top of page

PENDIDIKAN MEMANUSIAKAN MANUSIA

  • Writer: Yusrin Ahmad Tosepu
    Yusrin Ahmad Tosepu
  • Sep 26, 2022
  • 23 min read

PENGANTAR


Pernakah mendengar judul di atas?

Sebenarnya apa sih artinya?

Apakah selama ini pendidikan sudah memanusiakan manusia?

Atau pendidkan ini hanya sebuah sistem yang mencerdaskan manusia tapi tidak memanusiawikan manusia?


Nah, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kita bahas dalam artikel ini. Namun sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita pahami dulu beberapa pengertian yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam artkel ini.


Apa yang dimaksud dengan pendidikan?


Secara umum pendidikan adalah proses pembelajaran pengetahuan, keterampilan serta kebiasaan yang dilakukan suatu individu dari satu generasi ke generasi lainnya. Proses pembelajaran ini melalui pengajaran, pelatihan dan penelitian.


Apa itu pendidikan menurut bahasa dan istilah?


Secara Etimologi pengertian pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.


Dalam bahasa Inggris pendidikan berarti education. Sedangkan dalam bahasa latin berarti educatum yang berasal dari kata E dan Duco, E berarti perkembangan dari luar dari dalam ataupun perkembangan dari sedikit menuju banyak, sedangkan Duco berarti sedang berkembang. Dari sinilah, pendidikan bisa juga disebut sebagai upaya guna mengembangkan kemampuan diri.


Menurut Wikipedia, pendidikan ialah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, serta kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui pengajaran, penelitian serta pelatihan.


Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan.


Apa yang menjadi hakikat pendidikan?


Hakikat pendidikan adalah proses pembelajaran sebagai upaya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik dengan interaksi yang menghasilkan pengalaman belajar.


Apa makna dari pendidikan?


Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.


Apa makna pendidikan dalam arti khusus dan arti luas?


Pendidikan dalam arti luas adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Dengan kata lain, pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Dalam arti sempit pendidikan adalah sekolah.


Jadi, pendidikan adalah proses pembelajaran kepada individu atau peserta didik agar dapat memiliki pemahaman terhadap sesuatu dan membuatnya menjadi seorang manusia yang kritis dalam berpikir.


Apa Tujuan dari Pendidikan?


Salah satu tujuan utama dari pendidikan adalah mengembangkan potensi dan mencerdaskan individu dengan lebih baik. Dengan tujuan ini, diharapkan mereka yang memiliki pendidikan dengan baik dapat memiliki kreativitas, pengetahuan, kepribadian, mandiri dan menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab.


Apa Fungsi dari Pendidikan?


Fungsi dalam arti luas adalah membangun serta mengembangkan minat dan bakat individu demi kepuasan pribadi dan kepentingan umum. Membantu melestarikan kebudayaan masyarakat. Menanamkan keterampilan yang dibutuhkan dalam keikutsertaan dalam berdemokrasi. Menjadi sumber-sumber inovasi sosial di masyarakat.


Pendidikan dalam arti khusus memiliki fungsi diantaranya adalah mengembangkan kemampuan, membentuk watak, kepribadian agar peserta didik dapat menjadi pribadi yang lebih baik.


Institusi/lembaga pendidikan memiliki fungsi seperti:


  1. Untuk mempersiapkan seluruh masyarakat dapat mandiri dalam mencari nafkahnya sendiri

  2. Membangun serta mengembangkan minat dan bakat individu demi kepuasan pribadi dan kepentingan umum

  3. Membantu melestarikan kebudayaan masyarakat

  4. Menanamkan keterampilan yang dibutuhkan dalam keikutsertaan dalam berdemokrasi

  5. Menjadi sumber-sumber inovasi sosial di masyarakat


Mengapa pendidikan itu sangat penting bagi kehidupan manusia?


Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dengan adanya pendidikan diharapkan manusia dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan kreativitasnya. Keberhasilan dibidang pendidikan sangat ditentukan dalam proses belajar mengajar.


Pentingnya pendidikan terlihat dalam setiap aspek kehidupan, dan sangat penting bagi pertumbuhan suatu bangsa. Dengan pedidikan, orang dapat menjadi warga negara yang lebih baik, mengetahui yang benar dan yang salah, memungkinkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.


Apa hubungan antara manusia dan pendidikan?


Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia.


Antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi. Manusia merupakan subyek pendidikan, tetapi juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri.


Bagaimana dan Mengapa manusia membutuhkan pendidikan?


Setiap manusia membutuhkan pendidikan karena pendidikan sangat penting artinya bagi perkembangan manusia. Melalui pendidikan, manusia tak hanya mendapatkan pengajaran keahlian khusus tetapi juga sesuatu yang lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan.


Jadi, pendidikan merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan sesorang. Pendidikan lah yang menentukan dan menuntun masa depan dan arah hidup seseorang. Walaupun tidak semua orang berpendapat seperti itu, namun pendidikan tetaplah menjadi kebutuhan manusia nomor wahid.


Bakat dan keahlian seseorang akan terbentuk dan terasah melalui pendidikan. Pendidikan juga umumnya dijadikan tolak ukur kualitas setiap orang. Adanya pendidikan juga dapat meningkatkan kecerdasan, akhlak mulia, kepribadian serta keterampilan yang bermanfaat baik itu untuk diri sendiri maupun masyarakat umum. Jadi, Pendidikan adalah suatu pondasi dalam hidup manusia yang harus dibangun dengan sebaik mungkin.


Apa yang dimaksud dengan istilah memanusiakan manusia?


Kata "Memanusiakan Manusia" yang lebih mendasar yakni memanusiakan manusia yang memiliki cita-cita sama ingin selalu dihormati dan dihargai. Itu adalah keinginan mendasar dari seorang manusia, terutama ingin dihargai. Terlebih dalam interaksi dengan sesama manusia termasuk orang per orangan.


Manusia sebagai makhluk sosial yang sudah barang tentu tidak bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan dan memerlukan bantuan dari orang lain. Maka dari itu, pentingnya tanamkan dan perlukan sikap memanusiakan manusia agar setiap individu merasa dihargai dan tidak ada yang merasa dirugikan.


Istilah memanusiakan manusia merupakan upaya untuk membuat manusia menjadi berbudaya dan atau berakal budi. Sesama manusia harus saling menghargai, menghormati dan tidak mengadili. Tidak ada tindakan yang merendahkan, mencibir atau hal lain yang membuat sakit hati dan sebagainya.


Apa yang dimaksud dengan Pendidikan yang memanusiakan manusia?


