Membaca, menulis dan meneliti adalah tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik, dan tentunya ciri khas tersebut tak terpisahkan dari aktifitas dan kegiatan seorang dosen. Banyak dosen sukses sebagai akademisi dan ilmuwan karena kecintaan mereka membaca buku, menulis dan riset. ~ Yusrin Ahmad Tosepu
Minimnya budaya membaca di kalangan dosen Indonesia sangat perlu diperhatikan, karena hal tersebut sangat berpengaruh pada budaya menulis dan meneliti. Problema tersebut, tidak boleh di anggap remeh, karena besarnya rasa cinta membaca sama dengan kemajuan. Artinya, minat baca seseorang menentukan tingkat kualitas serta wawasannya. Dalam proses belajar mengajar, mustahil berhasil tanpa adanya "membaca".
Membaca dapat memperluas wawasan, mempertajam gagasan dan meningkatkan kreativitas. Maka tidak heran seseorang yang gemar membaca dengan keluwesan wawasannya tentu akan sangat jelas arah bicaranya, tajam gagasan dan ide yang disampaikannya dan kreatif dalam mengemas kata baik pada saat berbicara maupun menyajikannya dalam karya tulis. Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa cinta baca berbanding lurus dengan kemajuan, karena semakin banyak membaca akan semakin luas wawasan pengetahuan dan akan semakin mampu menuliskan kembali pengetahuan itu.
Disadari atau tidak, kondisi tersebut cukup berpengaruh pada minat menulis. Jika minat baca sudah kurang, lantas bagaimana penulis dapat terlahir? Bagaimana seseorang akan menulis jika miskin literasi? Sedangkan menulis adalah hasil buah pikiran, perenungan, analisa terhadap suatu teori dan fenomena.
Menulis adalah buah dari pikiran yang merupakan kesimpulan dari berbagai macam gagasan yang dipetik dari beragam bacaan. Ketika seseorang banyak membaca, maka sudah tentu ia akan dapat menuliskan kembali ilmu yang diperolehnya dari bahan bacaan itu dengan gaya bahasanya sendiri. Semakin banyak hasil karya tulis, maka menunjukan semakin banyak hasil buah dari pemikiran, maka diketahui disitulah ilmu pengetahuan berkembang. Ketika ilmu pengetahuan berkembang, maka secara perlahan peradaban akan maju pula.
Bagaimana dosen akan dapat membangun peradaban ketika ilmu tidak berkembang disebabkan oleh miskin literasi dan lemahnya wawasan berfikir? Ilmu pada hakikatnya bersifat menjelaskan, mengontrol dan memperbaharui. Salah satu sarana memperoleh ilmu adalah dengan membaca.
Membaca merupakan pintu masuk atau gerbang (gate) bagi tercapainya ilmu pengetahuan (knowledge), tanpa membaca kita tidak akan mengetahui apa-apa. Bisa dikatakan bahwa membaca itu bagaikan berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain. Ketika seseorang membaca sebuah buku – umpamanya – maka seolah-olah ia berbicara dengan bahasa penulis buku itu.
Jika minat baca sudah kurang, lantas bagaimana ia bisa jadi penulis? Bagaimana seseorang akan menulis jika miskin literasi? Sedangkan menulis adalah hasil buah pikiran, perenungan, analisa terhadap suatu teori dan fenomena. Seorang Dosen tidak hanya terjebak pada lintasan teori pemikiran akademik, melainkan mampu sampai pada derajat kesempurnaan intelektual. Sebab itu, tradisi akademik tidak boleh berhenti pada pendidikan, penelitian dan pengabdian di masyarakat, akan tetapi mampu menginternalisasi jauh pengkajian ke dalam subtansi ilmu pengetahuan guna menggali ilmu pengetahuan dan fenomena yang berkembang.
Kaitannya, membaca dengan tradisi akademik adalah seorang akademisi tidak hanya ahli mengajar tetapi tetapi pula ahli/pakar dibidang keilmuannya, sebagai tanggungjawab dalam mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, menjadi akademisi yang intelektualis, mampu menjembatani tradisi akal yang diterapkan dalam instrument akademik. Sebab itu, membaca, menulis dan meneliti haruslah berjalan selaras dalam menciptakan tradisi akademik di Perguruan Tinggi. Tujuanya untuk memperkuat tradisi dan kultur akademik dalam membangun, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
Membaca dalam konteks tradisi akademik bukan sekedar membaca tapi how to read/ bagaimana kita membaca, mampu memahami atau menginternalisasi lebih jauh. Mampu memahami setiap bacaan secara mendalam dengan menggali, sehingga mampu melahirkan banyak teori-teori akademik. Pada pembacaan ini, akan melahirkan pengetahuan baru atau merekonstruksi yang sudah ada. Artinya membaca adalah memahami fenomena dan teori dalam konstruks ilmiah. Pada akhirnya, dengan membaca dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpikir kreatif, kritis, analitis dan imajinatif. Membentuk kemampuan berpikir lewat proses: menangkap gagasan/informasi, memahami, mengimajinasikan, menerapkan dan mengekspresikan.
