Postr Truh, dan Perbedaan Fakta dan opini. Ini Penjelasannya
- Yusrin Ahmad Tosepu
- Jun 29, 2021
- 6 min read
Updated: Jul 1, 2021

Berkembangnya teknologi informasi, orang kadang-kadang tidak bisa lagi membedakan antara fakta dan opini. Kita juga sering mendengar dan melihat perdebatan yang seringkali tidak jelas apa kesimpulannya. Dengan kata lain, diskusi yang tidak bermanfaat karena hanya untuk mengiring opini tanpa fakta. Apalagi sekarang ini, kita berada pada era Post Truth.
Apa Itu Post Truth?
Istilah post-truth atau pasca-kebenaran menjadi primadona pada 2016. Oxford sendiri mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Dengan kata lain, makna post-truth adalah dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif.
Namun jika ditilik secara historis, pengguna pertama istilah post-truth adalah Steve Tesich dalam artikel berjudul The Goverment of Lies yang dimuat majalah The Nation tahun 1992. Dalam artikelnya, Steve Tesich menggambarkan bagaimana skandal Watergate dan Perang Teluk Persia dapat membuat tenang dan nyaman warga Amerika Serikat meski dua insiden tersebut dipenuhi banyak kebohongan.
Steve Tesich menuliskan bahwa opini warga negara Amerika Serikat digiring melalui pernyataan emosial, bukan fakta sebenarnya. Simpelnya, post truth adalah era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran.
Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial membuat informasi jadi jauh lebih riuh dan bising. Tiap menit ada informasi dan berita yang di-update dan viral. Saat ini putaran informasi bergerak secepat itu. Berubah, bergerak, bertambah dan berkembang biak. Arus ini yang kemudian dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan yang akhirnya membuat kita merasa kalau kebohongan tadi adalah kebenaran.
Di situlah bahayanya post truth: kita jadi susah membedakan mana informasi yang benar, dan mana yang hoax alias bohong. Post truth ini tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik, tapi juga sudah merembes pada kepentingan ekonomi, bisnis dan lain sebagainya. Dan kebanyakan korbannya adalah orang-orang yang miskin literasi informasi.
Kesimpangsiuran informasi dan susahnya membedakan mana fakta dan bukan ini sedikit banyak membuat kita terjebak pada bias informasi. Bisa jadi, ini salah satu sebab tingginya data penyebaran informasi ataupun berita hoax di Indonesia.
Hal lain yang bikin post truth bahaya adalah kerja samanya dengan filter bubble. Filter bubble adalah algoritma yang dibuat oleh media sosial, di mana kita disuguhkan informasi “sesuai dengan yang kita suka. Misalnya, kita sering like postingan berita hoax di media sosial. Di explore kamu akan banyak konten-konten berbau xoax politik. Begitupula sebaliknya.
Makanya namanya filter bubble. Kita seolah berada dalam gelembung yang berisi informasi yang itu-itu aja. Kita seperti dipersulit untuk melihat keluar dari gelembung. Dan setiap orang terperangkap dalam gelembungnya masing-masing. Wajar kalau filter bubble adalah faktor penting dalam semakin berpengaruhnya fake news, hoax, dan hate speech (Pariser 2011, Rader dan Gray 2015).
Karena sejatinya, post truth itu bukan cuma tentang kebohongan yang disebar, tapi ketakutannya jauh lebih besar dari itu. Bagaimana era ini mengobarkan kebingungan di tengah arus informasi yang banyak dan bergerak cepat. Post truth, membuat kita terjebak pada pertanyaan “Ini apaan sih? Yang bener tuh yang mana? Lho, katanya gini?”
Fakta dan Opini
Fakta dan opini sejatinya mempunyai pengertian yang jauh berbeda. Namun, kedua istilah tersebut kerap saling berdampingan karena memiliki keterkaitan. Itulah mengapa penting untuk mengerti dan memahami perbedaan antara fakta dan opini. Hal itu agar tidak salah saat menerima atau menyampaikan sebuah ungkapan fakta atau opini.