Hakikat pendidikan sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia, yakni pengangkatan manusia ke taraf insani sehinggga manusia dapat bertindak sesuai dengan adab kemanusiaan.


Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan manusia dengan model pendidikan yang mengembangkan ruang bagi pengembangan dimensi kemanusiaan ke arah perwujudan tertinggi dari pengembangan tiap dimensi, ruang kebebasan, dan ruang bagi refleksi pribadi atau kelompok.


Pendidikan yang memanusiakan berarti menghantar manusia menemukan kesempurnaannya melalui kesadaran pertama-tama akan kesatuan dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan, juga kesadaran akan kebebasannya sebagai manusia untuk memilih dan bertindak.


Pendek kata, pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang mengantarkan manusia pada perkembangan yang signifikan dalam menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kesempurnaan kemanusiaannya.


Apa hakikat dari tujuan Pendidikan yang memanusiakan manusia?


Hakikat dari tujuan pendidikan memanusiakan manusia sesungguhnya membantu manusia menyempurnakan dirinya sebagai manusia. Pendidikan dan menjadi manusia adalah satu bagian yang tak terpisahkan, terlepas dari apa yang menjadi cita-cita atau harapan masa depan.


Kemanusiaan menjadi bagian penting misi penididikan. Manusia adalah makluk yang memiliki kemampuan istimewa. Semua hal yang dapat dilakukan manusia berasal dari anugerah kodrati, pemberian sempurna Sang Pencipta dalam bentuk tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan. Kesempurnaan manusia ada dalam kodrat kemanusiaannya, bukan atas usaha manusianya melainkan sebagai anugerah pencipta.


Kesempurnaan manusia dalam dimensi kemanusiaannya itu eksis di dalam ketidaksempurnaan manusia. Kesempurnaan dalam tubuh yang tidak sempurna, memiliki kelemahan, dapat merasakan sakit, memiliki batas kemampuan dan daya tahan. Kesempurnaan dalam jiwa yang bersemangat penuh gairah dan juga rapuh yang mungkin mati sebelum waktunya.


Kesempurnaan dalam perasaan yang dapat marah, sedih, kecewa, gembira. Kesempurnaan dalam pikiran yang dapat memikirkan hal yang membangun dan merusak, pikiran yang mencipta dan menghancurkan.


Pendidikan berperan dalam pilihan-pilihan manusia, yaitu kehancuran atau pengembangan kemanusiaan, yang merusak atau membangun, yang mematikan atau memberi kehidupan, yang mencipta atau menghancurkan.


PEMBAHASAN


Sering kali kita mendengar ungkapan ataupun pernyataan sebagian masyarakat bahwa : “Apa untungnya sekolah? Apabila anak sekolah, nanti jadi pintar. Orang pintar cenderung membodohi/menipu orang. Jadi, untuk apa sekolah kalau nantinya menjadi orang yang membodohi orang lain?”


Jika kita renungi ungkapan tersebut diatas ada juga benarnya. Pernyataan itu adalah bentuk kritik akan hasil pendidikan kita sekarang ini. Disisi lain, pernyataan tersebut menyadarkan kita akan arti penting kata kemanusiaan dalam tujuan sebuah pendidikan. Apa gunanya menjadi orang yang katanya terdidik namun sisi kemanusiaannya merosot, dan hanya merugikan orang lain?


Menjadi masuk akal jika pendidikan hanya mendidik anak pintar, kreatif, banyak pengetahuan, pandai mencari uang alias seorang entrepreneur handal, namun tak mampu mengangkat sisi kemanusiaan dirinya sendiri apalagi orang lain. Kemanusiaan yang menjadi bagian penting misi pendidikan.


Mengutip JohnDewey (Brook & brook, 1993:9) yang menentang pemikiran bahwa pendidikan adalah untuk mempersiapkan masa depan. Sebaliknya, Dewey berpendapat bahwa belajar/pendidikan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri dan bukan untuk mempersiapkan masa depan.


Menurut Dewey: “education be viewed as process of living and not preparation for future living”. Pendapat Dewey dapat ditafsir bahwa pendidikan adalah proses yang membantu perkembangan manusia atau dengan kata lain memanusiakan manusia. Pendidikan membantu manusia menyempurnakan dirinya sebagai manusia.


Pendapat Dewey ini tidak serta merta mengabaikan masa depan. Apabila ditelusuri dengan seksama maka secara tidak langsung, pendidikan juga berpengaruh pada masa depan nara didik.


Bukankah manusia yang senantiasa menyempurnakan dirinya itu melalui proses belajar atau yang disebut para filsuf, penyempurnaan melalui kegiatan imanem dan kegiatan transitif (Louis, 1984:37) ini yang menjadi pemilik masa depan? Artinya, nara didik akan membentuk masa depannya sendiri melalui proses penyempurnaannya, antara lain melalui pendidikan dan proses belajar.


Pendapat Dewey ini ingin mengedepankan yang utama, yaitu pendidikan pertama-tama tidak semata-mata ditujukan demi masa depan tetapi demi kemanusiaan manusia itu sendiri.


Pendidikan dan menjadi manusia adalah satu bagian yang tak terpisahkan, terlepas dari apa yang menjadi cita-cita atau harapan masa depan. Keterikatan ini menunjukkan bahwa idealnya, pendidikan berorientasi pada kemanusiaan manusia.


Masalahnya, apakah lembaga/institusi pendidikan yang telah memberikan fasilitas yang memadai melalui proses pendidikan dan pengajaran bagi pengembangan kemanusiaan manusia atau hanya untuk persiapan masa depan?


Tak dipungkiri jika sistem pendidikan modern saat ini, baik muatan, strategi pembelajaran, dan gaya mengajar yang modern di kelas/luar kelas menunjukkan manusia-manusia yang menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kemanusiaan.


Namun, kenyataannya, hasilnya tidak sesuai dengan yang ideal, yaitu makin modern pendidikan, makin menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Dengan kata lain, bahwa pendidikan modern tidak menjamin mengantarkan manusia pada pengembangan kemanusiaannya.


Di sisi lain, realita menunjukkan bahwa pendidikan cenderung mengejar prestasi akademik demi persiapan masa depan dan melupakan kemanusiaan manusianya sendiri.


Idealnya, jika pendidikan itu bukan sekadar mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mengembangkan kemanusiaan manusia. Jadi, hal ini sangat bergantung pada orientasi pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan beorientasi pada pengembangan kemanusiaan manusia atau hanya sekadar mempersiapkan masa depan, dapat hidup nyaman, berkarier, dan menghasilkan banyak uang.


