I. PENDAHULUAN
A. PENGANTAR
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa kini, tantangan pendidikan saat ini adalah kemampuan menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Berbagai keterampilan dibutuhkan zaman ini harus secara jelas diajarkan dalam berbagai mata pelajaran. Oleh karena itu, melalui pendidikan diharapkan peserta didik mendapatkan pengetahuan-pengetahuan ataupun keterampilan yang dapat diaplikasikan di masa kini dan masa yang akan datang. Di era kini, kegiatan pembelajaran harus bersifat kontekstual, berpusat pada peserta didik, kolaboratif, dan terintegrasi dengan masyarakat. Prinsip utama proses pembelajaran era kini adalah roses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Orientasi penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran kekinian harus bertujuan untuk membekali peserta didik berbagai keterampilan seperti pemecahan masalah, kreatif, kritis dan lain sebagainya. Keterampilan berpikir kritis menjadi salah satu keterampilan yang dituntut harus dilatihkan kepada peserta didik melalui proses pembelajaran. Ketrampilan berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menimbang faktor-faktor yang penting dan tidak penting, konkrit dan abstrak yang mempengaruhi suatu situasi, agar dapat dibuat solusi yang terbaik dari suatu masalah. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa berpikir kritis atau yang dikenal pula dengan critical thinking adalah proses kegiatan otak atau mentality untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan bertujuan menganalisis sebuah anggapan.
Berpikir kritis kini telah menjadi soft skills yang wajib dimiliki peserta didik (siswa/ mahasiswa). Berpikir kritis atau dikenal dengan istilah Critical thinking adalah salah satu kecakapan yang diharapkan terbentuk pada diri peserta didik. Peserta didik diharapkan memiliki kecakapan critical thinking melalui pendekatan ilmiah sebagai pengembangan diri. Kecakapan critical thinking merupakan modal intelektual bagi peserta didik sebagai bagian yang terpenting dari kematangan berpikir. Oleh karena itu, peningkatan kecakapan critical thinking menjadi hal wajib yang harus diterapkan dalam pembelajaran bagi peserta didik di setiap jenjang pendidikan.
Menurut Abrami (2008: 1102) critical thinking atau kemampuan untuk terlibat dalam penilaian pengaturan diri yang disengaja, secara luas diakui sebagai keterampilan penting untuk era pengetahuan. Sebagian besar pendidik akan setuju bahwa belajar berpikir kritis adalah salah satu tujuan yang paling diinginkan sekolah formal. Menurut Kalelioglu & Gulbahar (2004: 248) mengajarkan para peserta didik agar dapat mengetahui cara berpikir kritis merupakan masalah penting dalam pengaturan pendidikan, karena berpikir kritis sangat penting untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat demokratis dengan seperangkat keterampilan dalam hal pengambilan keputusan di tempat kerja dengan penilaian klinis yang berdampak secara langsung.
Pendidika (guru/dosen) perlu memupuk dan menumbuhkan pemikiran kritis pada setiap stadium pembelajaran, dimulai dari pembelajaran awal. Oleh karena itu di dalam kurikulum pendidikan, pengembangan pemikiran kritis sebaiknya dimulai sejak semester awal. Pada intinya, pendidik (guru/dosen, lembaga/institusi pendidikan (sekolah/kampus) perlu memusatkan perhatian untuk mengajarkan ketrampilan berpikir kritis kepada peserta didik, dan memupuk sifat-sifat intelektual mereka. Seperti halnya cara memahami subjek lainnya, mempelajari cara berpikir kritis meliputi dua fase: (1) internalisasi; dan (2) penerapan. Fase internalisasi mencakup konstruksi ide-ide dasar, prinsip, dan teori-teori berpikir kritis di dalam pikiran pebelajar. Fase penerapan mencakup penggunaan ide-ide, prinsip, dan teori itu oleh pebelajar di dalam kehidupan sehari-hari.
B. MEMAHAMI BERPIKIR KRITIS
Berpikir kritis adalah cara berpikir dan seperangkat keterampilan yang mendorong pendekatan informasi, sadar, sistemik, dipertimbangkan dan logis untuk memutuskan apa yang harus dipercaya atau lakukan. Critical thiking mengarah ke argumen dan kesimpulan yang valid, dibuktikan dan tahan terhadap kritik. Menurut Beyer adalah: (1) mengukur kualitas dari suatu sumber, (2) mampu menentukan antara yang relevan dan yang tidak relevan, (3) membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi pendapat yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi kesalahan atau bias yang ada, (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang didapatkan untuk mendukung pendapat.
Menurut Epstein (2006: 1) critical thinking adalah pertahanan seseorang terhadap dunia yang terlalu banyak informasi dan terlalu banyak orang yang mencoba meyakinkan kita. Penalaran dan critical thinking itulah yang membedakan kita dari makhluk lainnya, sehingga seseorang tidak hanya dapat merencanakan, berpikir, mendiskusikan dengan harapan untuk memahami sesuatu permasalahan dengan lebih baik, tetapi dapat melihat lebih baik dan dapat mendengar lebih baik dari apa yang telah dipelajari.
Menurut Ennis (Kuswana, 2013: 21) critical thinking terbagi menjadi dua disposisi, yaitu: (1) menjadi perhatian bagi setiap individu untuk dapat melakukan sesuatu dengan benar berdasarkan dengan kejujuran, kejelasan, relevan, dan masuk akal, (2) bergantung pada proses penilaian dengan menerapkan kriteria untuk menilai jawaban yang dimiliki, dala, hal ini penyampaian atau penyajian dapat dilakukan secara proses implisit maupun eksplisit.
Critical thinking adalah sejenis keterampilan berpikir tingkat tinggi di mana individu menunjukkan kemampuan mereka untuk secara ilmiah dan penuh pertimbangan mengevaluasi suatu fenomena dari pandangan yang berbeda dalam konteks yang berbeda untuk membuat keputusan akhir yang efektif. Kemampuan ini membutuhkan orang untuk memiliki berbagai keterampilan seperti pertanyaan, pertanyaan, evaluasi, dan pengambilan keputusan (Nhat, 2018: 431).
Menurut Jhon Dewey (1909) critical thinking adalah berpikir reflektif, yaitu sebuah pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan mampu dengan teliti mengenai sebuah kepercayaan atau bentuk pengetahuan yang dapat diterima dengan memandang dari perspektif yang mendukung sebuah pemikiran lanjutan yang menjadi keyakinannya (Fisher, 2007: 2).
Critical thinking yang dikemukakan oleh Dewey ini juga dikembangakan oleh Edward Glaser salah seorang dari penulis Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal (uji kemampuan berpikir kritis yang paling banyak dipakai diseluruh dunia). Fisher (2007: 3) mengemukakan definisi critical thinking, yaitu: (1) mampu berpikir secara menyeluruh tentang masalah yang berada dalam jangkauan pengalaman setiap individu, (2) menjadi sebuah pengetahuan tentang metode investigasi dalam melakukan problem solving. Critical thinking menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Critical thinking merupakan penggunaan keterampilan atau strategi kognitif individu yang mampu meningkatkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Keterampilan tersebut untuk menghasilkan pemikiran yang bertujuan, beralasan, dan diarahkan pada tujuan dalam memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, dan membuat keputusan, sehingga seseorang menggunakan keterampilan yang dimiliki secara bijaksana dan efektif untuk konteks tertentu dan jenis tugas tertentu (Halpern, 2014: 25)
Menurut Li & Yang (2014: 68) critical thinking adalah kemampuan dalam mengodentifikasi masalah, mampu membentuk perspektif yang jelas tentang masalah yang ada, ada nya pengakuan perspektif alternatif, lokasi masalah dalam konteks yang tepat, mampu mengidentifikasi dan evaluasi bukti, mampu memberikan pengakuan asumsi-asumsi mendasar yang tersirat atau dinyatakan oleh representasi suatu masalah, mampu memberikan penilaian implikasi dan kesimpulan potensial.