Perbedaan fakta dan opini menjadi perbincangan yang menarik ketika kita dihadapkan pada sebuah bacaan atau sajian informasi, di mana seorang pembaca ataupun pendengar dituntut untuk bisa membedakan antara fakta dan opini.
Dengan bisa membedakan fakta dan opini, seseorang bisa mengerti dan memilah apa saja yang harus dipercaya sepenuhnya dan perlu disaring. Nah, apa saja perbedaan antara fakta dan opini yang perlu diketahui serta dipahami.
Pengertian Fakta dan Opini
Fakta adalah pernyataan yang berupa situasi riil dari sebuah kajadian yang terjadi. Fakta berisi sesuatu yang benar-benar ada dan pernyataan dari sebuah fakta biasanya sulit untuk disanggah oleh siapapun.
Dalam sebuah fakta, antara satu orang dengan orang lainnya pastinya sama karena kejadiannya jelas, tidak dapat terbantahkan serta dapat dicek kebenarannya. Kendati demikian, fakta bisa saja berubah jika ditemukan fakta baru yang jelas dan juga lebih akurat.
Sementara, opini adalah suatu sikap atau pendapat seseorang mengenai sebuah keadaan yang pernah atau belum terjadi. Opini sangat dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, perspektif, keinginan, sikap, pengalaman, pemahaman, keyakinan setiap individu.
Jadi, opini masih berupa pendapat yang belum benar adanya. Adapun pendapat pribadi tersebut dapat benar bahkan dapat juga salah. Alasannya, setiap orang mempunyai pendapat masing-masing dan berbeda beda. Pendapat bisa dikatakan benar jika didukung adanya fakta yang kuat dan menyakinkan.
Cara Membedakan Fakta dan Opini
1. Telusuri Kebenarannya
Temukan bukti-bukti yang akurat untuk menelusuri kebenaran sebuah peristiwa atau pernyataan yang didapat, misalnya dengan mencari tahu waktu, lokasi, proses kejadian, atau hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa atau pernyataan tersebut.
Jika peristiwa atau pernyataan tersebut dapat ditelusuri kebenarannya karena dapat dilihat, didengar atau dibuktikan, peristiwa atau pernyataan tersebut termasuk fakta.
Sebaliknya, jika peristiwa atau pernyataan tersebut tidak dapat diuji dengan indra dan sulit dibuktikan kebenarannya, peristiwa atau pernyataan tersebut termasuk opini.
2. Telusuri Apakah Objektif atau Subjektif
Selanjutnya, telusuri sifat dari kalimat yang disampaikan apakah bersifat objektif atau subjektif. Kalimat yang bersifat objektif cenderung mengungkapkan kejadian apa adanya sesuai kenyataan, sedangkan kalimat yang bersifat subjektif cenderung melibatkan perasaan atau pemikiran penulis.
3. Perhatikan Kata Khusus
Kalimat yang bersifat subjektif biasanya menggunakan kata-kata opini atau prediksi. Contohnya saya rasa, seharusnya, menurut saya, bisa jadi, kemungkinan, dianggap, bisa disebut, dan sebagainya. Jika sebuah kalimat menggunakan kata-kata tersebut, maka kalimat tersebut adalah opini.
4. Menalar Kalimat
Untuk memastikan apakah sebuah kalimat tergolong fakta atau opini, libatkan nalar atau perasaan ketika membacanya. Jika kalimat yang dibaca menimbulkan rasa tidak setuju atau cenderung tidak masuk akal, maka kalimat tersebut merupakan opini.
Ciri-Ciri Fakta
Dapat dibuktikan kebenarannya.
Berisi data-data yang sifatnya kuantitatif (berupa angka) dan kualitatif (berupa pernyataan).
Mempunyai data yang akurat baik waktu, tanggal, tempat dan peristiwanya.
Dikumpulkan dari nara sumber yang terpercaya.
Bersifat objektif, yakni data yang sebenarnya, bukan dibuat-buat dan dilengkapi dengan gambar obyek.
Biasanya dapat menjawab rumus pertanyaan 5W + 1H.
Menyatakan kejadian yang sedang atau telah dan pernah terjadi.
Informasi berasal dari kejadian yang sebenarnya.