Torrance, dikutip oleh Allan Cornstein mengatakan: “Teaching is perhaps the greatest of the arts because the medium is the human.” (1999:15). Mendidik manusia dengan keunikannya sebagai manusia yang bertumbuh dan berkembang tidak hanya secara fisik, juga perasaan, cara berpikir, dan spirit, menuntut pendidikan yang senantiasa juga berkembang baik kurikulum, media belajar, pola ajar, strategi mengajar hingga gaya mengajar.


Sehingga tak berlebihan jika produk pendidikan berupa desain, implementasi dan evaluasi dalam proses pendidikan adalah sebagai seni. Paradigma tentang seni dalam pendidikan ini menegaskan bahwa manusia ini unik sehingga perlakuan terhadapnya membutuhkan kemampuan seni.


Manusia unik ini tidak saja unik sebagai pribadi, yang berbeda satumanusia dengan manusia lain, juga unik dalam kemanusiaannya yang berbeda dari makhluk ciptaan lainnya.


1. PERAN PENDIDIKAN DALAM MEMANUSIAKAN MANUSIA


a. Kesempurnaan dalam Kodrat Manusia


Bahasan tentang manusia yang sempurna tidak menuju kepada manusia yang tak bercela dan tanpa cacat. Tak seorangpun manusia tak bercacat cela karenanya, kesempurnaan yang didasarkan pada tak bercacat cela hanyalah utopia belaka yang tak mungkin diraih dan dicapai.


Manusia yang bercela itu mengalami kesempurnaan ketika manusia dapat mengembangkan dan mewujudkan kemanusiaan yang justru melalui proses ketidaksempurnaannya sebagai manusia (dalam arti bercacat cela).


Kesempurnaan manusia yang bercela itulah yang menjadikan manusia menemukan, mengembangkan, dan mewujudkan kemanusiaan.


Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan istimewa. Ia dapat berpikir, bertanya, menyanggah, diam, menyelidiki, berekspresi, marah, bersemangat, berteori, dan banyak hal lain yang dapat dilakukan manusia. Sebagai manusia, wajahnya memerah saat merasa malu atau menahan marah.


Kedipan matanya dapat lebih cepat dari biasanya saat ada informasi yang ia sembunyikan. Denyut nadinya dapat lebih cepat saat takut atau marah atau sangat bersemangat. Mengerlingkan matanya saat berpikir sesuatu. Raut wajahnya nampak layu saat tak bersemangat dan tak termotivasi.


Leahy mengemukakan bahwa manusia dengan objektivitasnya, pemikiran, dan kebebasannya, menampilkan diri sebagai suatu pribadi (1984: 28), dan menurutnya hal itu ditunjukkan dalam berbicara. Berbicara adalah penggunaan dinamis-dinamisme dari kodrati manusia.


Dalam berbicara, manusia menunjukkan objektivasnya sebagai buah dari proses berpikir. Dalam berbicara manusia menggerakkan bagian dari tubuhnya dan gerakkan itu terjadi karena adanya spirit dalam dirinya untuk berbicara sebagai buah dari kesadaran akan kebebasan.


Dalam berbicara, manusia menggunakan perasaannya, ia akan berbicara dengan orang yang ia merasa nyaman berbicara. Sehingga melalui berbicara, manusia menunjukkan kemanusiaannya.


Semua hal yang dapat dilakukan manusia berasal dari anugerah kodrati, pemberian sempurna Pencipta dalam bentuk tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan. Di dalam tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan inilah kesempurnaan manusia tercipta. St. Thomas Aquinas menegaskan bahwa pribadi dengan tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan adalah yang paling sempurna dalam seluruh alam (Leahy, 1984:181).


Kesempurnaanya ada dalam tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan yang ada dalam diri manusia sebagai pemberian Pencipta sejak awal, mulai dari benih dalam rahim, hingga manusia dilahirkan dan tumbuh berkembang di dalam dunia. Kesempurnaannya ada dalam kodrat kemanusiaannya yang bukan berasal dari manusianya melainkan sebagai anugerah Pencipta.


Plato dengan pemahaman dualismenya, dimana jiwa dan tubuh terpisah, ditolak oleh muridnya sendiri, Aritoteles (Jakarta: 1984, 41) yang memahami bahwa tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan adalah satu. Paham monois yang dibawa oleh Aritoteles ini menjelaskan bahwa kehilangan salah satunya, maka kemanusiaannya/kesempurnaannya tak mewujud.


Tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan adalah menyatu tak terpisahkan dalam satu pribadi, namun memiliki fungsi yang khas masing-masing dengan cara kerja yang berbeda pula dan cara mewujud yang khas untuk masing-masing.


Kehilangan salah satu dari dimensi kemanusiaan, kesempurnaaan manusia memudar demikian juga dengan kemanusiaannya. Kesatuan ini berakibat masing-masing dalam perbedaannya saling terkait, saling terpengaruh dan memengaruhi satu dengan lainnya.


b. Kesempurnaan Manusia dalam Cacat Cela


Kesempurnaan manusia yang dianugerahkan Sang Pencipta melalui dimensi kemanusiaan membuat manusia mampu memilih bahkan menciptakan pilihan, dan bertindak sesuai pilihannya.


Kesempunaan manusia tidak mengandaikan manusia yang tak bercacat cela. Sebaliknya, kesempurnaan manusia dalam dimensi kemanusiaannya itu eksis di dalam ketidaksempurnaan manusia.


Kesempurnaan dalam tubuh yang tidak sempurna, memiliki kelemahan, dapat merasakan sakit, memiliki batas kemampuan dan daya tahan. Kesempurnaan dalam jiwa yang bersemangat penuh gairah dan juga rapuh yang mungkin mati sebelum waktunya.


Kesempurnaan dalam perasaan yang dapat marah, sedih, kecewa, gembira. Kesempurnaan dalam pikiran yang dapat memikirkan hal yang membangun dan merusak, pikiran yang mencipta dan menghancurkan.

Kesempurnaan manusia eksis dalam usaha pengembangan keempat dimensi yang justru terbatas dan tak sempurna pengelolaanya dan kesempurnaan manusia membuat ia mampu memilih untuk membuat keputusan apa yang akan ia lakukan.


Manusia dapat memilih yang akan ia lakukan dengan dan melalui tubuhnya, jiwanya, pikirannya, dan perasaannya. Akibatnya, melalui pilihannya dalam tumbuh kembang sebagai manusia, manusia dapat saja urung menunjukkan kesempurnaannya, sebaliknya menenggelamkan dan mengubur dalam-dalam.