Menurut Ventista (2018:16-17) berpikir kritis adalah proses disiplin aktif dan aktif konseptualisasi, penerapan, analisis, sintesis, dan/atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dari, atau diha silkan melalui pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi secara terampil.
Berpikir kritis pada awalnya adalah proses reaksi. Seseorang telah menyusun kesimpulan dan beberapa alasan untuk kesimpulan. Tugas kita adalah memutuskan apakah argumen itu adalah argumen yang ingin kita buat sendiri. Jadi alasan apapun menyediakan bahan baku untuk latihan berpikir kritis (Browne & Keeley, 2007: 4)
Menurut Hooks (2010: 9), istilah yang lebih sederhana, berpikir kritis pertama-tama melibatkan penemuan siapa, apa, kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu itu terjadi, kemudian menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan abadi dari peserta didik yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan selanjutnya memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki dengan cara yang memungkinkan diri untuk menentukan hal yang paling penting. Berpikir kritis sebagai seni dalam menganalisis dan mengevaluasi pemikiran dengan pandangan untuk meningkatkannya, berpikir kritis sebagai pengarah diri, disiplin diri, pemantauan diri, dan koresi diri
Menurut Gambril & Gibbs (2009: 4) critical thinking meliputi kerjelasan, keakuratan, relefansi, dan kelengkapan. Dalam meningkatkan critical thinking dibutuhkan kemampuan untuk mengevaluasi bukti, mempertimbangkan alternatif sudut pandang, dan berpikir secara adil dalam menyampaikan pendapat yang berbeda secara tepat.
Critical thinking menurut Paul, Fisher and Nosich (1993) metode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si pemikir meningkatkan kredibilitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya, sehingga satu-satunya cara untuk mengembangkan kecakapan critical thinking seseorang ialah melalui berpikir tentang pemikiran diri sendiri dan secara sadar berupaya memperbaikinya dengan merujuk pada beberapa model berpikir yang baik dalam bidang itu (Fisher, 2007: 4).
Critical thinking merupakan “reasonable reflective thinking that is focused deciding what to believe and do”, yaitu pemikiran reflektif yang masuk akal yang terfokus untuk memutuskan apa yang harus dipercaya dan dilakukan, dengan membuat titik tegas bahwa kompenen tidak dikriteriaisasikan, dan penilaian dapat dilakukan secara mekanis dan hal ini merupakan titik penting tentang bagaimana berpikir kritis berkaitan dengan mengajar dan belajar (Ennis, 1993: 180).
Melengkapi pernyataan tersebut, Facione (2011: 5) menyatakan bahwa critical thinking merupakan proses berpikir kompleks yang terdiri dari analysis, evaluation, explantion, inference, interpretation and self regulation. Hal ini juga didukung oleh pendapat Suter (2012: 6) beberapa kemampuan lain yang terlibat dalam berpikir kritis termasuk interpretasi, penyimpulan, penjelasan, dan pengaturan diri.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa critical thinking merupakan berpikir yang kompleks. Critical thinking memiliki tujuan yang jelas dalam memecahkan permasalahan, mempertanyakan infomasi, kesimpulan dan sudut pandang, agar suatu penyelesaian dari sebuah pemecahan masalah menjadi jelas, tepat, akurat, relevan, serta diselesaikan secara logis, masuk akal, dan adil. Critical thinking juga menuntut seseorang memiliki keterampilan dalam memikirkan berbagai asumsi, dalam mengajukan beberapa pertanyaan yang relevan, dalam menarik kesimpulan atau hasil akhir, dalam memikirkan dan memperdebatkan isu-isu secara terus menerus.
C. MANFAAT BERPIKIR KRITIS
Critical thinking mendukung perkembangan intelektual dalam hal ketekunan dan disiplin diri. Menurut Paul (Gambril & Gibbs, 2009: 4) seseorang yang memiliki kecakapan critical thinking, ia dapat mengidentifikasi permasalahan dengan membuat hubungan antara bagian dalam sebuah permasalahan, mampu menyusun dan mengurutkan pertanyaan dengan baik, serta ia mampu mengevaluasi diri dan mengembangkan diri. Dengan adanya kecakapan critical thinking yang dimiliki seseorang mampu mengarah penyusunan sebuah jawaban yang diketahuinya secara masuk akal.
Cottrell (2005: 3), mengemukakan bahwa critical thinking is associated with reasoning or with our capacity for rational thought. The word 'rational' means 'using reasons' to solve problems. Reasoning starts with ourselves, yaitu berpikir kritis dikaitkan dengan penalaran atau dengan kemampuan kita untuk berpikir rasional. Kata 'rasional' berarti 'menggunakan alasan' untuk menyelesaikan masalah. Penalaran dimulai dari diri kita sendiri.
Menurut Feldman (2010: 4), Manfaat dari berpikir kritis yang mencakup tindakan untuk mengevaluasi situasi, masalah, atau argumen, dan memilih pola investigasi yang menghasilkan jawaban terbaik yang bisa didapat, yaitu: (1) mengenali bias untuk memandu pengembangan diri, (2) berkontribusi dalam kelompok belajar didalam maupun diluar kelas, (3) mengembangkan solusi terbaik untuk masalah, (4) mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang argumen orang lain, (5) memberi argumen yang bagus, untuk menciptakan komitmen terhadap pemikiran diri sendiri, (6) mengidentifikasi topik penting dengan tetap terfokus pada masalah yang ada, (7) menulis dan berbicara dengan bukti yang relevan.
D. ASPEK-ASPEK KECAKAPAN BERPIKIR KRITIS
Berpikir kritis adalah proses yang rumit, dan jika dilakukan dengan benar akan membantu dalam menilai ide-ide kompleks secara sistematis, sehingga masalahnya lebih mudah dipecahkan. Kecakapan critical thinking menggunakan pemikiran dasar menganalisis argumen dan membawa wawasan peserta didik pada setiap interpretasi, untuk meningkatkan pola penalaran yang kohesif dan koheren, merumuskan masalah, dengan melakukan deduksi dan induksi, serta menentukan keputusan yang tepat.
Aspek-aspek kecakapan critical thinking menurut Carin & Sund (Devi, 2017: 53) mencakup keterampilan berpikir untuk: mengklasifikasi, membuat asumsi, memprediksi dan berhipotesis, menyimpulkan dan menginterprestasikan data serta menarik kesimpulan, mengukur, merancang penyelidikan untuk memecahkan suatu masalah, mengamati, mereduksi kesalahan eksperimen, mengevaluasi, dan menganalisis.
Kecakapan critical thinking menurut Ennis & Paul (Gambrill & Gibbs, 2009: 15) yaitu: (1) menjelaskan permasalahan-permasalahan, (2) mengidentifikasi persamaan dan perbedaan secara signifikan, (3) Mengenali kontradiksi dan ketidakkonsistenan, (4) menyaring penyamarataan dan menghindari penyederhanaan, (5) menjelaskan isu-isu, kesimpulan dan keyakinan, (6) menganalisis dan mengevaluasi argumen, interprestasi, keyakinan, atau teori, (7) mengidentifikasi asumsi yang tidak disampaikan, (8) menjelaskan dan menganalisis makna dari kata atau frasa, (9) menggunakan kriteria dalam mengevaluasi, (10) menjelaskan nilai-nilai dan standar, (11) mengenali bias, (12) membedakan pertanyaan, data, klaim, atau alasan yang relevan atau tidak, (13) mengevaluasi keakuratan dari informasi yang didapatkan dari berbagai macam sumber, (14) membandingkan situasi, (15) membuat kesimpulan dan prediksi, (16) membandingkan situasi idengan dengan praktik, (17) menemukan dan mengevauasi keakuratan dari implikasi dan konsekuensi, (18) mengevaluasi proses penalaran, (19) membuat pertanyaan, (20) membuat hubungan interdisipliner, (21) menganalisis dan mengevaluasi tindakan-tindakan atau aturan-atutan, (22) mengevaluasi pendapat, interprestasi atau teori.
