top of page
  • Writer's pictureYusrin Ahmad Tosepu

Pentingnya Kurikulum Pembelajaran Tentang “Kegagalan"

Updated: Feb 14, 2021

Gagal itu hal yang biasa, tapi Bangkit dari kegagalan itu hal yang luar biasa. Inilah inti dari pembelajaran tentang "Kegagalan." ~ Yusrin Ahmad Tosepu

Memasuki Era revolusi industri 4.0 melahirkan perubahan kehidupan manusia di abad 21 ini yang biasa disebut dengan era “distrupsi”. Bagaimana individu, masyarakat, organisasi, perusahaan harus selalu siap untuk membuat inovasi. Dalam arti tidak cukup hanya inovatif baru, namun yang baru itu juga harus bisa membuat perubahan drastis.


Tentu saja, situasi disruptive innovation ini menuntut setiap individu, masyarakat, organisasi, perusahaan untuk berani berisiko mengeluarkan strategi yang belum pernah dikeluarkan sebelumnya.


Kehidupan di abad ke-21 menuntut berbagai keterampilan yang harus dikuasai peserta didik, seperti keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, metakognisi, keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, inovasi dan kreasi, literasi informasi, dan berbagai keterampilan lainnya. Sehingga diharapkan pendidikan dapat mempersiapkan peserta didik untuk siap menghadapi tantangan di masa depan.


Pencapaian keterampilan abad ke-21 tersebut dilakukan dengan memperbarui kualitas pembelajaran, membantu peserta didik mengembangkan partisipasi, menyesuaikan personalisasi belajar, menekankan pada pembelajaran berbasis masalah (proyek), mendorong kerjasama dan komunikasi, meningkatkan keterlibatan dan motivasi peserta didik, membudayakan kreativitas dan inovasi dalam belajar, menggunakan sarana belajar yang tepat, mendesain aktivitas belajar yang relevan dengan dunia nyata, memberdayakan metakognisi, dan mengembangkan pembelajaran student-centered.


Visi pedagogi pembelajaran Abad Ke-21 adalah membangun dan mengembangkan kreatifitas dan inovasi peserta didik sebagai salah satu kompetensi yang sangat berharga dalam kehidupan masyarakat. Perguruan tinggi harus mengubah pembelajaran konvensional dan mendorong siswa untuk berimprovisasi dan mengejar inovasi. Bagaimana mengajarkan peserta didik untuk menciptakan pengetahuan serta merangsang kemampuan peserta didik untuk menyusun dan menghasilkan ide-ide, konsep dan pengetahuan.


Tujuan tersebut dapat tercapai apabila terpenuhi kebutuhan untuk pengalaman belajar yang bermakna yang memanfaatkan dan mengembangkan kreativitas peserta didik. Dosen dapat memainkan peran kunci dengan mendorong, mengidentifikasi dan mengembangkan kreativitas peserta didik.


Namun demikian, mengajar kreativitas seperti mengajar metakognisi, memerlukan proses pembelajaran dan pengajaran didasarkan pada hubungan yang kuat antara peserta didik dan dosen. Memerlukan hubungan kuat yang memotivasi mereka untuk belajar; Menumbuhkan kepercayaan, keyakinan dan kemampuan peserta didik, serta meningkatkan aspirasi dan harapan; menetapkan tujuan yang akan dicapai dan tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang.


Sebagai dosen, benak saya langsung berpikir bagaimana mahasiswa nanti menghadapi situasi ini dan masa mendatang. Sudah siapkah mereka menjadi individu yang bisa melakukan disruptive innovation? Mungkin pertanyaan lebih tepatnya ditujukan kepada saya dan perguruan tinggipada umumnya, sudahkah memberikan kemampuan yang diperlukan oleh peserta didik (baca: mahasiswa) menghadapi situasi yang disruptive di abad 21 ini?


Generasi milenial (Gen Z) yang mendominasi peserta didik di perguruan tinggi kita sekarang ini, dimana salah satu karakteristik yang menjadi kekhasan dari milenalis adalah sangat mudah mengikuti arus perubahan dan rasa bosan dengan sistem yang kaku.


Generasi ini lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau instan, karenanya milenalis adalah generasi yang kreatif memanfaatkan perubahan dan peluang yang ada didepan mata mereka atau memunculkan ide-ide baru yang tidak biasa.


Berhubungan dengan itu, kalangan milenial sesungguhnya adalah individu yang punya peluang untuk berkembang dan sukses dengan cara-cara yang kreatif dan cepat. Di sisi lain, individu pada generasi ini juga berpeluang menjadi generasi yang mandek, tak mampu bersaing dan gagal.


Efek dari perubahan yang disebabkan oleh para milenal ini tidak lain adalah sebuah perubahan yang disruptif sehingga mempengaruhi tatanan sosial dalam masyarakat. Peluang bagi para mahasiswa milenealis di era ini amat jelas.


Perkembangan teknologi digital membuka wawasan baru mengenai kesuksesan dan keberhasilan dalam mengelola suatu usaha. Orang-orang mulai gemar memulai sesuatu yang baru yang benar-benar anti mainstream, lebih kreatif dan tentunya tidak berbelit-belit. Misalnya, kesuksesan pun bisa diraih hanya dengan bermodal smart phone atau komputer.