Ciri-ciri fakta dalam Kalimat
1. Memiliki Data Akurat
Dalam kalimat fakta, terdapat data yang jelas dalam suatu peristiwa. Di dalam kalimat, data tersebut dapat berupa bilangan statistik, tanggal dan waktu kejadian, maupun hal lain yang telah terverifikasi.
2. Bersifat Objektif
Yang dimaksud objektif dalam kalimat fakta adalah pernyataan yang terdapat di dalamnya bersifat umum dan telah diakui kebenarannya oleh banyak pihak, khususnya oleh badan atau lembaga resmi.
3. Benar-benar Terjadi
Sebuah kalimat dapat dianggap sebagai fakta jika pernyataan di dalamnya memaparkan situasi yang benar-benar terjadi. Benar-benar terjadi berarti seseorang bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri atau mendengar laporan beritanya dari orang yang berwenang.
Ciri-Ciri Opini
Tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Bersifat subjektif dan biasanya disertai dengan pendapat, saran, dan uraian yang menjelaskan.
Tidak memiliki narasumber.
Berisi pendapat tentang peristiwa yang terjadi
Menunjukkan peristiwa yang belum pasti terjadi atau terjadi di kemudian hari.
Merupakan pikiran atau pendapat seseorang maupun kelompok.
Informasi yang disampaikan belum ada pembuktiannya.
Biasanya ditandai dengan penggunaan kata-kata: bisa jadi, sepertinya, mungkin, seharusnya, sebaiknya.
Ciri-ciri Opini dalam Kalimat
1. Mengandung Pendapat Pribadi
Dalam kalimat opini banyak berisi pendapat dari diri sendiri atau dari orang lain. Dalam beberapa kasus, pada kalimat opini ditemukan pernyataan dari orang yang sudah terkenal sehingga terkesan sebagai fakta. Padahal, perkataan orang itu juga masih sebatas pendapat yang belum bisa dibuktikan kebenarannya.
2. Bersifat subjektif
Hampir sama dengan ciri pertama, ciri kedua dari kalimat opini adalah pernyataan yang dipaparkan dalam kaimat cenderung subjektif. Artinya, hal-hal yang dikemukakan hanya menurut satu di antara pihak sehingga tidak bisa dikatakan netral.
3. Memiliki Kata Bersifat Relatif
Pada kalimat opini, seseorang akan cenderung menemukan kata yang bersifat relatif. Maksud relatif di sini ialah kata atau frasa tersebut cenderung bisa berubah tergantung siapa yang mengucapkannya. Kata yang termasuk relatif; di antaranya paling, lebih, agak, ataupun biasanya.
Berikut adalah skema yang menunjukkan cara membedakan fakta dan opini.

Dari skema di atas jelas bahwa untuk membuktikan opini atau fakta kita perlu bertanya pada diri sendiri, “Bisakah itu dibuktikan”? Bukti yang mendukung sebuah fakta dapat dengan mudah ditemukan di buku-buku dan jurnal-jurnal di bagian referensi, serta dengan mencari secara online menggunakan sumber informasi yang dapat dipercaya, seperti situs web lembaga penelitian atau pendidikan terkemuka. Sumber-sumber ini akan memberikan bukti untuk fakta yang sama. Namun, untuk opini, apa yang dikemukakan mungkin berbeda antara sumber informasi.
Fakta juga tidak bias. Fakta tidak hanya mendukung satu perspektif dan menyajikan informasi secara obyektif. Untuk opini, pendapat yang dikemukakan mungkin bias dan ditulis dengan cara mencoba meyakinkan supaya orang percaya pada apa yang disampaikan atau dikatakan.
Semoga kita sekarang tahu lebih banyak tentang fakta dan opini. Sudah saatnya kita mesti berpikir kritis. Carilah fakta bukan opini. Kita sering melihat di media social maupun di televisi ada orang yang selalu mengandalkan retorika menarik dalam berkata-kata dalam menyampaikan opini (bukan fakta) — sehingga ramai orang yang tertarik dengan argumennya. Saya harap kita jangan mudah tertipu dengan retorika belaka tanpa adanya pembuktian fakta yang mendukung.
Semoga Bermanfaat
Comments