Menurut Moore & Stanley (2010: 6; Bookhart, 2010: 3), Critical thinking disebut juga dengan berpikir tingkat tinggi (higher-level thingking/higher-ordered thinking). Moore & Stanley (2010: 6) menyatakan bahwa analysis, synthetis, and evaluation dari Taksonomi Bloom (knowledge, comperhension, application, analysis, synthesis, dan evaluation) merupakan kemampuan critical thinking tingkat tinggi yang diintegrasikan kedalam kemampuan berpikir kritis. Analysis, mencakup kemampuan peserta didik untuk memisahkan informasi dan memeriksa bagaimana bagian yang saling berhubunga dengan yang lainnya. Synthetis, mencakup kemampuan untuk meletakkan informasi secara bersama dalam cara yang berbeda untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Synthetis, berbeda dengan aplikasi. Aplikasi menggunakan informasi yang dipelajari dan menggunakannya dengan cara yang sama dalam kondisi yang baru, sedangkan synthetis membuat sesuatu yang baru dengan mengambil beberapa bagian dari informasi yang sudah di ketahui sebelumnya. Evaluation, mencakup kemampuan untuk menyampaikan pendapat tentang sesuatu berdasarkan kriteria tertentu.
Menurut Susilowati,dkk (2017: 224-225) kecakapan critical thinking meliputi: analysis (analisis) merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan kesimpulan yang benar antara pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi berdasarkan keputusan, pengalaman, alasan, informasi dan pendapat. evaluation (evaluasi) kemampuan menilai kredibilitas pernyataan atau penyajian lain dengan menilai atau menggambarkan persepsi seseorang, pengalaman, situasi, kepercayaan, keputusan, dengan menggunakan kekuatan logika dari hubungan inferensial yang diharapkan atau hubungan inferensial yang aktual diantara pertanyaan, pernyataan, deskripsi maupun bentuk representasi lainnya.
Explanation (eksplanasi) kemampuan seseorang untuk menyatakan hasil proses pertimbangan, kemampuan untuk membenarkan bahwa suatu alasan itu berdasarkan bukti, metodologi, konsep, atau suatu kriteria tertentu dan pertimbangan yang masuk akal, serta kemampuan untuk mempresentasikan alasan berupa argumen yang meyakinkan. Inference (inferensi) kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi dan memilih unsur-unsur yang diperlukan untuk membentuk kesimpulan yang beralasan atau untuk membentuk hipotesis dengan memperhatikan informasi relevan dan mengurangi konsekuensi yang ditumbulkan dari data, pertanyaan, prinsip, bukti, penilaian, opini, deskripsi, pernyataan, keyakinan, maupun bentuk representasi lainnya.
Interpretation (interpretasi) merupakan kemampuan seseorang untuk memahami dan menyatakan arti atau maksud dari pengalaman yang bervariasi situasi, data, peristiwa, keputusan, konvensi, kepercayaan aturan, prosedur atau kriteria. Selanjutnya, self regulatian (pengaturan diri) ini berkaitan dengan kesadaran seseorang untuk memonitor kognisi dirinya dengan mengaplikasikan keterampilan untuk mengevaluasi kemampuan diri dan mengambil kesimpulan dalam bentuk pertanyaan, konfirmasi, dan validasi (Susilowati, dkk, 2017: 224- 225).
E. KARAKTERISTIK BERPIKIR KRITIS
Seseorang yang mempunyai kecakapan critical thinking dapat ditunjukkan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Critical thinking mencakup kemampuan interpretasi, inferensi, eksplanasi, analisis, dan evaluasi, dengan mengidentifikasi kesimpulan, merumuskan kredibilitas sumber, serta memutuskan kualitas dari pendapat yang mencakup penerimaan terhadap asumsi, alasan, dan bukti dengan mampu mempertahankan dan mengembangkan posisi pada suatu isu, menanya, merencanakan, memutuskan, menentukan, berpikir terbuka, berwawasan luas, dan mampu menarik kesimpulan.
Menurut Lauren Resnick (Craver, 1991: 4) critical thinking mempunyai karakteristik tersendiri yang mengandung dimensi sebagai berikut:
Berpikir kritis seringkali menghasilkan lebih dari satu solusi. Setiap solusi mungkin memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam mengemukakan pendapat atau solusi peserta didik harus memiliki bukti yang relevan.
Berpikir kritis memerlukan interpretasi dan evaluasi yang matang. Jawaban tidak ada dalam warna hitam dan putih.
Berpikir kritis mengharuskan penggunaan beberapa kriteria, yang mungkin bertentangan dengan perspektif lain.
Berpikir kritis mencerminkan pengaturan diri dari proses berpikir. Sementara guru dapat mengajarkan kriteria pemikiran, peserta didik harus dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan guru.
Berpikir kritis membutuhkan usaha, karena ada banyak ambiguitas dalam jenis proses pemikiran ini, diperlukan kerja keras dan komitmen yang kuat dari pihak guru dan peserta didik, sehingga karakteristik dari berpikir kritis yang telah disampaikan oleh para ahli, maka seorang individu yang memiliki kemampuan berpikir kritis dapat ditunjukkan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimilikinya.
Menurut Gambril & Gibbs (2009: 5), karakteristik critical thinking mempunyai tujuan serta intelektualitas yang meliputi:
Clarity, dimana kejelasan terhadap suatu permasalahan yang ada perlu dijelaskan secara tuntas dan terinci.
Accuracy, kebenaran yang disampaikan dapat dipertanggung jawabkan.
Relevance, pernyataan dan pertanyaan bisa saja jelas, teliti, dan tepat tetapi hal tersebut belum tentu dapat relevan dengan permasalahan yang ada.
Depth, pertanyaan dan pernyataan yang ada bisa saja memenuhi sebuah kriteria atau persyaratan secara jelas, teliti, tepat, relevan hanya saja jawaban sangat dangkal.
Breadth, sebuah penalaran yang cukup accuracy (akurat), clarity (kejelasan), relevance (relevan), depth (kedalaman) and breadth (keluasan).
F. LANGKAH-LANGKAH BERPIKIR KRITIS
Menurut Bowell & Kemp (2002:6) dalam berpikir kritis ketika seseorang mengemukakan argumen atau pendapat maka ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:
Mengidentifikasi masalah yang sedang dibahas.
Merekonstruksi argumen sehingga dapat mengungkapkannya secara jelas dengan menunjukkan langkah-langkah dan bentuk argumen dengan penalaran.
Mengevaluasi argumen yang sudah rekonstruksi dengan menanyakan apa yang baik dan apa yang buruk dari argumen yang diungkapkan.
Menurut Zubaidah (2016:10), langkah-langkah berpikir kritis dikelompokkan menjadi tiga langkah yaitu: pengenalan masalah-masalah (defining/clarifiying problems), menilai informasi (solving problems/drawing conclusion). Langkah- langkah ini juga diperlukan kecakapan yang dinamai 12 kecakapan esensial dalam berpikir kritis (twelve essential critical thinking skills), sebagai berikut:
1. Defining and clarifying problem (mengenali masalah)
a) Mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan pokok.
b) Membandingkan kesamaan dan perbedaaan-perbedaan.
c) Memilih informasi yang relevan.
d) Merumuskan/ memformulasi masalah.
2. Menilai informasi yang relevan
a) Menyeleksi fakta, opini, hasil nalar/judgment.
b) Mengecek konsistensi.
c) Mengidentifikasi kemungkinan faktor stereotip.
d) Mengenali kemungkinan bias, emosi, propaganda, salah penafsiran kalimat.
e) Mengenali kemungkinan perbedaan orienasi nilai dan ideologi.
3. Pemecahan masalah/penarikan kesimpulan
a) Mengenali data-data yang diperlukan dan cukup tidaknya data.
b) Meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari keputusan/ pemecahan masalah/ kesimpulan yang diambil.
G. MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
Berpikir kritis tidak sama dengan kecerdasan, itu adalah keterampilan yang dapat ditingkatkan dalam semua orang. Banyak kegiatan kelas formal fokus pada pengembangan keterampilan berpikir kritis peserta didik. Peserta didik mereferensikan sistem nilai pribadi mereka saat mengevaluasi pesan dan menilai integritas informasi yang bertentangan dari perspektif yang berbeda. Menurut Finken dan Robert H. Ennis (1993,) memberikan petunjuk secara rinci untuk mengelola dan menghitung kecakapan critical thinking peserta didik dalam memberikan argumen atau jawaban untuk menentukan kecakapan critical thinking peserta didik. Pada petunjuk pemberian penskoran dari Illinois Critical Thinking Essay Test ada enam komponen yang dinilai. Komponen-komponen tersebut yaitu: (1) focus, (2) supporting reasons, (3) reasoning, (4) organization, (5) conventions, dan (6) integration.
Lebih lanjut, menurut Finken dan Robert H. Ennis, komponen focus mengukur tingkat kebenaran dan kejelasan dari sebuah jawaban atau tulisan, komponen kedua supporting reasons untuk melihat tingkat kebenaran, kejelasan, kepercayaan, kredibilitas dari asalan pendukung atau bukti serta sumber rujukan yang digunakan, penjelasan ini sama seperti komponen ketiga yaitu reasoning, selanjutnya komponen keempat organization untuk memperlihatkan tingkat kejelasan dan keterkaitan antara alur berpikir. Komponen ke lima conventions mengukur penggunaan tata bahasa, dan komponen ke enam yaitu integration menunjukkan evaluasi umum dari kejelasan atau kebenaran jawaban apakah telah sesuai dengan pertanyaan yang diberikan. Namun dalam penelitian ini hanya menggunakan empat indikator dari enam indikator tersebut, karena indikator kedua dan ketiga dapat disatukan (Zubaidah,dkk 2015: 208-209).
Menurut Mahapoonyanont (2012: 146-150), faktor-faktor yang mempengaruhi kecakapan critical thinking peserta didik adalah faktor pendidikan, faktor peserta didik itu sendiri, faktor perkembangan anak dan faktor personal. Faktor pendidikan salah satunya berkaitan dengan strategi pembelajaran yang digunanakan dalam proses pembelajaran, faktor peserta didik yaitu dari hasil pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik, kemauan untuk mencari tahu, membaca, dan terutama motivasi diri untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran, faktor perkembangan anak dan faktor personal terdiri dari status personal peserta didik, sikap dan pemeliharaan anak.
H. CARA MENINGKATKAN KECAKAPAN BERPIKIR KRITIS
Menurut Gorman (1974: 222) salah satu cara untuk meningkatkan kecakapan critical thinking yaitu dengan membuat sebuah pertanyaan yang kritis dan mempertimbangkan yang logis, pertanyaan yang dibuat peserta didik untuk mengukur kecakapan critical thinking. Peserta didik menyajikan sebuah pernyataan yang cukup panjang, kemudian peserta didik mengevaluasi pernyataan yang telah dibuat dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pemikir kritis yang dibina dengan baik merumuskan pertanyaan-pertanyaan penyelidikan yang penting dan tepat, menafsirkan informasi berdasarkan kriteria yang relevan; berpikir terbuka secara terbuka dalam sistem pemikiran alternatif; dan mengkomunikasikan solusi untuk masalah yang rumit (Moore, 2015: 378).
Menurut Nitcoteri (1998: 64) critical thinking is both an attitude and a reasoning process. If all your assignments are designed to test straight forward knowledge, your students strategic skill wont be honed, yaitu berpikir kritis adalah suatu sikap dan proses penalaran. Jika semua tugas dirancang untuk menguji pengetahuan langsung, maka keterampilan strategis peserta didik tidak akan terasah. Menurut Moore & Stanley (2010:10) “in Bloom’s Taxonomy, the three levels that require higher-level thinking are analysis, synthesis, and evaluation”. Kecapakan critical thinking membutuhkan pengajaran dan praktek yang dapat meningkatkan kecakapan critical thinking peserta didik dengan (1) menggunakan strategi pembelajaran yang mendorong peserta didik terlibat dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru (teacher center), (2) memfokuskan pembelajaran pada kegiatan pembelajaran daripada materi, dan (3) menggunakan teknik penilaian dengan memberikan tanggapan critical thinking peserta didik (Snyder & Snyder, 2008: 90).
II. PEMBAHASAN
A. PENGANTAR
Salah satu tugas guru/dosen sebagai pendidik/pengajar adalah menetapkan strategi pembelajaran yang digunakan untuk membantu peserta didik mencapai suatu kompetensi atau pengetahuan dan keterampilan yang diinginkan. Sehingga, para guru/dosen harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang berkenaan dengan strategi pembelajaran. Dengan memiliki kemampuan menetapkan strategi pembelajaran yang sesuai maka pelaksanaan kegiatan pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif. Upaya yang dapat dilakukan dalam mencapai tujuan pembelajaran dalam meningkatkan kecakapan critical thinking peserta didik dengan menentukan strategi pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran. Pemilihan strategi pembelajaran yang tepat merupakan keberhasilan seorang guru dalam menciptakan pembelajaran yang efektif, kondusif dan pembelajaran akan menjadi lebih bermakna.
Menurut Slavin (2005:63) dalam memilih strategi pembelajaran beberapa pertimbangan yang dapat dilakukan guru dalam memilih strategi pembelajaran secara tepat dan akurat harus berdasarkan penetapan sebagai berikut: (1) tujuan instruksional merupakan sasaran yang hendak dicapai pada akhir pengajaran, serta kemampuan yang harus dimiliki oleh peserta didik. Sasaran tersebut dapat terwujud dengan menggunakan strategi-strategi pembelajaran, (2) pengetahuan awal peserta didik, (3) bidang studi atau pokok bahasan, (4) alokasi waktu dan sarana penunjang, (5) jumlah peserta didik yang mengikuti pembelajaran dikelas, (6) pengalaman dan kewibawaan pengajar.
B. MEMAHAMI STRATEGI PEMBELAJARAN
Strategi yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran disebut strategi pembelajaran. Pembelajaran adalah upaya pendidik guru/dosen untuk membantu peserta didik (siswa/mahasiswa) melakukan kegiatan pembelajaran. Tujuan strategi pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik (perorangan dan atau kelompok) serta peserta didik (perorangan, kelompok, dan atau komunitas) yang berinteraksi edukatif antara satu dengan yang lainnya. Isi kegiatan adalah bahan/materi belajar yang bersumber dari kurikulum suatu program pendidikan.
Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dimana strategi pembelajaran sebagai usaha untuk memperoleh kesuksesan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sebagai rencana tindakan termasuk pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu tujuan pembelajaran.
Terdapat beberapa istilah yang erat kaitannya dengan istilah strategi pembelajaran seperti model, pendekatan, teknik, metode, dan cara. Istilah-istilah tersebut menggambarkan sifat dari umum ke khusus dan istilah strategi pembelajaran sering digunakan untuk menyebut metode pembelajaran, namun dengan memperhatikan istilah tersebut jelas strategi pembelajaran lebih luas daripada metode mengajar seperti diskusi, fieldtrip, ceramah, debat, demonstrasi. Sedangkan strategi mengandung makna berbagai alternatif kegiatan dan pendekatan yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Strategi pembelajaran menggambarkan komponen umum materi pembelajaran dan prosedur yang digunakan untuk mencapai hasil belajar. Konsep strategi pembelajaran tergambar dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana yang dijelaskan secara perinci dalam bukunya Gagne yang berjudul The Condition of Learning and Theory of Instruction (1985). Kegiatan pembelajaran adalah gambaran sederhana tentang paradigma aktivitas peserta didik dan guru yang terjadi secara komplementer (saling isi-mengisi) dan saling ketergantungan dalam suatu situasi belajar. Kegiatan belajar menggambarkan aktivitas peserta didik dalam menerima, mempraktikkan, dan menciptakan, serta kegiatan pembelajaran menggambarkan aktivitas guru sebagai pendidik dalam memindahkan ilmu, membina, dan kenyamanan belajar.
