Manusia dikenal kemanusiaannya karena nalarnya. Manusia dikenal kewarasannya karena akal sehatnya. Manusia harus hidup di atas nalar dan akal sehat. Bukan hidup di atas nafsu dan keserakahannya. Maka manusia harus merawat nalar dan akal sehatnya.
Nalar dan akal sehat adalah dasar kemajuan. Nalar dan akal sehat adalah pencetus perubahan. Nalar dan akal sehat adalah penuntun kehidupan.
Bernalar berarti memahami sebab akibat yang terjadi di dunia ini secara jernih. Fakta bahwa dua hal terjadi secara berurutan, tidak berarti, bahwa ada hubungan sebab akibat disitu. Pola berpikir inilah yang kerap kali melahirkan kesalahpahaman.
Bernalar berarti berusaha melihat hubungan sebab akibat sebagaimana adanya di dunia, dan bukan dengan berpijak pada pengandaian-pengandaian atau bahkan prasangka di dalam pikiran manusia.
Nalar sehat amatlah penting bagi hidup manusia. Ini tentu tak dapat disangkal lagi. Nalar berguna untuk menata hidup pribadi maupun hidup bersama.
Di Indonesia, dan juga di banyak negara lainnya, banyak bidang kehidupan tidak dikelola dengan menggunakan nalar sehat.
Akibatnya, banyak tata kehidupan, mulai pendidikan, politik, sampai dengan agama mengalami kekacauan, dan terjebak pada beragam masalah, tanpa henti.
Menyimak realitas; fakta, data dan informasi jelang tahun poltiik 2024, Saya terpesona dengan berbagi berita, ataupun bahasa, gaya penuturan, para politisi, tokoh yang berada di pusaran politik elit dan kekuasaan.
Pernyataan pernyataan mereka, saya menyebutnya sebagai “subyektivasi politik”. Kemampuan mereka memproduksi “opini” dan “polemik” yang kontradiksi.
Opini yang mereka buat direkayasa sedemikian rupa seakan hal tersebut adalah sebuah fakta dan atau seakan mewakili realitas sebenarnya. Sebagian politisi bahkan calon pemimpin berusaha mengguncang tatanan dengan aksi-aksi dan pernyataan mereka yang paradoks.
Menyimak realitas tersebut tak cukup hanya melihat fakta, data dan informasi yang ada, tapi juga harus mengetahui ada yang absen, yang tak terlihat. Disinilah pentingnya nalar dan akal sehat kita cenderung menyorot ke arah “yang absen, yang tak terlihat”.
Sadar atau tak sadar, ada benang merah antara kondisi Indonesia kekinian dengan kepemimpinan pemerintahan yang ada sekarang ini. Langsung atau tak langsung. Maka siapa yang tak melihat semua realitas ini secara jernih, maka akan keliru membaca keadaan dan tak bisa pula terjebak pada rasa pesimis dan tak peduli dalam perspektif nasionalismenya.
Disinilah pentingnya Nalar dan akal sehat digunakan untuk membentuk makna secara sadar dari gejala yang tampak, mempertegas fakta dan mengujinya, menggunakan logika, dan menjelaskan dan mengoreksi cara bekerja, kebiasaan, atau keyakinan. Kemampuan kita membedakan mana yang baik dan mana yang keji.
Mari kita membiasakan melatih kalbu, agar tajam dan cerdas menangkap tanda dan gejala serta melatih kecerdasan dan mempraktikkan kearifan. Jangan hanya melihat yang nampak tersurat semata. Hanya memanjakan mata, telinga dan mulut kita sehingga membuat kita abai dan lemah pikir.
Penting sekarang ini adalah rasionalitas dalam menyikapi politik kekinian yang dipenuhi dengan retorika kenikmatan-dan menarik. Enak didengarkan: merayu orang sedemikian rupa hingga jauh dari susah payah mencapai kebenaran dan keadilan.
Sokrates dikutip dalam Gorgias, mengatakan “Retorika bisa membuat orang terlena dan berhenti menggunakan nalar. Seorang orator, dengan retorikanya, "tak perlu mengetahui kebenaran", demikian. Yang dibutuhkan hanya "menemukan cara membujuk".
Retorika, bagi Sokrates, hanya seperti membuat masakan atau mempercantik diri. Tak ada hubungannya dengan nalar, tak pula memenuhi kebutuhan akal budi.
Para elit Politik, tokoh bahkan calon pemimpin, dengan retorika yang hebat, ucapan yang seru dan memukau, mengobarkan gelora perasaan khalayak. Media massa pun turut menyokong penyebarluasan retorika mereka.
Mereka hanya membujuk khalayak bukan karena keinginan akan pengetahuan dan kebenaran, melainkan dengan membuat khalayk merasa asyik. Kepalsuan, rekayasa dan kebohongan dipertontonkan, ucapan "kebencian, kedengkian, fitnah diumbar, tanpa batas.