Lebih hebatnya lagi, dengan teknologi dan akses komunikasi yang semakin mudah dan lancar, kantor dan ruangan mewah ber-AC bukan lagi menjadi pilihan utama untuk mengelola suatu usaha sebab orang bisa bekerja dari rumah, bahkan dari atas tempat tidur sambil memantau atau menyelesaikan pekerjaanya.


Bisnis produk dan jasa yang banyak diperankan oleh para milenial juga sudah tidak seperti pada masa sebelum mereka, terutama dalam mengelola dan memasarkan produk dan jasa. Dengan teknologi yang canggih mereka cukup berdagang melalui toko-toko daring kemudian dibeli oleh konsumen yang tidak hanya berasal dari daerah mereka, tapi bahkan manca negara.


Di perguruan tinggi misalnya, dimana mahasiwaanya menjadi mahasiswa yang disruptif, mahasiwa yang mampu memanfaatkan perubahan dan perkembangan teknologi digital dengan kreatif dan inovatif.


Berkat kecanggihan teknologi pun kini tidak sulit lagi menjadi orang yang dikenal oleh masyarakat dalam satu negara bahkan dunia. Cukup membuat sesuatu yang baru,menarik, unik atau bahkan kontroversial. Orang mudah menjadi viral di media sosial dan kemudian menjadi terkenal.


Saya rasa tidak salah jika reorientasi kurikulum pembelajaran di perguruan tinggi memfokuskan pada pengembangan kreativitas mahasiswa yang juga memberikan ruang bagi mereka untuk berani gagal dan belajar bangkit dari kegagalan. Mengingat kreativitas menjadi modal utama bagi generasi muda untuk bersaing di dunia yang disruptive. Sehingga, kurikulum kreatif harus bisa diterapkan di semua pelajaran.


Kreativitas pun bukan cuma tentang bagaimana seseorang berbakat di bidang seni atau aktivitas fisik saja. Namun, meliputi kemampuan untuk bisa menciptakan terobosan dan temuan baru di berbagai bidang ilmu pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi masyarakat. Untuk mencapai ini, di balik kreativitas tentu akan banyak kegagalan.


Disinilah pentingnya bagaimana perguruan tinggi membuat kurikulum pembelajaran tentang “kegagalan”. Bagaimana mahasiswa dibekali keterampilan softskills untuk berani mengambil risiko untuk mencoba dan mampu memotivasi diri untuk bangkit dari setiap kegagalan (kegagalan dalam ujian, drop-out dari program, dan lain sebagainya).


Satu hal yang perlu dipahami bahwa perkuliahan yang menuntut mahasiswa untuk kreatif menuangkan ide baru penelitian, memproses data dan membuat tugas-tugas kuliah, akan dibayangi oleh banyak kegagalan. Setiap mahasiswa merasakan ketidakyakinan akan masa depan, bisa mengalami kegagalan, bahkan kemunduran.


Jika mahasiswa merasa bahwa kegagalan mereka akan menjadikan diri mereka menjadi orang yang tidak berguna, maka mahasiswa akan berhenti untuk kreatif mencari terobosan. Jika ada tugas, mereka akan bertanya terus kepada dosen pengajar, dan tidak segera mulai mengerjakan tugas karena mereka takut salah.


Sifat gigih dan pantang menyerah ini merupakan satu sifat yang harus di tanamankan pada mahasiswa milenial. Mahasiswa dibekali untuk menguasai satu keterampilan baru yang belum pernah dipelajari dan berbagi pengalaman kegagalan yang mereka alami.


Kurikulum pembelajaran tentang “Kegagalan” merupakan program pembelajaran yang bertujuan untuk mencabut stigma bahwa jika mereka gagal berarti mereka menjadi manusia tidak berguna. Banyak mahasiswa yang pesimis bahkan sampai depresi karena tidak mampu menghadapi kegagalan hingga stress bahkan memilih untuk bunuh diri.


Mahasiswa harus punya keyakinan bahwa mereka harus berprestasi di segala lini hidupnya, dari nilai akademik, hingga pergaulan sosial. Seharusnya akan wajar bila perguruan tinggi menerapkan Kurikulum pembelajaran tentang “Kegagalan”, yang bukan semata sebagai kegiatan ekstrakurikuler, tetapi diajarkan dan dikembangkan dalam setiap kegiatan dan aktifitas pendidikan dan pembelajaran.


Memupuk jiwa kreativitas dalam diri peserta didik tidak hanya sekadar teori kosong tanpa makna. Yang patut diperhatikan adalah bila perjuangan bangkit dari kegagalan ini malah membuat peserta didik putus asa dan berhenti.


Kini saatnya perguruan tinggi mengajak milenal untuk melakukan disruptive mindset. Karena perubahan apapun yang terjadi, nilai dan norma yang terjaga dalam suatu social capital harus mendapat bentuk yang semakin kokoh.


Ini adalah era di mana muncul inovasi yang menggantikan seluruh sistem lama dengan cara baru. "Inovasi memang sejatinya destruktif sekaligus kreatif". Tak jeli membaca peluang akan membuat kita terjebak dalam bayangan ketakutan hilangnya apa yang kita anggap paling utama dan berharga.



InsertVideo :Motivasi Bangkit dari Kegagalan



90 views1 comment

Recent Posts

See All
bottom of page