Melalui empat dimensi kemanusiaannya (tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan), manusia dapat merusak tubuh, berpikiran negatif dan merusak, tak peduli dengan keselamatan jiwanya, memerangkap dalam pikirannya sendiri dan tak berusaha membebaskan, mengumbar perasaan dalam bentuk emosi negatif.


Dengan demikian, lambat laun kemanusiaannya hilang, kesempurnaannya terkubur dalam-dalam entah dimana. Manusia tumbuh menjadi manusia yang bukan manusia yang memakan sesamanya manusia dan memuntahkannya kembali di wajah sesamanya manusia.


Manusia menemukan dan mengembangkan kesempurnaannya sebagai manusia dengan memilih dan bertindak melalui tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan, dimana pilihan dan tindakannya itu justru dapat bercacat cela.


Namun, justru dalam cacat cela sebuah pilihan, dan tindakan manusia, melalui tubuh, jiwa, pikiran, dan jiwanya ia mampu berefleksi dari cacat cela membentuk pilihan, keputusan, dan tindakan baru yang membawa manusia menemukan kesempurnaannya.


Inilah yang dimaksud dengan istilah kesempurnaan dalam cacat cela. Dan pendidikan berperan aktif menghantar manusia untuk membenamkan kemanusiaannya atau sebaliknya menghantar untuk menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kemanusiaannya.


2. PENDIDIKAN YANG BERORIENTASI PADA KEMANUSIAAN MANUSIA


Pembahasan mengenai istilah kesempurnaan dalam cacat cela tersebut di atas, membuka pemahaman mengenai peran pendidikan dalam membuat cacat cela itu menjadi sebuah batu loncatan menuju kesempurnaan.


Pendidikan berperan dalam pilihan-pilihan manusia, yaitu kehancuran atau pengembangan kemanusiaan, yang merusak atau membangun, yang mematikan atau memberi kehidupan, yang mencipta atau menghancurkan.


Louis, mengutip Levi Strauss, dalam buku manusia sebuah misteri bahwa tujuan terakhir ilmu-ilmu manusia bukan membentuk manusia, melainkan menghancurkannya (1984: 185).


Kutipan ini memang dapat dinilai terlalu mengeneralisasi ilmu-ilmu manusia karena tidak semua ilmu menghancurkan kemanusiaan manusia.


Namun, tidak berlebihan juga jika kita waspada terhadap keberadaan ilmu-ilmu yang dapat merusak kemanusiaan, ilmu-ilmu yang seakan mencipta tetapi pada kenyataannya menghancurkan, ilmu-ilmu yang berpenampilan apik seakan menolong namun ternyata menjerumuskan.


Ilmu-ilmu yang seakan membangun tetapi ternyata menghancurkan kemanusiaan. Belum lagi, strategi mendidik, gaya mendidik, pola didik yang ternyata dapat juga menghancurkan kemanusiaan manusia.


Jika pendidikan berorientasi pada persiapan masa depan dan bukan pada kemanusiaan manusia maka pendidikan dapat menjauhkan manusia dari kemanusiaannya.


Tak seorang pun dapat mengetahui dengan jelas dan pasti akan masa depan. Ketidaktahuan ini dapat menyeret manusia pada kekuatiran terus menerus tak berujung hingga ia sendiri kehilangan arah bahkan kehilangan kemanusiaannya.


Seorang mahasiswa yang telah meraih kesarjanaannya dengan sangat memuaskan dan lengkap dengan serifikat keahlian yang dapat membuatnya seakan siap menghadapi masa depan, melamar pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.


Penantiannya selama berminggu-minggu tak juga berujung pada panggilan dirinya sebagai karyawan sehingga ia putus asa. Ia melihat kembali nilai-nilai yang tertera dalam ijazahnya. Nilai yang sama sekali tidak buruk. Akan tetapi mengapa ia tak juga mendapatkan pekerjaan?


Pikirannya mengembara dan kembali ke masa kuliahnya dulu. Teringat perjuangan belajarnya di kampus, tempatnya ditempa berbagai keahlian demi yang namanya masa depan.


Dengan putus asa dan kemarahan, akhirnya ia memilih untuk merobek ijazah dengan predikat memuaskan dan sertifikat keahliannya. Baginya, semua usaha kerasnya sia-sia karena ia tak dapat pekerjaan.


Ternyata usahanya yang keras demi masa depan tak mendatangkan hasil yang ia harapkan, yaitu bekerja dengan gaji yang menjanjikan. Apa yang ia dengar di bangku kuliah tak sesuai dengan kenyataannya.


Ia, yang lulus dengan nilai baik, yang idealnya gampang dapat kerja, sesuai dengan janji para pengajar, ternyata gagal mendapatkan pekerjaan. Jiwanya seakan tak berharga lagi, pikirannya hanya tertuju pada kegagalannya tak mendapatkan pekerjaan, perasaan kecewa, marah, takut menghadapi esok hari menghantuinya. Ia kehilangan arah.


Kisah yang dapat menimpa siapa saja tak terkecuali ini, menunjukkan bahwa pendidikan yg berorientasi pada persiapan masa depan gagal menghantar mahasiswa tersebut menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kemanusiaannya melalui program pendidikan yg ditempuhnya.


Bagi mahasiswa yang putus asa tadi, pendidikan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan, mendapatkan uang, hidup nyaman, tentram di masa depan tanpa menyadari perkembangan diri dalam dimensi kemanusiaannya melalui pendidikan yang dilaluinya.


Apa yang keliru dengan pendidikan yang berorientasi pada persiapan masa depan? Masa depan, yang sebenarnya tak ada seorang pun mampu menggambarkannya dengan pasti, hanya mampu menduga berdasarkan pengalaman yang telah dilaluinya itu penuh ketidakpastian (Rose & Nicholl, 2003: 32).


Ketidakpastian yang disebabkan karena kekuatan akan perubahan ini meningkatkan kompleksitas persoalan dan menyusutnya jenis dan lapangan pekerjaan. Sehingga pendidikan yang beroerientasi pada masa depan akan mendidik manusia pada perburuan yang sangat ketat.


Hal ini membuat lembaga pendidikan yang hanya berorientasi pada masa depan terjebak hanya melihat hasil dan melupakan proses. Seperti layaknya orang berburu, manusia-manusia berburu dengan sangat ketat mendapatkan targetnya. Satu target menjadi buruan puluhan bahkan ratusan manusia. Membayangkannya, tentu sangat mengerikan sekali.


Manusia hanya melihat target tanpa memerhatikan manusia sekelilingnya, sehingga tidak mustahil, karena keterdesakan, manusia memakan sesamanya manusia demi memperkecil persaingan dan memenangkan perburuan berupa target.


