Revolusi industri dan teknologi telah mendorong seleksi ilmiah yg mengarah pada “yang terkuat yang bertahan”. Keberhasilan akan didapatkan oleh mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan saat ini. Kondisi seperti ini tentunya juga berimbas terhadap permintaan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan pun ikut berubah.
Lulusan sarjana yang merupakan lumbung tenaga kerja harus menyiapkan kualifikasi keterampilan yang dibutuhkan, jika tidak siap-siap saja gigit jari (menganggur) karena keterampilannya sudah tidak sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja saat ini.
Lulusan perguruan tinggi harus menjawab tuntutan tenaga kerja yang diharapkan industri masa kini, ini merupakan suatu tantangan bagi lulusan mahasiswa yang harus dapat dicapai. Mahasiswalah yang harus menyesuaikan dengan perubahan.
Namun, kenyataan yang menyedihkan terlihat dari kualitas sarjana jebolan kampus saat ini. Pertama : Kebanyakan lulusan sarjana tidak siap bekerja sesuai kebutuhan pasar. Bekerja di perusahan-perusahan pada level dasar ternyata tidak terlalu banyak membutuhkan teori-teori yang rumit seperti yang diajarkan di bangku kuliah. Hanya butuh kemampuan spesifik tertentu untuk menjalankan perannya di tempat kerja.
Kenyataannya biasanya para karyawan atau pegawai akan diberikan pendidikan dan pelatihan tambahan hanya agar tahu pekerjaan apa akan dikerjakannya nanti dan cara beradaptasi yang baik di tempat kerjanya. Walhasil para karyawan baru pun harus mengubur ilmu yang telah didapatnya dan mulai balajar sesuatu yang baru lagi agar bisa bertahan di pekerjaan yang baru didapatnya.
Kedua : Tidak Punya Pengalaman Kerja Yang Cukup. Perusahaan mencari pegawai baru yang sudah memiliki pengalaman jam terbang tertentu pada suatu pekerjaan karena sudah tahu bahwa para lulusan baru jebolah kampus adalah orang-orang yang tidak mengerti kondisi di lapangan langsung. Orang-orang yang sudah pernah bekerja dan berpengalaman umumnya sudah mengetahui seluk beluk pekerjaannya dilapangan, sedangkan para fresh graduate butuh waktu dan butuh bimbingan untuk mencapai kemampuan yang diinginkan.
Pasar kerja kekinian membutuhkan tenaga kerja yang punya skill atau kemampuan 5Cs. Lima kemampuan tersebut adalah communication (komunikasi), collaboration (bekerja sama), critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreativitas), dan computational learning (penggunaan teknologi).
Mahir berkomunikasi, cakap dalam berkolaborasi dengan rekan kerja, berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah, kreatif mengasilkan ide dan solusi, serta mampu menggunakan teknologi untuk memecahkan masalah adalah kompetensi yang harus dikuasai oleh pekerja masa kini.
Kualitas sumber daya manusia di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan kualitas sdm dari negara lainnya. Hal ini tidak terlepas dari kualitas pendidikan di negara kita yang secara umum berkualitas rendah sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak siap berkompetisi dan lebih berorientasi menjadi pegawai dibandingkan dengan membuka lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya.
Lulusan dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak jumlahnya tetapi tidak membawa keterampilan yang memadai di bidang teknologi dan industri. Kebanyakan sarjana yang lulus berasal dari bidang humaniora, yang kurang sesuai untuk masuk pasar kerja di bidang ini. Pasokan sarjana sudah atau bahkan terlalu banyak, tetapi pasokan ketrampilan masih sangat sedikit.
Jadi di level bawah dan atas dari piramida sistem SDM kita terjadi paradoks atau bahkan disebut anomali, yang merugikan atau sangat tidak menguntungkan pembangunan nasional di masa sekarang dan mendatang. Pada level menengah dan atas terjadi labor shortage atau kekurangan ketrampilan dan keahlian tingkat menengah dan tinggi. Tenaga kerja dengan ketrampilan menengah dan tinggi banyak diperlukan sejalan dengan modernisasi ekonomi Indonesia tetapi pasokannya kurang.
