Membangun narasi demi keuntungan rezim, amat lumrah terjadi di jagat demokrasi saat ini. Apalagi ketika yang menjadi penguasa adalah orang yang tak cukup mendapatkan legitimasi publik dan rekam jejak prestasinya tak ada. Tapi tidak mustahil dia sukses melenggang di tampuk kekuasaan karena rekayasa opini.
Salah satu komponen yang berjasa untuk memoles elite politik hingga tercitrakan dengan baik adalah media massa dan lembaga survey. Sekalipun lembaga itu konon didirikan untuk menghimpun keinginan publik terhadap proses politik–termasuk keinginan mendapatkan pemimpin sesuai harapan–, namun lembaga survei justru seringkali memberi informasi yang keliru bahkan menyesatkan.
Manipulasi survei, sayangnya, telah menjadi lahan basah bisnis pencitraan seiring menguatnya kekuasaan mafia kekuasaan. Kepentingan melestarikan gurita bisnis para cukong, menjadikan mereka sanggup merekayasa opini yang pada faktanya tak pernah terjadi tengah masyarakat. Fenomena tersebut biasa terjadi di era kekinian yang acap kali dikaitkan dengan aliran postmodernisme.
Sekalipun banyak teori terkait paham ini, namun secara umum paham ini memiliki karakter ‘tak ada kebenaran absolut”. Semua serba relatif, sehingga tidak ada standar norma apalagi agama. Wajar bila kemudian parameter kebenaran bukan lagi tuntunan yang mengukur baik buruk, namun kembali pada pendapat mayoritas. Sekalipun parameter mayoritas dalam praktik demokrasi pun harus ditafsirkan ulang karena bisa direkayasa demi kepentingan kelompok tertentu.
Postmodernisme membawa pengaruh terhadap ‘pembusukan kebenaran’ (truth decay). Realitas itu telah menyebar selama beberapa dekade. Hannah Arendt dalam bukunya The Origins of Totalitarianism (1951), mengungkapkan bahwa pemerintahan totaliter bukanlah Nazi atau komunis, tetapi (kondisi) yang tak ada lagi orang-orang yang mampu membedakan antara fakta dan fiksi serta benar dan salah (yaitu standar pemikiran).
Watak demokrasi saat ini yang menghalalkan segala cara inilah yang menyuburkan kecurangan dalam politik. Kondisi itulah yang saat ini mewarnai Indonesia, simak saja hasil survei dari berbagai lembaga survey berbayar yang kerap memanipulasi Fakta demi narasi dusta untuk kepentingan rezim.
Watak demokrasi yang menghalalkan segala cara ini akan terus tumbuh subur dalam politik jelang pilpres 2024. Yang paling menghebohkan hingga kini adalah semburan dusta yg gencar dilakukan rezim dan para pendukung oligarki jelang pelaksanaan Pilpres 2024 dengan memanfaatkan berbagai saluran media massa mainstream dan lembaga survei berbayar untuk merekayasa opini.
Comments