Sudah saatnya kita memajukan argumentasi untuk mengganti semangat berpolitik dan berdemokrasi di negeri ini dengan sesuatu yang lebih perkasa: rasionalitas dengan mengedepankan nalar dan akal sehat agar kita tidak ramai dungu.
Namun, kita ragu bisakah perjuangan ke arah kekuasaan dan hegemoni dijalankan dengan mempertahankan akal sehat. Kenyataan sekarang ini, para elit politik mengutamakan tujuan dengan menghalalkan bahkan cara yang busuk, juga bisa dianggap penerapan akal "rasionalitas"-setidaknya yang disebut sebagai "rasionalitas instrumental".
Nilai-nilai yang dulu dinyatakan universal dianggap hanya topeng bagi pemegang hegemoni, hingga "berpihak" adalah sikap yang diutamakan. Kini, imbauan ke arah sebuah percaturan politik dengan "akal sehat" terdengar sumbang.
Maka apa yang bisa dilakukan? Mungkin politik perlu lebih rendah hati tanpa mati semangat. Orang perlu mengakui bahwa "rasionalitas" dalam politik tak punya formula yang terang dan kekal. Lebih sering terjadi adalah "akal-akalan".
Pemikiran rasional adalah sesuatu yang lebih kuat, yaitu hasrat akan kemerdekaan dan keadilan yang menghargai kebebasan pendapat bukan untuk di rekayasa demi kekuasaan sementara.
Negara dan bangsa ini akan maju dengan nalar dan akal sehat. Nalar dan akal sehat akan membebaskan negara ini dari berbagai kejanggalan serta anomali.
Peradaban bangsa dan negara ini tidak akan berkembang tanpa nalar dan akal sehat. Negara dan bangsa diakui bukan karena kekayaan alamnya. Negara dan bangsa diakui karena kemajuan nalar dan akal sehatnya.
Nampaknya masyarakat memang perlu membangun nalar dan akal sehat. Masyarakat memang mesti merawat nalar dan akal sehat. Sayangnya, nalar dan akal sehat menjadi barang langka sekarang ini.
Pendidikan, yang seharusnya mengembangkan nalar sehat ini, justru berubah total menjadi pembodohan sistematis. Pertanyaan dan kreativitas dibunuh atas nama kepastian mutlak yang sebenarnya palsu. Inilah kiranya salah satu masalah yang dapat menyebabkan kemunduran kita semua dalam menyikapi persoalan bangsa saat ini.
Dalam praktik politik kekinian seolah tidak ada nalar dan akal sehat. Nalar politik sudah dilibas oleh ambisi kekuasaan. Yang mengendalikan arena politik adalah nafsu politik. Yang menguasai panggung politik adalah ambisi kekuasaan. Dan yang membentuk tatanan politik adalah keserakahan dan ketamakan. Karena itu, nalar dan akal sehat ini nyaris pupus dalam kehidupan politik dan demokrasi di negara kita.
Akal sehat bukanlah cara berpikir yang bisa digunakan untuk mengabdi tujuan-tujuan yang tak masuk akal, seperti kebohongan, pembodohan, rekayasa, dan pengumbaran kerakusan untuk memperoleh kekuasaan. Akal sehat justru adalah kemampuan untuk mempertimbangkan, apakah sesuatu hal sudah di arah yang tepat, atau belum.
Akal sehat juga perlu digunakan untuk mengembangkan sikap kritis. Sikap kritis berarti kita berani mempertanyakan cara berpikir maupun cara hidup yang sebenarnya. Hanya dengan keberanian untuk bertanya, perubahan ke arah yang lebih baik bisa tercipta. Sudah terlalu lama bangsa kita hidup di dalam kebodohan yang disucikan sebagai tradisi.
Akal sehat juga amat penting di dalam menyikapi situasi dan kondisi politik jelang pilpres 2024. Kita tidak lagi bisa mengandalkan pernyataan, ungkapan para politisi, pejabat, tokoh, dan lain sebagainya.
Kita pula tak bisa lagi mengandalkan berita, informasi , dan lain sebagainya yang disampikan oleh media massa. Karena karena mereka kerap kali terjebak oleh kepentingan politik dan ekonomi yang memecah belah dan rawan kepentingan pemilik media dan golongan mereka. Tidak ada lagi yang bisa diandalkan, kecuali nalar sehat di dalam diri kita sendiri.
Akal sehat di Pusaran Politik “Pemangsa“
Masa-masa jelang Pemilihan Umum, termasuk Pemilihan Presiden adalah masa-masa yang menarik. Di masyarakat demokratis modern ini adalah masa-masa yang amat menentukan bentuk dan masa depan bangsa.
Namun, sisi gelapnya juga terus merongrong, yakni kehadiran politik pemangsa yang rakus kuasa dan siap memangsa dengan berbagai cara, mulai dari kepalsuan, menyebar kebohongan, ujaran kebencian sampai menggunakan caci maki dan fitnah.