Strategi pembelajaran mencakup penggunaan pendekatan, metode dan teknik, bentuk media, sumber belajar, pengelompokkan peserta didik, untuk mewujudkan interaksi edukasi antara guru dengan peserta didik, antar peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungannya, serta upaya pengukuran terhadap proses, hasil, dan/atau dampak kegiatan pembelajaran. Strategi pembelajaran merupakan cara-cara spesifik yang dapat dilakukan oleh individu untuk membuat peserta didik mencapai tujuan pembelajaran atau standar kompetensi yang telah ditentukan.
Bila dihubungkan dengan proses pembelajaran, strategi pembelajaran merupakan cara yang ditetapkan untuk menyampaikan pesan atau materi pelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu mencakup sifat, lingkup serta urutan suatu kegiatan yang dapat memberikan pengamalam belajar peserta didik. Menurut Dick & Carey (Hamdani, 2011: 19) strategi pembelajaran tidak hanya terbatas pada prosedur kegiatan, tetapi juga termasuk di dalamnya materi pengajarannya. Menurut Priansa (2017: 88-89) strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan yang sistematis dengan memanfaatkan berbagai metode untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Strategi tersebut disusun dengan pertimbangan berbagai kondisi nyata yang dihadapi dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh peserta didik.
Kegiatan belajar didesain untuk mengaktifkan proses informasi atau paling tidak melipatgandakan kejadian atau kegiatan dalam menunjang proses pembelajaran. Strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru/dosen dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dick and Carey (1985) menyebutnya suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang dipergunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada peserta didik.
Menurut Gagne dan Briggs (Pribadi, 2009: 47-48) sembilan langkah strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran, yaitu:
Menarik perhatian peserta didik.
Memberi informasi kepada peserta didik tentang tujuan pembelajaran yang perlu dicapai.
Menstimulasi daya ingat tentang persyaratan untuk belajar.
Menyajikan bahan pelajaran/ presentasi.
Memberikan bimbingan dan bantuan belajar.
Memotivasi terjadinya kinerja atau prestasi.
Menyediakan umpan balik untuk memperbaiki kinerja.
Melakukan penilaian terhadap prestasi belajar.
Meningkatkan daya ingat peserta didik.
Pada intinya, strategi pembelajaran adalah pendekatan menyeluruh pembelajaran dalam suatu sistem pembelajaran, yang berupa pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan umum pembelajaran, yang dijabarkan dari pandangan falsafah dan atau teori belajar tertentu. Misalnya, strategi untuk meningkatkan kemampuan berpikir keitis atau untuk meningkatkan minat dan kemampuan membaca dan menulis. Strategi ini harus diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran/kuliah, meskipun mungkin ada bimbingan khusus untuk itu.
C. PENDEKATAN STRATEGI PEMBELAJARAN DALAM MENGEMBANGKAN KECAKAPAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK
Dimasa kini, peran dosen guru/dosen sebagai pendidik dan pengajar makin dituntut mampu menggunakan atau menerapkan strategi pembelajaran yang memperkuat respon peserta didik dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik mampu menunjukkan dan mengasah kecakapan critical thinking yang dimilikinya. Kecakapan critical thinking peserta didik juga dapat dinilai dari bagaimana peserta didik tersebut memutuskan apa yang akan dilakukan atau apa yang tidak dilakukan dengan memperoleh data yang valid, relevan, jelas, akurat dan masuk akal.
Berikut 3 (tiga) pendekatan strategi pembelajaran dalam mengembangkan kecakapan berpikir kritis peserta didik.
1. Strategi Ekspositori
Kecakapan critical thinking yang menuntut peserta didik mampu memahami suatu pemahan secara mendalam terhadap permasalahan atau sebuah informasi yang dihadapi atau ditemukan. Menurut Ennis (1993: 180). Critical thinking merupakan “reasonable reflective thinking that is focused deciding what to believe and do”, yaitu pemikiran reflektif yang masuk akal yang terfokus untuk memutuskan apa yang harus dipercaya dan dilakukan, dengan membuat titik tegas bahwa kompenen tidak dikriteriaisasikan, dan penilaian dapat dilakukan secara mekanis dan hal ini merupakan titik penting tentan bagaimana berpikir kritis berkaitan dengan mengajar dan belajar
Strategi ekspositrori merupakan strategi pembelajaran yang memberikan keterangan terlebih dahulu definisi, prinsip, dan konsep dari materi pelajaran yang akan dipelajari atau diajarkan dan selanjutnya memberikan contoh latihan dari sebuah pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, diskusi, demonstrasi,tanya jawab, dan penugasan. Strategi ini menekankan pada proses penyampaian materi pembelajaran secara verbal kepada peserta didik dengan maksud agar peserta didik mampu menguasai materi pembelajaran dengan baik.
Berikut langkah-langkah strategi ekspositori dalam mempersiapkan peserta didik untuk menerima pelajaran.
1. PERSIAPAN
Mempersiapkan peserta didik untuk menerima pelajaran. Berikut hal-hal yang harus dilakukan dalam langkah persiapan:
• Peserta didik diberikan sugesti yang positif dan hindari sugesti yang negatif.
• Mengemukakan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
• Melakukan tanya jawab, untuk melihat kesiapanpeserta didik dalam mengikuti pembelajaran.
2. PENYAJIAN
Penyampaian materi pelajaran yang akan dipelajari. Berikut hal-hal yang harus dilakukan dalam langkah penyajian:
Penggunaan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik.
Intonasi suara yangjelas.
Menjaga fokus perhatian peserta didik.
Menciptakan pembelajaran yang nyaman.
3. KORELASI
Menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman peserta didik.
4. MENYIMPULKAN
Melalui langkah menyimpulkan peserta didik akan mampu mengambil kesimpulan dari pembelajaran yang dipelajari.
5. MENGAPLIKASIKAN
Untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam menyimak penjelasan materi pelajaran/kuliah yang telah disampaikan oleh guru/dosen yaitu dengan memberikan tugas atau memberikan tes yang sesuai dengan materi yang dipelajari kepada peserta didik.
2. Strategi Instruksional
Keberhasilan pembelajaran sebagian dipengaruhi oleh perilaku dan karakteristik atau keadaan awal peserta didik. Mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik adalah dasar dari pemilihan strategi pengelolaan berkaitan dengan bagaimana menata pengajaran, khususnya komponen strategi pembelajaran mana yang sesuai dan efektif dengan karakteristik peserta didik, yang dapat menciptakan kondisi belajar yang bermakna. Dalam proses pembelajaran kondisi ini sangat penting untuk diperhatikan dengan seksama, karena dengan mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik saat akan memulai dan mengikuti proses pembelajaran dapat memberikan informasi bagi guru/dosen dalam pemilihan strategi pengelolaan pengajaran. Sebelum melaksanakan kegiatan atau proses pembelajaran, penting bagi guru/dosen secara khusus mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik. Hasilnya dari kegiatan ini merupakan salah satu dasar dalam mengembangkan sistem instruksional yang sesuai untuk peserta didik.
Kata instruksional diartikan pengajaran, pelajaran dan pembelajaran. Pengajaran menitikberatkan pada fungsi guru, atau dosen sebagai komunikator yang aktif. Pelajaran pada faktor pesan, atau bahan ajar. Sedangkan pembelajaran menekankan siswa, mahasiswa yang aktif dalam proses belajar mengajar. Sistem instruksional berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku sasaran (edukatif). Istilah instruksional berasal dari kata instruction. Ini bisa berarti pengajaran, pelajaran, atau bahkan perintah atau instruksi. Di dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan perintah, tetapi pengajaran dan atau pelajaran, atau lebih dikenal dengan nama pembelajaran. Pada intinya, strategi instruksional adalah metode yang digunakan oleh pendidik atau pengajar dalam membuat suasana belajar, dimana di dalamnya terdapat aktivitas yang melibatkan pengajar dan peserta didik dalam proses belajar-mengajar untuk mencapai sasaran yang diinginkan.
