Kesuksesan organisasi, institusi ataupun perusahaan, entah dibidang apapun itu, pasti erat kaitannya dengan Brand yang diusungnya. Mustahil rasanya untuk bisa menjadi besar tanpa adanya brand. Sebuah brand tidak harus menempel pada produk fisik tapi juga jasa layanan.
Menurut wikipedia, brand atau bahasa Indonesianya adalah “merek” adalah nama, desain, simbol atau hal lain yang menjadi identitas bagi suatu produk, atau perusahaan. Secara garis besar, gunanya adalah untuk membedakan antara satu produk, dengan produk atau organisasi, perusahaan lainnya.
Walau kadang dianggap sebuah hal yang sepele, nyatanya brand merupakan aset terbesar bagi sebuah badan usaha. Ketika sebuah brand sudah dikenal dan diterima dengan baik oleh masyarakat sebagai konsumen, maka brand tersebut punya peluang untuk besar.
Dan kenapa ia disebut sebagai aset terbesar? Karena brand yang sudah dikenal akan membuat konsumen lebih percaya terhadap produk atau jasa yang ditawarkan oleh si pemegang brand tersebut. Terlebih jika reputasinya terkenal baik.
Nah, reputasi itulah yang menjadi modal besar. Sehingga, akan lebih mudah bagi si pemegang brand untuk memasarkan produk atau jasanya. Khususnya jika mereka meluncurkan produk jenis baru yang belum dibuat oleh siapapun sebelumnya. Sebagai Contoh dari betapa besarnya pengaruh sebuah brand, bisa kita lihat dari brand mobil dengan kemampuan luar biasa seperti misalnya Ferrari, Koenigsegg, dan McLaren.
Ketiga brand ini merupakan produsen mobil super mahal mulai dari ratusan ribu hingga jutaan dollar. Namun yang mengherankan, produk mereka selalu laris di pasaran. Bahkan, produk baru mereka belum mulai diproduksi saja, sudah habis terjual. Itu karena reputasi yang sudah mereka pegang.
Mereka konsisten dengan karya mereka yang cemerlang pada produk-produk yang sudah ada, sehingga publik takkan berpikir panjang untuk membeli produk baru dari mereka. Walau harganya yang sangat mahal dan belum pernah diuji (oleh orang lain) sekalipun.
Bayangkan, jika saja brand mereka belum dikenal sehingga belum punya reputasi. Apakah mungkin respon pasar akan segila itu? Saya yakin mustahil. Apalagi dengan banderol harga yang fantastis. Kalaupun ada yang berminat, sebagian besar dari mereka pasti akan menunggu review dari orang atau media yang dianggap berkompeten, sebelum memutuskan untuk membeli atau tidak.
Contoh lain yang lebih sering kita lihat adalah produk smartphone, misal Apple dengan iPhone nya. Tau sendiri kan, bagaimana orang sampai rela mengantri demi mendapatkan produk baru mereka? Ya, itulah kekuatan dari sebuah brand. Dengan kekuatan ini juga, bisnis mereka berkembang pesat dan memberikan hasil yang cepat pula. Lebih lanjut, sebuah brand dapat mempermudah orang mengenal produk, jasa atau perusahaan tersebut.
Nah, bagaimana bisa orang mempromosikan sebuah produk atau jasa secara massal tanpa punya brand? Kalaupun nekat, calon konsumen yang berminat pasti akan kebingungan untuk mencari tahu produknya di pasaran. Nama produknya apa? Cirinya bagaimana? Orang akan sangat sulit untuk mendeskripsikannya.
Untuk dapat memperkuat brand, akan dibutuhkan sesuatu yang diberi nama branding. Branding adalah sebuah aktifitas untuk dapat membuat sebuah brand jadi makin dikenal. Termasuk diantaranya melalui berbagai promosi, campaign, atau kegiatan-kegiatan lainnya.
Bagaimana dengan Perguruan tinggi.