Saat mendapatkan targetnya ia memakannya namun ia tak puas sehingga ia mulai mengincar target lain dan mulai berburu taget baru. Begitulah manusia menghabiskan waktu hidupnya.


Institusi/lembaga pendidikan yang berorientasi hanya pada masa depan juga dapat terjebak dalam dalam bayang-bayang sebuah pertandingan yaitu “to be a number one”.


Demi memenangkan buruan, jika tidak culas seperti memakan manusia lain sebagai pesaingnya, manusia perlu keahlian yang bukan sekadar bisa melainkan harus menjadi “yang paling” yaitu paling ahli, paling tangkas, paling cepat, paling ahli demi mendapatkan buruan/target.


Perbandingan manusia satu dengan manusia lain menjadi sangat kental dalam pendidikan yang hanya berorientasi pada masa depan.Terjebak pada hasil sebagai nomor satu tanpa mengutamakan proses dan perbandingan-perbandingan yang berlebihan dapat membuat manusia manusia yang bertubuh kecil dan berkepala besar.


Tubuh kecil karena terlalu banyak beraktivitas, sedikit waktu untuk menikmati makanan dan istirahat. Kepala besar karena memang dilatih untuk selalu berpikir. Perasaan yang nampak kuat dan tangguh namun pada kenyataannya kosong karena tak diperkenankan untuk menjadi lemah dan lembut.


Rasa empati terkikis dengan ego kemanusiaanya untuk menjadi pemenang. Jiwa yang rapuh, mudah putus asa dan frustasi karena perbandingan-perbandingan yang terjadi membuatnya merasa kecil tak berarti. Keadaan seperti ini, dimana dimensi kemanusiaan tak berkembang proporsional, membuat manusia bergerak menjauh dari kesempurnaan kemanusiaannya.


Peran pendidikan harus dikembalikan pada hakikatnya, yaitu bukan untuk mempersiapkan masa depan saja tetapi untuk membuat manusia dapat hidup dan melakukan tugas kemanusiaannya, yaitu menemukan, mengembangkan dan menunjukkan kesempurnaannya sebagai manusia.


Menemukan, karena kesempurnaan adalah anugerah Sang Pencipta yang telah dimiliki tiap manusia, namun dapat terkubur dalam proses tumbuh kembangnya sebagai manusia.


Mengembangkan, karena sebagai manusia, yang bertumbuh dan berkembang tak mencapai perkembangan yang optimal dan proporsional apabila tak diusahakan.


Menunjukkan, karena manusia perlu eksis sebagai manusia di antara sesamanya manusia. Dan eksistensinya dalam bentuk manusia yang sempurna dapat mendorong manusia lain juga untuk menemukan, mengembangkan, dan menunjukkan kemanusiaanya.


Ketiga hal tersebut tersebut menajadi tugas manusia dalam kehadirannya sabagai manusia di muka bumi ini dan pendidikan menolong manusia menjalankan tugas kemanusiaannya. Jadi, pendidikan yang yang berorientasi pada kemanusiaan manusia tercapai melalui pengembangan dimensi kemanusiaan secara seimbang.


Segala muatan pembelajaran, informasi yang diberikan, serta proses belajar menjadi media yang menantang tubuh, pikiran, jiwa, dan perasaan menemukan dinamikanya dengan seimbang.


3. MODEL PEMBELAJARAN YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA


Pemahaman mengenai kemanusiaan manusia ini menjadi dasar bagi penyusunan model pembelajaran yang berorientasi pada kemanusiaan manusia.


Model pembelajaran dibangun dalam ruang-ruang yang mefasilitasi pembelajar untuk mengembangkan dimensi kemanusiaan, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan.


Perkembangan manusia menjadi sangat unik dan berbeda dari makhluk lainnya. Jadi kata perkembangan seyogyanya menjadi kata kunci dalam pendidikan. Melalui kesempurnaan yang dianugerahkan Sang Pencipta, yaitu dimensi kemanusiaan,.


Perkembangan manusia meliputi perkembangan tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaannya. Perkembangan manusia, selain dipengaruhi oleh potensi tumbuh kembang yang dibawanya sejak lahir juga oleh perlakuan lingkungan terhadapnya.


Walaupun beberapa ahli mengembangkan pengukuran perkembangan ini namun sesungguhnya tidak ada yang mampu mengukur secara utuh potensi tumbuh kembang ini karena manusia adalah misteri.


Leavy mengutip Foucalt dalam bukunya Les Mats Et Les Choses, yang mengatakan bahwa Manusia melebihi semua macam komprehensi maka ia harus menolak segala definisi yang mau menempatkannya dalam suatu esensi (1984:190).


Potensi tumbuh kembang ini selalu menjadi misteri, sehingga perlakuan lingkungan memiliki peran sangat besar bagi manusia mengalami tumbuh kembang yang maksimal.


Covey, dalam buku “The 8th Habit, Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan”, menguraikan pengembangan dimensi kemanusiaan ini melalui kecerdasan yang menyertai tiap dimensi (2005:74).


Covey menguraikan kecerdasan yang disebutnya sebagai anugerah bawaan. Melalui perkembangan tiap kecerdasan inilah dimensi kemanusiaan mengalami perkembangan. Setiap usaha pengembangan harus ada arah perkembangannya agar pengembangan menjadi bermakna bagi kemanussian dan tidak salah arah.


Untuk ini, Covey (2005: 96) menolong penentuan arah pengembangan dimensi kemanusiaan melalui perwujudan tertinggi tiap kecerdasan. Perwujudan tertinggi ini dapat menjadi arah bagi pengembangan dimensi kemanusiaan.


Pertama, perkembangan pikiran.


Perwujudan tertinggi dalam pengembangan pikiran, menurut Stephen Covey adalah visi. Visi adalah hasil dari pikiran yang menjembatani antara kebutuhan dengan kemungkinan kemungkinan.


Samples, dalam bukunya Revolusi Belajar, setuju dengan pemikiran Fuller yang menggambarkan bahwa pikiran manusia adalah pikiran dengan sistem terbuka (2002: 43).


Ironisnya, pendidikan tak menyadari bahwa didikannya yang berupa indoktrinasi merupakan sistem tertutup sehingga pikiran berkembang sangat terbatas yang sulit menghasilkan karya yang kreatif.


Sedangkan visi, adalah hasil dari pikiran terbuka. Di dalam visi, segala hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Karya kreatif tercipta melalui visi. Visi terwujud dari manusia yang berpikir di luar kotak.


Visi memampukan kita melihat apa yang terlihat (tindakan orang lain) dan berkaitan dengan segala kemungkinan. Visi menolong kita dapat memisahkan antara tindakan dan sebagai pribadi.