Strategi instruksional adalah pendekatan menyeluruh atas proses belajar dan mengajar dalam sistem instruksional. Ia merupakan perencanaan penuh perhitungan yang kemungkinan-kemungkinan kegiatannya yang bakal ditempuh dalam pelaksanaan nanti dirinci dengan sadar. Strategi instruksional merupakan sebuah komponen sistem instruksional yang selalu saja masih diupayakan pengembangannya oleh para pakar dan praktisi. Ia masih perlu dikembangkan seperti komponen-komponen yang lain, misalnya analisis kebutuhan instruksional, analisis instruksional, tujuan instruksional, alat penilaian hasil belajar, pengembangan bahan instruksional dan evaluasi formatif. Kaitan fungsinya dengan komponen lain untuk membuat sebuah sistem butuh diartikan secara lebih mantap. Dalam prosesnya, saling berhubungan antara pengidentifikasian TIU, analisis instruksional, TIK, dan tes telah nampak sedemikian hebat. Pengembangan komponen-komponennya juga telah sistematis.
Menurut Suparman (2014: 296-304) Pembuatan strategi instruksional harus berdasar atas tujuan instruksional yang akan digapai sebagai kriteria utama. Susunan aktifitas instruksional pada tahap penyajian, contohnya belum tentu harus selalu UCL (diawali dengan uraian, diteruskan contoh, dan diakhiri latihan), bisa saja mewujud CUL. Sementara, susunan aktifitas instruksional yang terdapat pada pendahuluan yang terdiri dari DRT, yakni deskripsi singkat, kemudian relevansi, dan terakhir TIK. Dan untuk penutup yang terdiri dari TUT, yakni, tes formatif, umpan balik atau respon, dan tindak lanjut atau follow up nampaknya tidak memerlukan perubahan. Ada beberapa bagian dari strategi instruksional yang tidak tercakup dalam sistem peluncuran, yaitu susunan aktifitas, isi instruksional belajar mengajar, kebutuhan waktu bagi setiap kegiatan tersebut, dan tujuan instruksional yang merupakan acuan dalam mengembangkan suatu strategi instruksional.
Menyusun strategi instruksional mempunyai komponen lebih luas dari sistem. Penjelasan tentang perbedaan itu sangat membantu kebanyakan orang yang masih memiliki pengalaman yang rancu dan seringkali menganggap keduanya sama. Sebab, strategi atau metode instruksional dibuat dalam rangka menggapai maksud instruksional khusus, sehingga kemudian ia wajib dibuat selaras dan seirama bersama TIK. Sehingga karenanya, semua TIK memerlukan strategi instruksional tertentu. Model desain instruksional secara umum misalnya the project Minerva system approach for education, instructional development Institute, Banathy, dan Teaching Research, semua memakai langkah-langkah yang tidak berbeda. Pada intinya TIK yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran harus merujuk pada strategi instruksional.
Secara umum, istilah TIK dalam pembelajaran dikenal dengan istilah teknologi pendidikan. Merujuk pada AECT selaku asosiasi komunikasi dan teknologi pendidikan (Januszewski & Molenda, 2008: 1-12), teknologi pendidikan adalah studi dan praktik etis untuk memfasilitasi pembelajaran dan peningkatan kinerja dengan teknologi yang tepat dalam mencipta, memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber belajar. Studi yang dimaksud adalah pemahaman teori secara menyeluruh sehingga tidak terbatas pada teori tapi juga bersifat empiris. Sedangkan praktik etis yang dimaksud adalah praktik yang dilakukan bukan sekedar mempraktikan melainkan harus dilandasi prinsip kode etik dalam menjalankan praktik yang telah ditetapkan oleh AECT.
Menurut Seels & Richey ( 1994: 3-5), teknologi pendidikan dengan menggunakan terminologi teknologi pembelajaran yaitu desain, pengembangan, dan evaluasi dimana dasarnya desain, pengembangan, dan evaluasi merupakan bagian dari proses mencipta (creating). Istilah mencipta (creating) digunakan untuk mengakomodir segala hal yang dihasilkan dari proses mendesain, mengembangkan, dan mengevaluasi agar mampu diproduksi sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan secara aktual dalam pembelajaran.
Teknologi pendidikan beroperasi dalam seluruh bidang pendidikan secara integratif, yaitu secara rasional berkembang dan berintegrasi dalam berbagai kegiatan pendidikan. teknologi pendidikan memiliki peranan yang menyeluruh dalam dunia pendidikan dan tidak terbatas pada cakupan media pembelajaran semata. Media pembelajaran hanya sebagian kecil dari dunia teknologi pendidikan. Selain media pembelajaran, teknologi pendidikan juga ikut mencakup persoalan atau kendala dalam proses pembelajaran dan tidak cukup sampai disitu saja, teknologi pendidikan juga mencakup ranah pengembangan dan penelitian dimana pengembangan dan penelitian dilakukan bertujuan agar proses pembelajaran terus mengalami perkembangan dan kemajuan.
Selain melakukan pengembangan dan penelitian, teknologi pendidikan juga mencakup ranah dalam pengelolaan dan penggunaan sumber belajar dimana secara keseluruhan ranah tersebut terintegrasi ke dalam tiga unsur, yaitu manusia, alat, dan sistem. Sistem yang dimaksud meliputi visi, alur kerja, dan kepengurusan dalam suatu organisasi yang mengatur alur proses belajar. Dalam menggunakan TIK secar efektif dalam kegiatan pembelajaran, guru/dosen harus mampu memahami lebih mendalam teori dan praktek yang berkaitan dengan cara bagaimana membawa peserta didik berkontak langsung dengan kondisi pembelajaran dan sumber daya yang tepat, dengan begitu solusi permasalahan dapat ditemukan dengan diawali pemiliha proses, sumber daya, metode, dan bahan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, dan karakteristik peserta didik.
Menurut Januszewski & Molenda ( 2008: 5), penggunaan TIK dalam pembelajaran terkait seluruh komponen yang mempunyai tanggun jawab untuk menyesuaikan peserta didik dengan bahan dan aktivitas yang spesifik, menyiapkan peserta didik agar dapat berinteraksi dengan bahan dan aktivitas yang digunakan, memberikan bimbingan selama kegiatan berlangsung, memberikan evaluasi dari hasil yang dicapai peserta didik, serta memasukkannya ke dalam prosedur organisasi yang berkelanjutan yang akan berperan dalam bagaimana tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal.
Lebih lanjut, Suparman (2014: 203-204) mengemukakan bahwa dalam proses desain instruksional karakteristik peserta didik yang perlu dipertimbangkan yaitu: (1) latar belakang pendidikan, (2) motivasi belajar, (3) akses terhadap sumber belajar yang relevan dengan materi instruksional, (4) kebiasaan belajar mandiri dan disiplin dalam mengatur waktu belajar, (5) akses terhadap saluran komunikasi dan media teknologi informasi, (6) kebiasaan atau budaya membaca, dan (7) domisili tempat tinggal.
Terkait strategi instruksional dalam mengembangkan kecakapan berpikir kritis peserta didik disesuaikan dengan usia peserta didik atau dengan kata lain satuan pendidikan atau jenjang pendidikan. Peserta didik pada tingkat sekolah menegah atas (SMA) dan perguruan tinggi berusia rata-rata 16 tahun ketas. Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah peserta didik sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Tahap operasi formal ini adalah tahap terakhir dari perkembangan kognitif secara kualitatif. Peserta didik pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika.
Pada tahap ini kondisi berpikir peserta didik sudah dapat:
Bekerja secara efektif dan sistematis.
Menganalisis secara kombinasi.
Berpikir secara proporsional.
Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.
Pada tahap ini peserta didik telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan idealitas, serta pemahaman untuk masalah- masalah filosofis. Disini peserta didik mulai cakap berpikir dan berargumentasi mengenai hal-hal yang abstrak. Anak mulai menguasai pemikiran independen dan pemikiran orang lain. Anak–anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argumen (karena itu disebut operasional formal).
Sifat pokok tahap operasi formal adalah:
Pemikiran deduktif hipotesis, pengambilan kesimpulan yang spesifik.
Induktif saintifik, pengambilan kesimpulan yang lebih umum.
Abstrak reflektif, tidak dapat disimpulkan dari pengalaman.
Proses belajar yang dialami seorang anak ada tahap sensorimotor tentu akan berbeda dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasional, dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional kongkrit, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional formal. Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. pada intinya, guru/dosen perlu mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik sebagai salah satu dasar dalam mengembangkan sistem instruksional yang sesuai untuk peserta didik.
Selanjutnya, mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik, yang mana dalam proses pembelajaran dibutuhkan strategi pembelajaran yang tepat untuk mencapai kecakapan critcal thinking peserta didik. Sehingga dengan mengidentifikasi karakteristik peserta didik mampu mendesain kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran, yaitu peserta didik mampu meningkatkan kecakapan critical thinking dan dan menyesuaikan diri peserta didik terhadap perubahan zaman yang terus berkembang, tentunya dibekali dengan kompetensi yang memadai.
3. Strategi Pembelajaran Aktif
Strategi pembelajaran aktif secara sederhana didefinisikan sebagai pembelajaran yang melibatkan peserta didik terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran aktif mengkondisikan agar peserta didik melakukan pengalaman belajar yang bermakna dan senantiasa berpikir tentang apa yang dapat dilakukannya selama pembelajaran. The power of two merupakan salah satu strategi pembelajaran aktif yang dapat digunakan guru/dosen dalam mengembangkan kecakapan berpikir kritis peserta didik. Strategi the power of two merupakan strategi yang menitikberatkan pada kekuatan dua kepala. Menurut Silberman (2013: 173) aktivitas the power of two digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dan menegaskan manfaat dari sinergi, yakni bahwa dua kepala adalah lebih baik daripada satu.
Menurut Slavin (Priansa, 2017: 292) strategi the power of two termasuk kedalam strategi pembelajaran kolaboratif. Strategi pembelajaran kolaboratif menjadi acuan pembelajaran dimana dalam proses pembelajaran yang berlangsung, peserta didik mampu belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen atau dengan karakteristik yang berbeda-beda. Ciri khusus pembelajaran kolaboratif mencakup lima unsur yang harus diterapkan, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok.
Strategi the power of two. Strategi the power of two ini menegaskan manfaat dari sinergi, yakni bahwa dua kepala adalah lebih baik daripada satu (Silberman, 2013: 173). Langkah-langkah kegiatan belajar strategi the power of two sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, yaitu orientasi pembelajaran adalah peserta didik mampu berpikir kritis dalam memecahkan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru/dosen. Sehingga melalui aktivitas strategi the power of two digunakan untuk meningkatkan pembelajaran kecakapan critical thinking.
Pada intinya, strategi the power of two mempersiapkan peserta didik untuk belajar lebih mandiri dan terlibat aktif dalam proses pembelajaran, peserta didik diberikan permasalahan yang membutuhkan pemikiran secara mendalam, kemudian peserta didik diminta untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara mandiri, selanjutnya peserta didik dipasangkan dengan peserta didik lainnya untuk melakukan diskusi dan tanya jawab terkait permalahan yang ada. Peserta didik diberikan waktu untuk memperbaiki jawaban yang telah dimiliki dan selanjutnya peserta didik melakukan mempresentasikan jawaban yang didepan kelas.
Langkah-langkah dalam pembelajaran the power of two dalam Silberman (2013: 173), adalah:
Peserta didik memecahkan permasalahan/ pertanyaan yang memerlukan perenungan dan pemikiran.
Peserta didik untuk memecahkan masalah/menjawab pertanyaan secara perseorangan.
Setelah semua peserta didik memecahkan masalah dan menyelesaikan jawaban mereka, peserta didik menjadi sejumlah pasangan dan peserta didik saling berbagi jawaban satu sama lain.
Kemudian peserta didik membuat jawaban baru/memperbaiki setiap pertanyaan yang dimiliki.
Bila semua pasangan telah menuliskan jawaban baru, bandingkan jawaban dari tiap pasangan dengan pasangan lain di dalam kelas.
Strategi the power of two menurut Hamruni (2012:160) strategi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa belajar secara berpasangan akan lebih baik hasilnya dibanding belajar secara sendiri-sendiri. Langkah-langkah strategi the power of two menurut Hamruni (2012:160) yaitu:
Peserta didik menyelesaikan pertanyaan yang membutuhkan refleksi dan pikiran.
Peserta didik untuk menjawab pertanyaan sendiri-sendiri.
Setelah semua melengkapi jawabannya, peserta didik duduk ke dalam pasangan dan mereka saling berbagi (sharing) jawabannya dengan yang lain.
Setiap pasangan tersebut membuat jawaban baru untuk masing-masing pertanyaan dengan memperbaiki respons masing-masing individu.
Ketika semua pasangan selesai menulis jawaban, bandingkan jawaban dari masing-masing pasangan ke pasangan yang lain.
Lakukan diskusi kelas dan klarifikasi terhadap temuan-temuan (hasil diskusi) masing-masing pasangan.
Zaini dkk (2008: 52) menguraikan langkah-langkah melaksanakan strategi pembelajaran the power of two sebagai berikut.
Peserta didik menyelesaikan satu atau lebih pertanyaan yang menuntut perenungan dan pemikiran.
Peserta didik menjawab pertanyaan tersebut secara individual.
Setelah semua peserta didik menjawab dengan lengkap semua pertanyaan, peserta didik berpasangan dan saling bertukar jawaban satu sama lain dan membahasnya.
Setiap pasangan-pasangan tersebut membuat jawaban baru untuk setiap pertanyaan, sekaligus memperbaiki jawaban individual mereka.
Ketika semua pasangan telah menulis jawaban-jawaban baru, bandingkan jawaban setiap pasangan di dalam kelas.
Hubungan antara strategi the power of two dan kecakapan critical thinking adalah keduanya sama-sama dimulai dengan memberikan permasalahan berupa beberapa pertanyaan kepada peserta didik dan kemudian pada setiap pertanyaan perserta didik diminta untuk dapat memberikan jawaban terbaik yang dimiliki secara masuk akal dan didukung dengan bukti yang relevan, selanjutnya dari kegiatan yang akan dilakukan peserta didik diharapkan mampu mengembangkan kecakapan critical thinking yaitu mencakup kemampuan analisis, evaluasi, eksplanasi, inferensi, dan interpretasi dengan menekankan peserta didik menyusun dan membangun pengetahuan dan pemahamannya secara mandiri.
Tugas guru/dosen tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga mendorong peserta didik agar mampu meningkatkan pengetahuan, perenungan, dan berpikir secara kritis yang dimiliki peserta didik dengan menerapkan strategi the power of two dalam pembelajaran. Guru/dosen sebagai pendidik/pengajar perlu menetapkan teknik atau cara tertentu agar proses pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Strategi the power of two ini dilakukan guru/dosen metode diskusi atau memberikan tugas individu dan kelompok. Pembentukan kelompok dilakukan untuk membantu peserta didik saling berbagi dan belajar satu sama lainnya.
Langkah-langkah pelaksanaan strategi the power of two yaitu guru/dosen memberikan kesempatan berpikir dalam memecahkan suatu masalah kepada peserta didik secara individu terlebih dahulu, dan kemudian mempersilahkan peserta didik untuk saling berdiskusi, selanjutnya mempersilahkan peserta didik berbagi hasil diskusi mereka sekaligus memeriksa kembali pemecahan masalah yang diberikan sebelumnya. Kelompok yang beranggotakan dua orang atau berpasangan ini memungkinkan partisipasi peserta didik lebih optimal, sehingga mampu meningkatkan kecakapan critical thinking peserta didik.