Bisa dipastikan, bila tidak membangun ‘merek’ perguruan tinggi bisa-bisa tenggelam. Perguruan tinggi pun kian menyadari pentingnya pemasaran dan branding. Beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta yang masuk favorit pun kini gencar beriklan di berbagai channel media. Bahkan, tak tanggung tanggung, mereka memasang setengah halaman di harian terkemukan di Indonesia. Itu mengindikasi bahwa perguruan tinggi sekarang sadar pemasaran dan branding. Bahkan dalam hal pemasaran, kini banyak perguruan tinggi yang lebih maju.
Intinya, banyak perguruan tinggi yang kini tak lagi mengadalkan satu tool komunikasi pemasaran. Mereka berusaha sebisa mungkin memanfaatkan semua tool keomunikasi pemasaran dan mengintegrasikannya untuk mencapai satu tujuan, mendapatkan mahasiswa baru sebanyak-banyak.
Para pengelolah perguruan tinggi makin menyadari bahwa untuk bisa bersaing, mereka harus membedakan dirinya dengan pesaingnya dengan branding. Karena itu merek berrusaha sebanyak mungkin melakukan aktivitas branding. Ini karena mereka merasa perlu bahwa perguruan tinggi yang dikelolanya harus bisa dibedakan dengan pesaing sehingga menjadi unik dan mudah dikenali.
Implikasinya bisa jadi muncul pergeseran perguruan tinggi yang dulu favorit, mulai ditinggalkan. Suatu perguruan tinggi dulu mempunyai keunggulan kompetitif karena keunikannya. Sebagai perguruan tinggi berkelas dunia misalnya. Kini bisa dipastikan, makin banyak perguruan tinggi yang mengklaim sebagai perguruan tinggi berkelas dunia, sejalan dengan makin banyaknya perguruan tinggi nasional, negeri maupun swasta yang masuk dalam peringkat perguruan tinggi dunia.
Pada dasarnya perguruan tinggi sebagai brand dibangun dari identitas yang ditampilkannya. Bila suatu perguruan tinggi ingin dikenal sebagai perguruan tinggi kelas dunia misalnya, maka identitas yang harus ia tampilkan adalah identitas keinternasionalan, mulai dari komposisi mahasiswa, logo, bahasa pengantar, dosen, kegiatan dan prestasi social serta lainnya. Begitupula jika perguruan tinggi yang ingin dikenal sebagai perguruan tinggi Intrepreneurship, maka identitas yang harus Anda tampilkan adalah identitas keintrepreneurshipannya.
Idetitas memunculkan persepsi-persepsi yang dalam kaitannya dengan merek disebut citra merek dalam benak audiensenya. Idealnya,antara identitas dan citra merek haruslah selaras. Bila tidak terjadi keselarasan maka disini diperlukan re-branding atau memberikan ulang merek yang bertujuan untuk mengatasi masalah persaingan. Misal, ketika perguruan tinggi membuka program magister serupa dengan perguruan tinggi lainnya, maka PT tersebut akan menyesuaikan dengan kompetensinya. Misal magister manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB) mem-branding programnya sebagai MMA (Magister Manajemen Agribisnis).
Dalam perkembangannya, strategi re-branding diterapkan untuk beradaptasi dengan perubahan. Sebab hampir dipastikan dalam situasi lingkungan yang berubah, suatu strategi positioning yang memadai pada kurun tertentu, menjadi tidak relevan karena perubahan oleh waktu, umur pasar target, dan melemahnya asosiasi-asosiasi yang semula kuat.
Ambil contoh, dulu di beberapa perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau jurusan admisnistrasi, dengan bangga memiliki program studi administrasi niaga. Namun, sejalan dengan makin berkembangnya bisnis, pasar menuntut perubahan nama administrasi niaga menjadi administrasi bisnis. Dulu di hampir setiap fakultas di PT memiliki jurusan terdapat banyak major. Namun dalam perjalanannya beberapa major dipilah dan dilebur ke dalam fakultas atau jurusan yang linear.