Pemisahan ini membuat kita dapat memperlakukan seseorang tanpa syarat, tanpa dipengaruhi oleh stimulus yang tercipta dari perlakuannya terhadap kita.


Kita mampu memaafkan walaupun telah berkali-kali ia melukai kita karena kita mampu melihat kebutuhan nya untuk dimaafkan. Kita mampu mengasihi setelah berulang kali dikhianati karena kita mampu melihat kebutuhannya untuk dicintai. Kita mampu menerimanya tanpa mendasari pada perlakukannya kepada kita.


Pendidikan yang memberi ruang bagi pengembangan pikiran, adalah pendidikan yang menciptakan visi dalam diri setiap naradidiknya. Bukan sekadar ia dapat menyelesaikan persoalan, lebih dari itu menolong naradidik meraih visi dalam menyelesaikan persoalan.


Di kelas, seorang dosen yang memberi masalah kepada peserta didiknya tidak sekadar memberi masalah dan bagaimana pemecahannya, lebih dari itu yaitu mengajak peserta didiknya menciptakan visi melalui persoalan yang akan dipecahkan.


Menciptakan visi dapat dilakukan dengan menantang atau mengarahkan naradidik sesuai dengan jenjangnya, untuk dapat menjawab mengapa saya harus memecahkan persoalan ini, mengapa saya harus belajar topik ini, mengapa saya harus mengerjakan tugas, mengapa saya harus mengumpulkan tugas tepat waktu, mengapa saya harus berusaha sebaik-baiknya dalam mengerjakan tugas.


Kedua, perkembangan tubuh.


Perwujudan tertinggi dalam pengembangan tubuh, menurut Covey adalah disiplin. Disiplin ini muncul saat visi bertemu dengan komitmen, suatu kekuatan kehendak yang diwujudkan dalam tindakan.


Di dalam disiplin selalu ada pengorbanan. Namun, tanpa disiplin mustahil visi dapat terwujud. Disiplin menentukan realitas dan menerimanya. Melalui kedisplinan, seseorang akan mengalami keadaan yang benar-benar bebas.


Hal ini kebalikan dari pemikiran banyak orang bahwa kedisiplinan itu menjerat dan memenjara, sebaliknya justru kedisiplinan membuat kita memiliki kebebasan.


Covey memakai ilustrasi seorang anak yang disiplin berlatih piano, membuat ia dapat bermain piano. Keahliannya dalam bermain piano ini memberikan kebebasan bagi dia untuk dapat memainkan alat musik piano.


Sebaliknya, orang yang tak dapat memainkan piano, baginya pilihan lebih sempit, tak ada pilihan untuk bermain piano karena memang ia tidak menguasainya.


Contoh lain, seseorang yang disiplin menabung dapat lebih bebeas menggunakan uangnya karena ia memliki uang lebih banyak di tabungannya ketimbang orang yang tidak disiplin menabung. Pemahaman mengenai kedisiplinan yang membebaskan inilah yang perlu ditanamkan.


Pendidikan yang memberi ruang bagi perkembangan tubuh tidak hanya puas diri dengan memasukkan pelajaran olah raga. Perkembangan tubuh tidak akan tercapai hanya melalui pelajaran olah raga yang berorientasi pada keahlian raga saja.


Mengacu pada pemikiran covey, maka pendidikan yang memberi ruang bagi perkembangan tubuh adalah pendidikan yang menanamkan kedisiplinan yang membebaskan, terintegrasi dalam setiap pelajaran.


Kata kedisiplinan yang membebaskan ini tidak berarti ada kedisiplinan yang tidak membebaskan. Pada dasarnya kedisiplinan itu membebaskan. Namun, pemahaman yang keliru tentang kedisiplinan yang memenjarakan dan membatasi ruang gerak inilah, menjadikan kata membebaskan penting untuk dikaitkan dengan kedisiplinan.


Di kelas, seorang dosen yang menanamkan kedisiplinan tidak hanya menuntut untuk tepat waktu saja, tetapi juga mengarahkan peserta didik untuk melihat kebebasan yang dapat ia raih jika ia tepat waktu.


Jadi Patut dipahami bahwa kedisiplinan tidak melulu dikaitkan dengan hukuman karena kedisiplinan yang dikaitkan melulu dengan hukuman akan menimbulkan pemahaman yang keliru tentang kedisiplinan.


Berbicara kedisilinan tidak hanya berbicara mengenai tepat waktu tetapi juga kebebasan yang akan diraih ketika kita disiplin. Konsep tentang disiplin yang benar inilah yang akan menolong nara didik mengembangkan tubuhnya hingga mencapai perwujudan tertinggi, yaitu menjadi manusia yang disiplin.


Ketiga, perkembangan perasaan.


Perwujudan tertinggi dalam pengembangan perasaan, menurut Stephen Covey adalah gairah. Gairah adalah api mempertahankan disiplin dan terus berjuang menggapai visi.


Gairah ini muncul saat kebutuhan bertemu dengan keunikan bakat kita. Dengan demikian penting sekali untuk mengetahui bakat kita. Seseorang yang mengerjakan keahliannya yang bukan bakatnya perlu di motivasi terus menerus dari luar, berbeda dengan orang yang melakukan keahliannya yang memang bakatnya, maka api itu sudah ada di dalam dirinya tak perlu dicari lagi.


Pendidikan yang memberi ruang bagi perkembangan perasaan adalah pendidikan yang memerhatikan gairah nara didiknya.Pendidikan tidak hanya indoktrinasi pengetahuan atau sekadar meraih prestasi dalam bentuk piala dan penghargaan dan mengabaikan gairah belajar.


Gairah ini sangat labil, sangat bergantung pada situasi. Gairah muncul sebagai respon dari situasi. Pendidikan yang memerhatikan gairah berarti juga memerhatikan sitausi dimana pendidikan itu berlangsung.


Di kelas, seorang dosen perlu memerhatikan lingkungan belajar, baik yang berupa fasilitas maupun lingkungan yang sengaja diciptakan menciptakan gairah di dalam diri naradidiknya.


Hal ini tentu lebih mudah dituliskan dan dibicarakan ketimbang dilakukan, karena di dalam diri guru atau dosen pun ada gairah itu. Sulitnya, gairah itu cepat sekali menular, membuat dosen, sebagai pelakon dalam dunia pendidikan, perlu terlebih dahulu menciptakan gairah dalam mengajar dan belajar yang akan ia tularkan di kelas kepada nara didiknya.