Kita melihat kelakuan segelintir politisi, dan para calon pemimpin bangsa, ketika menyebar narasi poltik penuh kepalsuan dan kebohongan begitu kuat tercium. Dalam banyak hal, perilaku mereka menghibur, namun dengan cara-cara yang bisa membuat sakit perut. Inilah bentuk perilaku politikus pemangsa.
Mereka adalah politikus yang memegang kekuasaan bukan untuk menyejahterahkan rakyat, melainkan untuk memperkaya diri dan golongannya. Mengurus negara dan membuat kebijakan sesuai kehendak dan keingginan mereka, bukan totalitas atas dasar kepentingan dan kebutuhan rakyat.
Perilaku mereka membuat mual, karena kerap kali mencerminkan sikap tak tahu diri. Para politikus pemangsa bertindak seenaknya, demi memperkaya diri dan kelompoknya. Korbannya adalah kepentingan rakyat luas yang terus terjebak pada kemiskinan dan kebodohan.
Perilaku mereka tak tahu malu. Tak segan-segan, mereka berbohong, fitnah, caci maki, ujaran kebencian, bahkan menggunakan agama sebagai komoditi politik mereka. Mereka berteriak untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial, namun nuansa kepalsuan dan kebohongan amat terasa di kata dan perilaku yang ada.
Bahkan, para pemuka agama, yang seharusnya menjadi cermin tinggi moralitas dan keluhuran hidup, pun terdiam dan berbaris patuh, ketika uang berbicara. Inilah keadaan politik Indonesia saat ini.
Melihat itu semua, rakyat akan terus diperbodoh. Politik itu seharusnya mencerdaskan. Politikus harusnya menjadi teladan kepemimpinan. Itu semua tinggal mimpi, ketika para politikus pemangsa dibiarkan terus untuk memasuki gerbang kepemimpinan bangsa.
Politikus tercoreng oleh perilaku mereka sendiri. Sikap rakus dan tak tahu malu mencoreng martabat mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan mencoreng martabat rakyat dengan menabur janji untuk diingkari, melakukan kampanye yang menipu dan memperbodoh rakyat.
Menpertontonkan sikap, perilaku yang tidak sebenarnya alias palsu, rekayasa, dan sekedar pencitraan belaka.
Sebaiknya, para politikus ini sadar diri. Melihat rakyat tidak hanya sebagai kumpulan suara. Hanya dengan begitu, politik Indonesia bisa diselamatkan, dan dikembalikan ke tujuan awalnya.
Rakyat sudah cerdas, rakyat sudah tahu, bahwa janji mereka adalah janji palsu. Rakyat juga sudah sadar, bahwa perilaku mereka penuh kemunafikan dan kebohongan.
Sudah waktunya kita sebagai bangsa bergerak bersama mewujudkan politik akal sehat di tengah kepungan para politikus pemangsa. Politik bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan dibentuk dengan pilihan kita.
Menyikapi tahun politik 2024, masyarakat dapat mengambil sikap, sebagai berikut:
Pertama. Masyarakat harus belajar dari kesalahan pilpers 2019 lalu. Jangan mengulangi kesalahan dan kebodohan dalam memilih pemimpin. Politik, sejatinya, bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi soal mendidik rakyat untuk bekerja sama mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama. Inilah inti dari politik di alam demokrasi modern sekarang ini.
Kedua. Masyarakat harus bisa bersikap cerdas, mengedepankan nalar dan akal sehat. Menolak politikus pemangsa yang ambisi kekuasaan dan doyan ingkar janji. Jangan memilih mereka untuk jabatan apapun juga. Jika disuap, terima uangnya (atau tolak, silahkan ditentukan sendiri), namun jangan pilih mereka, ketika waktunya tiba.
Ketiga. Abaikan mereka di dalam media sosial. Jangan sebarkan berita, informasi, foto maupun kampanye para politikus pemangsa yang penuh kebohongan, kepalsuan, kemunafikan, dan cenderung korup kebijakan. Inilah yang disebut kecerdasan menggunakan media. Biarkan kemunafikan dan kepalsuan politik terkubur di tangan para penciptanya, dan akhirnya lenyap di telan waktu dan peristiwa.
singkatnya, jika kita terus bergerak dan tak menyerah, maka politikus pemangsa yang penuh kebohongan, kepalsuan, kemunafikan bisa dibuat tak berdaya di dunia politik Indonesia. Waktunya sudah tiba. Jangan ditunda lagi.
Di pilpres 2024 adalah momen politik yg sangat penting bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mencari, memilih dan menentukan pemimpin yang paling sesuai untuk mengelola masyarakat dengan segala perbedaan nilai dan ideologi yang ada. Jika gagal, permasalahan berkepanjangan dengan berbagai bentuk akan terus terjadi. Intoleransi, perpecahan bangsa, ketidakadilan dan korupsi adalah musuh yang nyata mengancam negeri ini.
Comments