Berdasarkan data informasi yang dhimpun dari SNMPTN 2020, lima prodi populer atau favorit dan empat prodi kurang populer. Prodi populer yaitu, Prodi Pendidikan Dokter (Fakultas Kedokteran), Prodi Sistem Informasi (Fakultas Ilmu Komputer), Prodi Teknik Tambang (Fakultas Teknik), serta Prodi Akuntansi dan Prodi Manajemen (Fakultas Ekonomi). Sedangkan prodi tidak populer atau kurang diminati adalah, Prodi Peternakan dan Prodi Pertanian (Fakultas Pertanian dan Peternakan), Prodi Sastra Daerah dan Prodi Sastra Indonesia (Fakultas Sastra).
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa suatu strategi positioning bisa juga mengalami kondisi sangat lelah. Segmen target menjadi jenuh yang ditunjukkan oleh makin kurangnya minat masyarakat untuk memilih fakultas tersebut. Situasi ini benar-benar paradox mengingat Indonesia sering disebut sebagai Negara agraris, namun di sisi lain, fakultas yang sejatinya berfokus pada bidang tersebut mulai ditinggalkan.
Disinilah perlunya menciptakan asosisasi-asosiasi dan segmen baru yang diperlukan untuk menggairahkan kembali pertumbuhan pasarnya. Dalam branding produk, suatu produk yang matang kadang-kadang menjadi komoditas. Tekanan harga membuat organisasi atau perusahaan tidak mendapatkan laba. Salah satu pendekatan untuk memulihkannya adalah memposisikan ulang komoditas tersebut sebagai produk bermerek yang mengalami perubahan.
Dalam konteks branding, perguruan tinggi saat ini dituntut untuk melakukan reposisitioning karena mereka mengalami situasi – yang disebut Jack Trout – sebagai krisis mikro. Saat ini hampir semua perguruan tinggi harus menyesuaikan rencana mereka dengan lingkungan mereka yang berubah. Ini karena beberapa perubahan lingkungan yang kemudian menciptakan krisis internal.
Lingkungan perguruan tinggi kini berubah total. Salah satunya dapat dilihat dari beberapa tren yang belakangan berkembang. Tren yang paling penting dalam branding pendidikan tinggi dan pemasaran adalah lembaga pendidikan tinggi kini makin memperhatikan fungsi pemasaran dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi yang mempekerjakan profesional pemasaran dari dunia usaha dan menginvestasikan waktu dan uang untuk menciptakan merek kelembagaan yang kuat. Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa perguruan tinggi bukan sekadar lembaga pendidikan namun diposisikan sebagai sebagai perusahaan yang berusaha untuk merekrut peserta didik sebanyak mungkin sesuai dengan tujuannya. Pengelolanya dibebani tanggung mengembangkan lembaganya dengan memikirkan dan menemukan pasar baru, atau bahkan mengintensifkan pasarnya.
Makin terbukanya pendidikan secara global, memberi peluang bagi perguruan tinggi untuk memperluas pasarnya dengan membidik siswa internasional dan peserta didik non-tradisional dan dewasa sebagai target. Globalisasi membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk berhubungan, saling tergantung dengan lembaga pendidikan, riset, dana dan sebagainya dengan dunia internasional.
Perkembangan tersebut mengimplikasikan perguruan tinggi nasional harus bersaing dengan dengan perguruan tinggi dunia berebut calon mahasiswa baik lokal maupun internasional. Saat ini banyak mahasiswa Indonesia yang studi di luar negeri. Di Malaysia misalnya, ada sekitar 100 ribu mahasiswa asing dengan dominasi pelajar dari China dan Indonesia. Padahal, dari sisi mutu, pendidikan tinggi di Indonesia jauh lebih baik daripada Malaysia.
Namun di sisi lain, kondisi ini bisa dianggap sebagai peluang. Beberapa perguruan tinggi nasional berhasil merekrut mahasiswa asing. Banyak kampus di tanah air menunjukkan kualitas sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Sayang, hal ini belum cukup untuk menjadi tujuan utama para mahasiswa mancanegara menempuh studi di Indonesia. Salah satu penyebabnya, adalah berbelit-belitnya prosedur mendapatkan visa pendidikan.