Mengembangkan ataupun meningkatkan kecakapan critical thinking peserta didik salah satunya dengan memunculkan permasalahan atau membuat suatu pertanyaan yang panjang, kritis dan membutuhkan pertimbangan yang logis. Menurut Gorman (Nitko & Brookhart, 2011: 70) pertanyaan yang didesain untuk mengukur critical thinking seseorang biasanya dimulai dengan memunculkan masalah atau menyajikan suatu pertanyaan tersebut kedalam beberapa hal. Untuk lebih jelas, kaitannya antara strategi the power of two dan kecakapan critical thinking, dapat dijelaskan pada langkah-langkah dalam merancang pelaksanaan strategi pembelajaran the power of two dalam pencapaian kecakapan critical thinking peserta didik, sebagai berikut:
Guru/dosen memberikan tugas pada peserta didik (berupa lembar kerja, dsb) yang berisikan beberapa pertanyaan atau soal yang membutuhkan pemikiran sesuai dengan materi yang akan dan ataupun yang sudah dipelajari oleh peserta didik. Peserta didik diminta untuk mengerjakan tugas yang tersebut secara individu ataupun kelompok dalam waktu yang ditentukan.
Peserta didik mengerjakan tugas secara berkelompok untuk saling sharing atau tukar jawaban ataupun memperbaiki jawaban masing-masing. Pada langkah ini peserta didik dapat mengasah kecakapan evaluasinya dengan memutuskan kredibilitas informasi yang mereka temukan.
Setiap kelompok membandingkan jawabannya dengan kelompok lain. Pada langkah ini peserta didik dapat mengasah kecakapan eksplanasinya dengan mempertimbangkan jawaban dan membenarkan jawaban berdasarkan bukti dari jawaban yang mereka punya dan jawaban kelompok ataupun peserta didik lainnya.
Peserta didik membuat kesimpulan terkait jawaban yang mereka miliki dan jawaban kelompok atau peserta didik lain. Pada langkah ini peserta didik dapat menagasah kecakapan inferensinya dalam menyimpulkan jawaban yang mereka miliki dan jawaban kelompok atu peserta didik lainnya.
Guru/dosen mengevaluasi kembali jawaban yang telah dibuat oleh peserta didik. Pada langkah ini peserta didik dapat mengasah kecakapan interpretasinya dengan menerjemahkan data yang telah mereka miliki dari kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
Perlu diperhatikan dalam pemberian tugas kelompok, guru/dosen harus lebih dulu mengelompokkan peserta didik secara heterogen dengan melihat kemampuan akademis peserta didik. Disisi lain, penerapan strategi pembelajaran aktif sangat berkaitan dengan keefektifan kegiatan pembelajaran. Suatu kegiatan dikatakan efektif bila kegiatan itu dapat diselesaikan pada waktu yang tepat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Efektivitas menekankan pada perbandingan antara rencana dengan tujuan yang dicapai. Oleh karena itu, efektivitas pembelajaran sering kali diukur dengan ketercapainya tujuan pembelajaran, atau dapat pula diartikan sebagai ketetapan dalam mengolah suatu situasi pembelajaran.
Pembelajaran yang efektif adalah belajar yang bermanfaat dan bertujuan bagi peserta didik, melalui prosedur yang tepat. Pengertian ini mengandung dua indikator, yaitu terjadinya belajar pada peserta didik dan apa yang dilakukan guru/dosen. Keefektifan pembelajaran selalu dikaitkan dengan pencapaian tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Sehingga pembelajaran yang efektif dapat memberikan pengaruh yang baik dengan merubah kondisi peserta didik menuju tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Hal ini dapat diketahui dari peningkatan hasil belajar peserta didik dari awal proses pembelajaran hingga akhir proses pembelajaran berdasarkan penilaian hasil belajar yang lebih baik.
Faktor yang mempengaruhi keefektifan dalam pembelajaran yaitu salah satunya kemampuan guru.dosen dalam menggunakan strategi pembelajaran. Indikator yang menunjukkan pembelajaran efektif yaitu: (1) pengorganisasian pembelajaran dengan baik, (2) komunikasi secara efektif, (3) penguasaan dan antusiasme dalam mata pelajaran, (4) sikap positif terhadap peserta didik, (5) pemberian ujian dan nilai yang adil, (6) keluwesan dalam pendekatan pembelajaran, dan (7) hasil belajar peserta didik yang baik. Selain itu, penggunaan dan pemilihan strategi belajar dan pembelajaran yang inovatif.
Pada intinya efektivitas pembelajaran adalah tingkat keberhasilan yang dicapai dari suatu metode pembelajaran tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Uuntuk mengetahui efektivitas strategi the power of two dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan dengan memberikan tes kepada peserta didik.
REFERENSI
A. Facione, Peter, 2013. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts, Millbrae, CA: MRichard Paul dan Linda Elder, “The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools,” Announcing the 28th Annual International Conference on Critical Thinking, Near University of California at Berkeley July 19-24 2008easured Reasons and The California Academic Press.
Alec Fisher. 2009. Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Bachtiar, Harsya W. 2003. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Pustekom Dikbud dan PT Raja Grafindo Persada.
Beyer, B.K. 1995. Critical Thinking, Bloomington. IN: Phi Delta Kappa Educational Foundation.
Bruce, Joyce; Marsha, Weil. 1986. Model Of Teaching. Prentice/Hall International: Inc.
Buzzle.com. 2009. Developing critical thinking skills. www.buzzle.com/.../developing-critical- thinking-skills.html
Carey, W. D., Carey, L., & Carey, J. O. (2019). The Systematic Design Of Instruktion. New Jersey: Pearson.
Cottrell S. 2005. Critical thinking skills: Developing effective analysis and argument. Houndmills, Basingstoke, Hampshire, RG21 6XS, England: Macmillan Publishers Limited
Costa, A.L. 1985. Developing Minds A Resource Book For Teaching Thinking. Virginia: Association For Supervision And Curriculum Development.
Filsaime, Dennis K. 2007. Terjemahan oleh: Sunarni. Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Prestasi Pustaka Raya.
Izhab, Z. 2008. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis. Bandung: Nuansa.
Halpern, Diane F. 2003. Thought and Knowledge: An Introduvtion to Critical Thingking. USA: Lawrence Erlbaurn Associates.
Keller, John M. 2010. Motivational Design for Learning and Performance: The ARCS Model Approach. New York: Springer.
Kelly J, Hokanson B. 2009. Study guides and strategies: Reading critically. Interactive Media (DHA 4384) School of Design, University of Minnesota. www.studygs.net/crtthk.htm
Lau J. 2009. A mini guide to critical thinking. Department of Philosophy The University of Hong Kong. philosophy.hku.hk/think/
Merril, M D; Tennyson, R D. 1977. Teaching Concepts: An Instruktional Design Guide. Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publication.
Mudhoffir. 1996. Teknologi Instruksional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
North Central Regional Educational Laboratory. 2009. Critical thinking skill. www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/envrnmnt/.../sa3crit. htm -
Slamet. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Suparman, Atwi. 1993. Desain Instruksional. Jakarta: Ditjen Dikti.
-------------------, . 2014. Desain Instruksional Modern Panduan Para Pengajar dan Inovator Pendidikan. Jakarta: Erlangga.
Suparman, M Atwi. 2012. Desain Instruksional Modern. Jakarta: Erlangga.
Surakhmad, Winarno. 1979. Metodologi Pengajaran Nasional. Jakarta: Jemmars.
Utomo, Tjipto dan Kees Ruijter. 1991. Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wikipedia. 2023. Critical thinking. www.en.wikipedia.org/wiki/Critical_thinking
Yusuf, Pawit. M.1990. Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional. Bandung: PT. Remaja
Comments