Pengalaman sang dosen dalam menciptakan gairah untuk belajar dan mengajar ini menjadi modal awal untuk pertama-tama berempati kepada peserta didik yang gairahnya menurun. Juga menjadi modal bagi sang dosen untuk mengarahkan peserta didiknya menciptakan gairah di dalam diri masing-masing dalam menghadapi berbagai situasi.


Keempat, perkembangan jiwa.


Perwujudan tertinggi dalam pengembangan jiwa, menurut Covey adalah nurani. Orang sering menyebutnya dengan suara hati, suara Tuhan, yang adalah kesadaran moral yang universal, terlepas dari agama, budaya, geografis, nasionalitas, dan ras tertentu, mengenai apa yang baik dan buruk dan dorongan untuk memberi makna serta member sumbangan nyata.

Penyingkapan nurani ini justru saat kita berada dalam keragaman. Nurani sebagai perangkat nilai, yaitu kesadaran mengenai keadilan, kejujuran, rasa hormat, kepercayaan, cinta.


Nurani kebalikannya dari ego. Nurani adalah suara lembut dan pelan dalam batin kita sedangkan ego, bersifat tiran, kejam, senang memaksakan kehendak, memfokuskan pada diri sendiri dan kesenangan diri sendiri.


Ego mengklasifikasikan, melihat hubungan dengan kaca mata ancaman. Sedangkan nurani, mengantarkan pada pemahaman yang lebih luas dan inklusi. Nurani memandang kehidupan dalam kecamata pelayanan dan pemberian, fokusnya adalah keamanan dan kepenuhan orang lain.


Ego bekerja saat menghadapi kritis, tetapi tidak memiliki pertimbangan mendalam sedangkan nurani dipenuhi pertimbangan sehingga memiliki khazanah jawaban yang banyak. Ego merasa terancam dengan kritikan, sebaliknya nurani mampu belajar dari sebuah kesalahan dan kritikan.


Nurani rela berkorban, mengalahkan diri sendiri, menundukkan ego demi tujuan atau prinsip yang lebih tinggi/mulai. Nurani tidak memisahkan visi dan cara mencapainya. Tujuan sudah ada dalam cara mencapainya.


Nurani terus menerus mengingatkan kita ikatan antara tujuan dan cara mencapainya dan bahwa keduanya tak dapat dipisahkan.


Nurani adalah alasan bagi perwujudan visi, disiplin, dan gairah, sedangkan visi mengidentifikasi dalam apa yang akan diwujudkan, disiplin dalam bagaimana cara mencapainya. Gairah adalah api dibalik mengapa, apa, dan bagaimana tadi.


Menurut Covey, nurani akan membangkitkan integritas dan ketenangan pikiran. Pendidikan yang memberi ruang bagi perkembangan jiwa adalah pendidikan yang mengajak anak mengembangkan nuraninya. Ini hanya mungkin diraih jika pendidikan dibangun di dalam ruang kebebasan.


Ruang kebebasan ini adalah ruang yang bebas dari perasaan takut salah, bebas dari tekanan otoritas, bebas menentukan pilihan dan bertindak. Ruang ini adalah ruang kebebasan yang bukan tanpa batas tetapi ruang yang memungkinkan nurani setiap individu di dalamnya muncul.


Di dalam ruang kebebasan, tidak ada pelabelan orang salah dan orang benar, tindakan yang salah dianggap sebagai fakta perilaku dan tak membuat si pembuat kesalahan menjadi manusia yang salah. Kesalahan dianggap sebagai bagian dari pengembangan diri.


Semua manusia memiliki hak berbicara tak terkecuali dan tak dibedakan berdasarkan jabatan dan usia. Pilihan-pilihan selalu tersedia dan setiap orang berhak memilih dengan menanggung setiap konsekuensi atas pilihan dan tindakannya.


Di dalam ruang kebebasan ini ada ruang refleksi sebagai pribadi maupun kelompok. Setiap tindakan dan pilihan di refleksikan dengan pengembangan dimensi kemanusiaan sehingga segala perubahan atau pengembangan baik pilihan maupun tindakan berasal dari hasil refleksi.


Proses refleksi di sini adalah proses melihat kembali pilihan dan tindakan dengan segala konsekuensi yang menyertainya dan mengkritisi pilihan atau tindakan sebagai bagian dari perwujudan dimensi kemanusiaan. Ruang refleksi ini membatasi ruang kebebasan tidak menjadi kebebasan yang brutal.


Melalui penelusuran perkembangan dimensi kemanusiaan ini, maka dapat tercipta model pendidikan yang memanusiakan manusia menjadi dasar bagi pengembangan desain, implementasi, serta evaluasi dalam proses pendidikan.


Jadi desain pendidikan berupa kurikulum dan proses kegiatan pendidikan dan pengajaran diimplementasikan dan dievaluasi dengan memerhatikan perkembangan dimensi kemanusiaan, yaitu pikiran, tubuh, perasaan, dan jiwa.


Perkembangan tiap dimensi menuju pada perwujudan visi, disiplin, gairah, dan nurani. Perwujudan ini dimungkinkan terwujud dalam ruang refleksi dimana di dalamnya ada ruang kebebasan.


Model pendidikan yang memanusiakan manusia ini sangat mungkin diaplikasikan sehingga layak untuk diuji coba di laboratorium penelitian, ruang-ruang kelas. Melakukan uji coba ini memang memerlukan keberanian karena ada perombakan paradigma mengenai manusia, kesempurnaan manusia, dan peran pendidikan manusia.


Keberhasilan tidak dilihat dari prestasi akademik, yang akan menimbulkan kemurungan klinik bagi sebagian manusia didik yang kesulitan mencapainya, tetapi dilihat dari usaha menemukan, mengembangkan, dan mewujudkan kemanusiaannya.


Kemanusiaan yang menjadi orientasi pendidikan adalah manusia yang menemukan, mengembangkan, dan mewujudkan anugerah kodratinya berupa dimensi yang berbeda tetapi satu, yaitu tubuh, jiwa, pikiran, dan perasaan melalui kegiatan memilih, bertindak, dan berefleksi.


Menemukan, mengembangkan, dan mewujudkan anugerah kodrati manusia merupakan perwujudan tertinggi yang menjadi arah pengembangan dimensi kemanusiaan sekalian menjadi acuan dalam evaluasi pendidikan adalah terwujudnya visi, kedisiplinan, gairah, dan nurani dalam diri peserta didik.


SIMPULAN


Sesungguhnya Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani sehinggga manusia dapat bertindak sesuai dengan adab kemanusiaan. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu tindakan proses belajar dari yang tidak tahu menjadi tahu.