Setelah tradisi membaca dilakukan, maka hal yang dituntut dari seorang akademisi adalah bagaimana ia bisa mengekspresikan hasil bacaannya ke dalam bentuk tulisan. Aktifitas tulis-menulis sangat penting untuk mendorong kreativitas berpikir seorang akademisi. Sebab, menulis merupakan sebuah bentuk kegiatan untuk mengeluarkan ide-ide atau gagasan lewat tulisan. Tentu dengan banyak membaca maka paling tidak akan tergambar dalam pikiran kita apa yang akan ditulis karena ia membutuh banyak bahan bacaan yang dijadikan sebagai rujukan (referensi).
Jika hanya membudayakan ‘copas (copy paste)’ itu akan merugikan dirinya sendiri. Dia menjadi malas untuk memikirkan pemecahan suatu masalah atau persoalan, malas untuk memikirkan gagasan-gagasan baru, sampai mengekang kreativitas berpikir mereka. Padahal sebagai akademisi dituntut untuk kritis terhadap lingkungan sekitar ataupun permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat.
Sekalipun dosen sudah terbiasa menulis yang tidak bersifat akademik, tetapi dalam menulis karya ilmiah tidaklah semudah menulis bebas, karena dalam dunia akademik, tulis-menulis terikat dengan aturan-aturan kepenulisan yang sudah ditetapkan. Tentu menulis yang tidak bersifat akademik membutuhkan banyak bahan bacaan yang dijadikan sebagai rujukan (referensi).
Menulis karya ilmiah membutuhkan banyak latihan agar kebiasaan menulis mulai tumbuh. Menumbuhkan kesadaran pentingnya menulis tentu dengan banyak membaca maka paling tidak akan tergambar dalam pikiran kita apa yang akan ditulis. Menulis harus dimulai dari hal-hal sederhana, misalnya seperti menulis di Blog.
Nah, bagi mereka suka bermain social media (medsos) sebenarnya jika hal itu digunakan dengan tepat dapat menguntungkan dosen dalam melatih kemampuan menulis juga sebagai media mencari dan berbagi informasi. Misal, Blog dapat digunakan mencari informasi juga dapat digunakan untuk menulis atau menge-post-kan informasi.
Membuat karya tulis sebenarnya sama dengan meneliti, paling tidak ia merupakan suatu penelitian kecil-kecilan (little research). Penelitian tidak hanya terbatas pada kepustakaan (library research) saja, tetapi ia juga bisa berbentuk penelitian lapangan (field research). Dalam dunia akademik, tradisi meneliti merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang akademisi (Dosen).
Tradisi meneliti sangat ditekankan di Perguruan Tinggi (PT). Tanpa penelitian niscaya ilmu tidak akan berkembang. Para ulama dan ilmuwan terdahulu telah menemukan dan mengembangkan berbagai macam ilmu pengetahuan melalui penelitian yang mendalam. Tentu penelitian ini didahului dengan tradisi membaca (dalam berbagai macam pengertian dan bentuknya) yang kemudian dilanjutkan dengan tradisi menulis.
Meneliti dan menulis hampir dilakukan secara bersamaan karena ketika seorang itu meneliti, mau tidak mau ia harus menulis kembali hasil penelitiaannya supaya bisa dibaca oleh orang lain. Karya tulis yang sudah jadi adalah reprenstasi dari tiga tradisi di atas, yaitu membaca, menulis dan meneliti. Kebiasaan membaca, menulis dan meneliti bisa mempertajam kepakaran seorang dosen untuk layak menyandang status seorang akademisi dan sebagai ilmuwan.
Nah, dari uraian di atas sangat jelas jika dosen butuh mengembangkan budaya membaca, menulis dan meneliti sebagai ciri khas kehidupan masyarakat akademik yang perlu dilestarikan. Sebenarnya poin terpenting adalah kesadaran dosen akan pentingnya menulis dan membaca dan meneliti. Sudah saatnya kita menguatkan tradisi tradisi akademik. Oleh karena itu, hal yang mesti dilakukan perubahan adalah pada mentalitas dan kemauan untuk memulai.
Masing-masing kita perlu mengidentifikasi diri, pada titik mana kita memiliki kelemahan-kelemahan. Jika kemampuan menulis dan meneliti lemah, jangan membentengi diri kita untuk phobia atau terus lari menjauh, tetapi harus berusaha dengan terus menerus belajar tanpa ada kata menyerah. Kita perlu melatih diri secara serius dan penuh kesungguhan, insya Allah lama kelamaan akan menjadi biasa.
Tidak ada orang bodoh di dunia ini, yang ada adalah orang malas, begitulah kata pepatah yang perlu kita pegangi bersama. Lawan kemalasan dengan membiasakan diri untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Demikian halnya dengan kemampuan menulis, dan meneliti. Jika kita merasakan ada kelemahan dalam tulis menulis maka jangan menyerah dan menghindar untuk tidak menulis.
Sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi kita sudah diajarkan cara menulis yang baik dan sesuai dengan kaidah yang ada. Jika demikian, kenapa masih takut untuk menulis karya ilmiah dengan tangan sendiri. Belajarlah terus secara perlahan untuk menjadi penulis yang handal dan profesional. Begitupula dalam meneliti.
Alasan-alasan itulah yang melandasi seorang dosen untuk melestarikan tradisi akademik. Diawali dari membudayakan membaca, melakukan riset dan penulisan karya ilmiah. Harapan kita semoga tradisi tidak hanya berhenti pada “membaca, menulis dan meneliti”, tetapi terus berkembang pada tradisi akademik lainnya, seperti tumbuhnya pusat-pusat kajian ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan.
Comments