Perkembangan daerah juga ikut memberikan kontribusi dalam pergeseran strategi pemasaran perguruan tinggi. Saat ini beberapa perguruan tinggi mulai membidik pasar di daerah. Beberapa perguruan tinggi kini merekrut calon mahasiswa dari luar basis lokasi pendididikannya. Beberapa perguruan tinggi di Jogja, Malang, Bandung, Jakarta misalnya, bahkan membidik calon mahasiswa di luar Pulau Jawa untuk kuliah di kampus mereka. Dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa luar jawa yang kuliah di PT negeri dan swasta di pulau jawa terus meningkat.
Belajar dari fenomena tersebut, beberapa perguruan tinggi mulai membuka “cabang”nya di daerah. Misal, Universitas Bina Nusantara memiliki beberapa kampus di luar Jakarta. sementara itu Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, mendirikan kampus di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Unhas Makassar mulai membangun kampus di Kabupaten Sidrap.
Untuk memperluas pasar beberapa perguruan tinggi juga memanfaatkan model belajar karak jauh. Dalam beberapa tahun terakhir, popularitas pendidikan online meningkat. Beberapa perguruan tinggi menawarkan pendidikan gelar dengan sistem online. Lalu bagaimana dengan pasar yang sudah ada?
Seperti diketahui untuk meningkatkan pendapatannya, perusahaan atau merek bisa memperluas pasar atau membidik pasar yang ada baik dengan produk lama atau produk baru. Dalam konteks pendidikan, beberapa perguruan tinggi menawarkan value baru bagi mahasiswa lama, yakni melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi, dalam hal ini paska sarjana.
Lalu value barunya misalnya penawaran kelas akselarasi untuk mehasiswa semester akhir yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi. Dengan mengikuti program ini, mahasiswa butuh waktu yang lebih pendek untuk menyelesaikan pendidikan S2-nya.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi yang berinovasi dalam branding dan perekrutan mahasiswa baru, termasuk diantaranya di bidang online dan digital. Meskipun masih ada beberapa keraguan bahwa lembaga yang menggunakan teknologi secara maksimal, terutama dengan media sosial dan platform baru lainnya, bisa dipastikan bahwa saat ini hampir semua perguruan tinggi saat ini menggunakan beberapa bentuk media sosial sebagai bagian dari kegiatan pemasaran dan operasi secara keseluruhan.
Di antara alat yang paling penting untuk pemasaran sosial dan online adalah website yang efektif dan intuitif. Ini harus dianggap sebagai "pernyataan merek utama" untuk sebuah institusi. Website sering menampilkan elemen dan layout sehingga dapat merampingkan dan menyorot konten, termasuk bar navigasi, terlibat visual seperti slide, dan menonjol "ajakan untuk bertindak" tombol yang mendorong siswa untuk menerapkan, misalnya.
Meskipun terjadi peningkatan aktivitas digital, hasil riset yang dilakukan beberapa institusi pendidikan dan lembaga pemasaran menemukan bahwa strategi pemasaran yang paling efektif untuk perguruan tinggi tetap berbasis pada acara dan melibatkan interaksi langsung dengan potensi siswa.
Iklan media elektronik, cetak dan online, meminta mahasiswa atau alumninya untuk mereferensi pemohon dan merekoemndasikan, dan pameran, serta kuliah online dianggap efektif. Sedangkan metode yang paling efektif adalah menjangkau masyarakat secara terbuka dan kunjungan ke sekolah sekolah.
Kesimpulannya, Perguruan tinggi sebagai institusi penyedia jasa layanan bidang pendidikan sudah semestinya memiliki “branding” yang baik agar dapat eksis menghadapi persaingan dunia pendidikan tinggi yang ketat sekarang ini. Branding yang diterapkan perguruan tinggi selain menarik stakeholder, juga meningkatkan minat generasi muda untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
ความคิดเห็น