetap tenang dan netral dalam menerima suatu berita
Mencari informasi dari situs-situs kredibel
Syarat-syarat sumber referensi yang bisa digunakan adalah:
Bila bersumber dari media massa, pilih media massa yang terdaftar di Dewan Pers atau pada artikelnya terdapat nama penulis, susunan redaksi, dan alamat korespondesni
Jurnal ilmiah seperti Google Scholar, Scopus, dan NEJM
Akun-akun media sosial terverifikasi seperti @kemenkes_ri, @kemenkominfo, dan @lawancovid19_id
Situs-situ milik pemerintah atau yang sudah terverifikasi seperti: Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Kementerian Kesehatan RI Sub Direktorat Penyakit Infeksi Emerging, Situs pemantauan dari masing-masing pemerintah daerah (contoh: corona.jakarta.go.id), EndCorona.id, Kementerian Kesehatan RI, Laporan isu hoaks Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, World Health Organization (WHO)
Bandingkan dengan situs kredibel lainnya
Berhati-hati dalam membagikan berita ke orang lain. Pikirkan apakah beritanya benar, apakah beritanya bermanfaat untuk yang menerima, dan apakah informasi ini tidak membahayakan.
Laporkan informasi yang diketahui palsu dan membahayakan. Anda dapat melaporkan informasi palsu melalui salah satu dari cara ini : Kumpulkan bukti-bukti bahwa informasi tersebut palsu, Jelaskan letak kekeliruan informasi tersebut menggunakan referensi yang kredibel, Menggunakan fitur report di media sosial, Kirim ke alamat email aduankonten@mail.kominfo.go.id, atau Kirim ke laman turnbackhoax.id
3. Saling Mengedukasi Terkait COVID-19
Dalam kondisi krisis seperti ini, setiap orang dapat menjadi agent of change yang dapat berperan di garis depan dengan memberikan edukasi tentang covid19. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk saling membantu dalam penanggulangan COVID-19 adalah saling memberikan edukasi, terutama dalam masalah new emerging disease dan pandemi seperti COVID-19.
Pemberian edukasi pada masyarakat terkait suatu masalah kesehatan merupakan suatu bentuk promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan faktor kesehatan melalui pembelajaran diri, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan. (Kemenkes RI, 2005).
Pemberian edukasi masyarakat perlu memerhatikan berbagai aspek penting di masyarakat dengan tujuan utama untuk perubahan perilaku. Cara pemberian edukasi pada masyarakat adalah dengan berbagi keilmuan saling terkait dalam, meliputi keterampilan komunikasi, dinamika kelompok, pengembangan dan pengorganisasian masyarakat, pendidikan dan pelatihan, pengembangan media, manajemen dan perencanaan, antropologi, sosiologi, dan psikologi.
Dalam memberikan edukasi, kita juga perlu memperhatikan berbagai faktor yang dapat memengaruhi perilaku masyarakat yang dihadapinya, diantara lain: Pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai, dan tradisi, sarana dan prasarana yang tersedia untuk mendukung perubahan perilaku kesehatan, sikap tokoh masyarakat, dukungan keluarga dan masyarakat sekitar.
Comments