Sementara itu, di level bawah terjadi labor surplus atau pasokan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak berketerampilan yang banyak sekali jumlahnya. Perhatikan jika suatu lembaga pemerintah atau perusahaan swasta membuka lowongan secara terbuka untuk beberapa ratus tenaga kerja kelas bawah, maka pelamar yang datang bisa puluhan ribu dan membludak banyak sekali. Itu pertanda pasokan tenaga kerja tidak trampil sangat besar jumlahnya.
Mengapa terjadi labor shortage di level atas? Jawabnya karena perguruan tinggi di Indonesia tidak menghasilkan tenaga kerja yang berketrampilan sesuai kebutuhan dunia industri. Kebanyakan perguruan tinggi yang ada hanya mengambil jalan mudah dengan membuat fakultas dan jurusan humaniora, yang tidak memerlukan biaya mahal dan tidak memerlukan laboratorium yang rumit. Pada saat yang sama, golongan muda di Indonesia juga tidak menyukai pendidikan keteknikan karena tidak mudah mengejar kemampuan dan ketrampilannya.
Dan yang menyedihkan kebijakan untuk menyambung sistem pendidikan dengan dunia industri tidak pernah benar-benar dijalankan. Kebanyakan pendidikan dan pendidikan tinggi sejak lama mengambil jalannya sendiri, kacamata kuda dan tidak mau tahu kebutuhan dunia di luarnya. Akhirnya lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan kebutuhan masyarakat pembangunan secara umum (mismatch).
Dunia industri tidak bisa dengan mudah mendapatkan pasokan tenaga kerja berketerampilan dari pasar tenaga kerja Indonesia. Yang ada adalah pasokan tenaga kerja tidak berketerampilan, baik dari yang hanya berpendidikan rendah maupun yang berpendidikan tinggi.
Kondisi inilah yang menghambat dunia industri untuk maju dan naik level dari foot loose industry ke tingkat yang lebih tinggi menjadi industri yang padat teknologi. Dua dekade yang lalu industri tersebut diambil alih China, kemudian dilepas karena China masuk ke level industri yang lebih tinggi. Sekarang industri tersebut diambil alih oleh Vietnam dan Kamboja, yang berhasil mengangkat kedua negara tersebut lebih besar sektor industrinya.
Inilah tantangan sesungguhnya bagi Indonesia jika hendak masuk ke level ekonomi yang modern melalui jalur industri yang kuat. Selama lebih satu dekade telah terjadi kemerosotan industri karena peranannya terus merosot dalam perekonomian. Kendalanya tidak lain adalah kualitas SDM yang rendah, yang banyak masuk pasar kerja dengan pendidikan rendah dan ketrampilan kurang memadai (labor surplus). Pada sisi lain terjadi labor shortage di mana permintaan tenaga berkerampilan di level atas kurang pasokannya.
Pada sisi lain lulusan perguruan tinggi masih tidak siap pakai sehingga mahal bagi dunia usaha dan industri untuk merekrut lulusan perguruan tinggi hanya dengan modal pengetahuan yang bersifat umum saja di bidangnya. Selama berada di bangku uliah para mahasiswa terlalu banyak diajarkan teori tanpa banyak praktek kerja sehingga kemampuan yang lebih terasah selama mengenyam pendidikan formal yaitu seperti kemampuan menjawab soal, kemampuan menghapal, kemampuan mencari nilai tinggi, kemampuan melakukan sesuatu sesuai dengan buku teori, kemampuan bergaul dengan teman-teman, kemampuan pamer kekayaan di depan orang-orang, kemampuan pacaran, dan lain sebagainya. Padatnya materi pelajaran menyebabkan para mahasiswa lebih banyak sibuk belajar teori daripada praktek sesuai dengan yang dibutuhkan di dunia kerja nyata.
Kenyataan seperti ini seharusnya menggugah perguruan tinggi untuk mulai bangun tersadar dan mulai mengubah sistem dan metode pendidikan dan pemeblajaran agar lulusannya bisa memiliki kemampuan yang benar-benar siap kerja tanpa harus kaget dan syok ketika baru mulai bekerja. Hal ini bisa diminimalisir apabila teori dan praktek dipadukan secara apik. Dengan sistem pendidikan yang memadukan teori dengan praktek diharapkan mahasiswa memiliki pengalaman yang cukup ketika lulus nanti.
Comments