Pendidikan sejatinya dapat mencetak generasi unggulan di masa depan. Dalam hal ini pendidik diharapkan dapat menuntun anak didiknya dalam pengembangan diri dan karakter dengan melakukan berbagai macam tindakan seperti dapat merespon perasaan siswa, menggunakan ide-ide anak didik untuk melaksanakan interaksi, melakukan dialog dengan anak didik.


Dan hal yang paling penting adalah menghargai keberadaan dan pendapat anak didik yang tentunya harus terjadi secara timbal balik sehingga dapat terjadinya suatu proses belajar dalam perolehan informasi dan juga proses personalisasi informasi kepada individu.


Sejalan dengan tersebut, Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa pendidkan merupakan usaha memberikan nasehat-nasehat, materi-materi, anjuran-anjuran yang dapat mengarahkan anak pada keinsyafan dan kesadaran akan perbuatan baik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, mulai dari masa kecilnya sampai pada masa dewasanya agar terbentuk watak dan kepribadian yang baik untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.


Karena proses pendidikan berlangsung dari kecil hingga dewasa maka pendidikann terjadi ditiga lingkungan (Tri Pusat Pendidikan) yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah, ketiganya berjalan bersama-sama. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan sistem among yaitu asih, asah dan asuh.


Metode ini secara teknik pengajaran meliputi kepala, hati dan panca indera (educate the head, the heart, and the hand) melalui Ing ngarso sung tolodho, Ing madyo mangun karso, dan Tut Wuri handayani.


Pendidikan benar-benar bertujuan untuk memanusiakan manusia berbudi pekerti luhur dan membentuk karakter warga negara yang ideal, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan Ngerti (moral knowing), Ngroso (moral feeling) lan Nglakoni (moral action).


Hal ini sejalan salah satu teori belajar yakni teori humanistik.Dimana tujuan belajar menurut teori humanistik adalah bagaimana memanusiakanmanusia. Teori humanistik lebih menekankan pada isi daripada proses, yang disesuaikan dengan minat, bakat, kemampuan serta kebutuhan belajar anak dan potensi lingkungan.


Carl R. Rogers salah satu tokoh teori belajar humanistik menyatakan bahwa sangat penting mengutamakan prinsip pengalaman belajar, karena menyokong gagasan bahwa belajar yang sesungguhnya adalah belajar yang melibatkan seluruh aspek anak didik secara total. Dengan kata lain, belajar harus melibatkan unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik.


Teori belajar himanistik berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang si belajar bukan dari sudut pandang pendidik. Sehingga, dalam penerapan teori ini pendidik membantu siswa dalam mengembangkan dirinya (self actualization).


Dalam hal ini pendidik sebagai fasilitator, sedangkan anak didik berperan sebagai pelaku utama (student center). Anak didik memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri dan diharapkan dapat mengenali serta mengembangkan potensinya secara positif.


Teori belajar himanistik ini bersifat elektif, artinya dapat memanfaatkan teknik atau teori belajar apapun asal tujuan belajar siswa dapat tercapai.


Pendidikan yang diselenggarakan harus menolong peserta didik untuk menciptakan visi, membangun kedisiplinan diri melalui konsep kedisiplinan yang membebaskan, gairah belajar yang membara di hati nara didik, dan kemampuan mendengarkan dan mempertajam suara hati sebagai biduk dalam mengarungi gelombang kehidupan.


Untuk ini beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh lembaga/institusi, dosen yaitu:


  1. Mengajak peserta didik menemukan sebuah visi dalam setiap program pembelajaran dan proses pembelajaran;

  2. Membangun konsep kedisiplinan yang memperlihatkan ikatan yang erat antara visi dan kedisiplinan yang pada akhirnya, jika visi tercapai maka kebebasan sejati akan diraih;

  3. Membangun sitausi belajar yang meningkatkan gairah belajar; menciptakan ruang belajar yang bebas untuk mengungkapkan diri, mengekspresikan konsep berpikir, tak dibatasi pembedaan gender, jabatan, otoritas, status sosial ekonomi, kecerdasan, sikap, dan nilai ujian dan menghantar pada sebuah proses refleksi.


Singkat kata, pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang memberi ruang bagi pengembangan dimensi kemanusiaan, ruang kebebasan, dan ruang berefleksi. Oleh karena itu, bagi institusi/lembaga pendidikan, pendidik dan pengajar disarankan untuk dapat membangun dan mengembangkan falsafah pendidikan yang memanusiakan manusia sebagai pandangan hidup dalam dunia pendidikan. Salah satu cara nya adalah menerapkan model pendidikan kemanusiaan ini sebagai upayanya menciptakan pendidikan yang mengembangkan dimensi kemanusiaan manusia.



REFERENSI


Brooks, J. G., & Brooks, M. G. (1993). In search of understanding the case for constructivist classrooms. Virginia: The Association for Supervision and Curriculum Development.

Covey, S. R. (2005). The 8 th habit melampaui efektivitas, menggapai keagungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Freire, P., & Faunendez, A. (1995). Belajar bertanya, pendidikan yang membebaskan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Fruth, H. G. (1970). Piaget for teacher. New York: Prentice Hall.

Gardner, H. (2007). Five minds for the future. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hyde, A. A., & Bizar, M. (1989). Thingking in Context, Teaching Cognitive Processes Across the Elementary School Curriculum. New York: Longman.

Kosslyn, S. M., & Rosenberg, R. S. (2000). Psychology, the Brain, the Person, the World. Boston: Allyn & Bacon, A Pearson Education.

Leahy, L. (1984). Manusia, Sebuah Misteri Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal. Jakarta: Gramedia.

Lewis, R. G., dan Smith, D. H. (1994). Total Quality in Higher Education. USA: St Lucie Press.

Ornstein, A. C. (1999). Strategies for Efective Teaching. New York: Mc Graw Hill.

Palmer, P. J. (1990). The active life. San Fransisco: Jossey-Bass.

Reiser, R. A., & Dempsey, J. V. (2002). Trends and Issues in Instrustional Design and Technology. New Jersey: Merril Prentice Hall.

Rose, C. & Nicholl, M. J. (2003). Accelerated Learning for the 21st Century, Cara Belajar Cepat Abad XXI. Bandung: Nuansa.

Samples, B. (2002). Revolusi Belajar untuk Anak. Bandung: Kaifa.

Slavin, R. E. (1991). Eucational psychology third edition. USA: Allyn and Bacon

 
 
 

Comments


Follow

  • Facebook

Contact

082187078342

Address

Makassar, Sulawesi Selatan Indonesia

©2016 by Yusrin Ahmad Tosepu

bottom of page